• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum Kultur

Eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah umbi bawang merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut. Propagul merupakan hasil perbanyakan tunas bawang merah yang telah melalui tahap prekondisi dan multiplikasi. Multiplikasi tunas yang tinggi (Gambar 3) akan meningkatkan jumlah propagul yang dapat digunakan. Tahap multiplikasi bertujuan untuk memperoleh tanaman yang mencapai perkembangan vegetatif yang cukup sehingga siap untuk diinduksi ke dalam media pengumbian. Kontaminasi eksplan pada media pengumbian sebesar 5%. Kontaminasi dikarenakan adanya perkembangan cendawan dan bakteri dalam media kultur serta kontaminasi yang berasal dari lapangan.

Kultur yang mengalami multiplikasi tunas mencapai 29.17% hingga akhir pengamatan. Tunas yang dapat membentuk umbi hingga akhir pengamatan adalah sebesar 87.5%. Pembentukan umbi ditandai dengan adanya perubahan warna tunas menjadi berwarna merah serta terjadinya penggembungan pangkal tunas menyerupai umbi.

Gambar 3. Morfologi Tunas Mikro Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada 6 MSP

Tabel 1. Rekapitulasi Hasil Sidik Ragam Pengaruh Sukrosa dan CCC terhadap Parameter yang Diamati

Peubah Perlakuan Sukrosa CCC Sukrosa*CCC 1.Jumlah Tunas 2 MSP tn tn tn 3 MSP * * tn 4 MSP tn * tn 5 MSP * * tn 6 MSP ** * tn 7-8 MSP ** ** tn 2. Jumlah Daun Total

2 MSP * tn * 3 MSP ** * ** 4 MSP tn * * 5-7 MSP * ** tn

8 MSP tn ** tn 3. Jumlah Daun Hijau

2 MSP * tn tn 3-4 MSP tn * tn 5-6 MSP tn ** tn 7 MSP * ** tn 8 MSP tn ** tn 4. Jumlah akara 1-5 MSP tn tn tn 6-8 MSP tn ** tn 5. Bobot Umbia 8 MSP ** tn tn 6. Diameter Umbia 8 MSP ** tn tn 7. Tinggi Tanaman 8 MSP * ** tn 9. Jumlah Umbi 8 MSP tn tn tn Keterangan:

MSP : Minggu Setelah Perlakuan a : data hasil transformasi √(x+0.5) tn : tidak nyata pada uji F 5% * : nyata pada uji F 5% ** : sangat nyata pada uji F 1%

Berdasarkan data rekapitulasi hasil sidik ragam (Tabel 1), perlakuan tunggal sukrosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah tunas pada 3 MSP dan 5 MSP; jumlah daun total pada 2 MSP hingga 7 MSP; jumlah daun hijau pada 2 MSP dan 7 MSP serta tinggi tanaman pada 8 MSP dan sangat nyata terhadap jumlah tunas pada 6, 7, 8 MSP; jumlah daun total pada 3 MSP; bobot umbi, dan diameter umbi.

Perlakuan CCC berpengaruh nyata terhadap jumlah tunas pada 3, 4, 5, 6 MSP ; jumlah daun total pada 3 MSP dan 4 MSP serta jumlah daun hijau pada 3 MSP dan 4 MSP dan sangat nyata terhadap jumlah tunas pada 7 MSP dan 8 MSP; jumlah daun total pada 5, 6, 7, 8 MSP; jumlah daun hijau pada 5, 6, 7, 8 MSP; jumlah akar pada 6, 7, 8 MSP serta tinggi tanaman pada 8 MSP. Interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun total pada 2 MSP dan 4 MSP sangat nyata pada 3 MSP.

Jumlah Umbi Lapis Mikro

Berdasarkan data hasil sidik ragam, perlakuan tunggal sukrosa dan CCC serta interaksi kedua perlakuan tersebut tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi mikro yang terbentuk. Perlakuan sukrosa 150 g/l menghasilkan rata-rata jumlah umbi mikro sebesar 1.3 umbi (Gambar 4) dan tidak berbeda nyata dengan semua perlakuan yang diberikan. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa yang digunakan jumlah tunas yang mengalami multiplikasi semakin menurun (Gambar 5). Perlakuan sukrosa 90 g/l menghasilkan multiplikasi tunas tertinggi, tetapi jumlah tunas yang dapat membentuk umbi paling kecil sehingga jumlah umbi yang terbentuk juga sedikit.

