• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembuatan Produk Wingko Babat

Tahap penelitian yang pertama adalah uji coba pembuatan produk wingko babat. Pada uji coba pembuatan produk wingko babat ini, digunakan formulasi dan cara pembuatan wingko babat menurut Pertiwi et al. (2005), yaitu dengan bahan baku kelapa parut, tepung beras ketan, gula pasir, margarin, garam, kulit jeruk purut, vanili, dan air. Uji coba pembuatan produk wingko babat ini dilakukan dengan dua cara pencetakan, yaitu pencetakan adonan yang dilakukan sebelum pemanggangan dan pencetakan produk wingko babat yang dilakukan setelah pemanggangan.

Hasil uji coba menunjukkan bahwa pencetakan adonan yang dilakukan sebelum pemanggangan menghasilkan produk wingko babat dengan bagian permukaan yang hangus dan keras (case hardening). Foto sampel dari hasil uji coba pembuatan produk wingko babat dapat dilihat pada Gambar 4a dan 4b.

15

Menurut Senadeera (2008), case hardening adalah pengerasan permukaan produk pangan yang dapat terjadi karena suhu permukaan yang tinggi dan pengeringan yang tidak merata sehingga lapisan kering pada permukaan terbentuk dengan cepat sebelum air yang berada di bagian dalam produk dapat bermigrasi ke permukaan. Wingko babat yang dicetak terlebih dahulu sebelum dipanggang memiliki luas permukaan yang lebih besar daripada wingko babat yang belum dicetak. Ketika proses pemanggangan, permukaan wingko babat yang sudah dicetak lebih terpapar oleh panas, sedangkan wingko babat yang belum dicetak hanya terpapar panas pada permukaan atas dan bawah saja. Akibatnya, terjadi penguapan air yang lebih cepat pada permukaan wingko babat yang sudah dicetak sehingga bagian permukaannya menjadi lebih cepat keras. Oleh sebab itu, cara yang dipilih adalah pencetakan yang dilakukan setelah pemanggangan.

Produk wingko babat yang dihasilkan dari uji coba ini selanjutnya disimpan di dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu ruang dan diamati perubahan mutu sensorinya selama beberapa hari. Hasil pengamatan yang diringkas pada Tabel 4 menunjukkan bahwa aroma produk wingko babat didominasi oleh aroma yang berasal kulit jeruk purut. Pertumbuhan kapang mulai dapat diamati secara visual pada hari ke-3. Akan tetapi, mutu aroma produk masih belum mengalami perubahan hingga hari ke-4. Hal ini menunjukkan bahwa kulit jeruk purut yang digunakan dalam formulasi sangat mendominasi aroma produk secara keseluruhan dan menutupi penurunan mutu aroma produk selama penyimpanan. Oleh sebab itu, kulit jeruk purut sebaiknya tidak digunakan dalam pembuatan wingko babat.

Tabel 4 Pengamatan sensori selama penyimpanan terhadap wingko babat hasil uji coba ke-1

Parameter Hari ke-

0 1 2 3 4

Warna normal normal agak pucat agak pucat agak pucat Permukaan normal normal berair (+) berair (++) berair (++)

Aroma aroma jeruk aroma jeruk aroma jeruk aroma jeruk aroma jeruk

Rasa normal normal normal — —

Tekstur normal normal agak keras agak keras agak keras Pertumbuhan

Kapang - - - + +

(a) (b)

Gambar 4 (a) Wingko babat yang dicetak sebelum pemanggangan; (b) Wingko babat yang dicetak setelah pemanggangan

16

Uji coba pembuatan produk wingko babat yang kedua dilakukan dengan menggunakan formulasi dan cara pembuatan wingko babat menurut Pertiwi et al. (2005) tanpa penambahan kulit jeruk purut. Pencetakkan wingko babat dilakukan setelah proses pemanggangan. Produk wingko babat selanjutnya disimpan di dalam wadah yang tertutup rapat pada suhu ruang dan diamati perubahan mutu sensorinya selama beberapa hari. Tabel 5 menunjukkan bahwa tanpa penambahan kulit jeruk purut, penurunan mutu aroma produk sudah dapat diamati pada hari ke- 2, bersamaan dengan penurunan mutu rasa. Sementara itu, pertumbuhan kapang mulai dapat diamati secara visual pada hari ke-3.

