• Tidak ada hasil yang ditemukan

5 HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Bali merupakan salah satu provinsi di Indonesia dengan Ibukota Denpasar. Letaknya di antara Pulau Jawa dan Pulau Lombok. Secara keseluruhan Bali memiliki luas wilayah 5 636.66 km2 atau sebesar 0.29 persen dari luas seluruh kepulaun Indonesia (BPS Provinsi Bali, 2015). Bali memiliki empat pulau kecil, yakni Pulau Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, dan Menjangan.

Secara astronomis, Bali terletak Bali terletak di 08°0340 - 08°50 48

Lintang Selatan dan 114°25 53 - 115°42 40 Bujur Timur yang membuatnya beriklim tropis. Batas wilayah Provinsi Bali adalah sebagai berikut:

Sebelah Utara : Laut Bali

Sebelah Selatan : Samudera Hindia Sebelah Barat : Selat Bali

Sebelah Timur : Selat Lombok

Provinsi Bali terdiri dari delapan Kabupaten dan satu Kota Madya, yakni Jembrana, Tabanan, Badung, Gianyar, Bangli, Buleleng, Klungkung, Karangasem, dan Denpasar. Kabupaten Buleleng memiliki luas wilayah terbesar 1 365,88 km2 (24.23 persen), Jembrana 841.80 km2 (14.93 persen), Karangasem 839,54 km2 (14,89 persen), Tabanan 839.33 km2 (14.89%), Bangli 520.81 km2 (9.23%), Badung 418.52 km2 (7.42 persen), Gianyar 368.00 km2 (6.52 persen), Klungkung 315.00 km2 (5.58 persen) dan Kota Denpasar 127.78 km2 (2.26 persen) (BPS Provinsi Bali, 2015).

Tabel 5 Produksi tanaman pangan di Provinsi Bali menurut kabupaten tahun 2013

Kabupaten/ Kota

Produksi tanaman pangan (ton) Padi Jagung Ubi

kayu Ubi Jalar Kacang tanah Kedelai Kacang hijau Jembrana 56 494 277 45 13 242 1 702 94 Tabanan 233 681 3 020 1 408 374 6 733 2 Badung 112 705 322 5 761 11 283 648 1 95 12 Gianyar 184 592 853 4 782 5 694 405 523 52 Klungkung 29 401 8 098 16 369 2 157 1 984 2 150 37 Bangli 27 317 5 419 13 326 19 077 1 281 15 0 Karangasem 74 687 22 298 100 184 21 826 4 752 39 647 Buleleng 135 905 17 287 15 076 287 1 704 36 343 Denpasar 26 200 0 0 0 0 327 0 Total 880 982 57 573 156 953 60 172 11 023 7 433 1 186 Sumber: BPS (2015)

Jumlah penduduk Provinsi Bali adalah 4 152 800 jiwa dengan rasio jenis kelamin sebesar 101.42 persen (BPS, 2015). Sebagian besar penduduk bekerja di sektor perdagangan, hotel, dan restoran (27.64 persen), kemudian sebesar 24.00 persen bekerja di sektor pertanian (pertanian, perkebunan, kehutanan, dan perikanan), 16.86 persen di sektor jasa kemasyarakatan, 14.09 persen di sektor industri pengolahan, dan sisanya bekerja pada sektor lain. Jumlah penduduk

18

miskin di Provinsi Bali tahun 2013 adalah 182 800 jiwa (4.49 persen), meningkat dari tahun sebelumnya yang hanya berjumlah 158 900 jiwa.

Potensi pertanian secara luas di Provinsi Bali meliputi tanaman pangan, perkebunan, peternakan dan perikanan. Produksi tanaman padi 880 982 ton, dengan luas panen tanaman padi mencapai 149 832 hektar dan produktivitas 5.88 ton per hektar. Selain padi, palawija seperti jagung, ubi kayu, ubi jalar, kacang tanah, kedelai, dan kacang hijau juga di produksi. Kabupaten Karangasem menjadi penghasil terbanyak untuk jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan kacang tanah. Daerah penghasil kedelai terbanyak terdapat di kabupaten Klungkung dan Jembrana, sedangkan untuk kacang hijau terbanyak dihasilkan kabupaten Buleleng (BPS, 2015). Produksi tanaman pangan di Provinsi Bali tahun 2013 disajikan pada Tabel 5.

