• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Pertambahan Tinggi (cm)

Data hasil pengamatan pertambahan tinggi tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 1. Berdasarkan data hasil pengamatan pertambahan tinggi tanaman sukun, pertambahan tinggi tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 10 cm (K5) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×1 hari (S1) yaitu sekitar 87,30 cm. Sedangkan pertambahan tinggi terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 11,23 cm.

Tabel 1. Data Pertambahan Tinggi (cm) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Interval Penyiraman.

Perlakuan S1 S2 S3 S4 Rata-rata Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan pertambahan tinggi tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa dan faktor interval penyiraman serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Pertambahan Diameter (cm)

Data hasil pengamatan pertambahan diameter tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan data hasil pengamatan pertambahan diameter tanaman sukun, pertambahan diameter tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 10 cm (K5) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×3 hari (S2) yaitu sekitar 0,86 cm. Sedangkan pertambahan diameter terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 0,17 cm.

Tabel 2. Data Pertambahan Diameter (cm) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Interval Penyiraman. Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan pertambahan diameter tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa dan faktor interval penyiraman, serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertambahan diameter tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Jumlah Daun (helai)

Data hasil pengamatan pertambahan jumlah daun tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 3. Berdasarkan data hasil pengamatan pertambahan jumlah

daun tanaman sukun, pertambahan jumlah daun tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 10 cm (K5) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×1 hari (S1) yaitu sekitar 7,67 helai. Sedangkan pertambahan jumlah daun terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 2 helai.

Tabel 3. Data Jumlah Daun (helai) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Interval Penyiraman.

Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan pertambahan jumlah daun tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa dan faktor interval penyiraman, serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Luas Tajuk (𝐜𝐜𝐜𝐜𝟐𝟐)

Data luas tajuk tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 4. Berdasarkan data hasil pengamatan luas tajuk tanaman sukun, luas tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 10 cm (K5) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 3097,30 cm2. Sedangkan luas tajuk terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian

mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 1073,72 cm2.

Tabel 4. Data Luas Tajuk (cm2)Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Interval Penyiraman. Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan luas tajuk tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa berpengaruh nyata terhadap pertambahan jumlah daun tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%. Sedangkan faktor interval penyiraman, serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman tidak berpengaruh nyata sehingga tidak dilakukan uji lanjutan.

Kadar Air Daun (%)

Data hasil pengamatan kadar air daun tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 5. Berdasarkan data hasil pengamatan kadar air daun tanaman sukun, kadar air daun tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 8 cm (K4) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×3 hari (S2) yaitu sekitar 89,33%. Sedangkan kadar air daun terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 49,33 %.

Tabel 5. Data Kadar Air Daun (%) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa

Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan kadar air daun tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa dan faktor interval penyiraman, serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman berpengaruh nyata terhadap kadar air daun tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Panjang Akar (cm)

Data hasil pengamatan panjang akar tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 6. Berdasarkan data hasil pengamatan panjang akar tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa tidak berpengaruh nyata terhadap panjang akar tanaman sukun sehingga tidak dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Tabel 6. Data Panjang Akar(cm) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Interval Penyiraman.

Berdasarkan data hasil pengamatan panjang akar tanaman sukun, panjang akar tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 8 cm (K4) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 85,00 cm. Sedangkan panjang akar terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 56,33 cm.

Bobot Kering Akar (gram)

Data hasil pengamatan bobot kering akar dapat dilihat pada Tabel 7.

Berdasarkan data hasil pengamatan bobot kering akar tanaman sukun, bobot kering akar tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 6 cm (K3) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×3 hari (S2) yaitu sekitar 30,33 gram. Sedangkan bobot kering akar terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×3 hari (S2) yaitu sekitar 6,33 gram. Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan bobot kering akar tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut

kelapa dan faktor interval penyiraman, serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman berpengaruh nyata terhadap bobot kering akar tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Bobot Kering Tajuk (gram)

Data hasil pengamatan bobot kering tajuk tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 8. Berdasarkan data hasil pengamatan bobot kering tajuk tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa dan faktor interval penyiraman, serta interaksi ketebalan mulsa organik dengan penyiraman berpengaruh nyata terhadap bobot kering tajuk tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Tabel 8. Data Bobot Kering Tajuk (gram) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Penyiraman. Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata secara signifikan berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan bobot kering tajuk tanaman sukun, bobot kering tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 4 cm (K2) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×1 hari (S1) yaitu sekitar 41,33 gram. Sedangkan bobot kering tajuk terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 9,76 gram.

