• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Daya Saing dan Tingkat Integrasi TPT Indonesia Analisis Daya Saing dengan Metode RCA

Untuk menganalisis daya saing suatu produk bisa dilakukan dengan metode Revealed Comparative Advantage (RCA). Produk yang memiliki daya saing akan memiliki share ekspor yang tinggi dibandingkan dengan komoditi yang sama dari negara lain. Penghitungan daya saing komoditi dengan metode RCA digunakan untuk melihat potensi daya saing yang dimiliki pada tahun tertentu. Fungsi metode RCA adalah mengukur share ekspor produk suatu negara dibandingkan dengan share ekspor dunia untuk produk tersebut ke pasar tujuan yang sama. Nilai yang dihasilkan dari pengukuran dengan metode RCA ini akan berkisar antar nol sampai takhingga. Suatu produk dikatakan memiliki daya saing yang bagus di suatu kawasan apabila memperoleh nilai RCA diatas satu. Sebaliknya, produk yang memperoleh nilai RCA di bawah satu dapat diklasifikasikan sebagai produk yang berdaya saing rendah di kawasan ini.

Gambar 12 menunjukkan perkembangan nilai RCA dari empat TPT ekspor Indonesia ke Asia Pasifik yang dianalisis. Nilai rata-rata RCA selama tujuh tahun (2009-2015) untuk TPT yang dianalisis adalah lebih dari satu. Artinya bahwa keempat produk ini memiliki daya saing yang bagus di pasar Asia Pasifik.

Sumber: ITC Trademap, 2016 (diolah)

Gambar 12 Perkembangan nilai RCA TPT Indonesia tahun 2009-2015 Jika dilihat dari trend nilai RCA selama 2009-2015, tiga dari empat produk mengalami peningkatan RCA, akan tetapi ada juga produk dengan nilai RCA yang cenderung turun, yaitu filamen buatan (HS 54). Hasil lengkap bisa dilihat pada Lampiran 5. Penurunan nilai RCA mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat daya saing. Meski demikian, keempat TPT yang dianalisis masih mempunyai daya saing yang bagus yang ditunjukkan dengan nilai RCA lebih dari satu. Produk yang berada pada kelompok pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) memiliki peningkatan RCA yang lebih baik dibandingkan dengan produk yang berada pada kelompok serat dan benang (HS 54 dan HS 55). Hal tersebut ditunjukkan dengan trend RCA

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50 4.00 4.50 5.00 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 N il ai R CA Tahun Filamen Buatan Serat Stafel Buatan Barang-barang Rajutan Pakaian Jadi Bukan Rajutan

selama 2009-2015 untuk produk HS 61 dan HS 62 masing-masing sebesar 3.89 dan 3.31, sedangkan trend RCA untuk produk HS 54 dan HS 55 masing-masing sebesar -0.11 dan 0.36.

Analisis Daya Saing dengan Metode EPD

Pengukuran tingkat daya saing produk ekspor, selain menggunakan metode RCA, juga dapat menggunakan metode Export Product Dynamics (EPD). Metode ini dapat menangkap gambaran umum tentang dinamika ekspor suatu produk. Berbeda dengan RCA, hasil analisis EPD memperlihatkan tingkat kedinamisan pertumbuhan ekspor pada suatu periode tertentu yang dikategorikan pada empat posisi pasar yaitu rising stars, falling stars, lost opportunity dan

retreat.

Posisi rising stars merupakan posisi yang paling ideal dari matriks EPD. Posisi ini menggambarkan kinerja perdagangan ekspor yang cepat dan dinamis dimana tingkat pertumbuhan ekspor dari Indonesia terus meningkat dan pertumbuhan pangsa ekspor di pasar Asia Pasifik juga mengalami peningkatan sehingga produk yang termasuk kategori ini berada pada level yang kompetitif. Produk yang termasuk pada kategori rising stars dapat dikatakan sebagai produk yang memiliki keunggulan komparatif dari Indonesia dan dapat bersaing di pasar Asia Pasifik.

