• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Kegiatan penanaman tomat dilakukan pada bulan Januari sampai April 2006. Penanaman dilaksanakan di dalam rumah plastik pada saat musim hujan dengan curah hujan bulanan 14 – 21 mm (Tabel Lampiran 3). Curah hujan tertinggi terjadi pada saat awal penanaman yaitu pada bulan Januari, sedangkan curah hujan terendah pada bulan Maret. Suhu di dalam rumah plastik berkisar antara 24 – 25 °C pada siang hari sedangkan malam hari berkisar 16 – 18 °C. Kelembaban relatif yang terjadi selama penanaman antara 83 – 87 %. Selama kegiatan penyemaian hingga pemindahan di lapang, tanaman tumbuh dengan baik dan tidak mengalami gejala serangan hama dan penyakit. Pertumbuhan tanaman di dalam rumah plastik lebih cenderung tumbuh ke atas (terminal) dibanding

mengalami pembesaran batang (lateral), sehingga keragaan tanaman pada 0 – 2 Minggu Setelah Tanam (MST) terlihat tinggi dan kurus (Gambar 4).

Tanaman tersebut mengalami etiolasi dikarenakan cuaca pada saat 0 – 2 MST terus mengalami hujan sehingga sinar matahari yang masuk ke dalam rumah plastik sedikit, namun pertumbuhan tanaman mulai kembali normal pada 4 MST karena sudah mulai memasuki musim kemarau.

Gambar 4. Kondisi Tanaman (2 MST)

Tanaman mulai memasuki fase generatif pada 4 MST ditandai dengan munculnya bunga pertama pada beberapa tanaman. Pada saat sama diikuti juga dengan munculnya beberapa serangan hama dan penyakit. Serangan hama dan penyakit yang ditemukan masih belum mengganggu pertumbuhan tanaman,

namun tetap dilakukan penyemprotan pestisida pada minggu berikutnya agar serangannya tidak bertambah. Serangan hama yang ditemukan antara lain Spodoptera litura, Liriomyza huidobrensis (Gambar Lampiran 2) dan belalang, sedangkan gejala yang ditimbulkan berupa serangan pada daun dalam bentuk gerekan atau korokan. Gejala hama tersebut menyebabkan aktifitas fotosintesis pada tanaman berkurang sehingga pertumbuhannya menjadi terganggu.

Serangan penyakit yang terjadi meliputi layu fusarium (Fusarium oxysporum), Phytopht hora infestans (Gambar Lampiran 2) dan busuk batang. Gejala yang ditimbulkan pada layu fusarium berupa layunya tangkai daun, dan selain itu juga pada pangkal batang jika dipotong terdapat warna coklat berbentuk cincin (Wiryanta, 2002). Penanganan pada tanaman yang terkena gejala layu fusarium dilakukan dengan cara eradikasi agar tanaman yang terkena penyakit ini tidak menyebar dan mengenai tanaman di sekitarnya. Pada saat tanaman telah berbuah dan mendekati umur panen, muncul beberapa serangan hama yaitu Helicoverpa armigera yang menyerang buah dan Meloidogyne sp. yang menyerang akar tanaman (Gambar Lampiran 2).

Kerusakan terbesar yang pernah terjadi selama penanaman di dalam rumah plastik adalah serangan Phytophthora infestans atau disebut juga dengan nama penyakit busuk daun. Gejala yang ditimbulkan berupa bercak kecil pada daun berwarna coklat sampai hitam namun bercaknya dapat meluas pada seluruh daun (Semangun, 1989). Serangan ini juga mengakibatkan beberapa tanaman contoh mati. Penyakit ini mudah menyerang tanaman dan cepat menularkan pada tanaman sekitar karena kondisi pada saat penanaman yaitu sering turun kabut dan angin kencang walaupun berada dalam rumah plastik. Pengendalian yang dilakukan terhadap gejala serangan Phytophthora infestans dilakukan dengan cara pembuangan daun yang terserang busuk daun dan selain itu juga dilakukan penyemprotan fungisida dengan bahan aktif benomil 50% (Benlate) yang lebih intensif.