Luas Daun (𝐜𝐜𝐜𝐜𝟐𝟐)

Data luas daun tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 9. Berdasarkan data hasil pengamatan luas daun tanaman sukun, luas daun tertinggi terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 8 cm (K4) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 516,22 cm2. Sedangkan luas daun terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman 1×7 hari (S4) yaitu sekitar 173,40 cm2 .

Tabel 9. Data Luas Daun (cm2) Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Penyiraman.

Keterangan : Perlakuan yang diikuti notasi yang sama menandakan bahwa perlakuan tidak berpengaruh nyata berdasarkan DMRT taraf α 5%

Berdasarkan data hasil pengamatan luas daun tanaman sukun dan uji analisis tabel anova dapat dilihat bahwa faktor ketebalan mulsa organik sabut kelapa berpengaruh nyata terhadap luas daun tanaman sukun sehingga dilakukan uji lanjutan dengan uji DMRT 5%.

Koefisien Korelasi

Koefisien korelasi menggambarkan kuat/tidaknya hubungan linear antar parameter pengamatan. Data koefisien korelasi antar parameter pengamatan tanaman sukun dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10. Data Koefisien Korelasi Pertumbuhan Tanaman Sukun dengan Perlakuan Mulsa Organik Sabut Kelapa dan Penyiraman.

KORELASI Tinggi Diameter Jumlah Daun

Berdasarkan data koefisien korelasi pada Tabel 10 diperoleh semua hubungan parameter pengamatan bernilai positif yang menunjukkan bahwa hubungan antar perameter pengamatan bersifat searah. Secara teori, dua variabel dapat sama sekali tidak berhubungan (r=0), berhubungan secara sempurna (r=1), atau antara kedua angka tersebut. Arah korelasi juga dapat positif (berhubungan searah) atau negatif (berhubungan berlainan arah). Berdasarkan Tabel 10 dapat dilihat bahwa hubungan luas daun dan luas tajuk memiliki hubungan yang paling kuat yaitu 0,952 dan yang paling lemah pada hubungan antara bobot kering akar dengan panjang akar yaitu 0,001.

Pembahasan

Berdasarkan sidik ragam terlihat bahwa perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa berpengaruh nyata terhadap parameter pengamatan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, jumlah daun, luas daun, luas tajuk, kadar air daun, bobot kering tajuk, dan bobot kering akar. Hal ini menunjukkan bahwa pemberian mulsa organik memberikan suatu lingkungan pertumbuhan

yang baik dan mampu memodifikasi faktor lingkungan, kelembaban, dan kadar air yang lebih tinggi akan mendorong penyerapan unsur hara oleh tanaman sukun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Umboh (2002), bahwa penggunaan mulsa mengakibatkan penurunan suhu tanah siang hari yang mampu menekan evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan tanah sehingga menekan kehilangan air dari permukaan tanah. Selain itu, tanah-tanah yang tidak diberi mulsa ada kecenderungan menurunnya bahan organik tanah sebaliknya pada tanah yang diberi mulsa kandungan bahan organik cukup stabil dan cenderung meningkat.

Pertumbuhan tanaman yang diperoleh merupakan kemampuan dan ketahanan tanaman dalam memanfaatkan faktor- faktor tumbuh di sekelilingnya baik yang berada di bawah permukaan tanah maupun yang berada di atas permukaan tanah yang berupa cahaya, air, dan oksigen. Hal ini sesuai dengan pernyataan Wicks, dkk (2004) dalam Budi dan Hajoeningtias (2009),bahwa hasil tanaman yang meningkat merupakan refleksi kemampuan kompetisinya yang tinggi, sehingga tanaman mengalami pertumbuhan yang lebih baik dengan memanfaatkan faktor tumbuh yang ada secara maksimal sehingga distribusi fotosintat ke bagian biji juga meningkat.

