• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Produksi Gas

Nilai akumulasi produksi gas pada eksperimen 1 dan 2 selama 24 dan 48 jam inkubasi tersaji pada Tabel 3 dan 4. Respon dari pengaruh faktor perlakuan terhadap produksi gas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor HK (proporsi hijauan dan konsentrat) pada eksperimen 1 dan 2 yang tercermin dari nilai produksi gas pada PTH (pakan tinggi hijauan) secara umum lebih rendah dibandingkan PTK (pakan tinggi konsentrat). Faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin (TS) dalam pakan secara umum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai produksi gas pada kedua eksperimen, namun respon yang dihasilkan adalah cukup berbeda. Eksperimen 1 menunjukkan bahwa pada 24 jam inkubasi terjadi penurunan produksi gas pada PTH setelah penambahan TS baik dalam bentuk tungggal yakni ekstrak tanin (T) dan ekstrak saponin (S), maupun bentuk kombinasi (T+S), sedangkan produksi gas pada PTK tetap konstan. Respon ini secara umum relatif konsisten hingga 48 jam inkubasi, kecuali pada penambahan S dan T+S pada PTK yang berpengaruh meningkatkan produksi gas. Pada eksperimen 2, penambahan TS bentuk tunggal dan kombinasi (TS1, TS2, TS3) tidak mempengaruhi produksi gas selama 24 dan 48 jam inkubasi pada PTH, namun secara umum berpengaruh meningkatkan produksi gas selama 48 jam inkubasi pada PTK, kecuali pada penambahan S dan TS3. Penambahan TS dalam bentuk tunggal dan kombinasi pada kedua eksperimen, secara umum tidak menunjukkan nilai produksi gas yang berbeda.

Produksi gas yang dihasilkan dari metode ini (in vitro) dapat berasal dari hasil fermentasi substrat pakan secara langsung dan secara tidak langsung melalui mekanisme buffering VFA berupa gas CO2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat selama proses fermentasi (Getachew et al. 1998). Penambahan TS dalam PTH pada eksperimen 1 yang berpengaruh menurunkan produksi gas selama 24 jam inkubasi adalah sejalan dengan Jayanegara et al. (2009a) yang melaporkan bahwa penambahan tanin murni pada dosis 0.5 mg/ml dalam ransum berbasis hay berpengaruh menurunkan produksi gas in vitro. Sedangkan penurunan produksi selama 24 dan 48 jam inkubasi akibat penambahan ekstrak saponin dalam PTH pada eksperimen 1 adalah sejalan dengan Makkar et al. (1995) bahwa penambahan ekstrak saponin dari Quilaja pada dosis 0.8 dan 1.2 mg/ml dalam ransum berpengaruh menurunkan produksi gas in vitro. Mekanisme tanin dalam menurunkan produksi gas adalah melalui kemampuannya dalam berinteraksi dengan komponen pakan terutama adalah protein dan serat (Makkar 2003; Makkar et al. 2007), sedangkan mekanisme saponin lebih kepada kemampuannya dalam menghambat aktivitas enzim pendegradasi serat kasar (Hristov et al. 2003). Kemampuan tanin dan saponin dalam berinteraksi dengan nutrien pakan dan enzim tersebut, menjadikan degradasi pakan dalam rumen akan berkurang sehingga akan berkorelasi positif dengan berkurangnya produksi gas.

Produksi gas pada PTK dalam eksperimen 1 yang tidak mengalami perubahan setelah penambahan TS pada 24 jam inkubasi dapat disebabkan karena laju kecepatan pembentukan gas (fermentabilitas) pada PTK adalah lebih tinggi dibandingkan pada PTH. Hal ini menyebabkan kemampuan tanin atau saponin berinteraksi dengan unsur pakan atau unsur lain yang berperan dalam proses nutrisi di dalam rumen dapat di minimalisasi dengan lebih cepatnya pakan

9

Tabel 3. Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart error mean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1mg/ml + 1mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata.