Pemberian perlakuan berupa aplikasi CaCl2 pertama dilakukan pada 15 Hari Setelah Anthesis (HSA) atau 7 MST. Beberapa hari setelah penyemprotan pertama, tangkai, kelopak buah serta daun di sekitar buah menjadi kering kecoklatan. Perubahan warna tersebut disebabkan oleh pengaruh penyemprotan

18

CaCl2 yang dilakukan, sehingga sel-sel dalam jaringan yang terkena selain buah mengalami plasmolisis. Penye mprotan berikutnya, pemberian perlakuan dilakukan secara hati- hati dan terarah pada buah agar tid ak terkena jaringan selain buah, seperti kelopak buah atau daun yang berada di sekitar buah.

Buah dipanen kemudian disimpan dalam ruangan dengan suhu berkisar 24 – 27 °C dengan kelembaban 80 – 90 %. Selama proses penyimpanan, buah yang terkena serangan penyakit tidak banyak dan selain itu juga dapat langsung dikendalikan dengan cara disortir kemudian dibuang. Gejala serangan penyakit selama proses penyimpanan tersebut antara lain busuk buah dan cendawan. Proses penyortiran juga dilakukan pada saat awal penyimpanan,buah yang mengalami kerusakan mekanis pada waktu dibawa dari lapang menuju laboratorium tidak digunakan dalam proses pengamatan.

Kualitas Buah Kandungan Kalsium

Tabel 2 menunjukkan bahwa kandungan kalsium akibat perlakuan yang diberikan hanya bertambah sekitar 0.12 hingga 0.73 mg/100g atau 10 sampai 60% terhadap kontrol. Aplikasi CaCl2 melalui penyemprotan pada saat prapanen tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peningkatan kandungan kalsium (Tabel Lampiran 4), hal ini bisa disebabkan faktor lingkungan seperti waktu pemberian pestisida yang penyemprotannya berdekatan dengan waktu aplikasi perlakuan, sehingga CaCl2 tercuci sebelum mamp u diserap oleh buah.

Tabel 2. Rata-rata Kandungan Kalsium dalam Buah pada Aplikasi CaCl2

Perlakuan Ca (mg/100g) (%) Kontrol 1.21 - CaCl2 0.2M 15 HSA 1.61 33.11 CaCl2 0.2M 15, 20 HSA 1.33 10.30 CaCl2 0.2M 15, 20, 25 HSA 1.43 18.46 CaCl2 0.4M 15 HSA 1.40 16.01 CaCl2 0.4M 15, 20 HSA 1.63 34.85 CaCl2 0.4M 15, 20, 25 HSA 1.94 60.30

Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis % = Persen Terhadap Kontrol

Warna Kulit

Aplikasi CaCl2 memberikan pengaruh yang nyata untuk warna kulit buah pada 3, 6, 12 dan 15 HSP, sedangkan pada 9, 18, 21 dan 24 HSP aplikasi CaCl2 tidak memberikan pengaruh yang nyata (Tabel Lampiran 5). Berdasarkan pada Tabel 3, pengamatan yang dilakukan pada semua buah yang memiliki pengaruh nyata, menunjukkan bahwa perlakuan CaCl2 dengan konsentrasi dan frekuensi yang lebih tinggi yaitu CaCl2 0.4 M 15, 20, 25 HSA selalu menghasilkan skor warna yang lebih rendah dibandingkan perlakuan yang lain. Skor warna yang rendah tersebut menunjukkan bahwa aplikasi CaCl2 mampu menghambat perubahan warna yang terjadi selama masa penyimpanan, dan selain itu juga memperlihatkan bahwa buah tersebut memiliki umur simpan yang lebih lama.