Gambar 4. Nilai Rata-rata Jumlah Umbi Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi Sukrosa

Konsentrasi sukrosa yang tinggi dalam media mampu meningkatkan pembentukan dan perkembangan umbi mikro serta kecepatan tunas dalam membentuk umbi mikro (Kubo et al., 2005 dan Wattimena, 1986). Pembentukan umbi mikro bawang merah pada penelitian ini cenderung disebabkan oleh konsentrasi sukrosa yang tinggi dalam media yaitu sebesar 120 g/l dan 150 g/l. Konsentrasi sukrosa ( 4-10 %) lebih tinggi dari normal (3 %) dalam media kultur jaringan mendorong pembentukan organ-organ penyimpanan dalam beberapa spesies tanaman (Wuryan, 2008). Hidayat (1997) dalam Rahmawati (2007) dan Fletcher et al. (1998) berhasil menginduksi umbi mikro bawang merah pada media dengan penambahan sukrosa 12% dan 15%.

1.0 1.1 1.3 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 90 120 150 Ju m lah Um b i Konsentrasi Sukrosa (g/l)

Gambar 5. Kultur yang Mengalami Multiplikasi pada Perlakuan 90 g/l (A), pada Perlakuan 120 g/l (B), dan pada perlakuan 150 g/l

Arteca (1996) dan Weaver (1972) menyebutkan bahwa CCC termasuk jenis retardan yang memiliki kemampuan menghambat biosintesis giberellin yang pada akhirnya akan merangsang pembentukan umbi mikro. Perlakuan tunggal CCC tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi mikro bawang merah yang terbentuk.

Kemampuan tunas bawang merah dalam membentuk umbi berpengaruh terhadap jumlah umbi mikro yang terbentuk. Menurut Reeve, Tim, dan Weaver (1973) dalam Fardani (2005) salah satu ciri awal pembentukan umbi adalah terjadinya pembengkakan dan pembesaran umbi sebagai akibat proses pembelahan sel dan pembesaran sel yang berfungsi sebagai sel-sel penyimpan baru (Gambar 6).

(B) (C)

Gambar 6. Umbi lapis Mikro yang Dihasilkan pada Perlakuan 0 ppm CCC (A) dan Perlakuan 50 ppm CCC (B)

Perlakuan tanpa CCC atau 0 ppm CCC menghasilkan rata-rata jumlah umbi mikro 1.4 umbi dan tidak berbeda nyata dengan semua konsentrasi yang diberikan. Pemberian CCC 5 ppm, 50 ppm, dan 100 ppm memberikan pengaruh yang sama terhadap jumlah umbi mikro yang terbentuk yaitu sebesar 1.1 umbi (Gambar 7). Perlakuan tanpa CCC diduga menginduksi multiplikasi tunas yang lebih tinggi daripada perlakuan yang lain sehingga jumlah umbi mikro yang dihasilkan juga meningkat.

Gambar 7. Nilai Rata-rata Jumlah Umbi Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi CCC

Menurut Chesworth et al. (1998) retardan paclobutrazol memberikan respon lebih efektif daripada pemberian CCC. Paclobutrazol efektif dalam konsentrasi yang lebih rendah, sedangkan CCC efektif dalam konsentrasi yang lebih tinggi. Konsentrasi perlakuan CCC yang diujikan pada penelitian ini diduga tidak mampu menginduksi pembentukan umbi mikro.