Tabel 4. Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart error mean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml) + saponin (1.5 mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= Interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata

W PTH PTK SEM P-Value Ktl T S T+S Ktl T S T+S HK TS INT 24 151b 123a 125 a 134 a 167 c 166 c 169c 174 c 4.05 ** * * 48 185 bc 174 ab 169a 187 c 190cd 199 d 203e 207 e 2.94 ** * ** W PTH PTK SEM P-Value Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 HK TS INT 24 167a 164a 156 a 168 a 166a 164a 207ab 209c 204bc 211c 211c 195 b 3.38 ** ns ns 48 209a 218 a 217a 219a 222a 223a 242b 252bcd 249bcd 257cd 259d 245bc 2.78 ** * ns 9

10

tersebut difermentasi sehingga produksi gas tetap konstan. Pada eksperimen yang sama, peningkatan produksi gas akibat penambahan S maupun (T+S) pada PTK selama 48 jam inkubasi adalah sejalan dengan yang dilaporkan oleh Wina et al. (2005b) bahwa terjadi peningkatan produksi gas in vitro secara signifikan pada substrat pakan yang ditambah ekstrak saponin dari Sapindus. rarak oleh karena kontribusi unsur gula. Unsur gula yang terdapat dalam saponin diantaranya glukosa, galaktosa, xylosa, arabiosa, rhamnosa (Wina et al. 2005a). Efek saponin dalam meningkatkan produksi gas dalam penelitian ini tidak terlihat pada PTH. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan fermentabilitas PTH yang lebih rendah dari pada PTK. Meskipun saponin memberikan kontribusi gas dalam PTH namun dikarenakan laju pembentukan gas dari unsur pakan pada PTH tidak lebih cepat dibandingkan pada PTK menyebabkan produksi gas secara akumulatif tetap konstan.

Penambahan TS dalam PTH pada eksperimen 2 selama masa inkubasi 24 dan 48 jam yang tidak mempengaruhi produksi gas, hal ini tidak sejalan dengan hasil dari eksperimen 1 yang menunjukkan adanya efek penururan produksi gas secara nyata. Perbedaan respon ini dapat beralasan dengan kualitas konsentrat yang digunakan.Penjelasan mengenai hal ini di dasarkan pada Tabel 1 (kandungan nutrien substrat pakan perlakuan). Terlihat bahwa nilai (%) dari komponen fraksi serat baik yang mudah difermentasi (NDF) maupun yang sulit difermentasi (ADF) dan lignin pada substrat konsentrat yang digunakan dalam eksperimen 2 adalah lebih rendah dibandingkan dengan eksperimen 1. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrat yang digunakan pada eksperimen 2 lebih cepat difermentasi.

Terkait dengan pengaruh fermentabilitas konsentrat tersebut, dapat dijelaskan bahwa proporsi konsentrat dalam PTH (kontrol) pada eksperimen 2 berkontribusi besar dalam pembentukan gas, sehingga menghasilkan nilai produksi gas secara akumulatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan PTH (kontrol) pada eksperimen 1, selama 24 dan 48 jam inkubasi (Tabel 2 dan 3). Hal ini lebih diperkuat dengan nilai produksi gas selama 48 jam inkubasi pada PTH dalam eksperimen 2 bahkan lebih tinggi dibandingkan PTK pada eksperimen 1. Mekanisme tidak terpengaruhnya produksi gas akibat penambahan TS pada PTH dalam eksperimen 2 adalah sama seperti mekanisme tidak terpengaruhnya produksi gas setelah penambahan TS pada PTK dalam eksperimen 1, yakni kemampuan tanin atau saponin berinteraksi dengan unsur pakan atau unsur lain yang berperan dalam proses nutrisi di dalam rumen dapat di minimalisasi dengan lebih cepatnya pakan tersebut di fermentasi sehingga produksi gas tetap konstan Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Emisi Gas Metana

Nilai emisi gas metana selama 24 dan 48 jam inkubasi tersaji dalam Tabel 5 dan 6. Tabel tersebut menunjukkan bahwa selama 24 dan 48 jam inkubasi, faktor HK berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap emisi gas metana pada eksperimen 1, yang tercermin dari lebih tingginya nilai emisi gas metana pada PTH dibandingkan pada PTK. Hasil tersebut tidak sejalan dengan eksperimen 2 yang menunjukkan pengaruh tidak nyata. Selama masa inkubasi yang sama, faktor penambahan TS berpengaruh nyata (P<0.05) pada eksperimen 1 dan bepengaruh sangat nyata (P<0.01) pada eksperimen 2 terhadap emisi gas metana. Pengaruh tersebut tercermin dari menurunnya nilai emisi gas metana secara umum, akibat penambahan TS dalam bentuk tunggal dan kombinasi baik pada PTH maupun

11

pada PTK. Komparasi nilai emisi gas metana yang dihasilkan dari penambahan TS dalam bentuk tunggal dibandingkan dari penambahan TS dalam bentuk kombinasi secara umum menunjukkan perbedaan yang tidak nyata baik pada PTH maupun PTK.