Berdasarkan data yang ditampilkan pada Tabel 5, penyimpangan aroma wingko babat setelah disimpan di dalam suhu ruang selama 2 hari ditunjukkan dengan timbulnya aroma asam. Aroma asam ini diduga disebabkan oleh petumbuhan mikroba, yaitu kapang. Pertumbuhan kapang merupakan permasalah utama yang membatasi umur simpan produk bakery (Gerez et al. 2009). Menurut Saranraj dan Geetha (2012), kerusakan produk pangan oleh kapang menyebabkan timbulnya aroma menyimpang dan sering ditemukan tumbuh pada permukaan produk. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan kapang yang dapat dilihat secara visual pada permukaan produk wingko babat setelah penyimpanan hari ke-3.

Penentuan Mikroba Target untuk Proses Termal

Penentuan mikroorganisme yang menjadi target dalam proses termal untuk produk wingko babat dalam kemasan dilakukan dengan mengumpulkan data berbagai jenis mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw produk

intermediate moisture food, yaitu 0.70-0.90. Data ini meliputi jenis mikroorganisme, nilai aw optimal, serta nilai D dan nilai z masing-masing mikroorganisme seperti yang ditunjukkan pada Tabel 6 dan Tabel 7. Di antara mikroorganisme tersebut, A. niger, A. glaucus, dan Staphylococcus sp. adalah mikroorganisme yang digunakan sebagai indikator adanya kontaminasi mikroba dalam intermediate moisture food (Muchtadi 2008). Sementara itu, Aspergillus sp., Rhizopus sp., dan Penicillium sp. adalah jenis kapang yang sering menjadi indikator kerusakan mikrobiologis pada intermediate moisture food selama penyimpanan (Guynot et al. 2004)

Tabel 5 Pengamatan sensori selama penyimpanan terhadap wingko babat hasil uji coba ke-2

Parameter Hari ke-

0 1 2 3 4

Warna normal normal agak pucat agak pucat agak pucat Permukaan normal normal berair (+) berair (++) berair (++) Aroma normal normal asam (+) asam (++) asam (+++)

Rasa normal normal asam (+) — —

Tekstur normal normal normal agak keras agak keras Pertumbuhan

17

Data nilai D dan z pada Tabel 7 menunjukkan bahwa kapang dan khamir memiliki nilai D82.2°C yang tertinggi di antara berbagai mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw intermediate moisture food. Artinya, waktu pemanasan yang dibutuhkan untuk mengurangi jumlah kapang dan khamir sebanyak 1 siklus log pada suhu 82.2 °C lebih lama daripada waktu yang dibutuhkan oleh mikroorganisme lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan

Tabel 7 Nilai D dan z beberapa mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw intermediate moisture fooda

No. Mikroorganisme D82.2°C (menit) z (°C)

1 Kapang 0.0095 7 2 Khamir 0.0095 7 3 Lactobacillus spp. 0.0095 7 4 Staphylococcus spp. 0.0063 7 5 Salmonella spp. 0.0032 7 a Sumber: Toledo (2007)

Tabel 6 Mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw intermediate moisture fooda

No. Mikroorganisme Jenis aw

1 Eurotium Kapang 0.70

2 Chrysosporium Kapang 0.70

3 Bakterihalofilik Bakteri 0.75

4 Aspergillusb Kapang 0.75 5 Saccharomyces Khamir 0.80 6 Aspergilluscd Kapang 0.80 7 Penniciliumd Kapang 0.80 8 Emmericella Kapang 0.80 9 Eremascus Kapang 0.80 10 Staphylococcusce Bakteri 0.86 11 Paecilomyces Kapang 0.86 12 Debaryomycesb Khamir 0.87 13 Candida Khamir 0.88 14 Cladosporium Kapang 0.88 15 Bacillus Bakteri 0.89 16 Lactobacillusb Bakteri 0.90 17 Micrococcus Bakteri 0.90 18 Pediococcus Bakteri 0.90 19 Saccharomyces Khamir 0.90 20 Rhizopus sp.d Kapang 0.93 21 Salmonella sp. Bakteri 0.95 a

Sumber: Muchtadi (2008). bBeberapa strain. cIndikator kontaminasi mikrobiologis pada intermediate moisture food. dIndikator kerusakan mikrobiologis pada intermediate moisture food. eAerobik.