Bobot Umbi

Perlakuan CCC dan interaksi antara sukrosa dan CCC tidak berpengaruh nyata terhadap bobot umbi yang dihasilkan. Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa perlakuan tunggal sukrosa berpengaruh sangat nyata terhadap peubah bobot umbi. Perlakuan sukrosa 150 g/l menghasilkan rata-rata bobot umbi sebesar 0.205 gram dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan sukrosa 120 g/l (0.177 g). Bobot umbi terkecil dimiliki oleh perlakuan sukrosa 90 g/l. Penelitian Kailola (2002) yang menyatakan bahwa bobot umbi mikro kentang terendah yaitu 130.82 mg/umbi dihasilkan oleh media pengumbian MS cair + sukrosa 90 g/l + 0 aspirin. Bobot umbi mikro kentang dikatakan berkualitas baik jika melebihi 0.1 gram (Wattimena, 1992). Bobot umbi mikro pada perlakuan 90 g/l kurang memenuhi standar kualitas yang sudah ditentukan pada umbi mikro kentang. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemakaian sukrosa 90 g/l dalam pengumbian in vitro bawang merah kurang dianjurkan.

1.4 1.1 1.1 1.1 0.0 0.5 1.0 1.5 0 5 50 100 Ju m lah Um b i Konsentrasi CCC (ppm)

Data pada Tabel 2 menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi sukrosa, bobot umbi yang dihasilkan semakin besar pula. Menurut Mujica dan Mogollon (2004) pemberian sukrosa dalam konsentrasi yang tinggi pada bawang putih mampu meningkatkan bobot basah umbi yang dihasilkan. Bobot umbi juga dipengaruhi oleh multiplikasi tunas. Semakin banyak jumlah tunas, bobot umbi yang dihasilkan semakin rendah. Hal tersebut diduga karena terjadinya persaingan penyerapan unsur-unsur hara yang terkandung dalam media. Menurut Angelia (2008) bobot umbi yang rendah dimiliki oleh tanaman yang memiliki tunas lebih banyak karena adanya distribusi asimilat yang menyebar ke setiap umbi yang terbentuk.

Tabel 2. Nilai Rata-rata Bobot Umbi Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi Sukrosa

Sukrosa (g/l) Bobot Umbi (g)

8MSP

90 0.089b

120 0.177a

150 0.205a

Keterangan:

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Perlakuan tunggal CCC tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot umbi bawang merah. Perlakuan CCC dengan konsentrasi 100 ppm memberikan bobot umbi bawang merah sebesar 0.183 gram dan tidak berbeda nyata dengan semua konsentrasi CCC yang diberikan (Gambar 8). Kailola (2002) menyatakan bahwa bobot basah umbi mikro kentang terbesar diperoleh pada media MS cair + sukrosa 90 g/l + CCC 600 mg/l + air kelapa 15% yaitu 236.60 mg/umbi.

Gambar 8. Nilai Rata-rata Bobot Umbi Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi CCC

Menurut Wattimena (1986) pemberian zat pengatur tumbuh eksogen seperti ABA dan CCC dapat mempercepat pembentukan umbi mikro kentang. Menurut Dicks (1979) dalam Lubis (1991) CCC mempunyai pengaruh penghambatan yang lemah terhadap lintasan precursor dalam konsentrasi rendah. Hal tersebut menyebabkan tidak terlihat perbedaan yang signifikan akibat perlakuan CCC pada taraf konsentrasi (0, 5, 50, 100 ppm) terhadap bobot umbi.

Diameter Umbi

Peubah diameter umbi hanya dipengaruhi sangat nyata oleh perlakuan sukrosa, sedangkan perlakuan CCC dan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap diameter umbi bawang merah. Data pada Tabel 3 menunjukkan bahwa rata-rata diameter umbi dihasilkan oleh tanaman dengan perlakuan 120 g/l sukrosa yaitu 0.598 cm dan tidak berbeda nyata dengan perlakuan sukrosa 150 g/l yang memberikan diameter umbi sebesar 0.512 cm. Diameter umbi mikro perlakuan sukrosa 90 g/l paling kecil dibanding perlakuan lainnya. Menurut Kailola (2002) media MS cair + sukrosa 90 g/l menghasilkan ukuran umbi kentang terendah yaitu 4.86 mm.

0.144 0.165 0.137 0.183 0 0.05 0.1 0.15 0.2 0 5 50 100 B ob ot u m b i Konsentrasi CCC (ppm)

Tabel 3. Nilai Rata-rata Diameter Umbi Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi Sukrosa

Sukrosa (g/l) Diameter Umbi (cm)

8 MSP

90 0.288b

120 0.598a

150 0.512a

Keterangan:

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Data merupakan hasil transformasi √(x+0.5).

