• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

PENERAPAN METODE PRESTACK DAN POSTSTACK TIME

MIGRATION UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DATA

SEISMIK LAUT

FREDY MAROJAYA ARITONANG

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut adalah benar merupakan hasil karya sendiri, dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, April 2013

(4)

ABSTRAK

FREDY MAROJAYA A. Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut. Dibimbing oleh HENRY M. MANIK

Migrasi merupakan salah satu tahapan pengolahan data terakhir dan utama dalam pemrosesan data seismik. Migrasi dilakukan karena hasil penampang seismik dalam proses penumpukan belum menggambarkan kedudukan reflektor yang sebenarnya. Dalam penelitian ini dilakukan proses Migrasi Kirchhoff dalam domain waktu pada rekaman seismik lintasan TBNE 07 Perairan Teluk Bone, Sulawesi Selatan. Pemrosesan dilakukan dengan dua macam migrasi berdasarkan tipe, yaitu migrasi waktu pascapenumpukan (poststack time migration) dan migrasi waktu prapenumpukan (prestack time migration). Keberhasilan proses ini sangat dipengaruhi oleh model kecepatan yang digunakan, lebar tingkap, kemiringan maksimum yang akan dimigrasi dan juga frekuensi. Hasil analisis penampang yang didapat menunjukan bahwa penampang yang dimigrasi waktu prapenumpukan memberikan hasil yang lebih baik dalam menggambarkan pola reflektifitas dibandingkan migrasi waktu pascapenumpukan. Pada daerah penelitian ditemukan peristiwa sesar normal dan batas sekuen dicirikan oleh bidang downlap, toplap dan onlap.

Kata kunci: Migrasi, Kirchhoff, Migrasi Waktu Pascapenumpukan, Migrasi Waktu Prapenumpukan, Migration was carried out because the results of the seismic stacked section was unable to describe the actual position of the reflector. In this research, Kirchhoff migration was conducted in time domain on seismic recording line-7 in Gulf of Bone, South Sulawesi. Data processing was conducted by migration processes namely poststack and prestack time migration. The succeded of this process is strongly influenced by the velocity model, aperture width, maximum dip to migrate and also frequency. The analysis result of cross section obtained showed that the cross section of prestack time migration had a better results in describing the pattern of reflectivity than poststack time migration. On the research area, normal faults event and the boundary sequences found were characterized by downlap, toplap and onlap field.

(5)
(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

PENERAPAN METODE PRESTACK DAN POSTSTACK TIME

MIGRATION UNTUK MENINGKATKAN KUALITAS DATA

SEISMIK LAUT

FREDY MAROJAYA ARITONANG

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(7)
(8)
(9)

Judul Skripsi : Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut

Nama : Fredy Marojaya Aritonang

NIM : C54090047

Disetujui oleh

Dr. Henry M. Manik M.T Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. I Wayan Nurjaya M.Sc. Ketua Departemen

(10)

KATA PENGANTAR

Seismik merupakan salah satu metode yang sangat popular untuk melakukan deteksi serta memberikan gambaran kondisi geologi bawah permukaan bumi. Seismik memanfaatkan karakteristik gelombang dalam perambatannya di medium bumi untuk memudahkan eksplorasi sumberdaya yang terkandung di dalam permukaan bumi. Hal ini sangat penting dalam pengolahan dan pemrosesan sinyal gelombang seismik agar memberikan hasil yang maksimal. Penelitian ini memiliki topik “pemrosesan sinyal seismik menggunakan metode migrasi yang terdiri atas migrasi waktu prapenumpukan dan pascapenumpukan.

Penulis mengucap syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena telah memberikan rencana dan rancangan terbaik dalam proses penelitian hingga penulisan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr. Ir. Henry M. Manik, MT selaku dosen pembimbing.

2. Bapak Lili Sarmili, M.Sc dan Bapak Andrian Willyan Djaja, S.Si selaku pemberi data dan pembimbing teknis beserta seluruh staff di lembaga Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Laut (PPPGL) Bandung.

3. Dr. Udrekh selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan dukungan moril.

4. Orang Tua dan adik terkasih, M. Aritonang, Merry M serta Elmina D. yang terus mendukung dalam doa, moril dan materil.

5. Keluarga besar Komisi Kesenian PMK IPB, DSTR 46, ITK 46 atas dukungan doa, semangat kebersamaan dan persahabatan.

6. Seluruh staf pengajar dan administrasi mayor Ilmu dan Teknologi Kelautan (ITK), serta semua pihak yang telah berkontribusi langsung dalam penelitian ini.

Penulis berharap ilmu dan teknologi untuk mengeksplorasi sumberdaya alam, khususnya sumberdaya kelautan Indonesia semakin maju dan berguna serta menginspirasi bagi pembaca dalam peningkatan pengetahuannya. Karya Ilmiah ini masih jauh dari sempurna, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan sarannya demi perbaikan dan pengembangan lebih lanjut mengenai penelitian ini.

Bogor, Agustus 2013

(11)
(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR... vi

PENDAHULUAN... 1

Latar Belakang... 1

Tujuan Penelitian... 2

METODE... 2

Waktu dan Tempat Penelitian... 2

Alat dan Bahan... 3

Prosedur Pengolahan Data... 4

HASIL DAN PEMBAHASAN... 9

Praprosesing... 9

Prosesing... 17

Pascaprosesing... 22

KESIMPULAN DAN SARAN... 26

Kesimpulan... 26

Saran... 26

DAFTAR PUSTAKA... 27

(13)

DAFTAR TABEL

1. Parameter pengolahan untuk lintasan TBNE 07 digunakan untuk... menggambarkan urutan pengolahan dasar... 12

2. Nilai kecepatan pada proses pemilihan kecepatan pada CDP 123... 501 dan 7001... 17

DAFTAR GAMBAR

1. Metode akuisisi data seismik refleksi multisaluran... 1 2. Peta Akuisisi data di perairan Teluk Bone, Sulawesi Indonesia... 3 3. Diagram alir pemrosesan data... 4 4. Alur pemrosesan demultiplexing pada masukan SEG-D menggunakan

Promax... 5 5. Jendela Penugasan Geometri Laut 2D... 5 6. Proses dekonvolusi pada data seismik menggunakan prediktif

dekonvolusi... 6 7. Alur pemrosesan data seismik dalam pengolahan analisis kecepatan... 7 8. Alur pemrosesan data seismik pada tahapan penumpukan... 7 9. (a) Tumpukan Common mid point (CMP), (b) CMP setelah dimigrasi,

(c) Sketsa dari difraksi prominent dan peristiwa dipping sebelum (B) dan setelah (A) penampang dimigrasi... 8 10. Spesifikasi parameter Migrasi Kirchhoff pada migrasi waktu sebelum

penumpukan (a) dan migrasi setelah penumpukan (b)... 9 11. Tampilan data mentah pada source 1 hingga 5... 9 12. Derau pada FFID 441 (A) derau sebelum peristiwa refleksi (B) derau

sesudah peristiwa refleksi... 11 13. Bentuk koncah pada jejak seismik FFID 102 yang telah diperbesar

Sumbu y menyatakan waktu (ms), sumbu x menyatakan saluran... 11 14. Top mute pada source 141 hingga 150... 12 15. Kill trace pada source 521 (a) pada jejak seismik source 521 terdapat

multiple yang harus dihilangkan (b) dilakukan proses kill trace dengan memilih jejak yang akan dihapus (c) hasil dari proses kill trace... 13 16. Proses band pass dengan melakukan pemilihan batas sinyal pada puncak

dan dasar refleksi... 13 17. Hasil akhir dari proses penyuntingan dimana derau serta multiple pada

jejak telah direduksi... 14 18. Interaktif Spektral Analisis metode simple. (a) Average Power (b)

(14)

21. (a) Tampilan proses pemilihan titik pada analisis kecepatan spiking deconvolution pada kelompok CDP 9001 (b) Volume viewer untuk

kontrol kualitas hasil analisis kecepatan... 18

22. Penampang hasil tahapan penumpukan.... 19

23. Perbandingan penampang hasil penumpukan. Sebelum dimigrasi (a) dan setelah dimigrasi waktu Kirchhoff (b) pada kedalaman 6000 ms - 7000 ms lintasan TBNE 07... 21

24. Penampang seismik hasil proses migrasi waktu prapenumpukan.... 22

25. Penampang seismik hasil proses migrasi waktu pascapenumpukan... 22

26. Penampang seismik Perairan Bone lintasan TBNE 07... 24

27. Penampang seismik pada TWT 3000-7500 ms... 25

(15)
(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Upaya menentukan wilayah lautan Indonesia yang menjadi sumber kekayaan mineral dan migas, diperlukan studi untuk mempelajari gambaran umum struktur geologi serta sifat-sifat lapisan dasar bumi. Teknik pengolahan data geologi diharapkan memberi gambaran tentang potensi sumberdaya alam dan mampu meminimalkan kesalahan dalam penentuan lokasi. Salah satu teknik yang sering digunakan untuk membantu menganalisis dan menginterpretasikan gambaran kondisi geologi bawah permukaan adalah dengan menggunakan metode seismik.