Proses pembentukan gas metana (metanogenesis) di dalam rumen dijelaskan oleh Morgavi et al. (2010) bahwa karbohidrat struktural dari tanaman, protein dan polimer dari bahan organik lain dalam bahan pakan yang dikonsumsi oleh ternak akan didegradasi menjadi bentuk monomer oleh mikroorganisme an-aerob. Monomer-monomer tersebut kemudian diubah menjadi bentuk VFA (Volatile Fatty Acid) sedangkan CO2 dan H2 dihasilkan dari proses fermentasi tersebut. Metanogen menggunakan produk akhir fermentasi berupa CO2 dan H2 sebagai substrat utama pembentuk gas metana (CH4).

Pengaruh nyata (P<0.05) dari faktor HK yang tercermin dari lebih tingginya emisi gas metana pada PTH dibandingkan pada PTK adalah sejalan dengan beberapa laporan. McAllister et al. (1996) melaporkan bahwa peningkatan asupan konsentrat dari 40 g menjadi 68 g BK berpengaruh menurunkan CH4 dari 9.2% menjadi 5.3% per gross energy intake. Lovett. et al. (2003) melaporkan bahwa emisi gas metana (per bobot hidup dan karkas) yang dihasilkan dari sapi dara periode akhir mengalami penurunan seiring dengan menurunnya rasio hijauan dan konsentrat (65%:35%, 40%:60% dan 10%:90%) dalam ransum.

Mekanisme penurunan CH4 seiring dengan naiknya proporsi konsentrat dijelaskan oleh Walichnowski dan Lawrence (1982) bahwa peningkatan proporsi pati dalam ransum ruminansia akan merubah konsentrasi VFA. Proporsi asetat akan lebih sedikit dihasilkan dibandingkan dengan propionat, sehingga suplai hidrogen untuk metanogenesis menjadi terbatas. Hegarty (1999) menambahkan bahwa laju kecernaan yang tinggi dari biji-bijian akan menjadikan pH rumen lebih rendah sehingga pertumbuhan bakteri metanogen dan protozoa terhambat.

Komparasi antara eksperimen 1 dan 2 terkait dengan nilai emisi gas metana (Tabel 5 dan 6) menunjukkan bahwa nilai emisi gas metana dari perlakuan kontrol pada PTH maupun PTK dalam eksperimen 1 adalah lebih tinggi dibandingkan eksperimen 2. Nilai emisi gas metana (% gas total) dari perlakuan kontrol pada 24 dan 48 jam inkubasi antara eksperimen 1 dan 2 secara berurutan adalah (31.2 dan 31.1) vs (24.9 dan 25.8) pada PTH, sedangkan pada PTK adalah (27.1 dan 27.3) vs (23.7 dan 24.7). Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas konsentrat dalam pakan, sebagaimana telah dijelaskan bahwa kualitas konsentrat pada eksperimen 2 adalah lebih baik dari pada eksperimen 1, maka akan berkorelasi negatif dengan semakin rendahnya gas metana yang dihasilkan.

Pengaruh nyata (P<0.05) pada eksperimen 1 dan sangat nyata (P<0.01) pada eksperimen 2 dari faktor penambahan TS dalam menurunkan emisi gas metana pada PTH dan PTK adalah sejalan dengan beberapa laporan. Jayanegara (2010) melaporkan bahwa penambahan tanin murni dari Chesnut dan Sumach pada dosis 1mg/ml dalam pakan dengan proporsi 70% hay dan 30% berpengaruh menurunkan emisi gas metana dengan persentase penurunan masing-masing adalah 6.5 dan 7.2%. Guo et al. (2008) melaporkan bahwa penambahan ekstrak saponin dari Camellia sinensis pada dosis 0.4 mg/ml cairan rumen domba menurunkan emisi gas metana sebanyak 8% pada ransum tinggi konsentrat dan Yucca schidigera pada dosis 15-45 mg/gram substrat pada cairan rumen sapi FH menurunkan emisi gas metana 8-26 % (Holtshausen et al. 2009).

12

Tabel 4. Emisi gas metana (% produksi gas) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi tanin dan saponin (eksperimen 1)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart errormean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1mg/ml + 1mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata.