Tabel 3. Rata-rata Nilai Warna Kulit Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Perlakuan HSP

3 6 9 12 15 18 21 24 Skor Warna

Kontrol 4.0a 4.9a 5.1 5.4a 5.7a 5.7 5.8 6.0 CaCl2 0.2 M 15 HSA 3.7ab 4.4b 4.7 5.1b 5.2b 5.5 5.6 5.9 CaCl2 0.2 M 15, 20 HSA 3.5abc 4.2b 4.7 4.9c 5.3b 5.4 5.7 5.8 CaCl2 0.2 M 15, 20, 25 HSA 3.3bc 3.9b 4.5 5.0bc 5.2b 5.5 5.6 5.8 CaCl2 0.4 M 15HSA 3.2c 3.9b 4.5 5.0bc 5.2b 5.4 5.5 5.8 CaCl2 0.4 M 15, 20 HSA 3.4bc 4.2b 4.5 5.1b 5.3b 5.4 5.5 5.7 CaCl2 0.4 M 15, 20, 25 HSA 3.1c 3.8b 4.2 4.8c 4.9c 5.2 5.5 5.7 Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 5 %

Proses penyimpanan buah pada 24 HSP menunjukkan bahwa skor warna paling tinggi adalah pada kontrol yaitu 6 (fase red), sedangkan buah dengan aplikasi CaCl2 0.2 M berkisar antara 5.8 – 5.9 (fase light red) dan CaCl2 0.4 M antara 5.7 – 5.8 (fase light red) (Tabel 3). Menurut Kader (1992), buah tomat dikatakan lewat masak jika memiliki skor warna lebih dari 6 dan mulai

20

mengkerut, hal ini menunjukkan bahwa penyimpanan yang dilakukan pada penelitian ini masih dapat dilakukan lebih dari 24 HSP terutama buah dengan aplikasi CaCl2.

Kelunakan Buah

Kelunakan buah yang tinggi mengindikasikan bahwa buah tersebut memiliki kualitas yang rendah. Aplikasi CaCl2 pada saat prapanen terhadap kelunakan buah hanya memberikan pengaruh yang nyata pada 21 HSP (Tabel Lampiran 6). Tabel 4 menunjukkan bahwa nilai kelunakan buah paling tinggi

terjadi pada aplikasi CaCl2 0.2 M dengan tiga kali penyemprotan yaitu 7.9 mm/102 g/5 detik. Hasil keseluruhan dari pengamatan menunjukkan

kelunakan buah umumnya mengalami peningkatan, akan tetapi pada 12 hingga 24 HSP nilai kelunakan buah menjadi bersifat fluktuatif (Gambar 5).

Tabel 4. Rata-rata Nilai Kelunakan Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Perlakuan Hari Setelah Panen

0 3 6 9 12 15 18 21 24 (mm/102 g/5 detik) Kontrol 2.48 3.77 4.95 5.93 5.97 6.26 5.98 5.65cd 6.15 CaCl2 0.2 M 15 HSA 2.64 3.46 4.63 4.98 7.00 5.57 6.95 5.58d 6.63 CaCl2 0.2 M 15, 20 HSA 2.14 2.95 4.68 5.44 5.14 5.84 5.56 7.45ab 5.74 CaCl2 0.2 M 15, 20, 25 HSA 2.28 3.66 4.62 5.95 5.98 5.37 6.38 7.90a 6.29 CaCl2 0.4 M 15HSA 2.30 3.97 4.92 5.75 5.78 5.99 6.50 6.45bcd 6.80 CaCl2 0.4 M 15, 20 HSA 2.68 3.86 4.98 6.20 6.65 6.56 7.21 7.00abc 6.71 CaCl2 0.4 M 15, 20, 25 HSA 2.88 4.05 4.62 5.93 6.48 5.28 4.94 7.83ab 6.77 Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 5 %

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 0 3 6 9 12 15 18 21 24

Hari Setelah Panen

mm/102g/5s T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

Gambar 5. Rata-rata Nilai Kelunakan Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Keterangan : T0 = Kontrol T4 = 0.4 M 1x aplikasi T1 = 0.2 M 1x aplikasi T5 = 0.4 M 2x aplikasi T2 = 0.2 M 2x aplikasi T6 = 0.4 M 3x aplikasi T3 = 0.2 M 3x aplikasi

Total Asam Tertitrasi

Aplikasi CaCl2 terhadap total asam tertitrasi memberikan pengaruh yang nyata pada pengamatan 0 dan 3 HSP. Tabel 5 menunjukkan nilai total asam

tertitrasi tertinggi terjadi pada kontrol, masing- masing dengan nilai 315.04 mg/100g dan 327.53 mg/100g. Pengamatan berikutnya pada aplikasi

CaCl2 terhadap kandungan total asam tertitrasi tidak memberikan pengaruh yang nyata hingga 24 HSP (Tabel Lampiran 7). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Retnawan (2004), aplikasi CaCl2 0.15 M dan 0.30 M dengan frekuensi satu hingga tiga kali pada saat prapanen juga tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap nilai kandungan total asam tertitrasi buah tomat.