Tabel 6 Produksi tanaman perkebunan di Provinsi Bali menurut kabupaten tahun 2013

Kabupaten/ Kota

Produksi tanaman perkebunan (ton)

Kelapa Panili Cengkeh Kopi Tembakau Kakao Jembrana 19 292.28 2.26 1 200.65 263.34 12 2 928.83 Tabanan 15 931.43 1.36 650.90 5 937.45 0 1 750.05 Badung 1 976.94 1.93 32.50 683.14 0 226.09 Gianyar 3 858.99 2.26 48.77 231.43 391 180.81 Klungkung 2 853.63 0 123.00 37.71 0 41.66 Bangli 2 614.76 0 34.78 2 662.85 11 144.58 Karangasem 15 071.11 1.15 220.05 436.68 4 204.14 Buleleng 7 335.23 0.62 3 850.50 7 063.00 555 755.18 Denpasar 48.42 0 0 0 0 0 Total 68 982.79 9.57 6 161.14 17 315.60 973 6 231.34 Sumber: BPS (2015)

Potensi tanaman perkebunan di Provinsi Bali adalah kelapa, kopi, cengkeh, panili, tembakau, dan kakao. Kabupaten Jembrana, Tabanan, dan Karangasem menjadi kabupaten penghasil kelapa terbanyak, yaitu 50 294.82 ton (72.90 persen). Penghasil kopi terbanyak adalah Kabupaten Tabanan, Bangli, dan Buleleng, yaitu sebesar 15 663.40 ton (90.45 persen). Kabupaten Jembrana dan Buleleng menjadi kabupaten penghasil cengkeh, yaitu sebanyak 5 051.15 ton (81.98 persen). Produksi panili dan tembakau di Provinsi Bali masing-masing adalah 9.57 ton dan 973 ton. Produksi kakao terbesar adalah Kabupaten Jembrana dan Tabanan, sebesar 4 478.88 ton (75.08 persen). Produksi tanaman perkebunan di Provinsi Bali dapat dilihat pada Tabel 6.

Jenis ternak yang banyak dikembangkan di Provinsi Bali adalah sapi, kerbau, kambing, dan babi. Menurut Sensus Pertanian (ST) 2013 populasi ternak sapi adalah 474 611 ekor dengan populasi terbanyak berada di kabupaten Karangasem dan Buleleng (42.45 persen). Jumlah populasi kambing adalah 45 463 ekor dan babi 725 219 ekor dengan populasi terbanyak juga berada di kabupaten Karangasem dan Buleleng (Tabel 7). Jenis unggas yang paling banyak populasinya adalah ayam ras petelur dan pedaging dengan masing-masing populasi 3 678 620 ekor dan 35 927 520 ekor. Populasi ayam ras terbanyak baik petelur maupun pedaging berada di Kabupaten Tabanan dan Bangli.

19

Tabel 7 Populasi ternak dan unggas Provinsi Bali menurut kabupaten tahun 2013

Kabupaten/ Kota

Jenis ternak

Sapi Kerbau Kambing Babi Ayam ras petelur Ayam ras pedaging Jembrana 35 152 1 003 4 995 43 310 42 468 3 144 757 Tabanan 47 651 439 3 593 124 550 1 630 711 14 436 553 Badung 36 216 6 397 63 499 86 837 2 654 850 Gianyar 40 302 6 183 73 835 46 725 2 848 335 Klungkung 33 953 16 331 27 924 1 720 3 658 600 Bangli 73 813 1 849 58 696 1 287 443 5 978 525 Karangasem 109 099 83 10 861 178 022 547 990 1 743 070 Buleleng 92 391 180 23 923 142 256 28 508 1 328 280 Denpasar 6 034 1 329 13 127 6 218 134 550 Total 474 611 1 735 45 461 725 219 3 678 620 35 927 520 Sumber: BPS (2015)