Tunas bawang merah yang terangsang untuk membentuk umbi mengalami pertambahan ukuran pada bagian pangkal tunasnya. Menurut Pelkonen (2005) sukrosa mempunyai pengaruh yang jelas terhadap morfogenesis karena sukrosa dalam konsentrasi yang tinggi akan meningkatkan ukuran umbi. Ukuran umbi antara kisaran 0.288 cm sampai 0.598 cm sudah dapat dikatakan sebagai umbi mikro. Wattimena (1986) menyatakan bahwa ukuran umbi yang terbentuk secara

in vitro melalui teknik kultur jaringan mempunyai ukuran umbi yang kecil, yaitu 1

cm atau kurang. Oleh karena itu, umbi tersebut dapat dikatakan sebagai umbi mikro karena ukurannya yang relatif kecil.

Besar diameter umbi mengalami peningkatan pada konsentrasi sukrosa 120 g/l dan menurun kembali pada konsentrasi sukrosa 150 g/l (Tabel 3). Hal tersebut diduga karena adanya pengaruh sitokinin dalam media yang telah terangsang pembentukan umbinya. Menurut Rahmawati (2007) sitokinin dalam media akan berinteraksi dengan sukrosa yang tinggi dalam meningkatkan diameter umbi bawang merah. Sitokinin berperan dalam pembelahan sel sehingga jumlah sel yang semakin banyak akan meningkatkan diameter umbi.

Menurut Plaisted (1975) dalam Kailola (2002) penambahan ukuran umbi terjadi terutama karena meningkatnya jumlah sel di dalam umbi dan bukan karena adanya aktivitas peningkatan ukuran sel. Hal tersebut didukung oleh Wattimena (1986) yang menyatakan bahwa sitokinin merupakan salah satu faktor yang berperan dalam menginisiasi pembentukan umbi. Kandungan sitokinin terutama zeatin dalam jaringan yang sudah terangsang pembentukan umbinya mempunyai kandungan yang tinggi dibandingkan pada jaringan yang belum terangsang.

Perlakuan CCC secara statistik tidak berpengaruh nyata terhadap diameter umbi yang dihasilkan. Rata-rata diameter umbi mikro tertinggi diperoleh tanaman dengan perlakuan 5 ppm CCC yaitu sebesar 0.668 cm. Konsentrasi CCC 5 ppm tidak memberikan pengaruh yang berbeda dengan semua konsentrasi yang diujikan. Pengaruh CCC mulai menurun pada konsentrasi CCC 50 ppm dan mengalami peningkatan kembali pada konsentrasi 100 ppm. Gambar 9 menunjukkan bahwa diameter umbi antara satu perlakuan dengan perlakuan yang lain tidaklah jauh berbeda. Wattimena (1999) menyatakan bahwa penggunaan CCC dalam konsentrasi 5, 10, 15, dan 20 ppm merupakan konsentrasi yang rendah. Menurut Wattimena (2000) konsentrasi CCC yang digunakan untuk menginduksi pembentukan umbi mikro kentang adalah sebesar 600 mg/l.

Gambar 9. Nilai Rata-rata Diameter Umbi Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi CCC 0.409 0.668 0.353 0.436 0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0 5 50 100 Diam ete r Um b i Konsentrasi CCC (g/l)

Anatomi Umbi

Menurut Sumarni dan Sumiati (1995) bawang merah memiliki batang sejati yang disebut sebagai “diskus” yang bentuknya seperti cakram, tipis dan pendek sebagai tempat melekat perakaran dan mata tunas (titik tumbuh). Batang semu terbentuk di atas “discus” yang tersusun dari pelepah-pelepah daun. Batang semu yang berada di dalam tanah akan berubah bentuk dan fungsinya menjadi umbi. Umbi bawang merah merupakan umbi lapis. Pada setiap umbi dijumpai tunas-tunas lateral yang akan tumbuh menjadi kelopak-kelopak daun baru (Gambar 10). Kelopak daun baru tersebut akan membentuk umbi lapis bawang merah.