Eksplorasi seismik terdiri atas tiga tahapan utama yaitu akuisisi, prosesing serta interpretasi data (Lang 1991). Akuisisi data terdiri atas kegiatan persiapan dan pengukuran di lapangan dengan menggunakan peralatan seismik, perekaman hingga data disimpan dalam bentuk pita magnetik. Menurut Sanny (1998) kualitas data seismik sangat ditentukan oleh kesesuaian antara parameter pengukuran lapangan yang digunakan dengan kondisi lapangan yang ada. Prosesing merupakan tahapan yang sangat berpengaruh terhadap hasil penampang seismik. Tujuan utama pemrosesan data seismik menurut van der Kruk (2001) adalah:

1. Meningkatkan rasio sinyal terhadap derau.

2. Memperoleh resolusi yang lebih tinggi dengan mengadaptasikan bentuk gelombang sinyal.

3. Mengisolasi sinyal-sinyal yang diinginkan (mengisolasi sinyal refleksi dari gelombang ganda dan gelombang-gelombang permukaan) .

4. Memperoleh gambaran yang realistik dengan koreksi geometri.

5. Memperoleh informasi-informasi mengenai bawah permukaan (kecepatan, reflektivitas, dll).

Interpretasi data seismik menurut Anderson & Atinuke (1999) adalah mentransformasikan profil seismik refleksi tumpukan menjadi suatu struktur kontinyu atau model geologi secara lateral dari bawah permukaan. Ketiga tahapan ini saling berkaitan satu sama lain. Gambar 1 menunjukan metode akuisisi seismik refleksi.

(17)

2

Metode pengolahan data seismik terdapat suatu metode migrasi yang dilakukan untuk memindahkan posisi pemantul semu (hasil rekaman) ke posisi pemantul yang sebenarnya (pemantul geologi). Metode migrasi ini mengumpulkan titik difraksi ke puncak kurva difraksi yang diakibatkan oleh sesar, kubah garam dan pembajian (Yilmaz 1987). Menurut Robinson (1981) masalah dasar dalam eksplorasi seismik adalah menemukan koordinat dari antarmuka bawah tanah dan hal ini erat kaitannya dengan memindahkan titik semu ke koordinat sebenarnya dari titik reflektor.

Liner (2010) menjelaskan bahwa migrasi adalah proses penting dan mahal yang diterapkan pada data seismik refleksi sebelum interpretasi. Migrasi adalah tahapan utama dan terakhir untuk memproses data seismik. Proses ini merupakan proses yang akan disalahkan untuk segala kesalahan yang terjadi pada penampang seismik dari resolusi rendah, maupun amplitudo yang tidak konsisten.

Pengetahuan khusus diperlukan dalam pengolahan dasar data seismik terutama tahapan migrasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi tahapan migrasi harus diterapkan dengan benar untuk mendapatkan suatu penampang seismik yang menggambarkan kondisi geologi sebenarnya dan siap untuk diinterpretasi. Penelitian ini membahas proses migrasi yang terdiri atas migrasi waktu sebelum penumpukan (prestack time migration) dan migrasi waktu sesudah penumpukan (poststack time migration). Hasil penampang dari kedua metode ini dianalisis dan dibandingkan dalam domain waktu dengan menggunakan metode migrasi penjumlahan Kirchhoff.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan menganalisis hasil dari tiap tahapan prosesing dasar data seismik terutama pada proses akhir prosesing data yaitu migrasi dengan menggunakan metode Migrasi Kirchhoff dalam domain waktu.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

(18)

3

Pengolahan data dilakukan selama 40 hari, yaitu dari tanggal 11 Februari hingga 9 Maret 2013. Lokasi pengolahan data berada di laboratorium ProMAX Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Bandung.

Alat dan Bahan

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari perangkat keras berupa komputer bersistem operasi Linux. Perangkat lunak pengolah data yang digunakan adalah ProMAX 2D Version 2003.3.3 © Landmark Graphics Corporation dan ArcGis 10. Bahan yang digunakan berupa data seismik berekstensi SEG-D yang merupakan hasil rekaman pita magnetik pada akuisisi data seismik perairan Teluk Bone lintasan TBNE 07.

Prosedur Pengolahan Data

Metode pengolahan data seismik terdiri dari tiga tahap yaitu tahap praprosesing, prosesing dan pascaprosesing. Tahap praprosesing dilakukan pengolahan demultiplexing, penugasan geometri, dekonvolusi dan penyuntingan. Tahap prosesing dilakukan analisis kecepatan, koreksi Normal Moveout (NMO) dan Dip Moveout (DMO), binning, penumpukan, migrasi waktu prapenumpukan dan migrasi waktu pascapenumpukan. Tahapan pascaprosesing merupakan tahapan analisis hasil pengolahan data yang berupa interpretasi penampang akhir. Gambar 3 menunjukan proses pengolahan data.

(19)

4

Demultiplexing

Data seismik direkam ke dalam pita magnetik dengan standar format tertentu. Pita magnetik yang digunakan biasanya adalah rekaman dengan format SEG-A, SEG-B, SEG-C, SEG-D, dan SEG-Y. Proses diawali dengan mengubah susunan data seismik yang tersimpan dalam format multipleks dalam pita magnetik lapangan. Data yang tersusun berdasarkan urutan pencuplikan disusun kembali berdasarkan penerima atau saluran (Demultiplex). Gambar 4 ditampilkan parameter pengolahan dari tahapan demultiplexing.

Pascaprosesing

Gambar 3. Diagram alir pemrosesan data.

Akuisisi Data

Data Seismik

Praprosesing

Demultiplexing

Penugasan Geometri

Penyuntingan

Dekonvolusi

Prosesing

Analisis Kecepatan

Dip Moveout + Binning

Penumpukan

Migrasi Waktu Kirchhoff Pascapenumpukan Migrasi Waktu

(20)

5

Penugasan Geometri (Geometry assignment)

Data seismik hasil akuisisi harus dikoreksi secara geometri sebelum masuk ke tahap selanjutnya. Tahapan ini berfungsi untuk mengkoreksi geometri dari lintasan sapuan agar sesuai dengan kondisi di lapangan saat pengambilan data. Penugasan geometri merupakan salah satu tahapan yang sangat penting dari pengolahan data seismik, karena berhubungan langsung dengan basis data lapangan (Hasanudin 2005).

Penugasan geometri didesain untuk membentuk basis data pada Promax dan tiap jejak diberi identitas yang dapat kita lihat pada tajuk rekaman Promax 2D (Landmark 1998). Pada Gambar 5 dapat kita lihat jendela pengolahan dari tahapan penugasan geometri. Setiap menu pada jendela pengaturan geometri laut diisi sesuai dengan data lapangan.