Potensi perikanan di Provinsi Bali termasuk baik. Produksi ikan di Provinsi Bali tahun 2013 sebesar 263 971.0 ton, dengan produksi perikanan laut sebesar 248 433.2 ton dan perikanan darat sebesar 15 527.8 ton (BPS, 2015). Produksi perikanan laut tertinggi berada di Kabupaten Klungkung yaitu sebesar 102 959.9 ton (41.44 persen). Produksi perikanan darat tertinggi berada di Kabupaten Bangli yaitu sebesar 6 148.5 ton (39.59 persen), selanjutnya Kabupaten Tabanan sebesar 3 476.3 ton (22.38 persen).

Karakteristik Petani Responden

Aspek Usia

Usia petani merupakan salah satu faktor yang dapat memengaruhi tingkat penerapan IFS. Usia petani responden pada IFS unit sangat beragam, mulai dari usia 26 tahun hingga 75 tahun. Informasi lebih detail dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 20 petani responden (66.67 persen) berada dalam rentang usia 51 hingga 75 tahun. Rata-rata usia petani model IFS unit adalah 53 tahun. Dapat diartikan sebagian besar petani responden pada IFS unit adalah petani tua. Semakin tua umur petani akan membuat kekuatan fisik petani menurun, sehingga akan berpengaruh pada produktivitas usahatani mereka. Tabel 8 Karakteristik petani responden berdasarkan usia

Kelompok Usia (Tahun)

Model IFS Unit Model IFS Wilayah Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) ≤ 30 1 3.33 0 0.00 31- 40 4 13.33 7 18.92 41-50 5 16.67 25 67.57 51-60 11 36.67 5 13.51 ≥ 61 9 30.00 0 0.00 Jumlah 30 100.00 37 100.00

20

Usia petani responden pada model IFS wilayah berada pada rentang umur 35 hingga 53 tahun. Sebagian besar petani memiliki usia antara 41 hingga 50 tahun (67.57 persen). Sebanyak 7 petani responden (18.92 persen) memiliki usia antara 31 hingga 40 tahun. Rata-rata umur petani pada model IFS wilayah adalah 45 tahun. Usia petani model IFS wilayah termasuk dalam usia yang cukup produktif.

Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan formal akan memengaruhi pola pikir, perilaku, dan pengambilan keputusan dalam penyerapan informasi dan adopsi teknologi. Semakin tinggi tingkat pendidikan yang diperoleh petani maka semakin tinggi kecenderungan untuk terbuka dan lebih adaptif terhadap inovasi baru dan perubahan. Karakteristik responden berdasarkan tingkat pendidikan dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Karakteristik petani responden berdasarkan tingkat pendidikan Tingkat

Pendidikan

Model IFS Unit Model IFS Wilayah Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) Tidak sekolah 3 10.00 0 0.00 SD/ Sederajat 8 26.66 10 27.03 SMP/ Sederajat 5 16.67 12 32.43 SMA/ Sederajat 9 30.00 15 40.54 Perguruan tinggi 5 16.67 0 0.00 Jumlah 30 100.00 37 100.00

Sumber: Data Primer 2015

Sebagain besar petani responden pada model IFS unit pernah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Hanya 3 orang petani responden (10 persen) yang tidak pernah memperoleh pendidikan formal. Sebanyak 8 orang petani responden (26.67 persen) memperoleh pendidikan hingga sekolah dasar, 5 orang (16.67 persen) memperoleh pendidikan hingga sekolah menengah pertama, 9 orang (30.00 persen) memperoleh tingkat pendidikan hingga sekolah menengah atas, dan 5 orang (16.67 persen ) memperoleh pendidikan hingga perguruan tinggi.