18

bahwa golongan kapang-khamir memiliki ketahanan terhadap proses termal tertinggi di antara berbagai mikroorganisme yang dapat tumbuh pada rentang aw

intermediate moisture food. Oleh sebab itu, mikroorganisme yang ditetapkan sebagai target dalam proses termal untuk produk wingko babat adalah golongan kapang-khamir.

Uji Distribusi dan Penetrasi Termal Pengemasan Wingko Babat dengan Kemasan Aluminium Foil

Produk wingko babat yang sering ditemukan di pasaran umumnya dikemas dengan menggunakan kemasan kertas. Penggunaan kertas sebagai bahan kemasan memiliki banyak kekurangan karena kertas tidak kedap terhadap air, minyak, maupun udara. Oleh sebab itu, pada penelitian ini produk wingko babat dikemas menggunakan alumunium foil.

Aluminium foil adalah salah satu jenis kemasan fleksibel yang memiliki ketahanan yang baik terhadap cahaya, minyak, uap air, transmisi gas, dan aroma (Marsh dan Bugusu 2007). Alumunium foil dipilih sebagai bahan pengemas pada penelitian ini karena produk wingko babat diberi perlakuan termal yang menggunakan air sebagai media pemanasnya. Oleh sebab itu, kemasan yang digunakan harus kedap terhadap air. Penggunaan alumunium foil yang tipis juga dapat mempercepat transfer panas selama proses termal sehingga pengaruh panas terhadap atribut mutu sampel dapat diminimalisir (Awuah et al. 2007). Selain itu, alumunium foil juga kedap terhadap cahaya dan udara sehingga dapat mencegah kerusakan komponen lemak akibat reaksi oksidasi maupun hidrolisis yang dapat menyebabkan timbulnya ketengikan atau rancidity pada produk.

Pada penelitian ini, pengemasan produk wingko dilakukan dengan 2 teknik, yaitu pengemasan vakum dan pengemasan tidak vakum. Pengemasan vakum dilakukan dengan menggunakan vacuum packing machine Powerpack model DZQ400-2D dengan tekanan sebesar 0.097 MPa, kemudian diperkuat dengan menggunakan sealer yang digunakan untuk pengemasan tidak vakum, yaitu sealer

merk Hualian model Golden 350. Wingko babat yang telah dikemas, baik secara vakum maupun tidak vakum dapat dilihat pada Gambar 5a dan 5b.

(a) (b) (c)

Gambar 5 (a) Wingko babat dalam kemasan vakum; (b) Wingko babat dalam kemasan tidak vakum; (c) Dummy berisi air

19 Pengemasan secara vakum diharapkan dapat menghambat kerusakan produk wingko babat yang disebabkan oleh pertumbuhan kapang dan reaksi kimia yang menimbulkan aroma menyimpang (off-flavour). Pengemasan vakum dilakukan dengan cara mengeluarkan udara dari dalam kemasan. Ketidakberadaan oksigen menciptakan kondisi yang tidak mendukung pertumbuhan mikroorganisme perusak pangan serta menghambat reaksi kimia yang dapat menurunkan mutu pangan, misalnya reaksi oksidasi (Brody et al. 2008;CSIRO 2010).

Penggunaan teknik pengemasan vakum telah banyak diterapkan untuk mempertahankan mutu dan memperpanjang umur simpan produk pangan (Hintlian dan Hotchkiss 1986; Gorris dan Peppelenbos 1992; Varoquaux dan Nguyen 1994). Teknik pengemasan vakum telah terbukti efektif untuk menghambat pertumbuhan mikroba pada roti iris (Gutierrez et al. 2011), keju Afrika (Adetunji dan Chen 2011), dan keju Turki (Andic et al. 2011), serta menghambat pertumbuhan mikroba, reaksi oksidasi, dan perubahan warna pada bakso (Ozturk et al. 2010) dan daging cincang dalam kaleng (Degirmencioglu et al. 2012) selama penyimpanan. Teknik pengemasan vakum juga telah digunakan oleh beberapa jenis produk wingko babat yang dijual secara komersial.