Umbi lapis

Gambar 10. Anatomi Umbi Bawang Merah ((Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut Melalui Mikroskop Tiga Dimensi

Calon Tunas

Keterangan: SK (dry outer protective skin), SH (fleshy swollen sheaths), SC (swollen bulb scale), SP (sprout leaves)

Gambar 11. Struktur Umbi Bawang Merah secara In Vitro (A) dan Bawang Bombay di Lapang (B)

Umbi bawang merah terdiri dari lapisan-lapisan yang terbentuk dari pelepah daun. Lapisan-lapisan umbi yang terbentuk terbagi menjadi empat bagian, yaitu kulit pelindung terluar yang kering dan tipis atau dry outer protective skin (SK), daging yang membengkak yang berasal dari helai daun atau fleshy swollen

sheaths (SH), pembengkakan bulb scale tanpa helai daun atau swollen bulb scale

(SC), dan daun kecambah atau sprout leaves (SP) yang akan meningkatkan luas helai daun ketika umbi muncul dan tumbuh memanjang.

SP SC SH SK SC SH (A) (B)

Gambar 11 menunjukkan bahwa struktur umbi lapis mikro bawang merah yang terbentuk (A) sama seperti struktur umbi bawang bombay yang terbentuk di lapangan (B). Lapisan-lapisan umbi hasil in vitro lebih tipis daripada umbi di lapangan karena terbatasnya unsur-unsur hara yang ada dalam media. Kulit pelindung terluar (SK) pada umbi hasil in vitro melekat kuat pada bagian basal

plate karena kelembaban ruang kultur yang tinggi.

Menurut Brewster (1995) umbi lapis mikro terbentuk sebagai akibat pembengkakan pelepah-pelepah daun yang melekat pada batang semu bawang merah secara konsentris. Pada awal pembentukan umbi terjadi penebalan pelepah-pelepah daun yang didahului oleh perpanjangan yang tiba-tiba. Penebalan terjadi sebagai akibat perluasan sel lateral pada pelepah daun ketiga. Selama pembentukan umbi, tidak terjadi pertumbuhan daun muda karena pertumbuhan tanaman dialihkan ke arah pembengkakan daun untuk membentuk umbi. Pada saat umbi telah matang, satu sampai tiga daun paling luar mengalami kekeringan dan transparan. Lapisan-lapisan yang mengering ini berfungsi untuk melindungi bagian-bagian umbi yang lebih dalam atau yang sering disebut dry outer

protective skin (SK). Kematangan umbi juga ditandai dengan mengeringnya daun

akibat kemunduran jaringan-jaringan daun, leher umbi melunak dan kehilangan turgiditasnya.

Tinggi Tanaman

Perlakuan sukrosa dan CCC berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman. Interaksi kedua perlakuan tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman pada semua perlakuan yang diberikan. Perlakuan sukrosa 90 g/l menghasilkan rata-rata tinggi tanaman sebesar 21.38 cm (Gambar 12) dan tidak berbeda nyata terhadap perlakuan sukrosa 120 g/l, akan tetapi berbeda nyata terhadap perlakuan sukrosa 150 g/l (Tabel 4). Konsentrasi sukrosa yang tinggi dalam media menghambat pertumbuhan tanaman. Konsentrasi sukrosa yang tinggi meningkatkan tekanan osmotik media sehingga menimbulkan stres lingkungan bagi plantlet. Menurut Salisbury & Ross (1995) stress yang diakibatkan oleh perubahan tekanan osmotik akan merangsang akumulasi asam absisik dalam jaringan tanaman yang pada gilirannya menghambat pertumbuhan tanaman dalam media in vitro. Pierik (1987)

juga menyatakan bahwa peningkatan konsentrasi gula akan meningkatkan pertumbuhan dan perkembangan tanaman, tetapi sebaliknya konsentrasi yang tinggi bersifat menghambat.

