• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian In Vitro Reduksi Emisi Gas Metana Melalui Penambahan Ekstrak Tanin dan Saponin Dalam Pakan dengan Proporsi Hijauan Berbeda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian In Vitro Reduksi Emisi Gas Metana Melalui Penambahan Ekstrak Tanin dan Saponin Dalam Pakan dengan Proporsi Hijauan Berbeda"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN

IN VITRO

REDUKSI EMISI GAS METANA

MELALUI PENAMBAHAN EKSTRAK TANIN DAN SAPONIN

DALAM PAKAN DENGAN PROPORSI HIJAUAN BERBEDA

YOGIANTO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Kajian In Vitro Reduksi Emisi Gas Metana Melalui Penambahan Ekstrak Tanin dan Saponin Dalam Pakan dengan Proporsi Hijauan Berbeda adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal dari atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 15 September 2014

Yogianto NIM D251120191

(4)
(5)

RINGKASAN

YOGIANTO. Kajian In Vitro Reduksi Emisi Gas Metana Melalui Penambahan Ekstrak Tanin dan Saponin Dalam Pakan dengan Proporsi Hijauan Berbeda. Dibimbing oleh ASEP SUDARMAN, ANURAGA JAYANEGARA, dan ELIZABETH WINA.

Sektor peternakan khususnya ternak ruminansia, memegang peranan besar terhadap laju emisi gas metana yang berkontribusi terhadap pemanasan global sekaligus merupakan bentuk representasi dari sejumlah kehilangan energi bagi ternak. Tanin dan saponin merupakan senyawa alami yang berpotensi digunakan sebagai zat aditif pakan dalam upaya mitigasi emisi gas metana ternak ruminansia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh ekstrak tanin, saponin, dan kombinasi keduanya sebagai zat aditif dalam pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda terhadap reduksi emisi gas metana dan terhadap pola fermentasi dalam rumen.

Penelitian ini menggunakan teknik fermentasi in vitro. Media inkubasi yang digunakan adalah cairan rumen+larutan buffer bikarbonat yang ditempatkan dalam botol dan diinkubasi dalam water bath bersuhu 39-42ᵒC selama 48 jam. Cairan rumen diambil dari sapi peranakan Friesian Holstein berfistula. Penelitian terdiri dari dua eksperimen. Perbedaan kedua eksperimen terletak pada kualitas substrat pakan konsentrat yang digunakan dan terkait dengan proporsi kombinasi ekstrak tanin dan saponin. Proporsi kombinasi yang digunakan pada eksperimen 1 adalah 1:1, sedangkan proporsi kombinasi pada eksperimen 2 dibuat lebih kompleks.

Rancangan percobaan menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial. Jika terdapat pengaruh nyata dari faktor perlakuan, akan diuji lanjut menggunakan uji jarak Duncan. Faktor pertama adalah pakan dengan proporsi hijauan konsentrat (HK) berbeda, terdiri dari A: pakan tinggi hijauan (PTH), B: pakan tinggi konsentrat (PTK). Faktor kedua adalah penambahan ekstrak tanin dan saponin (TS) pada dosis 2 mg/ml. Faktor penambahan TS pada eksperimen 1 terdiri dari E0: kontrol, E1: E0 + T(100%), E2: E0 + S(100%), E3: E0 + (T: 50% + S: 50%). Pada eksperimen 2 terdiri dari E0: kontrol, E1: E0 + T(100%), E2: E0 + S(100%), E3: E0 + (T: 75% + S: 25%), E4: E0 + (T: 50% + S: 50%), E5: E0 + (T: 25% + S: 75%). Peubah yang diamati pada eksperimen 1 meliputi: produksi gas, emisi gas metana, kecernaan bahan kering dan bahan organik (KBK dan KBO), dan konsentrasi amonia. Peubah yang diamati pada eksperimen 2 adalah sama dengan eksperimen 1, ditambah dengan peubah Volatile Fatty Acid (VFA) dan populasi mikroba rumen (total koloni bakteri dan total protozoa).

(6)

Penambahan TS yang berpengaruh positif dalam menurunkan emisi gas metana, diikuti dengan pengaruhnya terhadap peubah yang mencerminkan pola fermentasi di dalam rumen, berupa penurunan KBK/KBO dan konsentrasi amonia pada taraf sangat nyata (P<0.01). Penambahan TS pada eksperimen 2 secara umum berpengaruh tidak nyata terhadap VFA, namun interaksi antara faktor HK dan faktor penambahan TS yang tercermin dari penambahan ekstrak saponin (S) dalam PTK berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap VFA total, sangat nyata (P<0.01) terhadap proporsi propionat, dan cenderung nyata (P<0.10) terhadap rasio asetat/propionat. Faktor penambahan TS pada eksperimen 2, berpengaruh tidak nyata terhadap total koloni bakteri, namun berpengaruh sangat nyata (P<0.01) terhadap total protozoa yang tercermin dari pengaruh penambahan ekstrak saponin (S) dalam menurunkan populasi protozoa.

Beberapa poin simpulan dalam penelitian ini adalah: 1) Secara umum penambahan 2 mg/ml ekstrak tanin dan saponin maupun kombinasi keduanya berpengaruh menurunkan emisi gas metana dalam pakan tinggi hijauan dan pakan tinggi konsentrat, namun masih diikuti dengan penurunan KBK, KBO, dan konsentrasi amonia dalam rumen. 2) Nilai penurunan emisi gas metana akibat penambahan tanin dan saponin pada pakan tinggi hijauan adalah lebih tinggi dibandingkan pada pakan tinggi konsentrat. 3) Kombinasi antara ekstrak tanin dan saponin dalam berbagai proporsi tidak menunjukkan potensi efek sinergistik dalam menurunkan emisi gas metana.

(7)

SUMMARY

YOGIANTO. In Vitro Study of Reduction Methane Gas Emission Due to The Addition of Tannin and Saponin Extracts Into Diet Differing in Roughage Proportion. Supervised by ASEP SUDARMAN, ANURAGA JAYANEGARA, and ELIZABETH WINA.

The livestock sector, especially ruminants, play a major role on the rate of methane gas emissions that contribute to global warming as well as a form of representation of a number of energy loss for the animal. Tannins and saponins are natural compounds that could potentially be used as feed additives in an effort to mitigate ruminant methane emissions. The purpose of this study was to examine the effect of extracts tannins, saponins, and a combination of both as feed additives in the proportions of different roughage and concentrates, on the reduction of methane emissions and determine its effect on the pattern of fermentation in the rumen.

This study used in vitro fermentation technique. The incubation medium was used buffered rumen fluid + bicarbonate solution. The incubation medium was placed in bottles and incubated in a water bath for 48 hours with 39-42ᵒC temperature. Rumen fluid was taken from the cow breed Frisian Holstein fistulated. This study consisted of two experiments. The difference between the two experiments lies in the quality of the components of concentrates in feed substrate used and associated with to the proportion of combination of extracts tannins and saponins. The proportion combinations used in experiment 1 was 1:1, whereas in experiment 2, made more complex.

The design of experiment was randomized block design (RBD) factorial. If any a significant effect of treatment factors, were continued by Duncan's range test. The first factor was the different proportion of roughage and concentrate in the diet (RC), was consisted of A: high roughage feed (HRF), B: high concentrates feed (HCF). The second factor was the addition of extract tannins and saponins (TS) at a dose of 2 mg/ml. The first factor experiment 1 was consisted of E0: control, E1: E0 + T (100%), E2: E0 + S (100%), E3: E0 + (T: 50% + S: 50%). The first factor in experiment 2 was consisted of E0: control, E1: E0 + T (100%), E2: E0 + S (100%), E3: E0 + (T: 75% + S: 25%), E4: E0 + (T: 50% + S: 50%), E5: E0 + (T: 25% + S: 75%). Variables observed in experiment 1 were gas production, methane emissions, digestibility of matter and organic matter (DMD and OMD), and the concentration of ammonia in the rumen. Variables observed in experiment 2 were the same as experiment 1, were added the volatile fatty acids (VFA) and rumen microbial population (total bacterial colony and total protozoa).

(8)

The addition of the TS positive effect in reducing methane emissions, followed by variables that reflect the influence on the pattern of fermentation in the rumen, the decline of the DMD/OMD and the concentration of ammonia in the rumen at the level of highly significant (P<0.01). The addition of TS in experiment 2 were generally not significant effect on the VFA, but the interaction between factors of RC and TS additional that reflected the addition of saponin extract (S) in the HFR significantly (P<0.05) on total VFA, highly significant (P<0.01 ) the proportion of propionate, and tend to significantly (P<0.10) against the ratio of acetate/propionate. Factors addition of TS in experiment 2, no effect on the total bacterial colony, but was highly significant (P<0.01) in the total protozoa which reflected the effect of the addition of saponin extract (S) in reducing populations of protozoa.