22

Tabel 5. Rata-rata Nilai Total Asam Tertitrasi Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Perlakuan Hari Setelah Panen

0 3 6 9 12 15 18 21 24

(mg/100 g)

Kontrol 315.04a 327.53a 258.04 266.74 235.08 210.15 247.94 210.21 246.32 CaCl2 0.2 M

15 HSA 303.22a 296.75ab 269.14 210.81 215.47 214.31 240.28 177.02 217.92 CaCl2 0.2 M 15, 20 HSA 241.78c 234.17c 207.31 210.65 183.53 194.52 212.55 202.03 241.01 CaCl2 0.2 M 15, 20, 25 HSA 256.75bc 276.58abc 241.15 237.49 195.72 216.44 203.93 202.76 236.30 CaCl2 0.4 M 15HSA 289.34ab 251.02bc 217.26 224.15 248.86 238.74 228.64 212.31 240.34 CaCl2 0.4 M

15, 20 HSA 307.25a 304.73ab 251.35 270.51 182.54 195.24 219.04 208.05 211.04 CaCl2 0.4 M

15, 20, 25 HSA 244.99c 260.34bc 223.00 216.41 217.61 211.14 248.11 216.24 217.58 Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis

Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 5 %

Laju Respirasi

Pengaruh aplikasi CaCl2 terhadap laju respirasi ditunjukkan pada Tabel 6. Berdasarkan Tabel tersebut dapat diketahui bahwa aplikasi CaCl2 saat prapanen tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap laju respirasi selama proses penyimpanan (Tabel Lampiran 8). Buah pada saat awal penyimpanan atau breaker memiliki nilai laju respirasi rata-rata yang tinggi dan kemudian akan terus menurun, tetapi pada waktu tertentu yaitu 12 hingga 21 HSP, nilai laju respirasi meningkat dan akan turun kembali pada saat buah mendekati senescen (Gambar 6). Tomat merupakan buah klimakterik yang kematangan buahnya ditunjukkan dengan nilai laju repirasinya pada waktu tertentu meningkat kemudian menurun. Salah satu faktor kenaikan laju respirasi pada buah yang terlibat yaitu dipengaruhi oleh produksi etilen (Gambar Lampiran 3) (Belitz and Grosch, 1999).

Penelitian yang dilakukan oleh Retnawan (2004) menunjukkan bahwa aplikasi CaCl2 0.15 M dan 0.30 M dengan frekuensi satu hingga tiga kali pada saat prapanen tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju respirasi selama penyimanan. Pengaruh tidak nyata pada laju respirasi juga dilaporkan pada

penelitian yang dilakukan oleh Astuti (2002) dengan CaCl2 0.1 M dengan frekue nsi satu hingga tiga kali.

Tabel 6. Rata-rata Nilai Laju Respirasi Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Perlakuan Hari Setelah Panen

0 3 6 9 12 15 18 21 24 (mg CO2/kg/jam) Kontrol 56.70 39.02 39.66 21.97 19.33 16.80 10.80 11.10 12.59 CaCl2 0.2 M 15 HSA 33.19 35.80 20.79 14.26 16.91 18.98 13.41 14.12 15.14 CaCl2 0.2 M 15, 20 HSA 37.27 32.48 27.44 16.74 19.18 17.41 16.07 13.61 17.06 CaCl2 0.2 M 15, 20, 25 HSA 33.29 26.37 24.70 14.35 14.32 11.13 18.03 15.04 12.23 CaCl2 0.4 M 15HSA 40.33 32.54 31.66 21.37 19.01 13.16 16.69 14.64 16.53 CaCl2 0.4 M 15, 20 HAS 33.47 36.63 26.22 22.68 16.47 17.82 10.03 20.77 7.94 CaCl2 0.4 M 15, 20, 25 HSA 36.64 28.53 28.13 20.81 20.80 28.68 20.59 10.58 20.36 Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis

0 10 20 30 40 50 60 0 3 6 9 12 15 18 21 24

Hari Setelah Panen

mg CO2/kg/jam T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

Gambar 6. Rata-rata Nilai Laju Respirasi Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2 Keterangan : T0 = Kontrol T4 = 0.4 M 1x aplikasi

T1 = 0.2 M 1x aplikasi T5 = 0.4 M 2x aplikasi T2 = 0.2 M 2x aplikasi T6 = 0.4 M 3x aplikasi T3 = 0.2 M 3x aplikasi

24

Susut Bobot

Pengaruh aplikasi CaCl2 terhadap susut bobot buah ditunjukkan pada Tabel 7. Aplikasi CaCl2 pada saat prapanen tidak berpengaruh nyata terhadap susut pada seluruh pengamatan (Tabel Lampiran 9). Nilai susut bobot pada penelitian ini terus mengalami kenaikan pada semua taraf perlakuan, dan hal tersebut menunjukkan bahwa CaCl2 yang diaplikasikan tidak mampu mempertahankan kehilangan bobot selama masa penyimpanan. Buah yang mengalami kehilangan bobot yang cepat mengindikasikan buah tersebut tidak mampu disimpan untuk waktu yang relatif lama. Penelitian yang dilakukan Retnawan (2004) juga menunjukkan bahwa aplikasi CaCl2 prapanen 0.15 M dan 0.30 M dengan frekuensi yang sama tidak menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap susut bobot.

Tabel 7. Rata-rata Nilai Susut Bobot Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Perlakuan Hari Setelah Panen

3 6 9 12 15 18 21 24 (%) Kontrol 4.96 8.04 9.64 11.23 12.78 14.44 15.54 16.92 CaCl2 0.2 M 15 HSA 4.75 8.05 9.96 11.00 13.00 14.69 15.55 16.76 CaCl2 0.2 M 15, 20 HSA 4.77 7.57 9.87 11.02 12.72 14.05 15.01 16.54 CaCl2 0.2 M 15, 20, 25 HSA 4.73 7.76 9.06 10.56 12.65 12.02 14.61 16.13 CaCl2 0.4 M 15 HSA 4.61 6.88 8.49 9.64 11.11 12.56 13.12 13.99 CaCl2 0.4 M 15, 20 HSA 4.39 6.88 8.73 10.18 11.50 12.70 13.67 14.55 CaCl2 0.4 M 15, 20, 25 HSA 4.50 6.89 8.56 10.04 11.67 13.25 13.75 14.88 Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis

Padatan Total Terlarut

Aplikasi CaCl2 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap Padatan Total Terlarut (PTT) selama penyimpanan 24 hari (Tabel Lampiran 10). Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai PTT seluruhnya cenderung mengalami kenaikan walaupun tidak signifikan hingga hari tertentu dan kemudian menurun pada saat akhir pengamatan (Gambar 7). Nilai PTT buah yang diperoleh berkisar antara 3.87 hingga 5.9 °Brix. Normasari dan Purwoko (2002) pada

penelitiannya menunjukkan bahwa pemberian CaCl2 pada saat prapanen tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap PTT buah. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Retnawan (2004) yang melaporkan bahwa terdapat pengaruh nyata terhadap PTT namun hanya terjadi pada 18 HSP saja.

Tabel 8. Rata-rata Nilai Padatan Total Terlarut Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Perlakuan Hari Setelah Panen

0 3 6 9 12 15 18 21 24 (°Brix) Kontrol 4.47 4.65 4.51 4.83 4.66 4.83 4.63 4.66 4.43 CaCl2 0.2 M 15 HSA 4.38 4.02 4.56 4.51 4.55 5.06 4.62 4.33 4.44 CaCl2 0.2 M 15, 20 HSA 4.20 4.17 4.34 4.54 4.37 4.74 4.42 4.71 4.22 CaCl2 0.2 M 15, 20, 25 HSA 4.03 4.58 4.59 5.03 4.57 4.61 4.73 4.58 4.73 CaCl2 0.4 M 15HSA 3.87 4.56 4.63 5.05 5.05 5.53 4.66 4.48 4.44 CaCl2 0.4 M 15, 20 HSA 3.98 4.53 4.53 4.46 4.68 4.61 4.99 5.06 4.01 CaCl2 0.4 M 15, 20, 25 HSA 3.97 4.29 4.40 4.58 4.62 4.76 5.35 5.90 4.28 Keterangan : HSA = Hari Setelah Anthesis