Tabel 4. Nilai Rata-rata Tinggi Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi Sukrosa

Sukrosa (g/l) Tinggi Tanaman (cm)

8MSP

90 21.38a

120 18.69ab

150 17.25b

Keterangan:

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Gambar 12. Tinggi Tanaman Tertinggi pada Perlakuan Sukrosa 90 g/l

Perlakuan tunggal CCC memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap tinggi tanaman. Data pada Tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan tanpa pemberian CCC memberikan pengaruh yang tidak berbeda

nyata terhadap konsentrasi CCC 5 ppm dan 50 ppm yang diujikan. Rata-rata tinggi tanaman pada perlakuan CCC 0 ppm dan 50 ppm memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap perlakuan CCC 100 ppm. Tinggi tanaman mengalami penurunan seiring dengan penambahan konsentrasi CCC. Perlakuan CCC 100 ppm menghasilkan tinggi tanaman terendah sebesar 15.69 cm tetapi tidak berbeda nyata terhadap perlakuan CCC 5 ppm. Cathey (1975) dalam Wattimena (1988) dan Sachs, Lang, Bretz, dan Roach (1960) dalam Lubis (1991) mendefinisikan bahwa zat penghambat tumbuh (retardan) sebagai suatu tipe senyawa organik baru yang menghambat perpanjangan batang. Chlorocholine Chloride (CCC) merupakan salah satu jenis retardan yang prinsip kerjanya mereduksi perimbangan pembelahan melintang di dalam meristem sub-apikal. Akibat penghambatan tersebut batang tanaman menjadi lebih pendek. Perlakuan CCC juga dapat mereduksi panjang sel dewasa tanaman.

Krishnamoorthy (1981) menyatakan bahwa cara kerja retardan jenis CCC adalah dengan menghambat jalur biosintesis giberellin sehingga kandungan giberellin di dalam tanaman menurun. Penghambatan tersebut menyebabkan terhambatnya perpanjangan sel terutama didaerah meristem sub-apikal yang pada akhirnya akan menghambat tinggi tanaman.

Tabel 5. Nilai Rata-rata Tinggi Tanaman Bawang Merah (Allium cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa Konsentrasi CCC CCC (ppm) Tinggi Tanaman (cm) 8 MSP 0 21.99a 5 18.97ab 50 19.77a 100 15.69b Keterangan:

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Jumlah Tunas Mikro

Pembentukan tunas dapat terjadi secara langsung maupun tidak langsung. Multiplikasi tunas pada bawang merah terjadi secara langsung atau sering disebut sebagai organogenesis langsung. Menurut Armini et al. (1992) spesies-spesies tanaman yang membentuk umbi dapat membentuk tunas secara langsung dimana tunas bawang merah muncul dari bagian dasar basal plate.

Perlakuan tunggal sukrosa dan CCC berpengaruh nyata terhadap peubah jumlah tunas, sedangkan interaksi kedua perlakuan tidak memberikan pengaruh yang nyata. Jumlah tunas mengalami peningkatan pada setiap minggu pengamatan. Perlakuan sukrosa 90 g/l menghasilkan jumlah tunas tertinggi dibandingkan perlakuan lainnya mulai 7 MSP hingga 8 MSP, akan tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan sukrosa 150 g/l pada 5 MSP hingga 6 MSP (Tabel 6). Jumlah tunas yang dihasilkan menurun pada penambahan konsentrasi sukrosa dalam media mulai 4 MSP hingga 8 MSP. Semakin tinggi konsentrasi sukrosa jumlah tunas yang dihasilkan semakin rendah (Gambar 13).

Gambar 13. Jumlah Tunas Mikro pada Perlakuan 90 g/l (A) dan Perlakuan 120 g/l (B)

Fardani (2005) menyatakan bahwa penambahan konsentrasi sukrosa hingga 70 g/l mampu meningkatkan rata-rata jumlah tunas bawang merah. Akan tetapi semakin tinggi konsetrasi sukrosa yang digunakan, jumlah tunas yang diperoleh semakin rendah. Pemberian sukrosa yang tinggi dalam media menghasilkan energi yang lebih sehingga energi tersebut akan disimpan dalam tunas bawang merah. Penyimpanan energi dalam bentuk cadangan makanan menyebabkan pangkal tunas bawang merah menggembung membentuk umbi. Hal tersebut didukung oleh Rahmawati (2003) sukrosa dalam konsentrasi tinggi akan menurunkan jumlah tunas pada tanaman jahe emprit. Sukrosa dalam konsentrasi tinggi akan disimpan dalam rimpang mikro jahe emprit sebagai cadangan makanan. Menurut Wattimena (1992) konsentrasi sukrosa yang tinggi akan efektif dalam membentuk tunas pada saat berada dalam kondisi gelap.