Tabel 7 Hasil analisis daya saing dengan metode EPD Kode HS Nama Komoditi Pangsa Ekspor Pangsa Produk Posisi Pasar 54 Filamen Buatan -0.0931 0.0012 Lost Opportunity

55 Serat Stafel Buatan -0.1145 -0.0003 Retreat

61 Barang-barang Rajutan 0.0096 -0.0049 Falling Star

62 Pakaian Jadi Bukan Rajutan 0.0240 -0.0094 Falling Star Sumber: ITC Trademap, 2016 (diolah)

Tabel 7 menunjukkan posisi pasar TPT yang dianalisis. Filamen buatan berada di posisi pasar lost opportunity, serat stafel buatan di posisi retreat, barang- barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan berada di posisi falling stars. Hal ini sejalan dengan hasil RCA bahwa produk yang berada pada kelompok pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) memiliki daya saing yang lebih bagus dibanding produk pada kelompok serat dan benang. Posisi falling stars dinilai masih lebih baik dibandingkan retreat dan lost opportunity. Barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan mengalami peningkatan pangsa ekspornya meskipun produknya tidak dinamis atau stagnant. Produk yang tidak dinamis mengalami penurunan pangsa produk. Penurunan pangsa produk selain memang disebabkan karena permintaan terhadap produk tersebut menurun, bisa juga disebabkan karena semakin banyaknya jenis produk yang masuk ke pasar Asia Pasifik sehingga pangsa produk tersebut terlihat lebih kecil. Filamen buatan mengalami penurunan pangsa ekspor padahal termasuk produk dinamis karena pangsa produknya mengalami peningkatan. Hal ini berarti permintaan terhadap filamen buatan meningkat akan tetapi filamen buatan Indonesia belum bisa memenuhi peningkatan permintaan tersebut. Tentunya hal ini sangat disayangkan karena berarti Indonesia belum bisa memanfaatkan peluang yang ada. Untuk itu perlu

dilakukan peningkatan daya saing terhadap filamen buatan Indonesia agar bisa ditingkatkan ekspornya. Produk yang berada pada posisi retreat biasanya tidak diinginkan untuk dikembangkan karena tidak kompetitif dan pangsa pasar cenderung stagnant, sehingga meskipun apabila memiliki trend positif, pertumbuhan pasarnya cenderung kecil. Produk yang berada pada posisi retreat

adalah Serat Stafel Buatan. Analisis Tingkat Integrasi

Globalisasi perdagangan dunia telah memicu perusahaan-perusahaan internasional mendirikan pabriknya di berbagai dunia. Hal ini menyebabkan terjadinya pertukaran barang yang sejenis antar negara. Tingkat integrasi perdagangan ini sangat penting bagi pertumbuhan ekspor, karena dengan semakin tingginya integrasi perdagangan antar negara akan menyebabkan ekspor dan impor berjalan secara berkesinambungan dan saling membutuhkan.

Tingkat integrasi diukur melalui pendekatan analisis Intra Industry Trade

(IIT), yang merupakan indikator dari integrasi yang terjadi dalam suatu sektor yang dianalisis. Nilai IIT berfungsi untuk mengukur besarnya perdagangan intra- industri yang terjadi di suatu negara atau wilayah. Suatu negara dapat melaksanakan ekspor suatu produk tertentu dan pada saat yang sama juga melakukan impor produk tersebut.

Tabel 8 Perkembangan nilai IIT TPT yang dianalisis periode 2009-2015 Kode

HS Nama Produk Rata-rata IIT Klasifikasi

54 Filamen Buatan 61.91 moderately strong

integration

55 Serat Stafel Buatan 87.04 strong integration

61 Barang-barang Rajutan 9.65 weak integration

62 Pakaian Jadi Bukan Rajutan 9.87 weak integration Sumber: BPS, 2016 (diolah)

Tabel 8 menunjukkan bahwa produk yang mempunyai integrasi paling kuat adalah serat stafel buatan, selanjutnya adalah filamen buatan. Hal ini berarti perdagangan dua produk tersebut bersifat dua arah dengan kata lain selain mengekspor, Indonesia juga mengimpor produk tersebut. Produk serat stafel buatan dan filamen buatan yang diimpor kemungkinan digunakan sebagai bahan baku dalam pembuatan pakaian jadi. Melihat nilai ekspor kedua komoditi tersebut juga cukup besar, maka perlu adanya pertimbangan untuk menggunakan kedua komoditi tersebut untuk produksi dalam negeri sehingga komoditi yang diekspor bisa berupa produk jadi dan diharapkan bisa memberikan nilai tambah dibanding mengekspor dalam bentuk bahan baku. Barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan memiliki tingkat integrasi lemah. Hal ini menunjukkan bahwa perdagangan bersifat satu arah. Dari data BPS 2016 diketahui bahwa ekspor Indonesia untuk kedua komoditi tersebut lebih besar dibanding impornya. Untuk itu kualitas kedua komoditi tersebut perlu dipertahankan atau bahkan ditingkatkan agar nilai ekspornya terus meningkat. Hal ini sejalan dengan hasil analisis daya saing dengan metode RCA dan EPD dimana produk yang berada pada kelompok

pakaian jadi (HS 61 dan HS 62) memiliki daya saing yang lebih baik dibanding produk pada kelompok serat dan benang (HS 54 dan 55).