Penyuntingan (Editing)

Trace (rekaman seismik) tidak semuanya merupakan data yang baik karena masih ada derau dalam data tersebut. Derau dalam rekaman seismik dihilangkan dalam proses penyuntingan untuk menghasilkan data yang lebih berkualitas yang akan masuk ke tahap selanjutnya. Tahapan ini berusaha mengkoreksi amplitudo yang dianggap jelek yang ada pada setiap jejak seismik yang terekam, menghapus Gambar 4. Alur pemrosesan demultiplexing pada SEG-D Input menggunakan

Promax

(21)

6

rekaman dengan gangguan sementara, sinyal monofrekuensi, serta polaritas reversal akan dikoreksi (Yilmaz 1987).

Dekonvolusi (Deconvolution)

Dekonvolusi merupakan proses perbaikan resolusi temporal dari data seismik dengan memampatkan koncah dasar seismik. Dekonvolusi dilakukan untuk menghilangkan atau mengurangi pengaruh reverberasi, ground roll, multiple, ghost serta memperbaiki bentuk koncah yang kompleks akibat pengaruh derau. Paramater pengolahan pada tahapan dekonvolusi dapat kita lihat pada Gambar 6.

Dekonvolusi dilakukan dengan mengkonvolusi antara data seismik dan sebuah filter yang dikenal dengan Wiener Filter. Konvolusi adalah suatu proses matematika yang diperoleh keluaran dari suatu masukan pulsa gelombang ke dalam sistem LTI (linear time invariant) yang dioperasikan dengan notasi asterik (Sismanto 1996). Menurut Yilmaz (1987) Output yang dikehendaki terbagi menjadi beberapa jenis:

1. Zero lag spike (spiking deconvolution) 2. Spike pada ketertertentu

3. Bentuk waktu yang dimajukan dari deretan masukan (Dekonvolusi Prediktif)

4. Koncah pada fase nol

5. Koncah dengan bentuk tertentu (Wiener Shaping Filters)

NMO (Normal Moveout) danDMO (Dip Moveout)

Koreksi NMO berfungsi untuk menghilangkan pengaruh jarak atau offset antara sumber dengan penerima dalam satu CDP (Common Depth Point)terhadap waktu penjalaran gelombang (Victor 2010), sehingga tampilan dari sumber dan penerima yang berbeda berada pada waktu yang sama. Normal moveout merupakan dasar untuk menentukan kecepatan dari data seismik. Namun, ada beberapa masalah dengan asumsi yang digunakan dalam proses penumpukan karena adanya cekungan (proses penumpukan menganggap lapisan seismik horizontal). Akibat adanya cekungan ini koreksi NMO tidak lagi berlaku, karena itu, diperlukan koreksi tambahan, yaitu dip moveout (DMO) untuk mengatasi hal

(22)

7 ini. Secara sederhana DMO dapat diterjemahkan dengan koreksi NMO pada lapisan miring.

Analisis Kecepatan (Velocity Analysis)

Kecepatan Gelombang seismik dalam formasi bawah permukaan merupakan salah satu informasi penting yang akan digunakan untuk konversi data seismik dari domain waktu ke kedalaman. Analisis kecepatan muncul pada pemrosesan kelompok CMP (common mid point). Keluaran dari satu tipe analisis kecepatan berupa sebuah tabel dari nomor sebagai fungsi dari kecepatan. Prinsip dasar analisis kecepatan pada proses penumpukan adalah mencari persamaan hiperbolik yang tepat sehingga memberikan tumpukan yang maksimum (Befriko 2009).

Proses analisis kecepatan dilakukan dengan melakukan pemilihan titik kecepatan untuk setiap lapisan pada setiap kelompok CMP. Proses pemilihan titik ini dilakukan membentuk suatu pola hiperbolik. Kecepatan yang digunakan dalam penelitian ini merupakan kecepatan RMS (root mean square). Pada Gambar 7 ditampilkan alur dari proses analisis kecepatan.

Penumpukan (Stacking)

Penumpukan adalah proses menjumlahkan jejak seismik dalam satu CDP setelah koreksi NMO (Normal Moveout). Proses ini memberikan keuntungan untuk mengingkatkan rasio sinyal terhadap derau. Penumpukan dapat dilakukan berdasarkan common depth point (CDP), common offset atau common shot point tergantung dari tujuan penumpukan itu sendiri. Umumnya proses ini dilakukan berdasarkan CDP dimana jejak seismik yang tergabung pada satu CDP disuperposisikan dan telah dikoreksi NMO. Hasil akhir penumpukan ialah sebuah penampang seismik yang belum termigrasi atau dikenal dengan nama stacked section. Alur pemrosesan tahap penumpukan ditampilkan pada Gambar 8.

Gambar 7. Alur pemrosesan data seismik dalam pengolahan analisis kecepatan

(23)

8

Migrasi (Migration)

Proses migrasi dilakukan pada data seismik dengan tujuan untuk mengembalikan reflektor miring ke posisi aslinya serta untuk menghilangkan efek difraksi akibat sesar, kubah garam dan pembajian.

Migrasi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa kategori antara lain berdasarkan kawasan dimana migrasi bekerja, berdasarkan urutan tipe dan berdasarkan algoritma yang dipakai. Migrasi berdasarkan kawasan dimana migrasi bekerja dibedakan menjadi dua macam yaitu migrasi waktu dan migrasi kedalaman. Gambar 9 menunjukan fungsi dari tahapan migrasi. Hasil penampang seismik dari tahapan penumpukan (Gambar 9a) belum menunjukan struktur geologi sebenarnya dan penampang hasil migrasi (Gambar 9b) akan mengembalikan posisi reflektor semu ke posisi sebenarnya.

Perbedaan mendasar antara migrasi waktu dan migrasi kedalaman bukan pada domain waktu ataupun kedalaman, akan tetapi yang membedakan hanyalah model kecepatan yang digunakan (Abdullah 2007). Migrasi berdasarkan tipe dapat dibedakan menjadi migrasi sebelum penumpukan dan migrasi sesudah penumpukan.. Migrasi berdasarkan algoritma yang digunakan dapat dibagi menjadi Kirchhoff, Beda-Hingga, Bilangan Gelombang dan Frekuensi-Ruang (Yilmaz, 1987).

Penelitian ini menggunakan migrasi metode Kirchhoff yang merupakan suatu metode yang bersifat statistik dimana posisi suatu titik dibawah permukaan dapat saja berasal dari berbagai kemungkinan lokasi dengan tingkat probabilitas yang sama. Pada Gambar 10 ditampilkan parameter pengolahan dari tahapan migrasi waktu prapenumpukan (Gambar 10a) dan pascapenumpukan (Gambar 10b).

(a) (b) (c)

(24)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Praprosesing

Analisis Proses Demultiplexing

Tahapan demultiplexing menghasilkan data mentahseismik lintasan TBNE 07. Data mentah yang dihasilkan merupakan suatu rekaman seismik yang terdiri dari sinyal yang diinginkan serta sinyal yang tak diinginkan. Data mentah yang diperoleh ditampilkan sesuai dengan urutan field file identification number, yang dimulai dari FFID 100 sampai FFID 2454. Dalam satu FFID akuisisi data seismik di Perairan Bone kali ini, terdiri dari 48 saluran. Data mentah pada Gambar 11 menunjukan kumpulan jejak seismik yang terdiri atas sinyal serta derau.

(a) (b)

Gambar 10. Spesifikasi parameter Migrasi Kirchhoff pada migrasi sebelum penumpukan (a) dan migrasi setelah penumpukan (b)

Gambar 11. Tampilan data mentah pada source 1 hingga 5

Derau

(25)

10

Jejak seismik ditampilkan dalam domain amplitudo dengan panjang perekaman two way travel time (TWT) selama 8000 ms. Pada tampilan jejak seismik di atas terlihat bahwa peristiwa refleksi ditandai oleh nilai amplitudo gelombang yang besar. Pada kelompok jejak source 1 hingga 5, sinyal refleksi dimulai dengan pola kontuinitas amplitudo secara hiperbolik pada TWT sebesar 800 ms. Sinyal gelombang terlihat lebih tebal dan terhubung secara teratur. Sinyal gelombang ini merupakan sinyal yang dianggap hasil proses refleksi yang sempurna pada proses perekaman di lapangan.