Hasil Uji Distribusi Termal

Pada uji distribusi termal, termokopel ditempatkan pada 10 titik yang tersebar di dalam waterbath (Gambar 6). Data perubahan suhu air di titik-titik yang tersebar di dalam waterbath selama proses termal berlangsung pada suhu 85 °C direkam oleh recorder Omega model DR130.

Rak produk yang diletakkan di dalam waterbath memiliki kapasitas untuk 27 produk, yaitu terdiri dari 9 baris dan 3 kolom. Selama uji distribusi termal, rak produk diisi dengan dummy pada kapasitas maksimal untuk menggambarkan distribusi termal di dalam waterbath selama proses termal yang sebenarnya.

Dummy yang digunakan adalah air yang bobotnya kurang lebih sama dengan wingko babat dan dikemas dalam alumunium foil (Gambar 5c).

Data suhu termokopel selama proses pemanasan yang diperoleh dari uji distribusi diplotkan ke dalam kurva hubungan waktu pemanasan dan suhu termokopel (Gambar 7). Berdasarkan data yang diperoleh, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu 85 °C adalah 8 menit, dimana termokopel yang paling lambat mencapai suhu tersebut adalah termokopel nomor 2. Setelah sampel dimasukkan, terjadi penurunan suhu menjadi 82-84 °C dengan termokopel nomor 1, 2, dan 3 sebagai titik yang mengalami penurunan suhu paling rendah. Dibutuhkan waktu 1 menit untuk mengembalikan suhu menjadi 85 °C.

Gambar 6 Posisi termokopel di dalam waterbath. Tc: termokopel.

Tc1 Tc2

Tc3 Tc4 Tc5 Tc6

Tc7 Tc8 Tc9 Tc10

20

Selanjutnya, suhu yang diamati hingga menit ke-39 berfluktuasi antara 84 °C sampai 87 °C. Rekapitulasi data hasil uji distribusi termal ini dapat dilihat pada Lampiran 1.

Berdasarkan data tersebut, diketahui bahwa coming up time (CUT) untuk mencapai suhu 85 °C adalah 8 menit. Sementara itu, titik terdingin (coldest point) pada waterbath terletak pada posisi termokopel nomor 1 sampai 4, yaitu pada rak produk baris pertama sampai ketiga (Gambar 6). Posisi inilah yang digunakan untuk meletakkan sampel yang telah dipasang termokopel pada uji penetrasi. Hasil Uji Penetrasi Termal

Pada uji penetrasi termal, rak produk yang diletakkan di dalam waterbath

diisi penuh dengan sampel. Termokopel dipasang di bagian tengah sampel wingko babat yang telah dikemas secara vakum dan tidak vakum, masing-masing sebanyak 4 buah sampel. Sampel yang telah dipasangi termokopel ini diletakkan pada posisi coldest point, yaitu pada baris pertama sampai baris ketiga rak produk (Gambar 6). Sementara itu, 2 buah termokopel dipasang pada rak produk untuk mengukur suhu media pemanas (air) selama proses termal. Uji penetrasi termal dilakukan 3 kali, yaitu pada suhu 65 °C, 75 °C, dan 85 °C.

Berdasarkan data yang diperoleh, sampel yang paling lambat menerima panas selama proses termal, baik pada suhu 65 °C, 75 °C, maupun 85 °C adalah sampel dengan termokopel nomor 3 untuk sampel vakum dan nomor 8 untuk sampel tidak vakum. Data perubahan suhu sampel yang paling lambat menerima panas selama proses termal inilah yang digunakan dalam perhitungan kecukupan proses. Data suhu termokopel yang paling lambat menerima panas selama proses pemanasan pada suhu 65 °C, 75 °C, dan 85 °C yang diperoleh dari uji penetrasi diplotkan ke dalam kurva hubungan waktu pemanasan dan suhu termokopel (Gambar 8).

