• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Umum

Penelitian ini terdiri atas dua percobaan, yaitu pengaruh frekuensi penyiraman dan genotipe jarak pagar terhadap pertumbuhan bibit di rumah kaca serta dampak frekuensi penyiraman bibit jarak pagar pada pertumbuhan tanaman di lapangan. Percobaan pertama dilakukan di Rumah Kaca Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Benih ditanam dalam polybag dan diletakkan di rumah kaca sehingga asumsinya kebutuhan cahaya dapat tercukupi dan merata.

Secara umum kondisi bibit jarak pagar pada fase pembibitan (umur 0-2 bulan) mengalami pertumbuhan yang sangat baik dan hampir seragam. Satu minggu pertama sebagian besar benih yang ditanam sudah berkecambah dengan tipe perkecambahan epigeal, yaitu radikula (calon akar) muncul kemudian diikuti dengan memanjangnya hipokotil secara keseluruhan dan membawa serta kotiledon dan plumula ke atas permukaan tanah. Kotiledon akan gugur dengan sendirinya saat daun pertama muncul. Pengamatan daya berkecambah (DB) benih dilakukan pada hari ke-7 dan hari ke-14 setelah tanam. Persentase DB benih dari ketiga genotipe jarak pagar berkisar antara 95 – 100 %, yaitu Biak 95%, Bengkulu 100%, dan Bogor 98%. Hal ini menunjukkan bahwa ketiga genotipe jarak pagar tersebut memiliki viabilitas awal yang cukup tinggi.

Selama pengamatan di pembibitan dijumpai bibit yang mengalami kekeringan daun pada umur 3 MST, serta muncul gejala defisiensi N pada umur 4 MST. Selama masa perlakuan terdapat berbagai serangan hama dan penyakit. Hama yang menyerang bibit jarak pagar yaitu tungau (Tetranychus sp.), belalang (Valanga nigricornis) yang meninggalkan bekas gigitan pada daun, kutu putih (Ferrisia virgata Cockerell) yang menyerang daun dan batang, dankeong yang menyerang bagian akar bibit. Penyakit yang menyerang yaitu penyakit bercak daun bakteri yang disebabkan oleh bakteri Xanthomonas sp., penyakit Witche’s Broom yang disebabkan oleh fitoplasma dengan gejala daun mengeriput dan kerdil, serta penyakit embun tepung yang disebabkan oleh cendawan Oidium sp. dengan gejala bercak-bercak berwarna putih kelabu seperti beludru pada daun

jarak pagar. Hama kutu putih dalam penelitian ini diatasi dengan menggunakan pestisida Confidor sistemik dengan konsentrasi 1 ml/l.

Gambar 1. Penyakit Witche’s Broom Gambar 2. Penyakit Embun Tepung

Gambar 3. Penyakit Bercak Daun

Sebelum dilakukan perlakuan frekuensi penyiraman, terlebih dahulu dilakukan percobaan pendahuluan yang bertujuan untuk menentukan waktu titik layu permanen sehingga dapat menentukan frekuensi penyiraman yang digunakan. Hasil percobaan pendahuluan tersebut menunjukkan bahwa bibit jarak pagar masih dapat tumbuh meskipun tidak dilakukan penyiraman selama 12 hari dengan kadar air sebesar 28.2 %.

Saat pengukuran kadar air di Laboratorium Fisika Tanah IPB, diperoleh kadar air media pada kondisi kapasitas lapang sebesar 35.55%, sedangkan kadar air media pada kondisi titik layu permanen sebesar 19.94 % (Lampiran 1). Selama pengukuran kadar air media di rumah kaca berdasarkan perlakuan frekuensi penyiraman, diperoleh kadar air media pada frekuensi penyiraman 5 hari berkisar antara 30.81 – 34.27 %, kadar air media pada frekuensi penyiraman 8 hari berkisar antara 30.16 – 33.81 %, dan kadar air media pada frekuensi penyiraman

11 hari berkisar antara 30.30 – 33.65 % (Lampiran 4, 5, dan 6). Kadar air tersebut masih setara dengan 85 – 96 % kadar air kapasitas lapang.