Penampang yang telah di-demultiplexing memperlihatkan amplitudo yang kuat pada bagian awal dari peristiwa refleksi. Hal ini ditunjukan dengan koncah yang berwarna hitam tebal dan amplitudo yang relatif lemah terdapat pada bagian bawah dari data rekaman seismik. Perubahan amplitudo pada data seismik mencerminkan suatu bidang batas antar lapisan batuan sehingga bisa dikatakan bahwa data seismik adalah atribut dari suatu bidang batas lapisan batuan (Tabah 2010).

Gelombang seismik yang terekam pertama kali tercatat pada waktu 800 ms. Gelombang ini merupakan gelombang yang tercepat sampai ke penerima atau yang biasa disebut dengan first break. Berdasarkan jejak seismik yang telah tergambar pada tampilan data mentah, dapat diketahui dasar laut dari perairan yang direkam. Gambar 11 memperlihatkan bahwa dasar laut ditunjukan pada waktu 800 ms. Pada kedalaman setelah 3200 ms gelombang mulai mengalami atenuasi. Hal ini terjadi akibat energi gelombang telah mengalami penyerapan oleh lapisan diatasnya dan mengalami divergensi muka gelombang (Priyono 2006).

Dalam survei seismik refleksi, gelombang refleksi yang berisi sinyal data yaitu sederetan spike TWT yang berkaitan dengan reflektor di dalam bumilah yang dikehendaki sedangkan data lainnya diupayakan untuk diminimalkan. Pada kenyataannya dalam jejak seismik tersebut juga terdapat derau. Pada tampilan jejak data mentah (Gambar 12), derau pada jejak seismik terlihat sesudah serta sebelum peristiwa refleksi pada dasar perairan. Derau sebelum peristiwa refleksi terjadi merupakan gelombang langsung yang terekam oleh penerima sebelum gelombang mengalami refleksi oleh dasar laut. Derau sebelum peristiwa refleksi ini terlihat pada TWT 80 ms hingga 500 ms. Derau acak pada data mentah lintasan TBNE 07 tidak membentuk pola tertentu, tidak koheren dan umumnya akan menurunkan kualitas rekaman seismik.

(26)

11

Gambar 13 menunjukan tampilan wiggle trace seismik dalam jejak seismik komposit yang telah diperbesar, sehingga terlihat jelas bentuk koncah seismik. Terdapat dua properti penting dari sebuah koncah, yaitu polaritas dan fase. Koncah yang terbentuk termasuk koncah dengan polaritas terbalik. Pada koncah jenis ini, kenaikan impedansi akustik akan dilambangkan dengan puncak gelombang menghadap ke kanan pada jejak seismik (Konvensi SEG, Yilmaz, 2001).

Analisis Proses Penugasan Geometri

Pada tahapan geometri, parameter lapangan dimasukan ke dalam data set yang kita miliki pada lembatang sebar geometri laut 2D (Tabel 1).

Gambar 13. Bentuk koncah pada jejak seismik FFID 102 yang telah diperbesar. Sumbu y menyatakan waktu (ms), sumbu x menyatakan saluran. Gambar 12. Derau pada FFID 441 (A) derau sebelum peristiwa refleksi (B)

derau sesudah peristiwa refleksi

Channel

T

ime

s (m

s)

A

(27)

12

Tabel 1. Parameter pengolahan untuk lintasan TBNE 07 digunakan untuk menggambarkan urutan pengolahan dasar.

Parameter Nilai

Selang Penembakan 25 m

Kelompok Selang 12.5 m

Saluran terdekat 13

Saluran terjauh 48

Selang saluran 12.5 m

Offset minimum 100 m

Kedalaman sumber 4 m

Kedalaman penerima 8 m

Jarak antar CDP 6.25 m

Jumlah tembakan 2545

Azimut lintasan 270

Tahapan penugasan geometri bertujuan untuk memasukan parameter yang dilakukan atau yang didapat dilapangan dan disesuaikan dengan informasi data mentah yang kita miliki, yaitu data mentah yang telah di-demultiplexing.

Analisis Proses Penyuntingan

Proses Penyuntingan terdiri dari tiga tahapan yaitu top mute, kill trace dan band pass. Pada Gambar 14 dapat kita lihat bahwa jejak seismik pada source 141-150 berisikan informasi sinyal juga derau. Derau terdapat dalam jejak seismik pada waktu 0-500 ms, derau ini terjadi sebelum refleksi pada reflektor yaitu lapisan bumi dan berisi gelombang langsung yang hanya membawa informasi berupa efek serapan sinyal seismik dalam medium air laut yang ikut terekam. Gelombang ini akan dipotong dan tidak diikutsertakan dalam pemrosesan data selanjutnya karena tidak mengandung informasi yang kita inginkan. Top mute dilakukan dengan membuat garis pada bagian atas gelombang refleksi primer (picking line).

Gambar 14. Top mute pada source 141 hingga 150.

(28)

13 Killing trace dilakukan saat amplitudo pada jejak seismik berisi sinyal yang buruk dan dirasa tidak bisa untuk dilakukan proses penyuntingan. Gambar 15a menunjukan data rekaman seismik pada source 521. Pada jejak seismik terdapat peristiwa refleksi yang berbeda dengan jejak lainnya. Hal ini terjadi akibat kesalahan pada kompresor, sehingga data yang didapat mengandung dua kali tembakan atau lebih. Jejak ini harus dihapus dengan memilih semua jejak agar tidak merusak data seismik yang akan diolah (Gambar 15b). Gambar 15c menunjukan jejak seismik hasil dari proses kill trace dan akan masuk ke tahapan bandpass-gate.

Tahapan terakhir pada proses penyuntingan yaitu bandpass-gate. Pada Gambar 16 terlihat garis hijau yang menunjukan pemilihan sinyal pada puncak dan jugadasar dari refleksi seismik.

0

(a) (b) (c)

Gambar 15. Kill trace pada source 521 (a) pada jejak seismik source 521 terdapat multiple yang harus dihilangkan (b) dilakukan proses kill trace dengan memilih jejak yang akan dihapus (c) hasil dari proses kill trace.

Gambar 16. Proses band pass dengan melakukan pemilihan batas sinyal pada puncak dan dasar refleksi

Batas sinyal puncak

(29)

14

Pemilihan sinyal pada puncak dilakukan setelah first break, sedangkan sinyal dasar dilakukan pada batas waktu yang ditetapkan, yang bertujuan untuk meredam sinyal yang telah teratenuasi. Prinsip utama dari tahap muting yaitu memotong sebagian sinyal yang tidak kita inginkan.

Hasil dari proses penyuntingan ialah penampang dengan derau serta multiple yang telah tereduksi (Gambar 17). Proses penyuntingan tidak akan mempengaruhi hasil akhir penampang seismik karena pada saat proses penumpukan terdapat berpuluh-puluh jejak seismik yang dijumlahkan. Kehilangan satu atau dua jejak tidak akan banyak merubah hasil penumpukan.

Spektral Analisis

Analisis Spektral Interaktif menghitung dan menampilkan daya, fase dan mengestimasi FX spektrum. Gambar 18 merupakan spectral interaktif dari data seismik lintasan TBNE 07 yang terdiri atas data serta derau. Gambar 18a menunjukan interaktif spektral analisis untuk average power yang menunjukan hubungan antara frekuensi dengan dBPower. Berdasarkan Gambar 18a dapat kita lihat pada frekuensi 0.501 Hz memiliki daya sebesar – 9,43 dBPower. Pada frekuensi 242 Hz menunjukan nilai daya sebesar – 108 dBPower. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar frekuensi maka terjadi penurunan daya.

Gambar 18b merupakan interaktif spketral analisis untuk average phase yang menunjukan hubungan antara frekuensi dengan fase. Berdasarkan gambar 18b dapat kita lihat pada frekuensi maksimal yaitu 201,924 Hz memiliki fase sebesar -73,739 radian. Pada frekuensi minimum yaitu 162.838 hz memiliki fase sebesar -38.024 radian. Hal ini menunjukan bahwa semakin besar frekuensi, maka terjadi peningkatan fase.