Tabel 6. Nilai Rata-rata Jumlah Tunas Mikro Bawang Merah (Allium

cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa

Konsentrasi Sukrosa Sukrosa

(g/l)

Jumlah Tunas Mikro

2MSP 3MSP 4MSP 5MSP 6MSP 7MSP 8MSP

90 1.00a 1.05ab 1.30a 1.48a 1.58a 1.75a 1.75a

120 1.00a 1.00b 1.10a 1.13b 1.13b 1.20b 1.20b 150 1.03a 1.13a 1.25a 1.28ab 1.30ab 1.33b 1.33b Keterangan:

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Berdasarkan hasil sidik ragam (Tabel 7), perlakuan tunggal CCC memberikan pengaruh yang nyata pada 3 MSP dan 5 MSP dan sangat nyata pada 6, 7, 8 MSP. Pengaruh tidak nyata perlakuan CCC ditunjukkan pada saat 2 MSP. Jumlah tunas mengalami peningkatan dari awal pengamatan hingga akhir pengamatan.

Tabel 7. Nilai Rata-rata Jumlah Tunas Mikro Bawang Merah (Allium

cepa L. Aggregatum group) cv. Bima Curut pada Beberapa

Konsentrasi CCC CCC

(ppm)

Jumlah Tunas Mikro

2MSP 3MSP 4MSP 5MSP 6MSP 7MSP 8MSP

0 1.00a 1.07ab 1.33ab 1.47a 1.57a 1.77a 1.77a

5 1.03a 1.17a 1.37a 1.40ab 1.43ab 1.43b 1.43b 50 1.00a 1.00b 1.07c 1.17b 1.20b 1.30b 1.30b 100 1.00a 1.00b 1.10bc 1.13b 1.13b 1.20b 1.20b Keterangan:

Nilai yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Konsentrasi CCC yang semakin tinggi menurunkan jumlah tunas yang terbentuk (Gambar 14). Penurunan jumlah tunas mulai terjadi pada 5 MSP hingga 8 MSP. Jumlah tunas tertinggi mulai 7 MSP hingga 8 MSP dihasilkan oleh tanaman tanpa pemberian CCC, akan tetapi pada 5 MSP dan 6 MSP perlakuan tanpa pemberian CCC memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan 5 ppm CCC. Konsentrasi CCC 5 ppm mampu menginisiasi pembentukan tunas lebih awal. Hal tersebut didukung oleh penelitian Lubis pada tahun 1991 yang menyatakan bahwa tanaman yang diberi perlakuan CCC mampu meningkatkan jumlah anakan pada tanaman gandum lebih awal daripada tanaman yang tidak diberi perlakuan. Arteca (1996) menyatakan bahwa Daminozide mempengaruhi reduksi perkembangan vegetatif pada beberapa tanaman buah-buahan.

Gambar 14. Jumlah Tunas Mikro pada Perlakuan 5 ppm CCC (A) dan Perlakuan 50 ppm CCC (B)

Jumlah Daun Total

Semua perlakuan baik perlakuan tunggal sukrosa, perlakuan tunggal CCC serta interaksi kedua perlakuan memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun total. Perlakuan tunggal sukrosa memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah daun total pada 2, 5, 6, 7 MSP dan sangat nyata pada 3 MSP. Data pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan sukrosa 90 g/l tidak memberikan pengaruh yang berbeda nyata dengan semua perlakuan yang diujikan pada 4 MSP dan 8 MSP. Perlakuan sukrosa 90 g/l dan 150 g/l memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata pada 3 MSP, 5 MSP, 6 MSP, dan 7 MSP. Akan tetapi perlakuan 90 g/l sukrosa berbeda nyata dengan perlakuan 120 g/l sukrosa. Jumlah daun total dipengaruhi oleh multiplikasi tunas dan mengalami peningkatan pada setiap minggu pengamatan. Eksplan bawang merah pada media pengumbian

Dokumen terkait