Tabel 5. Emisi gas metana (% produksi gas) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi tanin dan saponin (eksperimen 2)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart error mean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml) + saponin (1,5 mg/ml) saponin; HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata.

W PTH PTK SEM P-Value Ktl T S T +S Ktl T S T+S HK TS INT 24 31.2d 26.6c 26.2bc 24.8abc 27.1c 25.1abc 23.9ab 22.7a 0.55 ** ** ns 48 31.1c 23.9a 25.4ab 24.5a 27.3b 25ab 24.2a 22.7a 0.60 * ** ns W PTH PTK SEM P-Value Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 HK TS INT 24 24.9c 22.2ab 23.2ab 22.8ab 22.1ab 21.8a 23.7bc 21.8a 22.7ab 22.3ab 22.5 ab 22.3 ab 0.23 ns ** ns 48 25.8c 23.5ab 23.3a 23.5ab 22.9a 22.4a 24.7bc 22.9a 23.6ab 23.1a 23.2 a 23 a 0.22 ns ** ns 12

13

Perbandingan nilai penurunan emisi gas metana (%) pada akhir inkubasi (48 jam) antara PTH dan PTK akibat penambahan T dan S pada dosis 2 mg/ml secara berurutan adalah (23.15 dan 18.3) vs (8.4 dan 11.3) pada eksperimen 1. Sedangkan pada eksperimen 2 adalah (8.9 dan 9.7) vs (7.3 dan 4.4). Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa nilai penurunan emisi gas metana akibat penambahan TS pada PTH adalah lebih tinggi dibandingkan pada PTK. Hal ini dapat disebabkan karena nilai emisi gas metana pada PTH sebelum ditambahkan ekstrak tanin dan saponin (kontrol) adalah lebih tinggi dibandingkan pada PTK. Hasil ini menjadi sebuah indikator bahwa tanin dan saponin lebih efektif dalam menurunkan produksi gas metana jika ditambahkan pada pakan yang mengandung proporsi hijauan tinggi.

Mekanisme tanin dalam menurunkan produksi gas metana ternak ruminansia digagas oleh Tavendale et al. (2005) yakni melalui dua mekanisme: (1) secara tidak langsung melalui penghambatan pencernaan komponen serat pakan sehingga akan mengurangi produksi H2. (2) secara langsung melalui penghambatan pertumbuhan dan aktivitas dari archea metanogen di dalam rumen. Secara lebih terperinci, Jayanegara (2008) dalam Jayanegara et al. (2009a) menjelaskan bahwa jenis tanin terkondensasi lebih berperan dalam reduksi emisi metana melalui mekanisme pertama, sedangkan tanin terhidrolisis lebih berperan melalui mekanisme kedua dari gagasan Tavendale et al. (2005).

Ekstrak tanin yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daun mahoni (swietenia mahagoni) yang termasuk jenis tanin terkondensasi, sehingga perannya dalam mereduksi gas metana lebih kepada penghambatan pencernaan serat kasar sehingga mengurangi suplai H2 (Jayanegara. 2008 disitasi Jayanegara et al. 2009). Pengaruh saponin dalam mereduksi emisi gas metana sebagaimana dinyatakan oleh (Hess et al. 2003) yakni melalui mekanisme reduksi populasi protozoa rumen. Sebagian populasi metanogen hidup bersimbiosis dengan protozoa dan berkontribusi hingga 37% terhadap total emisi metana dalam rumen (Finlay et al. 1994). Sehingga reduksi populasi protozoa juga dapat berakibat pada menurunnya emisi gas metana. Peran saponin terhadap inhibisi populasi protozoa yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap penurunan emisi gas metana, telah dibuktikan dalam penelitian ini terkhusus pada eksperimen 2. Gambar 8 menunjukkan bahwa terjadi penurunan sangat nyata (P<0.01) dari total protozoa akibat penambahan ekstrak saponin dalam bentuk tunggal maupun ekstrak saponin yang dikombinasikan dengan ekstrak tanin (TS2, dan TS3) baik pada PTH maupun PTK. Penurunan total protozoa tersebut secara umum berkorelasi positif dengan turunnya emisi gas metana (Tabel 6).