(30)

15

Analisis Proses Dekonvolusi

Data luaran dari proses penyuntingan, masih terdapat multiple atau “ringing” yang dapat mengganggu interpretasi penampang seismik, untuk itu dilakukan proses lanjutan yaitu dekonvolusi. Dekonvolusi pada data lintasan TBNE 07 di perairan Teluk Bone dilakukan dalam 2 tipe yaitu spike serta prediktif. Masukan pada proses dekonvolusi merupakan hasil dari proses penugasan geometri dengan memasukan parameter-parameter proses penyuntingan yaitu top mute, kill trace dan bandpass-gate.

Salah satu parameter yang mempengaruhi proses dekonvolusi ialah panjang operator. Panjang operator menggambarkan panjang koncah dan menentukan berapa banyak jumlah autokorelasi yang digunakan. Perbedaan penentuan nilai pada panjang operator akan menyebabkan perbedaan efek yang dihasilkan dalam dekonvolusi. Pada proses dekonvolusi kali ini, baik prediktif maupun spiking, digunakan panjang operator sebesar 80 ms. Menurut Tonnta Energy Limited (2010) panjang operator yang besarnya kurang dari 100 ms umumnya akan menyebabkan kompresi pada koncah.

Diasumsikan bahwa rekaman seismik terdiri atas koncah dengan bentuk yang konstan, namun berisikan kekuatan yang sembarang. Dekonvolusi prediktif, berusaha untuk mendapatkan estimasi bentuk koncah konstan. Dengan memberikan input x(t) kita berusaha untuk mengetahui nilainya pada waktu tertentu. Maka dari itu pada dekonvolusi prediktif, kita memerlukan suatu nilai untuk memprediksi atau dikenal dengan operator prediction distance yang merupakan besaran panjang dalam satuan ms. Pada penelitian ini, digunakan nilai operator prediksi sebesar 35 ms.

Kestabilan dalam komputasi numerik dapat diperoleh menggunakan prewhitening yang merupakan suatu pembobotan matrix pada proses dekonvolusi dengan menambahkan sebuah konstanta pada fungsi autokorelasi, dengan rentang nilai konstanta antara 0 sampai dengan 1. Dalam dekonvolusi spiking maupun prediktif digunakan nilai prewhitening sebesar 0.1, nilai ini diterapkan dalam satuan persen (%).

Dalam alur kerja dekonvolusi, diaplikasikan juga suatu filter frekuensi untuk setiap masukan jejak. Jenis filter yang digunakan single band pass filter yaitu filter tunggal yang diaplikasikan pada semua jejak dengan menggunakan 4 nilai frekuensi 8 -12, 5-40-50 Hz. Dalam penelitiannya yang berjudul Application

(31)

16

of Spiking and Predictive Deconvolution to Short Record Length Reflection Data, Williams (2010) menjelaskan bahwa menerapkan filter sebelum dekonvolusi, memberikan hasil yang lebih baik daripada tidak menggunakan filter.

Dekonvolusi spiking dan prediktif ditampilkan lewat penampang brute stack. Penampang brutestack pada Gambar 19 dan 20 merupakan penampang sementara untuk melihat sejauh mana kualitas data seismik yang baru diperoleh dari sebuah akuisisi atau sekedar mendapatkan gambaran awal kondisi bawah permukaan. Gambar 19 menunjukan penampang brutestack dari dekonvolusi prediktif. Pada penampang dapat terlihat proses ini sudah dapat menghasilkan penampang seismik dengan baik, dimana reflektor dapat terlihat. Penampang hasil dekonvolusi spiking (Gambar 20) juga memperlihatkan hasil yang sama.

Hasil kedua penampang dekonvolusi terdapat efek bowtie (kotak merah) yang dapat kita lihat dalam kotak merah. Efek ini dihasilkan oleh bentuk dasar geologi berupa cekungan, akibat dari gelombang seismik yang terdifraksi. Gambar brutestack untuk spiking dan prediktif (gambar 19 dan 20) didapat peristiwa berupa patahan (kotak kuning) yang terdapat pada TWT 2500 ms hingga 6000 ms, namun karena brutestack ini merupakan penampang yang masih bersifat sementara, maka belum dapat kita pastikan apakah peristiwa ini ialah benar suatu

Gambar 19. Penampang brutestack untuk dekonvolusi prediktif

Gambar 20. Penampang brutestack untuk dekonvolusi spiking Keterangan :

(32)

17 kondisi geologi sesar atau akibat pencitraan yang belum baik. Untuk itu diperlukan pengolahan lebih lanjut untuk mengetahui fenomena ini.

Penampang seismik yang diperoleh dari kedua proses dekonvolusi diatas mulai menunjukan struktur geologi yang baik, namun hasil menunjukan bahwa dekonvolusi prediktif lebih baik dibanding spiking. Penampang seismik pada dekonvolusi prediktif menunjukan kekontinuitasan lapisan yang lebih jelas dibanding pada dekonvolusi spiking (kotak hitam), selain itu dekonvolusi prediktif lebih unggul dalam mengatasi derau yang terdapat dalam data dibanding dekonvolusi spiking.

Penelitian Bestari (2012) menunjukan tampilan wiggle trace dari luaran dekonvolusi prediktif memberikan hasil yang lebih bersih dibanding luaran dekonvolusi spiking. Hal ini terjadi karenaproses dekonvolusi prediktif mencoba untuk memperkirakan dan kemudian menghapus bagian-bagian yang dapat diprediksi dari jejak seismik. Penggunaan jenis dekonvolusi pada pengolahan data seismik, disesuaikan dengan tujuan pengolahan data. Penerapan dekonvolusi untuk mengatasi multiple periode pendek jenis prediktif lebih baik dibandingkan dengan spiking, namun untuk meningkatkan resolusi, jenis spiking lebih baik dibandingkan prediktif. Maka dari itu pada proses selanjutnya yaitu analisis kecepatan digunakan data hasil dari proses dekonvolusi prediktif.

Prosesing

Analisis Proses Analisis Kecapatan

Analisis kecepatan merupakan bagian paling penting dan sensitif dari pengolahan data seismik. Untuk menerapkan koreksi NMO dan migrasi Kirchhoff dibutuhkan tabel kecepatan yang kita dapat dari analisis kecepatan (Tabel 2).

Tabel 2. Nilai kecepatan pada proses pemilihan kecepatan pada CDP 123,

(33)

18

dianggap berlapis-lapis dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan kecepatan yang berbeda. Kecepatan akan meningkat dengan bertambahnya kedalaman ditimbulkan juga karena adanya efek kompaksi dan diagenesa, sedangkan frekuensi akan berkurang akibat atenuasi. Oleh karena itu dengan bertambahnya kedalaman, resolusi vertikal dan horizontal akan berkurang, sedangkan efek interferensi akan semakin besar.

Analisis kecepatan pada penelitian ini menggunakan metode pemilihan kecepatan. Data seismik yang diolah dalam proses ini ialah data-data seismik yang tergabung dalam kelompok CDP. Satu kumpulan CDP berisi informasi waktu tempuh gelombang seismik yang dipantulkan oleh satu titik pantul yang sama. Dapat terlihat pada Gambar 21, titik dipilih pada amplitudo terkuat yang ditandai dengan warna merah pada semblance panel. Dari hasil pemilihan titik kecepatan akan terbentuk kurva yang membentuk suatu pola hiperbolik (Garis merah dan putih). Keakuratan model kecepatan root mean square yang dihasilkan dari proses ini akan sangat mempengaruhi hasil penumpukan dari migrasi.