Berdasarkan Uji DMRT taraf α 5%, perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa terbaik ditemukan pada ketebalan 6 cm (K3). Hal ini dapat dilihat pada parameter pengamatan pertambahan tinggi, pertambahan diameter, dan jumlah daun yang masing- masing terdapat pada perlakuan pemberian mulsa organik sabut kelapa ketebalan 6 cm dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Ainun (2011), bahwa ketebalan mulsa organik yang dianjurkan adalah antara 5-10 cm. Mulsa yang terlalu tipis

akan kurang efektif dalam mengendalikan gulma. Mulsa organik lebih disukai terutama pada system pertanian yang organik. Pemberian mulsa organik seperti jerami akan memberikan suatu lingkungan pertumbuhan yang baik bagi tanaman karena dapat mengurangi evaporasi, mencegah penyinaran langsung sinar matahari yang berlebihan terhadap tanah serta kelembaban tanah dapat terjaga, sehingga tanaman dapat menyerap air dan unsur hara dengan baik.

Perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) menghasilkan pertumbuhan terendah. Hal ini dapat dilihat dari data semua parameter pengamatan dan hasil sidik ragam yang menunjukkan parameter pengamatan terendah terdapat pada perlakuan tanpa pemberian mulsa organik sabut kelapa atau kontrol (K0) dikombinasikan dengan perlakuan penyiraman. Hal ini sesuai dengan pernyataan Syaifuddin dan Pranowo (2007) yang menyatakan bahwa, perlakuan tanpa mulsa menyebabkan perubahan kandungan air tanah cukup besar, sehingga terjadi defisit air yang menghambat pertumbuhan tinggi tanaman. Cekaman air akan menyebabkan suhu daun meningkat, stomata menutup, dan fotosintesis menurun, sebagai akibatnya respirasi meningkat yang dapat mengurangi hasil asimilasi netto.

Mulsa organik sabut kelapa yang merupakan bahan organik yang bisa saja terdekomposisi menyebabkan tanah mendapatkan unsur hara dari proses pelapukan yang mendukung pertumbuhan tanaman. Pertumbuhan helai daun dipengaruhi oleh unsur hara dan pemberian air yang cukup untuk proses fotosintesis yang dimulai dari akar diteruskan ke daun. Pemakaian mulsa organik anyaman daun sawit mampu memperbaiki struktur tanah menjadi lebih gembur dan mempertinggi kadar humus tanah, karena mulsa organik bersifat lapuk dan

membusuk. Pembusukan dari mulsa ini bisa menambah unsur hara pada tanah dan berpengaruh pada kesuburan tanah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Rukmana (2005), bahwa pemberian mulsa organik pada tanah akan pengaruh yang baik bagi perbaikan sifat fisik tanah, meningkatkan penyerapan air tanah, mengurangi kisaran suhu dan dapat mengurangi kisaran suhu tanah dan dapat mengendalikan pertumbuhan gulma, mempertinggi kadar humus tanah dan memperbaiki aerasi dan drainase tanah sehingga akar dapat berkembang dengan baik dan pertumbuhan tanaman akan lebih subur.

Berdasarkan Uji DMRT taraf α 5%, faktor penyiraman terbaik terdapat pada penyiraman 1x3 hari (S2), hal ini dapat dilihat dari parameter pengamatan pertambahan tinggi, bobot kering akar, dan bobot kering tajuk yang masing- masing terdapat pada perlakuan penyiraman 1x3 hari. Perlakuan penyiraman 1x7 hari (S4) menghasilkan pertumbuhan terendah pada semua parameter pengamatan. Hal ini membuktikan bahwa air adalah komponen penting dalam pertumbuhan tanaman, karena sifatnya sebagai pelarut dan membawa ion-ion tanah kedalam akar.