Several points in the conclusions of this study were: 1) In general, the addition of 2 mg/ml extract tannins and saponins or a combination of both were given effect in reducing methane emissions in the high roughage feed and high concentrate feed, but was followed by a decrease in dry matter digestibility (DMD), organic matter digestibility (OMD), and the concentration of ammonia in the rumen. 2) The value of methane emission reduction due to the addition of tannins and saponins in high roughage feed was higher than that at high concentrates feed. 3) a combination of extracts tannins and saponins in various proportions shows not indicate potential synergistic effects in reduce methane emissions.

(9)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2014 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.

(10)
(11)

KAJIAN

IN VITRO

REDUKSI EMISI GAS METANA

MELALUI PENAMBAHAN EKSTRAK TANIN DAN SAPONIN

DALAM PAKAN DENGAN PROPORSI HIJAUAN BERBEDA

YOGIANTO

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Nutrisi dan Pakan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(12)
(13)

HALAMAN PENGESAHAN

Judul Tesis : Kajian In Vitro Reduksi Emisi Gas Metana Melalui Penambahan Ekstrak Tanin dan Saponin Dalam Pakan dengan Proporsi Hijauan Berbeda

Nama : Yogianto

NIM : D251120191

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Dr Ir Asep Sudarman M Rur Sc Ketua

Dr Anuraga Jayanegara SPt MSc Dr Elizabeth Wina MSc Anggota Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Ilmu Nutrisi dan Pakan

Dr Ir Dwierra Evvyernie A MS MSc Dr Ir Dahrul Syah MSc Agr

(14)

PRAKATA

Alhamdulillah, Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah Subhanahu

wata’ala atas segala rahmat dan karunia Nya sehingga karya ilmiah ini dapat diselesaikan. Karya ilmiah yang ditulis berdasarkan hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan Desember 2013 hingga April 2014 ini, bertemakan mitigasi emisi gas metana asal ternak ruminansia, dengan judul Kajian In Vitro Reduksi Emisi Gas Metana Melalui Penambahan Tanin dan Saponin Dalam Pakan Dengan Proporsi Hijauan Berbeda. Sebagian isi dari karya ilmiah ini akan dipublikasikan pada sebuah jurnal nasional terakreditasi bernama Journal Indonesian Tropical Animal Agriculture (JITAA), dengan judul Supplementation Effect of Tannin and Saponin Extracts To Diets With Different Forage To Concentrate Ratio On Rumen Fermentation and Methanogenesis In Vitro.

Terima kasih penulis sampaikan kepada Direktorat Jenderal Perguruan Tinggi (DIKTI) yang telah memberikan dana beasiswa pada studi Magister melalui Program Beasiswa Unggulan dan dana proyek penelitian melalui Program Desentralisasi atas nama Dr Anuraga Jayanegara SPt MSc. Kepada segenap komisi pembimbing yang terdiri atas Bapak Dr Ir Asep Sudarman M Rur Sc, Bapak Dr Anuraga Jayanegara SPt MSc, dan Ibu Dr Elizabeth Wina MSc, yang telah memberikan bimbingan selama pelaksanaan penelitian hingga penulisan karya tulis ilmiah ini. Kepada Kepala Balai beserta staf Laboratorium Pakan di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK) Ciawi Bogor, yang telah memberikan izin dan memfasilitasi penulis dalam melaksanakan penelitian.

Terimakasih penulis sampaikan kepada Ibunda (Ibu Wariyah) dan Ayahanda (Bapak Suwarno), kakak-kakak (Anwar, Yuniati, Yono, Hajah, Yoto, Tia), Tante (Marni) atas segenap doa, kasih sayang dan motivasinya. Kepada teman-teman mahasiswa prodi INP’12 terkhusus (Pristian dan Nanang) atas segenap bantuan dan kerjasamanya. Dan kepada sahabat-sahabat (Ikrom, Eko, M. Maghfuri, Julian Eko, Dimas, dan mas Aris) atas segenap kebaikan, bantuan, dan doanya. Penulis juga menyampaikan terimakasih kepada mas Supri dan ibu Ade selaku tenaga kependidikan pada sekretariat INP yang telah memberikan bantuannya, serta semua pihak yang telah membantu terkait dengan penyelesaian penelitian dan karya ilmiah ini.

Semoga karya ilmiah ini dapat menjadi referensi yang bermanfaat bagi pembaca dan menambah khasanah keilmuan.

Bogor, 15 September 2014

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xiv

PENDAHULUAN

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi 2

Metode Percobaan 2

Rancangan Percobaan 4

Prosedur Pengukuran Peubah 5

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Produksi Gas 8 Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Emisi Gas Metana 10 Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap KBK dan KBO 13 Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Konsentrasi amonia 16 Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap VFA 18 Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Total Koloni Bakteri 21 Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Total Protozoa 23

SIMPULAN DAN SARAN 24

DAFTAR PUSTAKA 25

LAMPIRAN 28

(16)

DAFTAR TABEL

1 Kandungan nutrien substrat pakan perlakuan 3

2 Komposisi bahan pakan penyusun konsentrat (eksperimen 2) 3 3 Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 9 4 Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 9 5 Emisi gas metana (% gas total) dari pakan dengan proporsi hijauan dan

konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 12 6 Emisi gas metana (% gas total) dari pakan dengan proporsi hijauan dan

konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 12 7 Pengaruh penambahan ekstrak tanin dan saponin dalam pakan dengan

proporsi hijauan dan konsentrat berbeda terhadap VFA total (m.M) dan parsial (mol/100 mol) (Eksperimen 2) 20

DAFTAR GAMBAR

1 Kecernaan bahan kering dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 14 2 Kecernaan bahan kering dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2) 15 3 Kecernaan bahan organik dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 15 4 Kecernaan bahan organik dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2) 16 5 Konsentrasi amonia dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1) 17 6 Konsentrasi amonia dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2) 18 7 Total koloni bakteri dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat

berbeda yang diberi ekstrak ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2) 22 8 Total protozoa dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap produksi gas 24 Jam (Eksperimen 1) 28

2 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap produksi gas 48 Jam (Eksperimen 1) 29

3 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap produksi gas 24 Jam (Eksperimen 2) 29 4 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap produksi gas 48 Jam (Eksperimen 2) 30 5 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap emisi gas metana 24 Jam (Eksperimen 1) 31 6 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap emisi gas metana 48 Jam (Eksperimen 1) 31 7 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap emisi gas metana 24 Jam (Eksperimen 2) 32 8 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap emisi gas metana 48 Jam (Eksperimen 2) 33 9 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap KBK (Eksperimen 1) 34 10 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap KBK (Eksperimen 2) 35 11 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap KBO (Eksperimen 1) 34

12 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap KBO (Eksperimen 2) 36 13 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap Amonia (Eksperimen 1) 36 14 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap Amonia (Eksperimen 2) 37 15 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap VFA total dan parsial (Eksperimen 2) 38 16 Hasil analisis sidik ragam dan uji Duncan pengaruh perlakuan

terhadap Total Bakteri (Eksperimen 2) 43 17 Hasil analisis sidik ragam dan uji jarak Duncan pengaruh perlakuan

terhadap Total protozoa (Eksperimen 2) 44 18 Produksi gas dan emisi gas metana pada keseluruhan jam pengukuran

dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat yang diberi ekstrak

tanin dan saponin 45

(18)
(19)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pemanasan global (global warming) merupakan permasalahan lingkungan utama yang dihadapi oleh umat manusia khususnya pada abad terakhir ini. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) 2007 melaporkan bahwa suhu rata-rata permukaan bumi telah meningkat sebesar 0.74 ± 0.18 oC pada abad ke-20 dan merupakan kenaikan suhu terbesar dalam kurun waktu beberapa ribu tahun terakhir. Lebih dari itu, skenario pemodelan yang juga dikembangkan oleh IPCC menunjukkan bahwa suhu permukaan bumi dapat meningkat hingga 2.4-6.4oC hingga tahun 2090-2099 (IPCC 2007). Jika hal ini terus terjadi maka akan sangat berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan manusia.

Akar permasalahan pemanasan global telah diketahui berkaitan dengan sangat tingginya laju akumulasi sejumlah gas rumah kaca pada lapisan atmosfer seperti karbon dioksida (CO2), metana (CH4), nitrogen oksida (N2O) dan kloro

fluoro karbon (CFC) sebagai akibat dari semakin tingginya intensitas berbagai aktivitas manusia (Thorpe 2009). Metana merupakan kontributor terbesar kedua gas rumah kaca (sebesar 16% dari total) setelah CO2. Meskipun demikian,

kemampuan gas metana untuk meretensi panas (global warming potential) adalah 21 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan CO2 (Iqbal et al. 2008).