Gambar 7 Distribusi termal di dalam waterbath selama proses termal pada suhu 85°C. Tc: termokopel. 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 0 10 20 30 40 Su h u ter m o k o p el ( ° C)

Waktu pemanasan (menit)

Tc1 Tc2 Tc3 Tc4 Tc5 Tc6 Tc7 Tc8 Tc9 Tc10

21

Berdasarkan hasil uji penetrasi termal, sampel yang dikemas dengan kemasan vakum lebih cepat menerima panas daripada sampel dalam kemasan tidak vakum. Hal ini dikarenakan pada sampel yang dikemas dengan kemasan vakum, penetrasi panas dari media pemanas ke dalam produk terjadi secara langsung dan hanya dihalangi oleh kemasan. Sementara itu, pada sampel dalam kemasan tidak vakum, transfer panas dari media pemanas ke dalam produk

(a)

(b)

(c)

Gambar 8 Perubahan suhu sampel selama proses pemanasan pada suhu 65 °C (a), 75 °C (b), dan 85 °C (c)

0 10 20 30 40 50 60 70 Su h u ter m o k o p el ( ° C) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 Su h u ter m o k o p el ( ° C) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 0 20 40 60 80 Su h u ter m o k o p el ( ° C)

Waktu pemanasan (menit)

Sampel vakum Sampel tidak vakum Media pemanas (air) (c)

22

terhalangi oleh udara yang berada di antara kemasan dengan produk. Oleh sebab itu, diperlukan waktu untuk menaikkan suhu udara di dalam kemasan sebelum dapat menaikkan suhu sampel. Akibatnya, waktu proses termal yang dibutuhkan oleh sampel dalam kemasan tidak vakum lebih lama daripada sampel dalam kemasan vakum untuk mencapai desimal reduksi yang sama.

Perhitungan Desain Proses Termal dengan Metode Umum

Target proses termal sering dinyatakan dalam satuan reduksi desimal mikroba (Sukasih dan Setyadjit 2008). Dalam penelitian ini, mikroba yang menjadi target proses termal adalah kapang dan khamir yang memiliki nilai D82.2°C

= 0.0095 menit dan z = 7 °C (Toledo 2007). Sementara itu, target proses termal yang ingin dicapai adalah 6D dan 12D. Artinya, proses termal diharapkan dapat menurunkan jumlah mikroba target sebanyak 6 dan 12 siklus logaritmik.

Penentuan kombinasi suhu dan waktu yang diperlukan untuk mencapai target proses termal sering dilakukan dengan menggunakan nilai F. Nilai F pada suhu tertentu merupakan hasil perkalian dari nilai D mikroorganisme target pada suhu tersebut dengan jumlah penurunan siklus logaritmik (S) yang diharapkan (Sukasih dan Setyadjit 2008). Maka, target proses termal dalam penelitian ini jika dinyatakan dengan nilai F adalah 0.057 menit dan 0.114 menit pada suhu 82.2 °C.

Perhitungan proses termal dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode umum. Hal ini dikarenakan metode umum adalah metode yang paling teliti dalam perhitungan letalitas proses termal karena digunakan data suhu dan waktu pemanasan dari hasil uji penetrasi termal tanpa menggunakan asumsi-asumsi (Anderson et al. 2011). Dalam metode umum, letalitas proses termal dihitung dengan mengintegrasi nilai lethal rate (LR) terhadap waktu (Bull

et al. 2009). Letalitas proses yang dihitung setiap selang waktu adalah nilai Fo parsial yang akumulasinya merupakan nilai Fo proses termal tersebut.

Nilai Fo adalah ekuivalen letalitas proses termal dengan waktu pemanasan pada suhu referens. Dalam penelitian ini, nilai Fo dihitung terhadap suhu 180 °F (82.2 °C), yaitu suhu referens untuk kapang dan khamir. Hasil perhitungan nilai Fo dengan metode umum dapat dilihat pada Lampiran 2-4.

Berdasarkan perhitungan terhadap data penetrasi termal yang telah dilakukan terhadap sampel dalam kemasan vakum, nilai Fo total yang diperoleh selama proses adalah 0.1505 menit untuk suhu 65 °C, 2.3799 menit untuk suhu 75 °C, dan 89.3689 menit untuk suhu 85 °C. Sementara itu, nilai Fo total yang diperoleh pada sampel dalam kemasan tidak vakum adalah 0.1284 menit untuk suhu 65 °C, 2.0054 menit untuk suhu 75 °C, dan 58.8561 menit untuk suhu 85 °C.