Seluruh petani pada model IFS wilayah pernah memperoleh pendidikan formal di sekolah. Tingkat pendidikan yang diperoleh petani adalah sekolah dasar hingga sekolah menengah atas. Sebanyak 10 orang petani responden (27.03 persen) memperoleh pendidikan hingga sekolah dasar. Sebanyak 12 orang (32.43 persen) memperoleh pendidikan hingga sekolah menengah pertama. Sisanya 15 orang (40.54 persen) memperoleh pendidikan hingga sekolah menengah atas.

Jarak ke kandang

Jarak ke kandang merupakan salah satu faktor yang memengaruhi rutinitas petani dalam memantau usahataninya. Kandang yang dekat dari rumah dapat memudahkan petani untuk memantau ternaknya. Selain itu kondisi kandang yang dekat dengan rumah akan memudahkan petani dalam mengangkut pakan ternak setiap hari. jarak kandang yang dekat juga dapat menghemat biaya transportasibagi petani. Jarak tempat tinggal petani ke kandang ternak dapat dilihat pada Tabel 10.

21

Tabel 10 Jarak tempat tinggal petani ke kandang ternak Jarak

(Kilometer)

Model IFS Unit Model IFS Wilayah Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) < 0.10 8 26.67 3 8.11 0.11-0.50 16 53.33 19 51.35 0.51-1.00 2 6.67 8 21.62 1.01-1.50 3 10.00 5 13.52 1.51-2.00 0 0.00 1 2.70 > 2.00 1 3.33 1 2.70 Jumlah 30 100.00 37 100.00

Sumber: Data Primer 2015

Sebanyak 8 orang petani responden (26.67 persen) pada model IFS unit memiliki jarak dari tempat tinggal ke kandang kurang dari 0.10 kilometer. Sebagian besar petani (53.33 persen) memiliki jarak tempat tinggal 0.11 sampai 0.50 kilometer. Pada model IFS wilayah sebanyak 19 orang (51.35 persen) memiliki jarak dari tempat tinggal ke kandang sejauh 0.11 hingga 0.50 kilmeter. Semakin dekat jarak petani ke kandang akan memudahkan petani dalam mengontrol usahataninya, dan sebaliknya. Petani yang memiliki lahan jauh dari tempat tinggalnya akan mengeluarkan biaya tambahan untuk menuju lokasi kandangnya.

Pengalaman Berusahatani

Pengalaman berusahatani akan memengaruhi petani dalam proses pengambilan keputusan, terutama dalam proses pengelolaan lahan, penggunaan input, jenis komoditi yang diusahakan dan sebagainya. Pengalaman yang memadai dapat membantu petani dalam mengambil keputusan. Terkadang semakin tinggi pengalaman yang dimiliki petani membuat petani malas untuk belajar dan membuka diri. Karakteristik responden menurut pengalaman berusahatani dapat dilihat pada Tabel 11.

Tabel 11 Karakteristik petani model IFS unit dan IFS wilayah berdasarkan usia Pengalaman

(Tahun)

Model IFS Unit Model IFS Wilayah Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) 1-10 1 3.33 1 2.70 11- 20 3 10.00 9 24.33 21-30 7 23.33 18 48.65 31-40 8 26.67 8 21.62 > 40 11 36.67 1 2.70 Jumlah 30 100.00 37 100.00

Sumber: Data Primer 2015

Sebanyak 11 orang petani responden (36.67 persen) pada model IFS unit memiliki pengalaman lebih dari 40 tahun. Sebagian besar petani memeiliki pengalaman lebih dari 31 tahun (63.34 persen). Dapat diindikasikan bahwa petani pada model IFS unit merupakan petani yang sangat berpengalaman. Sebanyak 18 orang petani responden (48.65 persen) pada model IFS wilayah memiliki

22

pengalaman berusahatani 21 hingga 30 tahun. Secara keseluruhan pengalaman petani pada model IFS unit lebih tinggi dibandingkan dengan pengalaman petani model IFS wilayah.