0 1 2 3 4 5 6 7 0 3 6 9 12 15 18 21 24

Hari Setelah Panen

ºBrix T0 T1 T2 T3 T4 T5 T6

Gambar 7. Rata-rata Nilai Padatan Total Terlarut Buah Tomat Hasil Aplikasi CaCl2

Keterangan : T0 = Kontrol T4 = 0.4 M 1x aplikasi T1 = 0.2 M 1x aplikasi T5 = 0.4 M 2x aplikasi T2 = 0.2 M 2x aplikasi T6 = 0.4 M 3x aplikasi

26

Pembahasan Umum

Kandungan kalsium buah tomat pada penelitian ini sangat kecil jika dibandingkan data yang diperoleh dari Puslitbang Gizi Depkes RI (1995) yang menunjukkan bahwa kandungan kalsium pada buah tomat adalah 8 mg/100g. Perbedaan kand ungan kalsium pada penelitian ini mungkin disebabkan oleh faktor ketersediaan kalsium pada buah. Faktor- faktor yang dapat mempengaruhi ketersediaan kalsium pada tanaman antara lain: status kalsium dalam tanah, kemampuan penyerapan oleh akar, transportasi serta translokasi pada tanaman, dan kalsium yang terdapat dalam sel, jaringan serta distribusinya (Ferguson, 1990). Kallo (1986) menyebutkan bahwa ketersediaan kandungan kalsium yang tinggi pada buah dapat menghambat pematangan serta meningkatkan kualitas buah.

Perubahan warna kulit melalui aplikasi CaCl2 pada saat prapanen mampu dihambat. Belitz dan Grosch (1999) mengatakan bahwa munculnya pigmen lain yaitu lycopene memiliki peran yang penting dalam laju perubahan warna yang terjadi pada kulit buah. Perubahan warna kulit yang terjadi merupakan akibat dari degradasi klorofil yang diikuti dengan munculnya pigmen lycopene, khusus pada tomat. Menurut Eskin et al. (1971), perubahan warna yang terjadi dipengaruhi oleh peningkatan laju respirasi dan perubahan tekstur buah. Buah tanpa aplikasi atau kontrol memiliki skor warna yang paling tinggi pada semua HSP dan hal ini diduga karena dipengaruhi oleh tingkat kelunakan serta laju respirasinya yang juga tinggi.

Aplikasi CaCl2 pada kelunakan buah tidak memberikan pengaruh yang nyata pada semua taraf perlakuan. Perubahan tekstur buah menjadi lunak antara lain diakibatkan oleh perubahan komposisi pektin, perubahan komponen dinding sel dan hidrolisis karbohidrat (Kays, 1991). Buah selama masa penyimpanan mengalami tahap matang (maturation) menuju masak (ripening) dan akhirnya mulai mengalami pengkeriputan (senescence). Selama tahap menuju masak, buah banyak mengalami perubahan secara fisik ataupun kimia. Perubahan buah menjadi masak merupakan hasil dari reaksi kimia secara kompleks yang kemudian akan menentukan perubahan fisik yang terjadi (Wills et al., 1989), dan salah satunya yaitu pengkeriputan buah.

Buah setelah dipanen mengalami reaksi metabolisme yang bersifat katabolisme yaitu karbohidrat akan diubah menjadi karbon, air dan energi. Karbohidrat yang berperan sebagai cadangan makanan dalam buah semakin lama akan habis selama proses penyimpanan akibat dari reaksi tersebut. Sel-sel buah akan mulai keriput dan mati karena energi kimia sudah tidak diperoleh lagi sehingga integritas antar sel juga akan terpengaruhi (Kays, 1991).