Pada picking panel Gambar 21a dapat terihat bahwa semakin dalam, maka bentuk koncah seismik akan semakin tipis dan cenderung mendekati bentuk garis lurus. Hal ini merupakan indikasi dari pengurangan energi serta bukti bahwa semakin dalam, maka sedimen pembentuk muka bumi semakin kompak dan keras sehingga sulit untuk ditembus oleh gelombang seismik yang merupakan gelombang elastis yang memiliki batas kemampuan penetrasi gelombang. Gambar 21b menunjukan volume viewer yang menggambarkan profil kecepatan dari data seismik dan digunakan sebagai kontrol kualitas hasil dari analisis kecepatan

Tahapan pemilihan kecepatan ini, memerlukan ketelitian yang tinggi karena akan sangat mempengaruhi proses pengolahan selanjutnya (NMO, migrasi). Pada tahapan ini dipilih titik-titik yang tepat dianggap sebagai reflektor yang memiliki kecepatan yang tinggi. Titik-titik reflektor ini dapat menjadi acuan untuk membedakan antara suatu sedimen dengan sedimen yang lain. Kesulitan pada tahapan ini yaitu tidak jarang terdapat multiple yang bentuknya menyerupai reflektor. Setelah mendapat tabel kecepatan dari proses analisis kecepatan, data seismik kemudian masuk dalam tahapan dip moveout dan binning.

(a) (b)

(34)

19

Analisis Proses Penumpukan

Seismik refleksi umumnya lemah, dan harus mengalami penguatan dengan menggunakan prosedur penjumlahan sinyal atau penumpukan. Dalam proses ini jejak seismik yang telah diolah dijumlahkan dalam satu CDP, tujuannya untuk mempertinggi rasio sinyal terjadap derau. Sebelum memasuki tahap penumpukan masing-masing kelompok CDP dikoreksi dari efek perbedaan jarak offset yang disebut normal moveout (NMO). Koreksi NMO membutuhkan suatu model kecepatan yang kita dapat dari proses analisis kecepatan.

Hasil penampang proses penumpukan (stacked section) pada Gambar 22 memperlihatkan kondisi geologi dari daerah penelitian. Jika dibandingkan dengan brutestack (Gambar 19 dan 20) penampang hasil proses penumpukan menunjukan kualitas lebih baik dari segi kekontinuitasan lapisan, namun proses ini belum efektif dalam menekan multiple dan difraksi. Terlihat dalam penampang masih terdapat efek bowtie (kotak merah), karena sinyal belum berada pada posisi sebenarnya. Pada penampang ini juga masih terdapat peristiwa patahan (kotak kuning) yang terdapat pada penampang brutestack.

Analisis Proses Migrasi

Ada banyak alasan kenapa aplikasi migrasi pada data seismik digunakan. Dua hal yang cukup penting berhubungan dengan permasalahan pencitraan dan posisi(Triarto 2010).Dalam penelitian ini dilakukan migrasi dalam domain waktu yang dilakukan sebelum dan sesudah tahapan penumpukan. Pascapenumpukan mengacu pada migrasi dari suatu data yang telah ditumpuk, satu jejak per bin untuk data seismik. Proses ini jauh lebih murah daripada migrasi prapenumpukan, tetapi juga kurang akurat terutama di daerah yang memiliki pola struktural yang kompleks (Liner 2010).

Prapenumpukan mengacu pada migrasi data seismik sebelum ditumpuk yang berisi banyak jejak per bin. Setiap blip amplitudo pada setiap jejak prapenumpukan diproses, memerlukan upaya komputasi yang sangat besar. Hal

Gambar 22. Penampang stacked section. Keterangan :

(35)

20

ini jauh lebih mahal daripada migrasi pascapenumpukan. Masukan data pada migrasi prapenumpukan berbeda dengan masukan data pada migrasi pascapenumpukan.

Proses migrasi waktu prapenumpukan dan pascapenumpukan kali ini menggunakan metode penjumlahan Kirchhoff. Metode Kirchhoff sangat umum dan populer digunakan dalam pengolahan data seismik. Dalam penerapan Migrasi Kirchhoff, ada beberapa parameter yang sangat berpengaruh dalam penentuan keberhasilan tahapan pengolahan ini diantaranya model kecepatan yang digunakan, lebar tingkap, kemiringam maksimum yang akan dimigrasi dan frekuensi maksimum yang digunakan dalam migrasi. Atribut seismik seperti amplitudo, frekuensi dan kontinuitas sangat sensitif terhadap parameter tersebut,

untuk itu nilai optimum harus diterapkan pada setiap parameter (Gazar 2011). Model kecepatan pada migrasi Kirchhoff menggunakan model kecepatan

yang diperoleh dari salah satu tahap pengolahan data seismik yaitu analisis kecepatan. Kecepatan yang didapat dari proses ini sangat mempengaruhi hasil dari migrasi. Jika model kecepatan yang digunakan untuk migrasi terlalu besar atau terlalu kecil, maka data yang seharusnya berupa titik akan berubah menjadi seperti setengah lingkaran overmigrated atau undermigrated, jika hal ini terjadi akan berpengaruh pada hasil penampang seismik sehingga penampang tidak merepresentasikan keadaan geologi bawah laut yang sebenarnya.

Frekuensi yang digunakan dalam migrasi ini yaitu sebesar 80 Hz, nilai frekuensi ini menyatakan frekuensi maksimum yang digunakan dalam data. Frekuensi dengan nilai diatas batas yang telah ditentukan pada parameter ini, tidak ikut termigrasi. Besar dari frekuensi data seismik bergantung dari kedalaman suatu peristiwa seismik. Semakin dalam suatu peristiwa seismik maka nilai frekuensinya semakin kecil. Frekuensi yang digunakan dalam metode eksplorasi seismik di darat akan berbeda dengan frekuensi ekplorasi seismik dilaut.

Salah satu parameter penting dalam implementasi dari Migrasi Kirchhoff yaitu lebar tingkap (Swisi 2009). Lebar tingkap migrasi yang digunakan yaitu sebesar 5000 m, nilai ini menyatakan jarak horisontal maksimum dimana energi dapat bergerak dalam migrasi. Jarak ini menentukan lebar dari waktu tempuh di sebelah kiri dan kanan dari permukaan yang diberikan. Dalam menentukan nilai tingkap, kita harus memilih nilai tingkap optimum untuk dipakai didalam migrasi pada suatu data hasil penumpukan. Alaei (2005) dalam penelitiannya mendapatkan bahwa menerapkan lebar tingkap lebih dari 5000 m akan menghasilkan pencitraan yang lebih baik pada struktur geologi curam dan terjal.

Proses migrasi waktu pascapenumpukan kali ini menggunakan kemiringan maksimum sebesar 180. Nilai ini sangat berkaitan dengan kemiringan reflektor yang kita miliki dalam hasil rekaman seismik. Nilai kemiringan akan melengkapi penentuan nilai lebar tingkap. Dengan membatasi nilai kemiringan kita akan turut membatasi derau yang akan ikut dimigrasi dan mengurangi waktu dari proses Migrasi Kirchhoff.

(36)

21 bowtie telah hilang karena dalam migrasi, sinyal-sinyal seismik telah dipindahkan ke posisi sebenarnya.

Gambar 24 dan 25 menunjukan penampang hasil dari proses migrasi waktu prapenumpukan serta pascapenumpukan. Kedua penampang seismik sama-sama menunjukan reflektivitas penampang dengan penetrasi gelombang mencapai 7500 ms, dimana dari reflektivitas ini dapat menunjukan stratigrafi lapisan bumi pada data seismik lintasan TBNE 07. Penampang hasil migrasi baik prapenumpukan maupun pascapenumpukan semakin menajamkan posisi reflektor. Menurut Nusantara (2005) hal ini terjadi karena efek difraksi gelombang dan pengaruh pemantulan oleh lapisan miring telah dihilangkan, sehingga reflektor tersebut berada pada posisi yang sebenarnya.

Dari penampang hasil migrasi, dapat terlihat peristiwa patahan yang tercitra pada hasil penampang penumpukan dan brutestack ternyata tidak tercitra. Hal ini menandakan bahwa peristiwa ini tercitra akibat pengolahan data seismik yang belum maksimal. Pada kedalaman antara 3000 sampai dengan 5000 ms pada penampang penumpukan, reflektor kelihatan seolah-olah terputus tetapi pada penampang termigrasi reflektor tersebut tampak kontinyu. Secara keseluruhan kualitas penampang seismik hasil migrasi lebih baik dibandingkan dengan penampang hasil dari proses penumpukan dan dapat kita simpulkan bahwa penampang penumpukan dan brutestack belum dapat kita gunakan sebagai penampang yang siap untuk di interpretasikan.