Penguasaan Lahan

Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang penting dalam pengusahaan usahatani. Sempit dan luasnya lahan yang dimiliki petani akan memengaruhi keputusan petani dalam menentukan jenis komoditi yang diusahakan. Petani dengan lahan sempit memiliki kecenderungan yang lebih tinggi untuk mengintegrasikan lahannya dengan ternak. Selain itu jenis tanaman yang diusahakan juga lebih beragam guna memenuhi kebutuhan petani sehari-hari. Sebaran responden berdasarkan penguasaan lahan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Karakteristik petani model IFS unit dan IFS wilayah berdasarkan usia Luas lahan

(Hektar)

Model IFS Unit Model IFS Wilayah Jumlah (orang) Persentase (%) Jumlah (orang) Persentase (%) < 0.25 8 26.67 10 27.03 0.26-0.50 10 33.33 11 29.73 0.51-1.00 7 23.33 11 29.73 1.01-1.50 3 10.00 3 8.11 > 1.50 2 6.67 2 5.40 Jumlah 30 100.00 37 100.00

Sumber: Data Primer 2015

Rata-rata petani model IFS unit maupun model IFS wilayah memiliki lahan yang sempit, yakni kurang dari 0.50 hektar. Sebanyak 18 orang petani (60.00 persen) model IFS unit memiliki luas lahan kurang dari 0.50 hektar. Sebanyak 21 orang petani (56.73 persen) model IFS wilayah memiliki luas lahan kurang dari 0.50 hektar. Terbatasnya luas lahan yang dikuasai petani menjadi salah satu faktor pendukung petani dalam menerapkan IFS.

Tingkat Penerapan IFS di Provinsi Bali

Kondisi Kandang Ternak

Kondisi kandang ternak yang baik mendukung penerapan IFS. Kandang memiliki fungsi melindungi dan memudahkan pengelolaan ternak dalam proses produksi seperti pemberian pakan, minum, pengelolaaan kompos dan perkawinan. Skor kondisi kandang model IFS wilayah dan model IFS unit pada luas lahan ≤

0.50 hektar masing-masing adalah 3.46 (sangat baik) dan 2.35 (cukup baik). Skor kondisi kandang model IFS wilayah dan model IFS unit pada luasan lahan > 0.50 hektar masing-masing adalah 3.47 (sangat baik) dan 2.50 (cukup tinggi). Pencapaian skor masing-masing model IFS dapat dilihat pada Gambar 5.

Kondisi kandang model IFS unit semi permanen, tiang penyangga memanfaatkan pohon lokal yang kuat seperti waru, gamal, santan, dan jenis tanaman lokal lain. Kandang dibersihkan hanya 1-2 kali dalam seminggu,

23

sehingga kondisi kandang kotor. Pemeliharaan sapi dilakukan secara berpindah-pindah disesuaikan dengan lokasi lahan yang membutuhkan pupuk kandang. Petani dapat menyalurkan limbah ternak secara langsung dan dimanfaatkan sebagai pupuk. Kandang belum dilengkapi saluran pembuangan limbah dan tempat pakan. Kelemahan dari pemeliharaan ternak pada model IFS unit adalah petani tidak dapat memisahkan limbah padat dan limbah cair.

Gambar 5 Kondisi kandang ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di Provinsi Bali Tahun 2015

Kondisi ternak pada model IFS wilayah dipelihara dalam kandang koloni, kondisi kandang permanen, dilengkapi tempat pakan, dan saluran pemisah limbah padat dan cair serta limbah pemandian ternak (Gambar 6). Pemeliharaan ternak dalam kandang koloni bertujuan untuk mempermudah pengawasan dan perawatan ternak, menjaga kebersihan kandang, dan mempermudah pengumpulan limbah padat dan cair. Konsep kandang koloni juga dapat dimanfaatkan untuk memanen air saat memasuki musim hujan dan cocok diterapkan pada daerah yang kekurangan air. Kelemahan dari pemeliharaan ternak dalam kandang koloni adalah (1) jarak antar rumah petani ke kandang sehingga petani membutuhkan biaya tambahan setiap kali ke kandang, (2) waktu pemberian pakan dan jenis pakan yang berbeda sehingga menimbulkan kecemburuan antar sapi, (3) dibutuhkan biaya tambahan untuk mengangkut pupuk yang dihasilkan ternak dari kandang koloni ke lahan petani, (4) petani tidak dapat sepenuhnya memantau dan menangani kondisi sapi saat mengalami birahi atau sakit.