Pengaruh Fasilitasi Perdagangan dan Faktor Lain Terhadap Ekspor TPT Indonesia ke Kawasan Asia Pasifik

Analisis pengaruh fasilitasi perdagangan terhadap ekspor TPT dilakukan menggunakan metode analisis data panel statis dengan model gravity. Perumusan model ini digunakan untuk menganalisis pengaruh variabel fasilitasi perdagangan dan variabel ekonomi lainnya terhadap volume ekspor TPT dalam rentang waktu 2009-2015. TPT yang dianalisis adalah produk yang berada dalam kelompk pakaian jadi yaitu HS 61 dan HS 62.

Tabel 9 Pengaruh fasilitasi perdagangan dan faktor ekonomi lainnya terhadap ekspor TPT Indonesia

Variabel Barang-barang

Rajutan

Pakaian Jadi Bukan Rajutan Customs Environment 0.272974 0.174363 E-Business 0.411668 1.581314 Port Efficiency 2.776311*** 1.942579** Regulatory Environment -1.896711*** -2.266366*** GDP Indonesia 0.737825** -0.578087 GDP Negara APEC 1.166373*** 1.347018*** Jarak Ekonomi -0.159691* -0.339253***

Nilai Tukar Riil 0.011837 0.119758**

Tarif -0.040629*** -0.035770**

C -37.19463 -5.646574

R2 0.83 0.91

Prob F-stat 0.00 0.00

Keterangan:

*) signifikan pada taraf nyata 10 persen **) signifikan pada taraf nyata 5 persen ***) signifikan pada taraf nyata 1 persen

Variabel dependen yang digunakan adalah nilai ekaspor, sedangkan variabel independen yang digunakan adalah variabel-variabel fasilitasi perdagangan (Customs Environment, E-Business, Port Efficiency, Regulatory

Environment), GDP Indonesia, GDP negara APEC, jarak ekonomi antara

Indonesia dengan ibukota negara APEC, nilai tukar riil dan tarif impor di negara tujuan ekspor.

Tabel 9 menunjukan hasil analisis data panel. Diantara keempat variabel fasilitasi perdagangan (Customs Environment, E-Business, Port Efficiency,

Regulatory Environment), Port Efficiency dan Regulatory Environment

mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kedua produk TPT. Nilai koefisien

Port Efficiency untuk barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan

masing-masing sebesar 2.78 dan 1.94. Hal ini berarti bahwa kenaikan indeks Port Efficiency sebesar satu persen akan meningkatkan ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan masing-masing sebesar 2.78 dan 1.94 persen. Hal

ini sejalan dengan penelitian Clark et al. (2002) yang menyatakan bahwa dengan meningkatnya Port Efficiency akan mengurangi banyak biaya sehingga bisa meningkatkan ekspor. Dari hasil analisis terlihat bahwa elastisitas Port Efficiency

pada barang-barang rajutan lebih besar dibanding pakaian jadi bukan rajutan.

Regulatory Environment berpengaruh secara signifikan terhadap ekspor

TPT yang dianalisis. Nilai koefisien Regulatory Environment untuk barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan masing-masing sebesar -1.90 dan -2.27. Hal ini berarti setiap peningkatan Regulatory Environment sebesar satu persen dapat menurunkan ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan masing- masing sebesar 1.90 dan 2.27 persen. Koefisien yang bernilai negatif juga sesuai dengan hasil penelitian Perez dan Wilson (2012) bahwa peraturan menghambat perdagangan. Penelitian Njinkeu et al. (2008) juga menyatakan indeks ini signifikan berpengaruh. Dechezlepretre dan Sato (2014) menyatakan bahwa industri-industri di negara terbuka akan cenderung tertarik pada daerah dengan kebijakan lingkungan lunak. Lingkungan peraturan juga menunjukkan seberapa ketat peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah di suatu negara. Dalam dunia bisnis, pelaku industri akan memilih mengekspor ke negara-negara dengan kebijakan yang relatif longgar dibandingkan dengan kebijakan yang terlalu ketat. Hal tersebut juga didukung oleh penelitian Wilson et al. (2003) bahwa lingkungan peraturan memiliki dampak negatif dan signifikan terhadap perkembangan ekspor produk manufaktur di kawasan APEC.