Sektor peternakan, khususnya adalah ternak ruminansia seperti sapi, kerbau, kambing dan domba memegang peranan penting terhadap laju emisi gas metana beserta akumulasinya di atmosfer. Sekitar 28% emisi gas metana antropogenik berasal dari ternak ruminansia (Beauchemin et al. 2008). Hal ini dikarenakan terjadinya proses pembentukan gas metana atau metanogenesis oleh archaea metanogen yang berada di dalam rumen melalui perombakan unsur CO2 dan H2

menjadi CH4 (EPA 2010). Selain berdampak terhadap pemanasan global, emisi

gas metana merupakan bentuk representasi dari kehilangan energi. Cottle et al. (2011) meyatakan bahwa energi yang hilang sebagai metana dari ternak ruminansia cukup signifikan, yakni 8-14% dari total digestible energy (DE). Berdasarkan hal tersebut, maka diperlukan upaya mitigasi emisi gas metana asal ternak ruminansia, yang tidak hanya terkait dengan aspek konservasi lingkungan namun juga sebagai upaya mengoptimalkan produktivitas ternak ruminansia.

Strategi nutrisi yang telah terbukti efektif dalam mitigasi emisi gas metana adalah melalui inhibisi langsung archea metanogen menggunakan senyawa-senyawa ionofor seperti monensin (Grainger et al. 2008). Namun demikian penggunaan monensin ataupun ionofor-ionofor jenis lainnya yang bersifat sebagai antibiotik terkendala dengan semakin luasnya larangan penggunaan antibiotik sebagai zat aditif dalam pakan. Hal ini memicu eksplorasi berbagai senyawa alami untuk mereduksi emisi gas metana (Jayanegara et al. 2009).

Senyawa metabolit sekunder tanaman, termasuk di dalamnya adalah tanin dan saponin merupakan senyawa alami yang berpotensi digunakan sebagai zat aditif pakan dalam mitigasi emisi gas metana asal ternak ruminansia. Tanin dapat menurunkan emisi gas metana melalui kinerjanya dalam mereduksi populasi metanogen dalam rumen (Bhatta et al. 2009) dan juga melalui penghambatan pencernaan komponen serat pakan sehingga mengurangi produksi H2 (Tavendale

(20)

2

bersimbiosis dengan protozoa dan berkontribusi hingga 37% terhadap total emisi gas metana dalam rumen (Finlay et al. 1994), sehingga reduksi populasi protozoa juga dapat menurunkan emisi gas metana. Jika kedua senyawa tersebut digunakan secara simultan dalam pakan, baik pada pakan dengan proporsi hijauan tinggi maupun pakan dengan proporsi konsentrat tinggi, diharapkan akan menghasilkan efek yang lebih signifikan dalam menurunkan emisi gas metana.

Tujuan

1. Mengkaji penggunaan senyawa tanin dan saponin dalam bentuk ekstrak, sebagai zat aditif dalam pakan tinggi hijauan dan pakan tinggi konsentrat terkait pengaruhnya terhadap emisi gas metana dan pola fermentasi rumen. 2. Menginvestigasi potensi efek sinergistik antara senyawa tanin dan saponin

yang digunakan secara simultan sebagai zat aditif dalam pakan tinggi hijauan dan pakan tinggi konsentrat terkait penurunan emisi gas metana dalam rumen.

Manfaat

1. Membantu ditemukannya strategi nutrisi yang efektif dan alami dalam menurunkan emisi gas metana asal ternak ruminansia.

2. Utilisasi efek sinergistik antara tanin dan saponin dalam mitigasi emisi gas metana ternak ruminansia.

3. Berkontribusi terhadap upaya menurunkan efek gas rumah kaca serta meningkatkan efisiensi penggunaan energi pada ternak ruminansia.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Lokasi

Penelitian ini dilakukan pada bulan Desember 2013-April 2014. Uji in vitro dan pengukuran produksi gas, emisi gas metana, kecernaan, dan konsentrasi amonia dilakukan di Laboratorium Pakan, dan analisa mikroba rumen dilakukan di Laboratorium Nutrisi dan Fisiologi yang bertempat di Balai Penelitian Ternak (BALITNAK), Ciawi, Bogor. Analisa VFA parsial dilakukan di Laboratorium Pusat Studi Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Metode Percobaan

Persiapan Ekstrak Tanin dan Saponin

(21)

3

antara fraksi padatan dan cairan. fraksi cairan kemudian diuapkan menggunakan ratavapor (Buchi.B.490), dengan tujuan menghilangkan pelarut organik, hingga diperoleh ekstrak dalam bentuk jel. Ekstrak tersebut kemudian dikeringkan secara beku (freeze dry) hingga diperoleh ekstrak tanin dan saponin dalam bentuk kering.

Persiapan Substrat Pakan Hijauan dan Konsentrat

Substrat pakan yang digunakan dalam uji in vitro terdiri dari 2 tipe pakan yakni 70:30 (pakan tinggi hijauan) dan 30:70 (pakan tinggi konsentrat) dengan komposisi nutrien tersaji pada Tabel 1. Komponen hijauan yang digunakan adalah rumput gajah (Penisetum purpureum) yang diperoleh dari farm hijauan pakan Fakultas Peternakan IPB. Komponen konsentrat yang digunakan adalah konsentrat untuk sapi perah. Pada eksperimen 1 menggunakan konsentrat komersial (Lacto feed) yang diproduksi oleh CV. Tani Mulya Bogor. Pada eksperimen 2 menggunakan konsentrat yang dibuat secara personal melalui teknik formulasi pakan, dengan komposisi bahan penyusun yang tersaji pada Tabel 2. Komponen hijauan berupa rumput, terlebih dahulu dikeringkan dalam oven 50ºC hingga kadar air mencapai sekitar 10%, kemudian kedua komponen pakan baik rumput maupun konsentrat digiling menggunakan alat penggiling hingga halus dan disaring menggunakan siever hingga diperoleh ukuran mes sebesar 1 mm.

Tabel 1. Kandungan nutrien substrat pakan perlakuan

Sumber: Hasil analisa proximate dan Van soest pada Lab ilmu dan teknologi pakan IPB dan Lab uji kimia analitik BALITNAK Ciawi (2013).

Keterangan: BK= Bahan Kering, PK= Protein Kasar, NDF= Neutral Detergent Fibre, ADF= Acid Detergen Fiber, PTH= Pakan Tinggi Hijauan (70%H:30%K), PTK= Pakan Tinggi Konsentrat (30%H:70%K).

Tabel 2. Komposisi bahan pakan penyusun konsentrat (eksperimen 2)

Bahan Penyusun Pakan Proporsi (%)

Jagung 40

Polard 18.1

Bungkil Kelapa 19.3

Bungkil Kedelai 11

Molases 5

Bungkil inti Sawit 5

Kapur 0.9

Garam 0.5

Premix 0.2

Sumber: Hasil formulasi pakan secara personal

Komponen Substrat Kandungan nutrien (%)

BK Abu PK NDF ADF Lignin Bahan pakan perlakuan

Rumput gajah 90.38 11.93 8.96 65.61 44.72 9.38 Konsentrat (eksperimen1) 84.39 7.78 11.45 42.56 29.56 10.78 Konsentrat (eksperimen 2) 88.80 5.76 18.4 27.02 11.74 5.03 Pakan perlakuan

(22)

4

Pelaksanaan Uji In Vitro

Teknik fermentasi in vitro dilakukan berdasarkan metode Theoudorou (1990). Sebanyak 100 mg substrat perlakuan dimasukkan kedalam botol berukuran 100 ml. Kedalam botol tersebut di masukan 100 ml cairan buffer rumen sebagai media inkubasi yang telah dijenuhkan menggunkan gas CO2.

Komposisi (dalam 1000 ml) cairan buffer rumen adalah sebagai berikut: larutan buffer bicarbonat: 241 ml, larutan makromineral: 121ml, larutan mikromineral: 0.061 ml, resazurin: 0.61 ml, air terdestilasi: 362 ml, larutan pereduksi: 23 ml, dan cairan rumen: 253 ml. Cairan rumen yang digunakan diambil dari sapi perah peranakan Frisian Holstein (PFH) berfistula di kandang Balai Penelitian Ternak (Balitnak) Ciawi Bogor, pada pagi hari sebelum sapi diberi pakan. Cairan rumen kemudian disaring menggunakan kain nilon, dimasukkan kedalam termos dan segera dibawa ke laboratorium.

Campuran antara substrat pakan perlakuan dan cairan buffer rumen dalam botol kemudian ditutup menggunakan penutup karet dengan rapat, yang selanjutnya di inkubasikan dalam water bath (Lab master) pada suhu 39-42ºC selama 48 jam. Selama masa inkubasi dilakukan pengocokan botol secara manual setiap satu jam sekali pada 4 jam pertama, dan 2 jam sekali setelahnya hingga masa inkubasi 12 jam.