Gambar 6 Kondisi kandang ternak model IFS wilayah (kiri) dan model IFS unit (kanan)

24

Pemanfaatan Limbah Tanaman

Limbah tanaman dimanfaatkan petani untuk pakan ternak sebagai alternatif kekurangan pakan hijauan saat musim kering serta mengurangi biaya pembelian input dari luar (Devendra dan Sevilla 2002; Thomas et al. 2002). Menurut Sugama dan Budiari (2012) pemberian jerami padi sangat berpotensi sebagai pakan sapi Bali, tetapi diperlukan proses fermentasi dan masa adaptasi bagi ternak untuk terbiasa memakannya. Masa adaptasi pemberian pakan membuat nafsu makan sapi berkurang sehingga berdampak pada pengurangan bobot sapi dan penampilan fisik sapi. Petani tidak memberikan pakan olahan karena membuat kondisi sapi kurus. Petani cenderung memilih untuk memberi pakan hijauan dan limbah tanaman segar tanpa proses fermentasi.

Gambar 7 Pemanfaatan limbah tanaman pada model IFS wilayah dan model IFS unit di Provinsi Bali Tahun 2015

Pemanfaatan limbah tanaman model IFS wilayah lebih tinggi dibandingkan model IFS unit. Skor pemanfaatan limbah tanaman pada model IFS wilayah

dengan luas lahan ≤ 0.50 hektar adalah 2.67 (tinggi), lebih tinggi dibandingkan

model IFS unit yaitu 2.43 (cukup tinggi). Pemanfaatan limbah tanaman pada model IFS wilayah 8.99 persen lebih tinggi dibandingkan dengan model IFS unit. Skor pemanfaatan limbah tanaman sebagai pakan ternak dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 8 Limbah tanaman untuk pakan ternak tanpa proses pengolahan (kiri) dan melalui proses pengolahan menjadi silase (kanan)

25

Pada luasan lahan > 0.50 hektar, pemanfaatan limbah model IFS wilayah adalah 2.72 (tinggi) juga lebih tinggi dibandingkan model IFS unit yaitu 2.50 (cukup tinggi). Petani pada model IFS wilayah sudah menerapkan teknologi pengawetan pakan dalam bentuk silase. Pengawetan pakan bertujuan untuk meningkatkan kandungan gizi dan daya simpan pakan sehingga dapat dimanfaatkan saat musim kering. Pengolahan dan pemanfaatan silase pada model IFS wilayah masih rendah, karena pemberian pakan fermentasi kurang disukai ternak dan butuh penyesuaian waktu 2-3 bulan bagi ternak untuk terbiasa memakannya. Pengolahan limbah tanaman untuk pakan ternak dapat dilihat pda Gambar 8.

Pemanfaatan Urin Ternak

Pemanfaatan urin pada model IFS unit termasuk rendah, yakni masing-masing memperoleh skor 1.50 dan 1.46 (Gambar 9). Kondisi kandang tidak di beton dan tidak dilengkapi saluran limbah membuat urin bercampur dengan limbah padat. Sebagian kecil petani model IFS unit sudah ada yang memanfaatkan dan menampung limbah cair yang dimanfaatkan sebagai pupuk cair. Volume urin yang didapat petani masih rendah karena kondisi kandang yang tidak kurang mendukung.

Gambar 9 Pemanfaatan urin ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di Provinsi Bali Tahun 2015

Pemanfaatan urin pada model IFS wilayah masing-masing memperoleh skor 2.43 (cukup tinggi) dan 2.56 (tinggi). Biourin dimanfaatkan untuk pupuk dan bahan campuran pembuatan kompos. Petani pada model IFS wilayah juga memanfaatkan urin sebagai bahan pembuatan biopestisida. Urin dicampurkan dengan berbagai jenis tanaman dan rempah-rempah yang tidak disukai hama tanaman (Rozaq dan Sofriani 2009). Rendahnya pengolahan dan pemanfaatan biopestisida terjadi karena petani lebih memilih menggunakan pestisida sintetis yang dianggap lebih cepat mengatasi hama pengganggu tanaman.