Ketersediaan air yang cukup pada media tanam akan menjamin kelangsungan pertumbuhan, perkembangan, dan hasil tanaman. Salah satu faktor penentu ketersediaan air tanah adalah penyiraman, baik jumlah maupun frekuensi penyiraman. Sesuai dengan penelitian Setiawan (2013) bahwa penyiraman dengan interval 9 hari sekali menurunkan kadar lengas tanah sekitar 51,2% dibandingkan penyiraman setiap hari dan penyebabkan tanaman mengalami cekaman kekeringan. Pada penyiraman 1x7 hari berdampak buruk pada pertumbuhan tanaman, tetapi dari data yang disajikan bibit sukun tidak ada yang mengalami kematian, hanya penghambat pertumbuhan yang ditunjukkan dengan keadaan layu

untuk penyiraman 1x7 hari. Hal ini membuktikan bahwa bibit sukun masih toleran terhadap kekeringan selama 7 hari dan layu dalam keadaan kapasitas lapang atau layu sepanjang hari. Hal ini sesuai dengan pernyataan Tridjaja (2003) yang menyatakan bahwa sukun juga toleran terhadap curah hujan yang sedikit maupun curah hujan yang tinggi antara namun lebih sesuai pada daerah-daerah yang cukup banyak mendapat penyinaran matahari. Tanaman sukun tumbuh baik di tempat yang lembab, panas, dengan temperatur antara 15-38°C. Tanaman sukun ditanam di tanah yang subur, dalam dan drainase yang baik, tetapi beberapa varietas tanpa biji dapat tumbuh baik di tanah berpasir. Namun setelah disiram kembali tanaman sukun akan segar sesuai dengan air yang diberikan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Dwijoseputro (2009) bahwa kalau sepanjang hari penguapan terus menerus lebih hebat daripada peresapan air oleh akar, maka tanaman tersebut ada di dalam keadaan layu sepanjang hari. Jika pada malam hari pemasukan air lebih banyak dari pengeluaran, maka pulihlah turgor dan tanaman tampak segar lagi.

Respon tanaman yang mengalami kekurangan air dapat merupakan perubahan di tingkat seluler dan molekuler yang ditunjukkan dengan laju penurunan pertumbuhan, berkurangnya luas daun dan peningkatan rasio akar : tajuk. Tingkat kerugian tanaman akibat kekurangan air dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain intensitas kekeringan yang dialami, lamanya kekeringan dan tahap pertumbuhan saat tanaman mengalami kekeringan. Dua macam respon tanaman yang dapat memperbaiki status jika mengalami kekeringan adalah mengubah distribusi asimilat baru dan mengatur derajat pembukaan stomata.

Pengubahan distribusi asimilat baru akan mendukung pertumbuhan akar daripada tajuk, sehingga dapat meningkatkan kapasitas akar menyerap air serta menghambat pertumbuhan tajuk untuk mengurangi transpirasi. Pengaturan derajat

pembukaan stomata akan menghambat hilangnya air melalui transpirasi (Mansfield dan Atkinson, 1990).

Suhu rumah kaca yang tinggi, menyebabkan laju potensial air melalui proses difusi akar menjadi lebih meningkat dan dapat menyebabkan kerusakan struktur maupun kehancuran enzim. Dari pengamatan yang dilakukan pertumbuhan bibit sukun ini cukup baik dikarenakan jumlah air yang dapat diserap oleh mulsa dapat memenuhi kebutuhan bagi pertumbuhan bibit sukun.

Penggunaan mulsa sebagai penahan air bisa menjadi faktor pendukung untuk mengurangi kerusakan fisik yang disebabkan oleh keadaan yang ekstrim. Hal ini sesuai pernyataan Hamdani (2009) bahwa salah satu pendekatan untuk mengatasi kehilangan air akibat evaporasi adalah dengan cara pemberian mulsa.

Dokumen terkait