Kualitas penampang yang dihasilkan oleh migrasi waktu prapenumpukan (Gambar 24) lebih baik dibanding penampang hasil dari proses pascapenumpukan (Gambar 25). Pada migrasi waktu prapenumpukan pola reflektifitas dari gelombang seismik ditampilkan dengan jelas, sehingga pola lapisan bawah laut tergambarkan dengan baik. Hal ini dapat dilihat dengan pola kekontiunitasan lapisan pada penampang prapenumpukan (kotak hitam). Pada penampang migrasi seismik pascapenumpukan, pola reflektifitas ini ditampilkan kurang begitu jelas (tidak kontinyu) dibandingkan dengan penampang seismik prapenumpukan. Triarto (2010) menjelaskan ketidakmenerusan reflektor pada data penumpukan dalam domain waktu disebabkan gagalnya pengorientasian pada pencitraan

(a) (b)

Gambar 23. Perbandingan penampang hasil proses penumpukan. Sebelum dimigrasi (a) dan setelah dimigrasi waktu Kirchhoff (b) pada kedalaman 6000 ms -7000 ms lintasan TBNE 07.

Keterangan :

(37)

22

Gambar 24. Penampang seismik hasil proses migrasi waktu prapenumpukan.

Gambar 25. Penampang seismik hasil proses migrasi waktu pascapenumpukan. migrasi waktu, hal ini menyebabkan citra data seismik pada daerah-daerah tertentu (daerah sesar misalnya) menjadi tidak tegas.

Penampang prapenumpukan menunjukan kualitas yang lebih baik dibanding pascapenumpukan karena mempunyai data yang lebih banyak untuk diolah. Data pada pascapenumpukan terdiri atas data yang telah ditumpuk menjadi data offset nol. Jejak yang berasal dari midpoint yang sama, dikumpulkan dalam satu kelompok CMP. Data pada prapenumpukan terdiri atas data offset dekatdan offset jauh yang belum ditumpuk sehingga jejak yang diolah lebih banyak dibanding pascapenumpukan. Perz (1995) dalam penelitiannya juga mendapatkan hasil yang serupa. Perz (1995) menjelaskan bahwa prapenumpukan dan pascapenumpukan memperlihatkan peningkatan karakteristik rasio sinyal terhadap derau yang sama, namun algoritma dari prapenumpukan menunjukan kerja yang lebih baik dalam mengatasi hambur balik dari midpoint.

Keterangan :

(38)

23

Pascaprosesing

Analisis Hasil Pengolahan Data

Pengolahan data seismik tahap demultiplexing hingga migrasi menghasilkan penampang seismik Perairan Bone Lintasan TBNE 07. Lintasan TBNE 07 ini merupakan lintasan yang berarah dari timur ke barat sepanjang 63,850 km. Penampang seismik pada gambar 26 merupakan penampang seismik dua dimensi, dimana penampang kearah lateral menggambarkan posisi atau jarak, sedangkan kearah bawah menggambarkan waktu atau kedalaman. Berdasarkan penampang yang dihasilkan, dapat kita lihat morfologi laut berupa tebing dengan lereng yang menurun kearah barat

Penampang seismik (Gambar 26) menunjukan beberapa reflektor yang merefleksikan gelombang seismik. Horison pertama yang berwarna merah merupakan dasar perairan yang memberikan pantulan pertama kali. Horison ini ditarik berdasarkan adanya kemenerusan suatu reflektor yang cukup menerus dan mempunyai frekuensi yang tinggi. Horison kedua berwarna kuning merupakan lapisan kedua (reflektor 1), dimana gelombang seismik yang berhasil melalui dasar perairan, dipantulkan oleh lapisan ini lalu diikuti oleh horison hijau (reflektor 2) dan hitam (reflektor 3). Pada kedalaman TWT 6000 ms sudah tidak terlihat lagi reflektor sehingga ditafsirkan daerah ini disusun atas batuan yang padat dan keras.

Berdasarkan penarikan horison reflektor ini dapat kita tentukan sekuen pengendapan. Sekuen pengendapan A merupakan sedimen tertua yang memiliki ketebalan sekitar 0,5 s atau 750 m. Sekuen pengendapan selanjutnya yaitu sekuen B dan diatas sekuen B terendapkan sekuen C yang cukup tebal yaitu sekitar 0,8 s atau 10100 m. Sekuen terakhir yang terdapat diatas sekuen C yaitu sekuen D merupakan sekuen termuda dimana sedimen endapan terbentuk.

Setiap sekuen pengendapan memiliki perbedaan, diantaranya material penyusun sedimen, densitas dan porositas. Hasil analisis kecepatan menunjukan dengan adanya pertambahan kedalaman yang diiringi dengan pertambahan kecepatan. Hal ini mengindikasikan bahwa impedansi akustik lapisan kedua lebih besar dibanding impedansi akustik lapisan pertama. Impedansi dipengaruhi oleh densitas dari material penyusun lapisan. Refleksi gelombang seismik akan timbul setiap terjadi perubahan harga impedansi akustik, namun apakah perubahan tersebut cukup signifikan untuk dapat menghasilkan refleksi gelombang seismik akan tergantung sensitifitas alat perekam dan pemrosesan data.

(39)
(40)

25

Garis hitam miring yang terdapat pada penampang seismik, menunjukan bidang patahan berupa sesar normal. Sesar normal merupakan sesar yang pergeseran dominannya ke arah dip dan bagian hanging wall bergerak relatif turun dibandingkan dengan footwall. Gambar 27 menunjukan penampang seismik pada TWT 4000-7500 ms. Dari penampang diatas dapat terlihat terdapat daerah terang pada TWT 5000-6500 ms, lalu semakin dalam lapisan terlihat tebal pada kedalaman TWT 6500-7500 ms. Kejadian dapat terjadi pada zona kecepatan rendah. Zona ini terbentuk akibat permasalahan litologi yang menyebabkan kecepatan turun.

Terminasi yang diungkapkan oleh urutan strata pengendapan dapat kita gunakan untuk membedakan lokasi pengendapan/deposisi dari suatu sistem saluran dan/atau dari suatu sekuen geometri (Sukmono 1999). Pemetaan dari terminasi refleksi merupakan salah satu indikator dalam analisis fasies seismik. Terdapat dua jenis batas benda geologi yaitu batas atas dan batas bawah, selanjutnya istilah batas benda geologi tersebut dikenal dengan batas sekuen seismik.

Pada Gambar 28 bisa kita lihat horison hitam (reflektor 3) merupakan batas sekuen penampang yang ditarik berdasarkan adanya kemenerusan suatu reflektor yang cukup menerus. Batas sekuen ini kemungkinan merupakan bidang batas sekuen yang dicirikan oleh adanya bidang-bidang downlap. Pada bidang batas ini, jenis konfigurasi pantulan seismik dalam analisis stratigrafi seismik memiliki tekstur terdegradasi berjenis hummocky clinoforms. Paket sekuen penampang seismik diatas dicirikan oleh suatu bentuk konfigurasi eksternal wedge. Jenis konfigurasi internal pada sepanjang sekuen seismik didominasi subparalel.

Gambar 27. Penampang seismik pada TWT 3000-7500 ms Keterangan :

(41)

26

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Tahapan migrasi baik migrasi waktu prapenumpukan maupun pascapenumpukan semakin menanjamkan posisi reflektor, dimana efek difraksi gelombang dan pengaruh pemantulan oleh lapisan miring telah dihilangkan, sehingga reflektor tersebut berada pada posisi yang sebenarnya. 2. Migrasi waktu prapenumpukan menghasilkan penampang dengan kualitas

lebih baik dibanding pascapenumpukan.

3. Daerah penelitian pada lintasan TBNE 07 Perairan Teluk Bone terdapat fenomena sesar normal, dimana bidang batas sekuen yang dicirikan oleh adanya bidang-bidang downlap serta memiliki tekstur terdegradasi hummocky clinoforms.