Gross Domestic Product (GDP) suatu negara adalah ukuran kapasitas untuk

memproduksi komoditi ekspor negara tersebut. Semakin besar GDP suatu negara, maka semakin besar pula produksi yang bisa dihasilkan. Tabel 9 menunjukkan bahwa GDP Indonesia mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap ekspor barang-barang rajutan dengan koefisien sebesar 0.74. Hal ini berarti bahwa peningkatan GDP Indonesia sebesar satu persen akan meningkatkan ekspor barang-barang rajutan sebesar 0.74 persen. GDP juga menunjukkan tingkat daya serap pasar. Tabel 9 menunjukkan bahwa GDP APEC mempunyai pengaruh signifikan terhadap ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan masing-masing sebesar 1.67 dan 1.35. Hal ini berarti peningkatan GDP negara APEC sebesar satu persen akan meningkatkan ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan masing-masing sebesar 1.67 dan 1.35 persen. Hal ini didukung oleh penelitian Zahra dan Leili (2011) yang menyatakan bahwa GDP mempunyai pengaruh positif terhadap ekspor.

Salvatore (1993) menyebutkan bahwa adanya biaya transportasi berdampak pada penurunan ekspor. Semakin jauh jarak antara negara pengekspor dan negara pengimpor, maka akan menyebabkan biaya transportasi semakin mahal. Harga yang tinggi akan menyebabkan daya saing produk menjadi turun, sehingga jumlah komoditi yang diminta juga mengalami penurunan. Oleh karena itu, variabel jarak ekonomi dan volume ekspor memiliki hubungan yang negatif. Penelitian ini menggunakan variabel jarak ekonomi sebagai proxy dari biaya transportasi. Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa jarak ekonomi berpengaruh signifikan terhadap ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan dengan koefisien masing-masing sebesar -0.16 dan -0.34. Artinya semakin besar jarak ekonomi sebesar satu persen maka akan menurunkan ekspor barang-barang rajutan sebesar 0.16 persen dan pakaian jadi bukan rajutan sebesar 0.34 persen.

Nilai tukar riil menyatakan tingkat dimana pelaku ekonomi dapat memperdagangkan barang-barang dari suatu negara untuk barang-barang dari negara lain sehingga terkadang disebut terms of trade (Mankiw 2007). Nilai tukar riil berkaitan dengan harga relatif dari barang-barang di antara dua negara. Pada penelitian ini nilai tukar yang digunakan dalam bentuk Rupiah per LCU. Sebagaimana penelitian yang dilakukan oleh Ginting (2013) dimana menguatnya nilai rupiah akan dapat menurunkan ekspor komoditas Indonesia, maka terkait penelitian ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa melemahnya nilai rupiah akan dapat meningkatkan ekspor dari Indonesia ke negara APEC. Sejalan dengan hal tersebut, Krugman (2012) menyebutkan bahwa perlemahan nilai mata uang rupiah terhadap mata uang asing akan berdampak pada peningkatan ekspor. Tabel 9 menunjukkan bahwa variabel nilai tukar riil berpengaruh signifikan terhadap ekspor pakaian jadi bukan rajutan dengan nilai koefisien sebesar 0.12. Artinya bahwa apabila rupiah melemah satu persen maka ekspor pakaian jadi bukan rajutan akan meningkat sebesar 0.12 persen.

Tarif merupakan salah satu instrumen yang digunakan pemerintah dalam mengatur perdagangan lintas negara. Tarif impor adalah pajak yang dibebankan terhadap komoditas yang diimpor dari negara lain. Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel tariff berpengaruh signifikan terhadap ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan dengan nilai koefisien yang sama masing- masing sebesar -0.40. Artinya bahwa apabila tariff naik sebesar satu persen akan menurunkan ekspor barang-barang rajutan dan pakaian jadi bukan rajutan masing- masing sebesar 0.40 persen. Hal ini sejalan dengan penelitian Rinaldi (2014) dan Sunardi (2015), yang menyimpulkan bahwa semakin tinggi tarif impor yang diterapkan oleh negara pengimpor, akan menurunkan ekspor ke negara tersebut. Begitu pula sebaliknya, jika tarif impor diturunkan, maka ekspor yang diminta akan mengalami peningkatan.

6

SIMPULAN DAN SARAN

Dokumen terkait