Nilai Fo yang diperoleh ternyata jauh melampaui target proses termal yang diharapkan. Dengan demikian, hasil perhitungan nilai Fo pada Lampiran 2-4 dapat digunakan untuk menentukan waktu proses yang cukup untuk mencapai target desimal reduksi yang diharapkan, yaitu 6D (0.057 menit) menit dan 12D (0.114 menit). Waktu proses yang diperlukan untuk masing-masing jenis pengemasan dan suhu proses ini ditunjukkan pada Tabel 8.

23

Aplikasi Perlakuan pada Produk Wingko Babat

Perlakuan termal diaplikasikan pada poduk wingko babat yang telah dikemas dengan kemasan alumunium foil, baik secara vakum maupun tidak vakum, yaitu dengan menggunakan waterbath pada suhu 65 °C, 75 °C, dan 85 °C selama waktu proses yang memenuhi konsep 6D dan 12D yang telah diperoleh dari uji penetrasi termal (Tabel 8). Selanjutnya, wingko babat disimpan pada suhu ruang dan diamati perubahan mutu sensorinya pada minggu ke-0, 1, dan 2.

Hasil pengamatan pada minggu ke-1 menunjukkan bahwa pada semua perlakuan suhu, wingko babat yang dikemas dengan kemasan vakum maupun tidak vakum mulai mengalami pengerasan tekstur. Pengerasan tektur ini diduga disebabkan oleh retrogradasi pati yang terjadi selama penyimpanan. Pati yang telah tergelatinisasi bila didinginkan dan disimpan selama beberapa hari atau minggu akan mengalami kristalisasi kembali yang disebut sebagai fenomena retrogradasi (Enrione et al. 2012). Penyusunan kembali dan kristalisasi molekul pati inilah yang menyebabkan produk mengalami pengerasan tekstur selama penyimpanan (Perdon et al. 1999).

Di samping itu, pada semua perlakuan suhu, wingko babat yang dikemas dengan kemasan vakum maupun tidak vakum juga mengalami permukaan yang berair. Hal ini diduga disebabkan oleh pelepasan air yang terjadi selama penyimpanan. Menurut Aini dan Purwiyatno (2010), pada pati yang telah mengalami gelatinisasi, sebagian air membentuk ikatan molekul pada permukaan granula pati dan sebagian lagi berada pada rongga-rongga jaringan. Bila gel pati disimpan selama beberapa hari, air tersebut terlepas dan keluar dari bahan, yaitu disebut sebagai peristiwa sineresis. Hal inilah yang menjelaskan munculnya air pada permukaan produk wingko babat setelah mengalami penyimpanan.

Pada pengamatan minggu ke-2, sampel yang dikemas secara tidak vakum menunjukkan tanda-tanda kerusakan mutu, yaitu timbul aroma menyimpang ( off-flavor). Hal ini dikarenakan pada kemasan tidak vakum masih terdapat oksigen yang dapat digunakan untuk reaksi oksidatif yang menimbulkan ketengikan (Zhou

et al. 2002). Keberadaan oksigen di dalam kemasan memungkinkan terjadinya reaksi oksidasi asam lemak tidak jenuh dan membentuk senyawa hidroperoksida yang sangat tidak stabil (Visessanguan et al. 2006; Maisuthisakul et al. 2007).

Tabel 8 Waktu yang diperlukan untuk mencapai 6D dan 12D pada proses termal dengan suhu 65 °C, 75 °C, dan 85 °C

Suhu proses Sampel vakum Sampel tidak vakum Waktu proses untuk mencapai 6D (menit)

65 °C 31 35

75 °C 14 16

85 °C 9 10

Waktu proses untuk mencapai 12D (menit)

65 °C 42 47

75 °C 16 18

24

Aroma menyimpang (off-flavor) yang menandakan kerusakan komponen lemak berasal dari senyawa-senyawa hasil pemecahan hidroperoksida, yaitu senyawa karbon rantai pendek yang bersifat volatil dan menimbulkan aroma tengik pada produk (Visessanguan et al. 2006).