Nilai kandungan total asam tertitrasi buah tomat menurun selama proses penyimpanan walaupun terjadi fluktuasi. Penurunan kandungan total asam tertitasi yang terjadi disebabkan asam-asam organik pada buah digunakan sebagai substrat dalam proses reaksi metabolisme sebagai cadangan makanan yang nantinya akan diubah menjadi gula atau direspirasikan (Santoso dan Purwoko, 1995). Perubahan nilai kandungan total asam tertitrasi mempunyai nilai korelasi terbalik dengan kandungan padatan total terlarut (Gambar Lampiran 4). Penurunan kandungan total asam tertitrasi yang terjadi pada buah selama penyimpanan karena asam organik (protein dan molekul lain) digunakan dalam proses respirasi sebagai substrat (Kays, 1991).

Buah klimakterik umumnya memiliki cadangan makanan yang tinggi untuk mengasilkan energi dalam proses metabolisme selama pemasakan (ripening), sehingga umumnya buah klimakterik memiliki umur yang lebih panjang dibandingkan dengan buah nonklimakterik (Kays, 1991). Perubahan laju respirasi yang terjadi merupakan akibat dari proses kimia buah dalam reaksi metabolisme yang menggunakan asam organik sebagai cadangan makanan dalam buah dan kemudian menghasilkan CO2, air dan energi. Belitz dan Grosch (1999) mengatakan bahwa buah setelah dipanen akan berhenti proses fotosintesisnya dan kemudian akan diganti proses metabolismenya dengan reaksi katabolisme.

Buah selama penyimpanan mengalami kehilangan jumlah kandungan air di dalam buah. Menurunnya jumlah kandungan air yang terjadi pada buah, akibat dari transpirasi. Proses kehilangan air tersebut yang menyebabkan buah mengalami penyusutan bobot (Normasari dan Purwoko, 2002). Susut bobot pada buah berkaitan dengan proses laju repirasi, semakin tinggi laju respirasi maka kehilangan bobot yang terjadi juga semakin tinggi. Peningkatan susut bobot buah juga banyak dipengaruhi dari faktor eksternal seperti buah yang terkena serangan

28

hama saat proses penyimpanan ataupun kerusakan mekanis saat pengangkutan hasil panen. Menurut Kays (1991), kehilangan bobot buah akibat dari proses respirasi dapat terjadi oleh dua faktor yaitu internal (komoditi) dan eksternal (lingkungan) yang berinteraksi. Faktor yang dipengaruhi oleh komoditi yaitu spesies, kultivar, bagian tanaman, tingkat pertumbuhan, rasio volume dan luas permukaan, sejarah penanaman sebelumnya, kondisi penanganan dan komposisi kimia, sedangkan faktor yang disebabkan dari lingkungan adalah temperatur, komposisi gas, kondisi kelembaban, cahaya dan faktor lainnya yang dapat memicu kondisi stres.

Peningkatan nilai PTT yang terjadi dalam buah selama proses menuju masak (ripening) karena buah terus mengalami reaksi metabolisme selama proses penyimpanan yaitu hidrolisis pati yang akan mengubah cadangan makanan atau energi menjadi gula. Semakin lama gula dalam buah akan meningkat. PTT pada buah memiliki korelasi terbalik terhadap kandungan asam organik, seperti yang telah dijelaskan pada kandungan total asam terlarut. Peningkatan nilai PTT akan diikuti dengan penurunan terhadap kand ungan asam organik (Gambar Lampiran 4).

Kesimpulan

Penyemprotan CaCl2 pada saat prapanen mampu menghambat perubahan warna kulit pada buah tomat selama masa penyimpanan. Pengaruh aplikasi CaCl2 pada konsentrasi 0.2 M dan 0.4 M serta frekuensi penyemprotan satu hingga tiga kali tidak mampu mempertahankan kualitas buah yang lain selama masa penyimpanan seperti kelunakan buah, total asam tertitrasi, laju respirasi, susut bobot dan padatan total terlarut. Aplikasi CaCl2 juga tidak meningkatkan kandungan kalsium pada buah.

Saran

Pemberian kalsium pada saat di lapang tidak memberikan manfaat terhadap peningkatan kualitas buah tomat selama penyimpanan.

Dokumen terkait