Pengolahan biourin dilakukan dengan menghilangkan kandungan amoniak yang tinggi dalam urin. Urin difermentasi dengan menambahkan mikro organisme lokal dan didiamkan selama 1 sampai 2 minggu. Urin yang diproduksi ditampung dalam bak penampungan dan dimanfaatkan oleh anggota kelompok secara gratis. Biourin yang dijual ke luar anggota kelompok dijual dengan harga Rp 5000–

10000 per liter. Biourin dikemas dalam kemasan 1 liter dan 5 liter. Biourine dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman dan mengusir hama penganggu tanaman.

26

Pengaplikasian biourin dilakukan dengan mencampurkan 1 liter biourin ke dalam 20 liter air.

Gambar 10 Tangga instalasi pengolahan urin dan biourin yang sudah dikemas

Masalah yang sering dihadapi dalam pengolahan biourine adalah pompa urin cepat mengalami kerusakan karena tingginya kandungan amoniak dalam urin. petani mengatasi permasalahan tersebut dengan menggunakan aerator untuk mengganti pompa air yang cepat rusak. Petani juga menambahkan buah busuk dan beragam jenis rempah saat proses fermentasi untuk menambah kandungan nutrisi dan mengurangi bau busuk yang ditimbulkan dari urin. Pengolahan urin dan contoh hasil biourin dapat dilihat pada Gambar 10.

Pemanfaatan Kotoran Ternak

Kotoran ternak dimanfaatkan sebagai pupuk untuk meningkatkan kandungan nutrisi dan kesuburan tanah. Pemanfaatan kompos untuk sawah mencapai 1-2 ton per hektar. Kotoran ternak pada model IFS unit tidak diolah sehingga pengomposan terjadi secara alami. Pemanfaatan kotoran ternak dilakukan dengan cara mengalirkan langsung ke lahan untuk mengurangi biaya pengangkutan. Pada model IFS unit pemanfaatan kotoran ternak memperoleh skor 2.45 (cukup tinggi) dan 2.55 (tinggi). Petani memanfaatkan kotoran ternak untuk memenuhi kebutuhan pupuk organiknya. Harga jual kotoran ternak tanpa proses pengolahan Rp 100 000-150 000 per ton. Pemanfaatan kotoran ternak pada kedua model dapat dilihat pada Gambar 11.

Gambar 11 Pemanfaatan kotoran ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di Provinsi Bali Tahun 2015

Pemanfaatan kotoran ternak pada model IFS wilayah memperoleh skor 2.94 dan 3.04. Pemanfaatan kotoran ternak termasuk dalam kategori tinggi. Petani pada

27

model IFS wilayah mengolah kotoran ternak menjadi kompos. Selain dimanfaatkan oleh petani, pupuk yang diproduksi juga dijual dengan harga Rp 700 000-1 000 000 per ton. Pengolahan kotoran ternak menjadi kompos dapat meningkatkan nilai jual kotoran ternak. Proses pengolahan kotoran ternak menjadi kompos yang siap untuk dipasarkan dapat dilihat pada Gambar 12.

Gambar 12 Proses pengolahan kompos dan pupuk kompos yang sudah dikemas Produksi limbah padat per ekor sapi mencapai 8-10 kg per hari atau 2.6-3.6 ton per tahun. Pemerintah Provinsi Bali memberikan subsidi pupuk organik, sehingga harga pupuk organik menjadi Rp 300 000 per ton. Subsidi pupuk organik membuat petani pada model IFS wilayah kesulitan untuk memasarkan pupuknya. Petani mengatasi masalah dengan menjual pupuk ke hotel, vila dan petani perkebunan.