Dengan demikian, walaupun secara visual tidak dapat diamati adanya pertumbuhan kapang, keenam sampel yang menggunakan kemasan tidak vakum tidak diikutsertakan dalam uji rating hedonik kepada panelis karena sudah mengalami penyimpangan mutu aroma. Rekapitulasi data hasil pengamatan sensori sampel selama penyimpanan pada suhu ruang ini dapat dillihat pada Lampiran 5.

Pemilihan Perlakuan Terbaik

Keenam perlakuan yang menghasilkan sampel wingko babat yang masih layak dikonsumsi setelah penyimpanan selama 2 minggu kembali diaplikasikan pada produk wingko babat untuk pemilihan perlakuan terbaik, yaitu dengan uji organoleptik. Uji rating dilakukan terhadap atribut warna, aroma, rasa, tekstur, dan keseluruhan (overall) wingko babat. Analisis data dilakukan dengan menggunakan ANOVA (analysis of variance) dengan uji lanjut Duncan (Meilgaard et al. 1999). Data nilai penerimaan panelis yang diperoleh dari hasil uji rating hedonik oleh 74 orang panelis tidak terlatih dapat dilihat pada Lampiran 6 sampai Lampiran 8. Rata-rata nilai penerimaan panelis terhadap atribut sensori masing-masing perlakuan dapat dilihat pada Tabel 9.

Data yang diperoleh dari uji organoleptik ini menunjukkan bahwa nilai penerimaan panelis terhadap semua atribut sesori yang diuji pada keenam perlakuan tersebut tidak berbeda nyata pada taraf 5% (Lampiran 9). Artinya, perlakuan suhu dan waktu yang digunakan dalam proses termal tidak memberikan pengaruh nyata pada nilai penerimaan terhadap atribut sensori sampel secara keseluruhan (p>0.05). Oleh sebab itu, penentuan perlakuan terpilih dilakukan berdasarkan pertimbangan yang lain.

Salah satu faktor penting yang menjadi pertimbangan adalah faktor ekonomi. Biaya bahan baku dan pembuatan produk wingko babat dari keenam perlakuan

Tabel 9 Hasil uji rating hedonik terhadap beberapa atribut sensori sampel wingko babat yang telah diberi perlakuan

Sampel Rata-rata nilai penerimaan panelis terhadap atribut Warna Aroma Rasa Tekstur Overall

Kontrol 8.0 a 9.1 a 8.5 a 7.5 a 8.3 a A1B1C1 8.1 a 9.1 a 8.4 a 7.7 a 8.5 a A1B1C2 8.2 a 8.7 a 8.7 a 8.2 a 8.4 a A1B2C1 8.2 a 9.0 a 8.4 a 7.6 a 8.4 a A1B2C2 8.3 a 8.8 a 8.3 a 7.9 a 8.4 a A1B3C1 8.4 a 9.0 a 8.5 a 7.6 a 8.6 a A1B3C2 8.4 a 9.0 a 8.2 a 7.6 a 8.2 a a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% berdasarkan uji lanjut Duncan.

25 tersebut tidak berbeda karena digunakan formulasi yang sama. Akan tetapi, perbedaan biaya produksi terjadi pada saat proses pemanasan. Alat pemanas yang digunakan pada proses termal adalah waterbath yang sumber panasnya berasal dari steam boiler. Pada saat digunakan suhu proses yang lebih rendah, waktu proses menjadi lebih lama sehingga steam boiler ini harus menyala selama waktu yang lebih panjang. Padahal tegangan yang dibutuhkan untuk menyalakan steam boiler tidak berbeda pada suhu yang rendah maupun suhu yang tinggi. Oleh sebab itu, sebaiknya dipilih perlakuan suhu yang lebih tinggi agar waktu proses yang dibutuhkan lebih cepat sehingga dapat menghemat penggunaan steam boiler. Dengan demikian, perlakuan yang dipilih adalah proses termal pada suhu 85 °C.

Di samping itu, pemilihan suhu tertinggi sebagai suhu proses juga dilakukan dengan tujuan meminimalisir penurunan atribut mutu sampel akibat proses termal. Menurut Awuah et al. (2007), derajat perubahan suhu yang dibutuhkan untuk

Dokumen terkait