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

Penjelasan terkait respon yang dihasilkan dari pengaruh faktor perlakuan terhadap kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik (KBO) tersaji dalam Gambar 1-4. Beberapa gambar yang mencakup eksperimen 1 dan 2 tersebut menunjukkan bahwa nilai KBK dan KBO pada PTH secara umum adalah lebih rendah dibandingkan pada PTK. Hal ini merupakan cerminan pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor HK. Nilai KBK dan KBO setelah penambahan TS terlihat lebih rendah secara keseluruhan dibandingkan kontrol. Hal ini merupakan cerminan dari pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor penambahan

14

TS dalam menurunkan KBK dan KBO. Tidak ada perbedaan respon antara penambahan TS dalam PTH dan PTK terhadap KBK dan KBO secara umum, hal ini merupakan cerminan dari tidak adanya pengaruh nyata dari interaksi antara faktor HK dan penambahan TS. Terkait dengan komparasi antara penambahan ekstrak tani dan saponin bentuk terpisah dengan bentuk kombinasi, secara umum keduanya menunjukkan nilai KBK/KBO yang berbeda tidak nyata.

Nilai KBK pada eksperimen 1 maupun 2 secara umum memilki korelasi positif secara statistik dengan nilai KBO (Gambar 1-4). Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik berada dalam bahan kering. Pengaruh sangat nyata (P<0.01) berupa menurunnya KBK/KBO pada kedua eksperimen akibat faktor penambahan TS adalah sesuai dengan beberapa laporan. Terkait dengan penambahan tanin, Jayanegara et al. (2009) melaporkan bahwa pada uji in vitro penambahan tanin murni dari berbagai sumber tanaman pada dosis 0.5 mg/ml cairan rumen berpengaruh pada penurunan kecernaan bahan organik. Terkait dengan efek saponin, Wina et al. (2005b) melaporkan bahwa penambahan ekstrak saponin dari Sapindus.rarak berpengaruh menurunkan kecernaan pakan (apparent and true) in vitro. Makkar dan Becker (1996) juga melaporkan bahwa saponin dari Quilaja berpengaruh sama dengan yang dilaporkan oleh Wina et al. (2005b).

Gambar 1. Kecernaan Bahan Kering (KBK) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1 mg/ml + 1mg/ml); PTH= pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K= konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

58.63d 46.5ab 46.63ab 44.13a 60.5d 49b 53.14c 52.47c 0 10 20 30 40 50 60 70 Ktl T S T+S Ktl T S T+S PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K) KB K (% )

15

Gambar 2. Kecernaan Bahan Kering (KBK) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml)+saponin (1.5 mg/ml); PTH= pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K=konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

Gambar 3. Kecernaan Bahan Organik (KBO) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1 mg/ml + 1mg/ml); PTH=pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K= konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

60.94c 46.33a 52.18b 47.43a 46.97a 47.86a 66.77d 52.58b 60.49c 54.97b 54.93b 59.76c 0 10 20 30 40 50 60 70 Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K) KB K (% ) 62.2d 40.42a 45.3ab 43.12a 62.17d 49.77bc 52.11c 52.18c 0 10 20 30 40 50 60 70 Ktl T S T+S Ktl T S T+S PTH (70% H: 30% K) PTK (30% H: 70% K) KB O (%)

16

Gambar 4. Kecernaan Bahan Organik (KBO) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml)+saponin (1.5 mg/ml); PTH= pakan tinggi hijauan; PTK=pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K= konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

Kemampuan tanin dan saponin dalam menurunkan KBK dan KBO memiliki mekanisme yang sama seperti pada berkurangnya produksi gas akibat penambahan kedua zat aditif tersebut yakni melalui kemampuan tanin dalam berinteraksi dengan unsur protein dan serat (Makkar 2003; Makkar et al. 2007), dan kemampuan saponin dalam menghambat aktivitas enzim pendegradasi serat kasar (Hristov et al. 2003). Kemampuan kedua zat aditif dalam berinteraksi dengan unsur-unsur nutrien pakan dan komponen enzim tersebut, akan berkorelasi positif dengan menurunnya degradasi pakan dalam rumen sehingga menyebabkan menurunnya KBK dan KBO pakan.