Pemanfaatan Tenaga Ternak

Salah satu alasan petani memelihara ternak adalah sebagai sumber tenaga kerja. Tenaga ternak dimanfaatkan untuk menarik gerobak yang mengangkut hasil kebun seperti kelapa, pisang, dan pala di Kecamatan Jailolo, Kabupaten Halmahera Barat (Panawa et al. 2014). Tenaga ternak di Bali dimanfaatkan untuk membajak sawah. Waktu yang dibutuhkan melatih sapi untuk membajak sawah adalah 3-6 bulan. Pemanfaatan tenaga 4-6 jam per hari, dengan pengerjaan optimal pagi hari (06.00-10.00) dan sore hari (15.00-18.00). Sapi membutuhkan waktu 20-30 jam untuk membajak 1 hektar lahan.

Gambar 13 Pemanfaatan tenaga ternak pada model IFS wilayah dan model IFS unit di Provinsi Bali Tahun 2015

28

Pemanfaatan tenaga ternak pada kedua model termasuk dalam kategori rendah (Gambar 13). Biaya sewa traktor rata-rata mencapai Rp 1 500 000-2 000 000 per hektar dengan lama waktu pengerjaan 2-3hari/ hektar. Penggunaan traktor mempercepat persiapan lahan hingga 3-5 hari. Penyediaan lahan yang lebih cepat serta perbedaan harga yang tidak terlalu jauh membuat petani lebih memilih menggunakan traktor untuk membajak sawah.

Pemanfaatan Biogas

Biogas menjadi alternatif sumber energi murah yang dapat diperbaharui (Gupta et al. 2012; Soni et al. 2014). Pengembangan biogas baik dikembangkan pada negara-negara berkembang sebagai sumber energi terutama di daerah yang belum memiliki akses jalan dan listrik yang memadai. Biogas yang dihasilkan dimanfaatkan untuk memasak dan sumber penerangan di lokasi kandang.

Gambar 14 Pemanfaatan biogas pada model IFS wilayah dan model IFS unit di Provinsi Bali Tahun 2015

Pemanfaatan biogas pada model IFS unit tergolong rendah. Petani belum memanfaatkan kotoran ternak untuk menghasilkan biogas. Pengolahan biogas membutuhkan biaya instalasi yang cukup tinggi serta input kotoran yang cukup banyak setiap harinya. Hasil penelitian Solaeman dan Maswar (2014) menyebutkan bahwa volume sembilan meter kubik biodigester membutuhkan 4,5 meter kubik (3.2 ton) kotoran ternak dan 4,5 meter kubik air. Kebutuhan kotoran dan air per hari adalah 68 kilogram. Hal ini tentu saja sulit untuk diterapkan oleh petani model IFS unit karena terbatasnya jumlah kotoran yang diproduksi ternak setiap harinya. Pemanfaatan biogas dapat dilihat pada Gambar 14.

29

Model IFS wilayah sudah memanfaatkan biogas sebagai sember energi. Petani memanfaatkan biogas untuk memasak dan sumber energi penerangan. Pemanfaatan biogas pada model IFS wilayah memperoleh skor 2.37 dan 2.34 yang termasuk dalam kategori cukup tinggi. Pemanfaatan biogas pada model IFS wilayah rata-rata hanya mampu bertahan sampai 2-4 tahun. Hal ini terjadi karena lampu dan kompor khusus untuk biogas sangat cepat mengalami kerusakan. Petani juga kesulitan memperoleh suku cadang ketika lampu dan kompor gas mengalami kerusakan. Masalah yang dihadapi adalah penggunaan gas yang hanya dapat digunakan 3-5 jam per hari. Gas belum dapat dikemas karena rendahnya tekanan gas yang dihasilkan. Gas hanya dapat dimanfaatkan di kandang atau di sekitar kandang. Kandungan air yang tinggi dalam gas seringkali membuat alat seperti kompor dan lampu gas cepat mengalami kerusakan. Pemanfaatan biogas menjadi sumber energi yang dapat dimanfaatkan petani dapat dilihat pada Gambar 15.

Faktor-Faktor yang Memengaruhi Tingkat Penerapan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 67 orang petani responden,

Dokumen terkait