Rancangan Percobaan

Penelitian ini terdiri dua percobaan (eksperimen) yakni eksperimen 1 dan 2. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) pola faktorial (2x4) pada eksperimen 1 dan (2x6) pada eksperimen 2 dengan macam perlakuan sebagai berikut:

Eksperimen 1

Faktor A (Proporsi hijauan:konsentrat dalam pakan): Substrat 1: 70% hijauan: 30% konsentrat

Substrat 2: 30% hijauan: 70% konsentrat

Faktor B (ekstrak tanin dan saponin pada dosis 2 mg/ml cairan rumen): E0: kontrol

E1: E0 + ekstrak tanin 100% E2: E0 + ekstrak saponin 100%

E3: E0 + ekstrak tanin 50% + ekstrak saponin 50%

Eksperimen 2

Faktor A (Proporsi hijauan:konsentrat dalam pakan): Substrat 1: 70% hijauan: 30% konsentrat

Substrat 2: 30% hijauan: 70% konsentrat

Faktor B (ekstrak tanin dan saponin pada dosis 2 mg/ml cairan rumen): E0: kontrol

E1: E0 + ekstrak tanin 100% E2: E0 + ekstrak saponin 100%

(23)

5

Perbedaan antara kedua eksperimen terletak pada dua perbedaan mendasar: perbedaan pertama adalah terkait kualitas substrat pakan konsentrat yang digunakan. Konsentrat berkualitas rendah digunakan dalam eksperimen 1 dan konsentrat berkualitas tinggi digunakan dalam eksperimen 2. Perbedaan kedua adalah terkait dengan penggunaan proporsi kombinasi ekstrak tanin dan saponin. Kombinasi yang diuji pada eksperimen 1 hanya pada proporsi 1:1, sedangkan pada eksperimen 2, proporsi kombinasi dibuat lebih kompleks.

Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah:

Eksperimen 1 (1) Produksi gas (2) Emisi gas metana

(3) Kecernaan bahan kering (KBK) (4) Kecernaan bahan Organik (KBO) (5) Konsentrasi amonia

Eksperimen 2

Peubah yang diamati pada eksperimen 2 adalah sama seperti pada eksperimen 1 dan ditambah dengan beberapa peubah yang meliputi:

(6) Konsentrasi VFA (total dan parsial) (7) Total koloni bakteri

(8) Total protozoa

Prosedur Pengukuran Peubah

Akumulasi Produksi Gas

Produksi gas diukur pada jam ke 1, 3, 6, 10, 12, 14, 21, 24, 30, 36 dan 48 setelah inkubasi. Total gas diukur menggunakan syringe berbahan kaca dengan volume 50 ml (Van). Bagian ujung dari syringe yang telah dilengkapi dengan kran, dihubungkan dengan jarum. Dalam keadaan kran terbuka dan dengan posisi tegak lurus, syringe tersebut ditusukkan melalui penutup karet kedalam botol menuju ke bagian ruang dari botol tersebut. Secara otomatis, total gas yang dihasilkan dalam botol akan tertarik ke atas. Setelah gas tertarik secara sempurna, kran pada syringe ditutup kembali dan syringe dicabut dari botol. Total volume gas (ml) dapat diketahui melalui pembacaan manual pada skala yang terdapat pada syringe.

Emisi Gas Metana

Pengukuran emisi gas metana dilakukan pada jam inkubasi yang sama dengan pengukuran total produksi gas. Emisi gas metana diukur menggunakan metode penjeratan CO2 (CO2 traping) dengan bahan penjerat yang bersifat alkalis

(24)

6

dihubungkan dengan saluran masuk pada syringe berskala 10 ml yang dipasang pada buret dengan posisi ujung berada dibawah.

Setelah Syringe dihubungkan dengan saluran masuk pada larutan NaOH, bagian batang dari syringe didorong secara perlahan hingga total produksi gas akan melalui larutan NaOH. Pada saat total produksi gas melalui larutan NaOH, komponen gas berupa CO2 yang terdapat dalam total produksi gas tersebut akan

dijerat oleh larutan NaOH, sedangkan komponen gas berupa metana (CH4) akan

lolos melalui saluran keluar dari erlenmeyer dan masuk kedalam saluran masuk pada syringe berskala 10 ml. Volume gas (ml) metana dapat diketahui melalui pembacaan manual pada skala tersebut. Nilai emisi gas metana pada penelitian ini diekspresikan dalam satuan gas metana relatif yakni nilai proporsi (%) dari total produksi gas yang dihasilkan.

Kecernaan Bahan Kering (KBK) dan Bahan Organik (KBO)

Setelah 48 jam inkubasi, isi sampel perlakuan dalam botol disaring menggunkan sinter glass yang diletakan pada bagian ujung erlenmeyer. Erlenmeyer tersebut terhubung dengan saluran vakum. Setelah tersaring sempurna hingga terpisah antara fraksi padatan (residu) dan cairan (supernatan). Residu dalam sinter glass di keringkan pada oven bersuhu 105ᵒC selama 24 jam hingga diperoleh bahan kering (BK). Bahan kering tersebut dimasukkan kedalam eksikator selama kurang lebih 15 menit, kemudian ditimbang. Penetapan KBK diperoleh dari selisih antara BK sampel awal sebelum inkubasi dengan BK residu, proporsional dengan BK sampel awal sebelum inkubasi.

Bahan kering (BK) residu yang telah diketahui beratnya dimasukkan kedalam tanur dengan suhu sekitar 500ᵒC selama 6 jam hingga bahan organik dalam residu hilang dan hanya tersisa kadar abu. Abu tersebut dimasukkan kedalam eksikator selama kurang lebih 15 menit, kemudian ditimbang. Selisih antara BK residu dengan abu residu adalah bahan organik (BO) residu. Kecernaan bahan organik (KBO) diperoleh dari selisih antara bahan organik sampel sebelum inkubasi dengan bahan organik residu, proporsional dengan bahan organik sampel awal sebelum inkubasi.

Konsentrasi Amonia (NH3)

Pengukuran konsentrasi amonia menggunakan teknik mikro difusi Conway (Conway 1962). Cawan Conway berbentuk melingkar, terdiri dari dua bagian yaitu bagian tengah dan tepi. Bagian tepi cawan dibatasi oleh satu sekat. Sebanyak 3 ml asam borat 3% diletakan pada bagian tengah cawan dan ditetesi sekitar 0.01 ml indikator warna BCG:MR. Sebanyak 1 ml larutan NaOH 20% diletakan pada bagian tepi cawan, tepatnya disebelah kiri sekat. Disebelah kanan sekat diletakan sebanyak 1ml supernatan hasil penyaringan sampel setelah inkubasi 48 jam. Cawan kemudian ditutup dengan rapat, larutan NaOH dan supernatan dihomogenisasi dengan cara menggoyangkan cawan hingga keduanya menjadi homogen. Setelah itu, dilakukan inkubasi 24 jam hingga warna pada bagian tengah cawan berubah dari merah jambu menjadi biru. Setelah inkubasi selesai, tutup cawan dibuka dan dilakukan titrasi dengan HCl 0.01 N menggunakan titrator (Methrom Binkman), hingga warna berubah menjadi merah muda

(25)

7

Konsentrasi Volatil Fatty Acid (VFA) Parsial

VFA parsial yang meliputi asetat, propionat, butirat, valerat, iso butirat, dan iso valerat diukur menggunakan alat Gas Chromatography (GC 8A, Shimadzu Crop. Kyoto. Japan) dengan kolom berisi 10% SP-1200, 1% H3PO4 on 80/100

Cromosorb WAW. Panjang kolom 1 m, bersuhu 150ºC dan suhu injektor adalah 240ºC. Sebanyak 1.5 ml sampel dimasukkan kedalam microtube dan tingkat keasaman diturunkan hingga mencapai pH 3 yang bertujuan untuk menstabilkan sampel. Kemudian sebanyak 1 µl sampel di injeksikan kedalam GC. Kuantifikasi VFA parsial dilakukan dengan cara membandingkan kurva yang dihasilkan dengan kurva dari standar eksternal yang terdiri atas VFA parsial yang telah diketahui konsentrasinya. Satuan VFA parsial yang diperoleh adalah dalam μmol/ml atau mM. Kandungan total VFA dan total iso-VFA didapatkan melalui penjumlahan masing-masing VFA parsial penyusunnya.

Total Koloni Bakteri

Analisa total koloni bakteri rumen berdasarkan Ogimoto dan Imai (1987). Media agar yang digunakan sebagai media pertumbuhan bakteri tersusun atas bahan-bahan sebagai berikut: mineral, resazurine 0.1 %, aquades, bacto agar, glukosa, celobiosa, cysteina, Na2CO38%, bactocasitone, yeast extract, starch

soluble, NaHCO3, dan sodium laktat. Sebanyak 0.5 ml sampel cairan rumen (hasil

inkubasi 48 jam) dimasukkan kedalam tabung pengencer yang berisi 4.5 ml larutan pengencer (10 kali pengenceran), pengenceran diulang hingga 6 kali. Pada pengenceran terakhir diambil 0.5 ml dan dimasukkan kedalam tabung reaksi yang berisi 2.5 ml media agar. Tabung reaksi yang berisi sampel dan media tersebut kemudian diputar menggunakan roller hingga kering. Selanjutnya diinkubasi selama 14 Hari, pada hari ke-5 mulai dihitung jumlah koloni bakteri dan diulang pada hari ke-14. Total koloni bakteri/ml cairan rumen merupakan hasil perkalian antara total koloni bakteri terhitung dengan faktor pengenceran. Total koloni bakteri tersebut kemudian ditranformasi kedalam satuan log.