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Konsentrasi Amonia

Respon yang dihasilkan dari pengaruh faktor perlakuan terhadap konsentrasi amonia dalam rumen pada eksperimen 1 dan 2 tersaji dalam Gambar 5 dan 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi amonia pada PTK secara umum lebih tinggi dibandingkan PTH dalam eksperimen 2. Hal ini merupakan cerminan pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor HK. Nilai konsentrasi amonia setelah penambahan TS pada kedua eksperimen terlihat lebih rendah dibandingkan kontrol baik pada PTH maupun PTK. Hal ini merupakan cerminan pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor penambahan TS. Terdapat perbedaan nyata nilai konsentrasi amonia yang dihasilkan dari penambahan TS bentuk tunggal dibandingkan dengan bentuk kombinasi. Penambahan TS dalam bentuk kombinasi menghasilkan nilai penurunan konsentrasi amonia yang lebih tinggi.

Pengaruh ekstrak tanin dan saponin dalam menurunkan konsentrasi amonia dalam rumen sejalan dengan beberapa laporan. Terkait dengan pengaruh tanin,

64.46g 44.90a50.50bc 47.70ab 44.36a48.29ab 67.32fg 54.83cd 60.90ef 56.44de56.92de 60.78ef 0 10 20 30 40 50 60 70 Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K) KB O (% )

17

Bhata et al. (2009) melaporkan bahwa dalam uji aktivitas tanin menggunakan polyethylene glycol (PEG) sebagai determinen, menunjukan bahwa penambahan tanin terhidrolisis dari myrabolam dan chesnut berpengaruh menurunkan konsentrasi amonia, selain itu dalam percobaan lanjut menunjukkan bahwa peningkatan penambahan level tanin (0-25%) dalam ransum dari quebracho yang mengandung tanin terhidrolisis dan terkondensaasi berpengaruh dalam menurunkan konsentrasi amonia. Terkait dengan pengaruh saponin, Makkar et al. (1998) melaporkan bahwa penambahan ekstrak saponin dari Q. saponaria pada dosis 1.2 mg/ml dalam ransum berbasis hay dan (hay+konsentrat) berpengaruh menurunkan konsentrasi amonia 12-15 %. Thalib et al. (2005) melaporkan bahwa dalam uji in vivo pada domba, penambahan ekstrak saponin dari Sapindus. rarak pada dosis 0.07 % bobot badan menurunkan konsentrasi amonia sebesar 28 %.

Konsentrasi amonia dalam rumen berasal dari hasil degradasi pakan dan lisis mikroba. Sebagian amonia diserap oleh dinding rumen dan sisanya digunakan langsung oleh mikroba rumen untuk memenuhi kebutuhan N. Sebesar 50-80% kebutuhan N bagi mikroba berasal dari amonia (Leng 1984). Kemampuan tanin dalam menurunkan konsentrasi amonia adalah melalui mekanisme interaksi tanin terhadap unsur protein dalam pakan (Tanner et al. 1994), sehingga degradasi protein menjadi amonia akan berkurang. Kemampuan saponin dalam menurunkan konsentrasi amonia dijelaskan oleh Wina et al. (2005a) bahwa penurunan amonia terjadi karena mekanisme tidak langsung melalui berkurangnya populasi protozoa. Berkurangnya protozoa berarti mengurangi predator bagi bakteri sehingga mengurangi lisis bakteri. Hal tersebut menyebabkan lebih sedikitnya produk yang berasal dari degradasi protein. selain itu protozoa juga berkontribusi menyumbang 10-40% total N (Vansoest 1994).

Gambar 5. Konsentrasi amonia dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1). Ktl= kontrol; T=tanin (2 mg/ml); S=Saponin (2 mg/ml); T+S=kombinasi tanin dan saponin (1 mg/ml+1mg/ml); PTH=pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H=hijauan; K=konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

20.55c 15.88b 15.63b 11.83a 18.77c 14.59b 15.92b 12.25a 0 5 10 15 20 25 Ktl T S T+S Ktl T S T+S PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K) Amonia (m.M)

18

Gambar 6. Konsentrasi Amonia dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2). Ktl= kontrol; T=tanin (2 mg/ml); S=saponin (2 mg/ml); TS1=tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml)+saponin(1.5 mg/ml); PTH=pakan tinggi hijauan; PTK=pakan tinggi konsentrat; H=hijauan; K=konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

Nilai konsentrasi amonia (eksperimen 2) setelah penambahan TS pada PTK yang secara umum lebih tinggi dibandingkan pada PTH adalah berkaitan dengan kandungan protein kasar atau PK (Tabel 1) pada PTK yang lebih tinggi dibandingkan pada PTH dan didukung dengan fermentabilitas yang juga lebih

Dokumen terkait