Saran

Meningkatkan kualitas pengolahan terutama pada daerah dengan struktur geologi kompleks ada baiknya dilakukan pengolahan migrasi waktu 3D prapenumpukan. Hasilnya dapat kita bandingkan dengan penampang migrasi waktu 2D prapenumpukan, selain itu juga harus dilakukan pengolahan migrasi dalam domain kedalaman agar kita juga dapat membandingkannya dengan migrasi dalam domain waktu.

Harus dilakukan variasi nilai dari parameter kemiringan maksimum yang akan dimigrasi, frekuensi serta lebar tingkap agar kita dapat lebih mengerti efek dari ketiga parameter migrasi ini terhadap hasil penampang seismik.

Gambar 28. Penampang seismik lintasan TBNE 07 yang menunjukan interpretasi seismik stratigrafi di daerah penelitian.

(42)

27

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah A. 2007. Ensiklopedia Seismik Online. http://ensiklopediseismik. Blogspot.com [Diunduh : 15 Februari 2013]

Alaei B. 2005. Seismic Forward Modelling Of Two Fault-Related Folds From The Dezful Embayment Of The Iranian Zagros Mountains. Journal Of Seismic Exploration 14:13-30.

Anderson N, A Atinuke. 1999. Over-View Of The Shallow Seismic Reflection Technique. University Of Missouri-Rolla. Missouri (USA).

Befriko M. 2009. Workshop Pengolahan Data Seismik Menggunakan SU, Volume 3: Interpolasi Kecepatan – Poststack/Prestack Time Migration. Universitas Indonesia. Jakarta (ID).

Bestari S A. 2011. Penerapan Metode Dekonvolusi Pada Data Seismik Laut [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bidhendi N, Ghavami, M Moradi. 2004. A Comparison Of Post-And Pre-Stack Time Migrations. Journal Earth & Space Physics Institute of Geophysics 30:9-18.

Gazar H, A Javaherian, H Sabeti. 2011. Analysis of Effective Parameters for Semblance-Based Coherency Attributes to Detect Micro-Faults and Fractures. Journal Of Seismic Exploration 20:23-44.

Hasanudin M. 2005. Teknologi Seismik Refleksi Untuk Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi. Jurnal Oseana XXX(4):1-10.

Hubral P, Krey T. 1980. Interval Velocities from Seismic Reflection Time Measurements. Society of Exploration Geophysicists. Tulsa (US).

LANDMARK. 1998. ProMAX 2D Seismic Processing and Analysis. Landmark Graphics Corporation. Houston (USA).

Lang P. 1991. Seismic Data Acquisition: A Simplified Overview of Theory and Technology. New York (USA).

Liner C. 2010 September. Whats New In Exploration. World Oil. Gulf Publishing Company. Texas (USA).

Nusantara E, H Danusaputro, N Asmoro. 2005. Aplikasi Migrasi Metode Beda Hingga pada Pengolahan Data Seismik untuk Menggambarkan Penampang Bawah Permukaan yang Sebenarnya. Jurnal Berkala Fisika 8(2):61-68. Priyono A. 2006. Metode Seismik I. Institut Teknologi Bandung. Bandung (ID). Perz M, Cary P. 1995. 3-D Prestack Time Migration of Canadian Plains Data:

When and Why It is Needed. Pulsonic Geophysical Ltd. Canada (CAN). Robinson E A. 1981. Time series analysis of geophysical inverse scattering

problems In: D. Findley (Editor) Applied time series analysis, 2. Academic press. New York (US).

Sanny T A. 1998. Seismologi Refleksi. Institut Teknologi Bandung. Bandung (ID).

Sismanto. 1996. Pengolahan Data Seismik. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta (ID).

(43)

28

Sulistiana N. 2011. Reprocessing Data Seismik Untuk Meningkatkan Kualitas Penampang Stack Pada Daerah Natuna Timur. [Skripsi]. Semarang (ID): Universitas Diponegoro.

Swisi dan Abdulsalam. 2009. Post- and Pre-stack attribute analysis and inversion of Blackfoot 3D seismic dataset. Department of Geological Sciences, University of Saskatchewan. Saskatoon (CAN).

Tabah F.R, D Hernowo. 2010. Inversi Model Based untuk Gambaran Litologi Bawah Permukaan. Journal Sains & Matematika (JSM) 18(3):88-93

Triarto Y, H Danusaputro, U Harmoko. 2010. Analisis Velocity Model Building Pada Pre Stack Depth Migration Untuk Penggambaran Struktur Bawah Permuk n D er ”X”. Jurnal Berkala Fisika 13(1):27-32.

van der Kruk. 2001. Reflection Seismik I. Institut fur Geophysik ETH. Zurich (CH).

Victor. 2010. Seismic Method IV. http://www.scribd.com/doc/118090863/Bab-1 [Diunduh : 15 May 2013]

Williams A, K King. 2010. Application of Spiking and Predictive Deconvolution to Short Record Length Reflection Data. Department Of The Interior U.S. Geological Survey. Colorado (US).

Yilmaz O. 1987. Seismic Data Processing. Society of Exploration Geophysic. Tulsa (US).

(44)

29

RIWAYAT HIDUP

Selama menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor, Penulis pernah menjadi Koordinator Komisi Kesenian, Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB periode 2011, pengurus Kelompok Pra-Alumni PMK IPB 2013 bidang publikasi dan anggota Badan Penelitian dan Pengembangan (BALITBANG) PMK IPB 2013. Penulis pernah menjadi anggota Himpunan Mahasiswa Ilmu dan Teknologi Kelautan (HIMITEKA) divisi Kewirausahaan selama 2 periode (2010-2011, 2011-2012). Penulis juga menjadi asisten mata kuliah Biologi Laut tahun ajaran 2011/2012.

Dalam rangka penyelesaian studi di Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, penulis melaksanakan penelitian den n judul “Penerapan Metode Prestack dan Poststack Time Migration Untuk Meningkatkan Kualitas Data Seismik Laut”.

Gambar

Gambar 2. Peta Akuisisi data di perairan Teluk Bone, Sulawesi Indonesia.
Gambar 4. Alur pemrosesan
Gambar 9. (a) Tumpukan   dimigrasi, (c) Sketsa dari difraksi   Common mid point (CMP), (b) CMP setelah prominent dan peristiwa dipping sebelum (B) dan setelah (A) penampang dimigrasi (Sumber: Yilmaz, 1987)
Gambar 11. Tampilan data mentah pada source 1 hingga 5
+7

Referensi

Dokumen terkait

PENGARUH BANDWIDTH FREKUENSI TERHADAP KUALITAS PENAMPANG SEISMIK PADA DATA SEISMIK REFLEKSI 2D DI PERAIRAN WETAR MALUKU. Universitas Pendidikan Indonesia | repository.upi.edu

Hasil penelitian ini dapat membantu penulis serta pembaca untuk memahami analisis penampang bawah permukaan laut, baik dengan menggunakan metode seismik dan

4.14 Lintasan Penampang seismik Z berarah Utara Selatan dengan melakukan flattening topFormasi Gumai menunjukkan arah Migrasi yang bergerak dari daerah rendahan di Barat Laut

Melalui perbedaan dari penampang seismik yang dihasilkan Gambar 8 dan 9 menunjukan bahwa semakin tinggi nilai Automatic Gain Control yang digunakan saat pengolahan data

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan hasil penampang refleksi seismik dengan penerapan dekonvolusi prediktif dan dekonvolusi spiking serta menentukan

Hasil yang didapatkan menunjukan migrasi berhasil dilaksanakan, fungsi dari migrasi terlihat dengan baik yakni untuk melihat penampang seismik mirip dengan kondisi geologi

Hasil yang didapatkan menunjukan migrasi berhasil dilaksanakan, fungsi dari migrasi terlihat dengan baik yakni untuk melihat penampang seismik mirip dengan kondisi geologi

Manfaat yang diperoleh dari penelitian ini adalah memperbaiki image reflektor pada data seismik hasil reprocessing, sehingga hasil penampang stacknya lebih bagus dari