Total Protozoa

Perhitungan total protozoa didasarkan pada Ogimoto dan Imai (1987). Sebanyak 0.5 ml sampel cairan rumen hasil inkubasi in vitro 48 jam dicampurkan kedalam larutan MFS (Methylgreen Formal-Salin) yang tersusun atas: 100 ml formaldehida 35%, aquades 900 ml, 0.6 gram methilgreen, dan 8 gram NaCl. Dua tetes campuran tersebut ditempatkan pada hemocytometer dengan jumlah kotak pembacaan sebanyak 25 buah dengan total volume 10-4. Perhitungan populasi protozoa dilakukan menggunakan mikroskop (Olympus) pada perbesaran 10 kali. Total protozoa/ml cairan rumen dihitung dengan cara mengalikan jumlah protozoa terhitung dengan faktor penganceran. Total protozoa tersebut kemudian ditranformasi kedalam satuan log.

Analisis Data

(26)

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Produksi Gas

Nilai akumulasi produksi gas pada eksperimen 1 dan 2 selama 24 dan 48 jam inkubasi tersaji pada Tabel 3 dan 4. Respon dari pengaruh faktor perlakuan terhadap produksi gas menunjukkan bahwa terdapat pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor HK (proporsi hijauan dan konsentrat) pada eksperimen 1 dan 2 yang tercermin dari nilai produksi gas pada PTH (pakan tinggi hijauan) secara umum lebih rendah dibandingkan PTK (pakan tinggi konsentrat). Faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin (TS) dalam pakan secara umum berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap nilai produksi gas pada kedua eksperimen, namun respon yang dihasilkan adalah cukup berbeda. Eksperimen 1 menunjukkan bahwa pada 24 jam inkubasi terjadi penurunan produksi gas pada PTH setelah penambahan TS baik dalam bentuk tungggal yakni ekstrak tanin (T) dan ekstrak saponin (S), maupun bentuk kombinasi (T+S), sedangkan produksi gas pada PTK tetap konstan. Respon ini secara umum relatif konsisten hingga 48 jam inkubasi, kecuali pada penambahan S dan T+S pada PTK yang berpengaruh meningkatkan produksi gas. Pada eksperimen 2, penambahan TS bentuk tunggal dan kombinasi (TS1, TS2, TS3) tidak mempengaruhi produksi gas selama 24 dan 48 jam inkubasi

pada PTH, namun secara umum berpengaruh meningkatkan produksi gas selama 48 jam inkubasi pada PTK, kecuali pada penambahan S dan TS3. Penambahan TS

dalam bentuk tunggal dan kombinasi pada kedua eksperimen, secara umum tidak menunjukkan nilai produksi gas yang berbeda.

Produksi gas yang dihasilkan dari metode ini (in vitro) dapat berasal dari hasil fermentasi substrat pakan secara langsung dan secara tidak langsung melalui mekanisme buffering VFA berupa gas CO2 yang dilepaskan dari buffer bikarbonat

selama proses fermentasi (Getachew et al. 1998). Penambahan TS dalam PTH pada eksperimen 1 yang berpengaruh menurunkan produksi gas selama 24 jam inkubasi adalah sejalan dengan Jayanegara et al. (2009a) yang melaporkan bahwa penambahan tanin murni pada dosis 0.5 mg/ml dalam ransum berbasis hay berpengaruh menurunkan produksi gas in vitro. Sedangkan penurunan produksi selama 24 dan 48 jam inkubasi akibat penambahan ekstrak saponin dalam PTH pada eksperimen 1 adalah sejalan dengan Makkar et al. (1995) bahwa penambahan ekstrak saponin dari Quilaja pada dosis 0.8 dan 1.2 mg/ml dalam ransum berpengaruh menurunkan produksi gas in vitro. Mekanisme tanin dalam menurunkan produksi gas adalah melalui kemampuannya dalam berinteraksi dengan komponen pakan terutama adalah protein dan serat (Makkar 2003; Makkar et al. 2007), sedangkan mekanisme saponin lebih kepada kemampuannya dalam menghambat aktivitas enzim pendegradasi serat kasar (Hristov et al. 2003). Kemampuan tanin dan saponin dalam berinteraksi dengan nutrien pakan dan enzim tersebut, menjadikan degradasi pakan dalam rumen akan berkurang sehingga akan berkorelasi positif dengan berkurangnya produksi gas.

(27)

9

Tabel 3. Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart error mean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1mg/ml + 1mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata.

Tabel 4. Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart error mean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin

(0.5 mg/ml) + saponin (1.5 mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= Interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukan perbedaan nyata

W PTH PTK SEM P-Value

Ktl T S T+S Ktl T S T+S HK TS INT

24 151b 123a 125 a 134 a 167 c 166 c 169c 174 c 4.05 ** * *

48 185 bc 174 ab 169a 187 c 190cd 199 d 203e 207 e 2.94 ** * **

W PTH PTK SEM P-Value

Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 HK TS INT

24 167a 164a 156 a 168 a 166a 164a 207ab 209c 204bc 211c 211c 195 b 3.38 ** ns ns

48 209a 218 a 217a 219a 222a 223a 242b 252bcd 249bcd 257cd 259d 245bc 2.78 ** * ns

(28)

10

tersebut difermentasi sehingga produksi gas tetap konstan. Pada eksperimen yang sama, peningkatan produksi gas akibat penambahan S maupun (T+S) pada PTK selama 48 jam inkubasi adalah sejalan dengan yang dilaporkan oleh Wina et al. (2005b) bahwa terjadi peningkatan produksi gas in vitro secara signifikan pada substrat pakan yang ditambah ekstrak saponin dari Sapindus. rarak oleh karena kontribusi unsur gula. Unsur gula yang terdapat dalam saponin diantaranya glukosa, galaktosa, xylosa, arabiosa, rhamnosa (Wina et al. 2005a). Efek saponin dalam meningkatkan produksi gas dalam penelitian ini tidak terlihat pada PTH. Hal ini juga dapat dikaitkan dengan fermentabilitas PTH yang lebih rendah dari pada PTK. Meskipun saponin memberikan kontribusi gas dalam PTH namun dikarenakan laju pembentukan gas dari unsur pakan pada PTH tidak lebih cepat dibandingkan pada PTK menyebabkan produksi gas secara akumulatif tetap konstan.

Penambahan TS dalam PTH pada eksperimen 2 selama masa inkubasi 24 dan 48 jam yang tidak mempengaruhi produksi gas, hal ini tidak sejalan dengan hasil dari eksperimen 1 yang menunjukkan adanya efek penururan produksi gas secara nyata. Perbedaan respon ini dapat beralasan dengan kualitas konsentrat yang digunakan.Penjelasan mengenai hal ini di dasarkan pada Tabel 1 (kandungan nutrien substrat pakan perlakuan). Terlihat bahwa nilai (%) dari komponen fraksi serat baik yang mudah difermentasi (NDF) maupun yang sulit difermentasi (ADF) dan lignin pada substrat konsentrat yang digunakan dalam eksperimen 2 adalah lebih rendah dibandingkan dengan eksperimen 1. Hal ini mengindikasikan bahwa konsentrat yang digunakan pada eksperimen 2 lebih cepat difermentasi.

Terkait dengan pengaruh fermentabilitas konsentrat tersebut, dapat dijelaskan bahwa proporsi konsentrat dalam PTH (kontrol) pada eksperimen 2 berkontribusi besar dalam pembentukan gas, sehingga menghasilkan nilai produksi gas secara akumulatif yang lebih tinggi dibandingkan dengan PTH (kontrol) pada eksperimen 1, selama 24 dan 48 jam inkubasi (Tabel 2 dan 3). Hal ini lebih diperkuat dengan nilai produksi gas selama 48 jam inkubasi pada PTH dalam eksperimen 2 bahkan lebih tinggi dibandingkan PTK pada eksperimen 1. Mekanisme tidak terpengaruhnya produksi gas akibat penambahan TS pada PTH dalam eksperimen 2 adalah sama seperti mekanisme tidak terpengaruhnya produksi gas setelah penambahan TS pada PTK dalam eksperimen 1, yakni kemampuan tanin atau saponin berinteraksi dengan unsur pakan atau unsur lain yang berperan dalam proses nutrisi di dalam rumen dapat di minimalisasi dengan lebih cepatnya pakan tersebut di fermentasi sehingga produksi gas tetap konstan

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Emisi Gas Metana

(29)

11

pada PTK. Komparasi nilai emisi gas metana yang dihasilkan dari penambahan TS dalam bentuk tunggal dibandingkan dari penambahan TS dalam bentuk kombinasi secara umum menunjukkan perbedaan yang tidak nyata baik pada PTH maupun PTK.

Proses pembentukan gas metana (metanogenesis) di dalam rumen dijelaskan oleh Morgavi et al. (2010) bahwa karbohidrat struktural dari tanaman, protein dan polimer dari bahan organik lain dalam bahan pakan yang dikonsumsi oleh ternak akan didegradasi menjadi bentuk monomer oleh mikroorganisme an-aerob. Monomer-monomer tersebut kemudian diubah menjadi bentuk VFA (Volatile Fatty Acid) sedangkan CO2 dan H2 dihasilkan dari proses fermentasi tersebut.

Metanogen menggunakan produk akhir fermentasi berupa CO2 dan H2 sebagai

substrat utama pembentuk gas metana (CH4).

Pengaruh nyata (P<0.05) dari faktor HK yang tercermin dari lebih tingginya emisi gas metana pada PTH dibandingkan pada PTK adalah sejalan dengan beberapa laporan. McAllister et al. (1996) melaporkan bahwa peningkatan asupan konsentrat dari 40 g menjadi 68 g BK berpengaruh menurunkan CH4 dari 9.2%

menjadi 5.3% per gross energy intake. Lovett. et al. (2003) melaporkan bahwa emisi gas metana (per bobot hidup dan karkas) yang dihasilkan dari sapi dara periode akhir mengalami penurunan seiring dengan menurunnya rasio hijauan dan konsentrat (65%:35%, 40%:60% dan 10%:90%) dalam ransum.

Mekanisme penurunan CH4 seiring dengan naiknya proporsi konsentrat

dijelaskan oleh Walichnowski dan Lawrence (1982) bahwa peningkatan proporsi pati dalam ransum ruminansia akan merubah konsentrasi VFA. Proporsi asetat akan lebih sedikit dihasilkan dibandingkan dengan propionat, sehingga suplai hidrogen untuk metanogenesis menjadi terbatas. Hegarty (1999) menambahkan bahwa laju kecernaan yang tinggi dari biji-bijian akan menjadikan pH rumen lebih rendah sehingga pertumbuhan bakteri metanogen dan protozoa terhambat.

Komparasi antara eksperimen 1 dan 2 terkait dengan nilai emisi gas metana (Tabel 5 dan 6) menunjukkan bahwa nilai emisi gas metana dari perlakuan kontrol pada PTH maupun PTK dalam eksperimen 1 adalah lebih tinggi dibandingkan eksperimen 2. Nilai emisi gas metana (% gas total) dari perlakuan kontrol pada 24 dan 48 jam inkubasi antara eksperimen 1 dan 2 secara berurutan adalah (31.2 dan 31.1) vs (24.9 dan 25.8) pada PTH, sedangkan pada PTK adalah (27.1 dan 27.3) vs (23.7 dan 24.7). Hasil tersebut menunjukkan bahwa semakin tinggi kualitas konsentrat dalam pakan, sebagaimana telah dijelaskan bahwa kualitas konsentrat pada eksperimen 2 adalah lebih baik dari pada eksperimen 1, maka akan berkorelasi negatif dengan semakin rendahnya gas metana yang dihasilkan.

(30)

12

Tabel 4. Emisi gas metana (% produksi gas) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi tanin dan saponin (eksperimen 1)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart errormean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1mg/ml + 1mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata.

Tabel 5. Emisi gas metana (% produksi gas) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi tanin dan saponin (eksperimen 2)

Keterangan: W= waktu inkubasi (jam); PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart error mean; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5

mg/ml) + saponin (1,5 mg/ml) saponin; HK= faktor proporsi hijauan konsentrat; TS= faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; INT= interaksi antara faktor proporsi hijauan konsentrat dengan faktor penambahan ekstrak tanin dan saponin; **= sangat signifikan (P<0.01); *= signifikan (P<0.05); ns= non signifikan (P>0.05). Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata.

W

PTH PTK SEM P-Value

Ktl T S T +S Ktl T S T+S HK TS INT

24 31.2d 26.6c 26.2bc 24.8abc 27.1c 25.1abc 23.9ab 22.7a 0.55 ** ** ns

48 31.1c 23.9a 25.4ab 24.5a 27.3b 25ab 24.2a 22.7a 0.60 * ** ns

W PTH PTK SEM P-Value

Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 HK TS INT

24 24.9c 22.2ab 23.2ab 22.8ab 22.1ab 21.8a 23.7bc 21.8a 22.7ab 22.3ab 22.5 ab 22.3 ab 0.23 ns ** ns

48 25.8c 23.5ab 23.3a 23.5ab 22.9a 22.4a 24.7bc 22.9a 23.6ab 23.1a 23.2 a 23 a 0.22 ns ** ns

(31)

13

Perbandingan nilai penurunan emisi gas metana (%) pada akhir inkubasi (48 jam) antara PTH dan PTK akibat penambahan T dan S pada dosis 2 mg/ml secara berurutan adalah (23.15 dan 18.3) vs (8.4 dan 11.3) pada eksperimen 1. Sedangkan pada eksperimen 2 adalah (8.9 dan 9.7) vs (7.3 dan 4.4). Perbandingan tersebut menunjukkan bahwa nilai penurunan emisi gas metana akibat penambahan TS pada PTH adalah lebih tinggi dibandingkan pada PTK. Hal ini dapat disebabkan karena nilai emisi gas metana pada PTH sebelum ditambahkan ekstrak tanin dan saponin (kontrol) adalah lebih tinggi dibandingkan pada PTK. Hasil ini menjadi sebuah indikator bahwa tanin dan saponin lebih efektif dalam menurunkan produksi gas metana jika ditambahkan pada pakan yang mengandung proporsi hijauan tinggi.

Mekanisme tanin dalam menurunkan produksi gas metana ternak ruminansia digagas oleh Tavendale et al. (2005) yakni melalui dua mekanisme: (1) secara tidak langsung melalui penghambatan pencernaan komponen serat pakan sehingga akan mengurangi produksi H2. (2) secara langsung melalui

penghambatan pertumbuhan dan aktivitas dari archea metanogen di dalam rumen. Secara lebih terperinci, Jayanegara (2008) dalam Jayanegara et al. (2009a) menjelaskan bahwa jenis tanin terkondensasi lebih berperan dalam reduksi emisi metana melalui mekanisme pertama, sedangkan tanin terhidrolisis lebih berperan melalui mekanisme kedua dari gagasan Tavendale et al. (2005).

Ekstrak tanin yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari daun mahoni (swietenia mahagoni) yang termasuk jenis tanin terkondensasi, sehingga perannya dalam mereduksi gas metana lebih kepada penghambatan pencernaan serat kasar sehingga mengurangi suplai H2 (Jayanegara. 2008 disitasi Jayanegara et al. 2009).

Pengaruh saponin dalam mereduksi emisi gas metana sebagaimana dinyatakan oleh (Hess et al. 2003) yakni melalui mekanisme reduksi populasi protozoa rumen. Sebagian populasi metanogen hidup bersimbiosis dengan protozoa dan berkontribusi hingga 37% terhadap total emisi metana dalam rumen (Finlay et al. 1994). Sehingga reduksi populasi protozoa juga dapat berakibat pada menurunnya emisi gas metana. Peran saponin terhadap inhibisi populasi protozoa yang pada akhirnya akan berkontribusi terhadap penurunan emisi gas metana, telah dibuktikan dalam penelitian ini terkhusus pada eksperimen 2. Gambar 8 menunjukkan bahwa terjadi penurunan sangat nyata (P<0.01) dari total protozoa akibat penambahan ekstrak saponin dalam bentuk tunggal maupun ekstrak saponin yang dikombinasikan dengan ekstrak tanin (TS2, dan TS3) baik pada PTH

maupun PTK. Penurunan total protozoa tersebut secara umum berkorelasi positif dengan turunnya emisi gas metana (Tabel 6).

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Kecernaan Bahan Kering dan Bahan Organik

(32)

14

TS dalam menurunkan KBK dan KBO. Tidak ada perbedaan respon antara penambahan TS dalam PTH dan PTK terhadap KBK dan KBO secara umum, hal ini merupakan cerminan dari tidak adanya pengaruh nyata dari interaksi antara faktor HK dan penambahan TS. Terkait dengan komparasi antara penambahan ekstrak tani dan saponin bentuk terpisah dengan bentuk kombinasi, secara umum keduanya menunjukkan nilai KBK/KBO yang berbeda tidak nyata.

Nilai KBK pada eksperimen 1 maupun 2 secara umum memilki korelasi positif secara statistik dengan nilai KBO (Gambar 1-4). Hal ini dikarenakan kandungan bahan organik berada dalam bahan kering. Pengaruh sangat nyata (P<0.01) berupa menurunnya KBK/KBO pada kedua eksperimen akibat faktor penambahan TS adalah sesuai dengan beberapa laporan. Terkait dengan penambahan tanin, Jayanegara et al. (2009) melaporkan bahwa pada uji in vitro penambahan tanin murni dari berbagai sumber tanaman pada dosis 0.5 mg/ml cairan rumen berpengaruh pada penurunan kecernaan bahan organik. Terkait dengan efek saponin, Wina et al. (2005b) melaporkan bahwa penambahan ekstrak saponin dari Sapindus.rarak berpengaruh menurunkan kecernaan pakan (apparent and true) in vitro. Makkar dan Becker (1996) juga melaporkan bahwa saponin dari Quilaja berpengaruh sama dengan yang dilaporkan oleh Wina et al. (2005b).

Gambar 1. Kecernaan Bahan Kering (KBK) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); T+S= kombinasi tanin dan saponin (1 mg/ml + 1mg/ml); PTH= pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K= konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

58.63d

46.5ab 46.63ab

44.13a

60.5d

49b 53.14

c 52.47c

0 10 20 30 40 50 60 70

Ktl T S T+S Ktl T S T+S

PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K)

KB

K

(%

(33)

15

Gambar 2. Kecernaan Bahan Kering (KBK) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin

(1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml)+saponin (1.5

mg/ml); PTH= pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K=konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

Gambar 3. Kecernaan Bahan Organik (KBO) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin

PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K)

(34)

16

Gambar 4. Kecernaan Bahan Organik (KBO) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2). Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin

(1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml)+saponin (1.5

mg/ml); PTH= pakan tinggi hijauan; PTK=pakan tinggi konsentrat; H= hijauan; K= konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

Kemampuan tanin dan saponin dalam menurunkan KBK dan KBO memiliki mekanisme yang sama seperti pada berkurangnya produksi gas akibat penambahan kedua zat aditif tersebut yakni melalui kemampuan tanin dalam berinteraksi dengan unsur protein dan serat (Makkar 2003; Makkar et al. 2007), dan kemampuan saponin dalam menghambat aktivitas enzim pendegradasi serat kasar (Hristov et al. 2003). Kemampuan kedua zat aditif dalam berinteraksi dengan unsur-unsur nutrien pakan dan komponen enzim tersebut, akan berkorelasi positif dengan menurunnya degradasi pakan dalam rumen sehingga menyebabkan menurunnya KBK dan KBO pakan.

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Konsentrasi Amonia

Respon yang dihasilkan dari pengaruh faktor perlakuan terhadap konsentrasi amonia dalam rumen pada eksperimen 1 dan 2 tersaji dalam Gambar 5 dan 6. Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai konsentrasi amonia pada PTK secara umum lebih tinggi dibandingkan PTH dalam eksperimen 2. Hal ini merupakan cerminan pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor HK. Nilai konsentrasi amonia setelah penambahan TS pada kedua eksperimen terlihat lebih rendah dibandingkan kontrol baik pada PTH maupun PTK. Hal ini merupakan cerminan pengaruh sangat nyata (P<0.01) dari faktor penambahan TS. Terdapat perbedaan nyata nilai konsentrasi amonia yang dihasilkan dari penambahan TS bentuk tunggal dibandingkan dengan bentuk kombinasi. Penambahan TS dalam bentuk kombinasi menghasilkan nilai penurunan konsentrasi amonia yang lebih tinggi.

Pengaruh ekstrak tanin dan saponin dalam menurunkan konsentrasi amonia dalam rumen sejalan dengan beberapa laporan. Terkait dengan pengaruh tanin,

64.46g

PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K)

KB

O

(%

(35)

17

Bhata et al. (2009) melaporkan bahwa dalam uji aktivitas tanin menggunakan polyethylene glycol (PEG) sebagai determinen, menunjukan bahwa penambahan tanin terhidrolisis dari myrabolam dan chesnut berpengaruh menurunkan konsentrasi amonia, selain itu dalam percobaan lanjut menunjukkan bahwa peningkatan penambahan level tanin (0-25%) dalam ransum dari quebracho yang mengandung tanin terhidrolisis dan terkondensaasi berpengaruh dalam menurunkan konsentrasi amonia. Terkait dengan pengaruh saponin, Makkar et al. (1998) melaporkan bahwa penambahan ekstrak saponin dari Q. saponaria pada dosis 1.2 mg/ml dalam ransum berbasis hay dan (hay+konsentrat) berpengaruh menurunkan konsentrasi amonia 12-15 %. Thalib et al. (2005) melaporkan bahwa dalam uji in vivo pada domba, penambahan ekstrak saponin dari Sapindus. rarak pada dosis 0.07 % bobot badan menurunkan konsentrasi amonia sebesar 28 %.

Konsentrasi amonia dalam rumen berasal dari hasil degradasi pakan dan lisis mikroba. Sebagian amonia diserap oleh dinding rumen dan sisanya digunakan langsung oleh mikroba rumen untuk memenuhi kebutuhan N. Sebesar 50-80% kebutuhan N bagi mikroba berasal dari amonia (Leng 1984). Kemampuan tanin dalam menurunkan konsentrasi amonia adalah melalui mekanisme interaksi tanin terhadap unsur protein dalam pakan (Tanner et al. 1994), sehingga degradasi protein menjadi amonia akan berkurang. Kemampuan saponin dalam menurunkan konsentrasi amonia dijelaskan oleh Wina et al. (2005a) bahwa penurunan amonia terjadi karena mekanisme tidak langsung melalui berkurangnya populasi protozoa. Berkurangnya protozoa berarti mengurangi predator bagi bakteri sehingga mengurangi lisis bakteri. Hal tersebut menyebabkan lebih sedikitnya produk yang berasal dari degradasi protein. selain itu protozoa juga berkontribusi menyumbang 10-40% total N (Vansoest 1994).

Gambar 5. Konsentrasi amonia dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1). Ktl= kontrol; T=tanin (2 mg/ml); S=Saponin (2 mg/ml); T+S=kombinasi tanin dan saponin (1 mg/ml+1mg/ml); PTH=pakan tinggi hijauan; PTK= pakan tinggi konsentrat; H=hijauan; K=konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

20.55c

15.88b

15.63b

11.83a

18.77c

14.59b 15.92b

12.25a

0 5 10 15 20 25

Ktl T S T+S Ktl T S T+S

PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K)

Amonia

(36)

18

Gambar 6. Konsentrasi Amonia dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 2). Ktl= kontrol; T=tanin (2 mg/ml); S=saponin (2 mg/ml); TS1=tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin

(1mg/ml) + saponin (1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml)+saponin(1.5

mg/ml); PTH=pakan tinggi hijauan; PTK=pakan tinggi konsentrat; H=hijauan; K=konsentrat. Huruf pada superskrip yang berbeda antar perlakuan menunjukkan perbedaan nyata.

Nilai konsentrasi amonia (eksperimen 2) setelah penambahan TS pada PTK yang secara umum lebih tinggi dibandingkan pada PTH adalah berkaitan dengan kandungan protein kasar atau PK (Tabel 1) pada PTK yang lebih tinggi dibandingkan pada PTH dan didukung dengan fermentabilitas yang juga lebih tinggi sebagaimana telah dijelaskan pada peubah produksi gas. Kandungan PK dalam pakan menjadi alasan terkait dengan konsentrasi amonia dikarenakan unsur protein di dalam rumen akan didegredasi oleh mikroba menjadi bentuk amonia.

Penambahan TS dalam bentuk kombinasi yang mampu menghasilkan nilai penurunan amonia yang lebih tinggi dibandingkan dengan bentuk tunggal merupakan indikasi adanya suatu potensi efek saling menguatkan (sinergistik) antara tanin dan saponin dalam menurunkan konsentrasi amonia dalam rumen. Indikasi efek sinergistik ini dimungkinkan disebabkan karena mekanisme yang berbeda dari kedua senyawa tersebut terkait dengan kinerjanya dalam menurunkan konsentrasi amonia sebagaimana telah dijelaskan oleh Tanner et al. (1994), Wina et al. (2005a), dan Vansoest (1994).

Pengaruh Ekstrak Tanin dan Saponin terhadap Volatile Fatty Acid (VFA) VFA (Volatile Fatty Acid) merupakan produk yang dihasilkan dari proses fermentasi dalam rumen. Ketersedian VFA merupakan indikator ketersedian energi bagi ternak ruminansia (Jayanegara et al. 2009a). Komponen VFA seperti asetat, propionat, dan butirat akan diabsorbsi melalui dinding rumen dan digunakan sebagai sumber energi di berbagai organ tubuh ternak melalui mekanisme oksidasi dalam siklus asam trikarboksilat (Hungate 1966).

Pengaruh faktor perlakuan terhadap nilai konsentrasi VFA total dan parsial serta proporsi asetat/propionat pada eksperimen 2 tersaji dalam Tabel 7. Tabel

24.08e

20.39cd

20.19cd

16.42a 16.93a18.71 b

25.11e

19.20bc21.53 d

16.77a18.80

b20.72d

0 5 10 15 20 25 30

Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3

PTH (70%H: 30%K) PTK (30%H: 70%K)

(37)

19

tersebut menunjukkan bahwa faktor HK dan faktor penambahan TS pada dosis 2 mg/ml berpengaruh tidak nyata terhadap konsentrasi VFA total namun interaksi antara kedua faktor berpengaruh nyata (P<0.05) yang terutama tercermin pada penambahan S dalam PTK yang berpengaruh meningkatkan total VFA.

Data mengenai nilai konsentrasi VFA parsial yang meliputi asetat (C2),

propionat (C3), butirat (C4), valerat (C5), iso butirat (Iso C4), dan iso valerat (Iso

C5) menunjukkan bahwa secara umum faktor HK memberikan pengaruh nyata

(P<0.05) dan sangat nyata (P<0.01) terhadap konsentrasi VFA parsial kecuali terhadap komponen C3, Iso C4. Faktor penambahan TS secara keseluruhan

berpengaruh tidak nyata terhadap nilai VFA parsial. Interaksi antara faktor HK dan TS secara umum juga tidak berpengaruh nyata terhadap VFA parsial kecuali pada penambahan S dalam PTK yang berpengaruh nyata meningkatkan proporsi C3, dan penambahan TS2 dalam PTK yang berpengaruh nyata menurunkan iso C5.

Faktor HK yang berpengaruh tidak nyata terhadap VFA total, berarti bahwa nilai total VFA antara PTH dan PTK adalah sama. Hasil ini bertentangan dengan yang dilaporkan Suharti et al. (2005) bahwa produksi VFA in vitro meningkat ketika level konsentrat dalam ransum ditingkatkan. Russell (1998) juga melaporkan bahwa dalam uji in vitro menggunakan cairan rumen sapi, diperoleh hasil bahwa ransum tinggi konsentrat menghasilkan konsentrasi VFA yang lebih tinggi. Mekanaisme peningkatan VFA dengan penambahan konsentrat berkaitan dengan karakteristik pakan konsentrat yang mudah difermentasi di dalam rumen.

Penambahan ekstrak tanin yang secara umum berpengaruh tidak nyata terhadap konsentrasi VFA total dan parsial, bertentangan dengan Jayanegara et al. (2009b) yang melaporkan bahwa penambahan tanin murni jenis terhidrolisis dan terkondensasi pada dosis 0.5 mg/ml cairan rumen secara umum menurunkan VFA parsial dan total. Perbedaan antara hasil dengan pustaka ini dimungkinkan terjadi karena perbedaan jenis ekstrak ditinjau dari kemurniannya. Ekstrak tanin yang digunakan dalam penelitian ini adalah crude extract, sehingga memungkinkan terdapat unsur-unsur lain yang dapat mempengaruhi efek tanin itu sendiri.

Iso VFA yang terdiri dari komponen Iso C4 dan Iso C5 merupakan produk

dari degradasi protein yang berasal dari asam amino bercabang yang bersumber dari pakan dan mikroba rumen, sehingga dapat menjadi indikator degradasi protein dalam rumen (Hoffman et al. 2008). Penambahan ekstrak tanin dan saponin dalam pakan pada penelitian ini berpengaruh tidak nyata terhadap proporsi Iso VFA dan komponennya, namun interaksi antara faktor HK dan TS berpengaruh cenderung nyata (P<0.1), yang tercermin dari penambahan kombinasi tanin dan saponin 50:50 (TS2) dalam PTH berpengaruh menurunkan

nilai proporsi Iso C5. Jayanegara et al. (2009a) melaporakan bahwa penambahan

tanin murni pada dosis 0.5 mg/ml dari mimosa, chesnut, dan quebracho dalam ransum berbasis hay berpengaruh menurunkan Iso VFA secara nyata.

(38)

20

Tabel 7. Pengaruh penambahan ekstrak tanin dan saponin dalam pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda terhadap VFA total (m.M) dan parsial (mol/100 mol) (Eksperimen 2)

Keterangan: P= peubah; PTH= pakan tinggi hijauan (70% hijauan : 30% konsentrat); PTK= pakan tinggi konsentrat (30% hijauan : 70% konsentrat); SEM= standart

error mean; VFA= volatile fatty acid (total); C2= asetat; C3= propionat; C4= butirat; I-C4= iso butirat; I-C5= iso valerat; I-VFA= iso VFA; C2/C3=

asetat/propionat; Ktl= kontrol; T= tanin (2 mg/ml); S= Saponin (2 mg/ml); TS1= tanin (1.5 mg/ml) + saponin (0.5 mg/ml); TS2= tanin (1mg/ml) + saponin

(1mg/ml); TS3= tanin (0.5 mg/ml) + saponin (1.5 mg/ml); HK= faktor proporsi hijauan dan konsentrat; TS= faktor penambahan tanin dan saponin; INT=

interaksi antara faktor HK dan TS. Huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan perbedaan nyata.

P PTH PTK SEM P-Value

Ktl T S TS1 TS2 TS3 Ktl T S TS1 TS2 TS3 HK TS INT

VFA 84.6bc 80.8 ab 77.7ab 91.5bc 63.1a 83.4abc 79.9ab 76ab 101.7c 86.8bc 90.9bc 84.9bc 2.41 ns ns *

C2 54.9abc 55.7 bc 53.9abc 55.2abc 56.8c 53.5ab 55.4abc 55.4abc 52.4a 53.6ab 52.6ab 53.8abc 0.33 * ns ns

C3 19.5abc 18.7 abc 19.7abc 26bcd 11.8a 21.4abc 17ab 16.6ab 32.2d 18.7abc 27.6cd 22.4bc 1.24 ns ns **

C4 5.7abc 5.8 abc 5.1ab 6.8bc 3.3a 5.6ab 6.8bc 5.4ab 8.9c 7.1bc 8.1bc 6.6bc 0.35 ** ns ns

C5 0.9abc 0.9 abc 0.7ab 0.8abc 0.4a 0.7ab 0.9bc 0.8ab 1.3c 1.0bc 1.2bc 1.0bc 0.06 ** ns ns

I-C4 2.4abc 2.8 bc 2.3ab 3.1bc 1.4a 2.4abc 2.5abc 2.2ab 3.6c 2.4abc 3.1bc 2.7bc 0.14 ns ns *

I- C5 2.4bc 1.6 abc 1.3ab 1.8abc 0.8a 1.3abc 2.0bc 1.4abc 2.5c 1.9bc 2.2bc 1.8abc 0.12 * ns ns

I-VFA 5.6b 5.2 ab 4.5ab 4.4ab 3.4a 4.5ab 5.4b 4.7ab 6.1c 4.8ab 5.5b 5.2ab 0.09 ns ns ns

C2/C3 2.6bc 2.5 bc 2.1ab 2.0ab 3.0

c

2.2abc 2.8bc 2.7bc 1.6a 2.2abc 2.1ab 2.2abc 0.18 ns * ns

2

Gambar

Tabel 1.  Kandungan nutrien substrat pakan perlakuan
Tabel 3. Produksi gas (ml) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin  (eksperimen 1)
Tabel 4.  Emisi gas metana (% produksi gas) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi tanin dan saponin (eksperimen 1)
Gambar 1.    Kecernaan Bahan Kering (KBK) dari pakan dengan proporsi hijauan dan konsentrat berbeda yang diberi ekstrak tanin dan saponin (eksperimen 1)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal lain yang dapat peneliti temukan: anak pada periode holofrasa (umur 1-2 tahun) llebih banyak mengucapkan katalangsung tertuju pada aktivitas. Sedangkan hal yang sering

Tabel H-2 Asumsi distribusi dataset untuk replikasi hasil [LAS05] pada skenario data pengujian tidak mengandung data intrusi jenis baru ...

Karena probabilitas jauh lebih besar dari 0.05 maka model regresi tidak dapat digunakan untuk memprediksi bahwa profitabilitas yang diproksikan dengan return on

Bahan tambahan adalah bahan yang digunakan dalam proses produksi dan berfungsi meningkatkan mutu produk serta merupakan bagian dari produk akhir.. Bahan tambahan yang digunakan PT

2014 menyebutkan sebagian besar pengunjung pameran adalah anak-anak usia TK dan SD. Fakta ini menjadi bukti kereta api sekali lagi menjadi satu topik yang menarik bagi

Upaya yang harus dilakukan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sambas dan Provinsi Kalimantan Barat untuk mempercepat terbangunnya Kawasan Industri Semparuk adalah

Telah dilakukan penelitian pemanfaatan sari pati umbi gadung ( Dioscorea hispida Dennst) terhadap koagulasi lateks karet alam ( Hevea brasiliensis ) yang bertujuan

Dari kutipan di atas menjelaskan bahwa Fatimah merasa senang karena dalam rapat yang pertama para pedagang dijanjikan akan diberikan los dasaran gratis dan