Percobaan kedua dilakukan di Kebun Percobaan Cikabayan, Dramaga, Bogor. Bibit hasil percobaan pertama yang sudah berumur 12 MSP dipindahkan ke lapangan. Selama proses pemindahan, banyak bibit yang mengalami layu sementara. Hal ini disebabkan oleh adaptasi bibit terhadap lingkungan baru yaitu dari rumah kaca kemudian dipindahkan ke lapangan, sehingga hampir semua bibit perlu ditopang oleh ajir agar pertumbuhannya tegak kembali. Selama pengamatan di lapangan, banyak tanaman yang mengalami serangan hama dan penyakit. Hama dan penyakit yang menyerang hampir sama seperti pada percobaan pertama yaitu belalang, tungau, kutu putih, bercak daun bakteri, korosis pada batang, dan penyakit Witche’s Broom. Hama kutu putih pada penelitian ini dapat berkurang dengan sendirinya setelah tanaman terkena air hujan.

Gambar 5. Penyakit Bercak Daun

Gambar 4. Bekas Gigitan Hama Belalang Percobaan 1

Pengaruh Frekuensi Penyiraman dan Genotipe Jarak Pagar terhadap Pertumbuhan Bibit di Rumah Kaca

Hasil rekapitulasi sidik ragam pengaruh frekuensi penyiraman dan genotipe jarak pagar terhadap pertumbuhan bibit di rumah kaca ditunjukkan pada Tabel 3. Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 3 menunjukkan bahwa perlakuan faktor tunggal frekuensi penyiraman berpengaruh nyata terhadap tolok ukur tinggi bibit pada 2, 4, 10, dan 12 Minggu Setelah Perlakuan (MSP), dan

sangat nyata pada 6 dan 8 MSP. Pengaruh nyata juga ditunjukkan oleh jumlah daun pada 2 MSP.

Tabel 3. Rekapitulasi Sidik Ragam Pengaruh Frekuensi Penyiraman dan Genotipe Jarak Pagar terhadap Tolok Ukur yang Diamati

Keterangan : tn = tidak berpengaruh nyata

* = berpengaruh nyata pada taraf 5% DMRT ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% DMRT KK = Koefisien keragaman

^ = Hasil Transformasi

MSP = Minggu Setelah Perlakuan

Perlakuan tersebut juga berpengaruh sangat nyata terhadap diameter batang pada 4 dan 8 MSP, serta nyata pada 12 MSP. Perlakuan frekuensi

Tolok Ukur Sumber Keragaman KK (%)

Frekuensi Genotipe Interaksi

Tinggi Bibit 2 MSP * tn tn 4.73 4 MSP * tn tn 5.7 6 MSP ** tn tn 6.09 8 MSP ** tn tn 6.8 10 MSP * tn tn 8.67 12 MSP * tn tn 8.36 Jumlah Daun 2 MSP * ** tn 4.24 4 MSP tn tn tn 4.88 6 MSP tn tn tn 4.08 8 MSP tn tn tn 7.84 10 MSP tn tn tn 13.43 12 MSP tn tn tn 11.93 Diameter Batang 4 MSP ** * tn 5.31 8 MSP ** * tn 4.09 12 MSP * ** tn 4.42 KecepatanLaju Pertumbuhan Bibit 1 MSP tn tn tn 19.39^ 2 MSP tn tn tn 29.83 3 MSP tn tn tn 27.45 4 MSP tn tn tn 29.67 5 MSP tn tn tn 24.51 7 MSP tn tn tn 20.03 Laju Pertumbuhan Spesifik 10 MSP tn tn tn 21.47

penyiraman tidak berpengaruh nyata terhadap tolok ukur kecepatan laju pertumbuhan bibit, dan laju pertumbuhan spesifik bibit pada semua periode pengamatan.

Perlakuan faktor tunggal genotipe hanya berpengaruh nyata terhadap tolok ukur diameter batang pada 4 dan 8 MSP dan sangat nyata pada 12 MSP. Perlakuan genotipe tidak berpengaruh nyata terhadap tolok ukur tinggi bibit, kecepatan laju pertumbuhan bibit, dan laju pertumbuhan spesifik, namun berpengaruh sangat nyata pada jumlah daun 2 MSP. Interaksi antara perlakuan frekuensi penyiraman dan genotipe jarak pagar tidak berpengaruh nyata terhadap semua tolok ukur yang diamati. Hal ini berarti bahwa tidak ada hubungan antara perlakuan frekuensi penyiraman dengan perlakuan genotipe jarak pagar, dan respon tiap genotipe hampir sama terhadap frekuensi penyiraman karena tidak adanya cekaman kekeringan.

Tinggi Bibit

Tinggi tanaman merupakan parameter pertumbuhan yang sering digunakan untuk mengukur pengaruh lingkungan atau perlakuan yang diterapkan (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil rata-rata nilai tengah pengaruh faktor tunggal frekuensi penyiraman dan genotipe terhadap tolok ukur tinggi bibit di rumah kaca ditunjukkan pada Tabel 4.

Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata nilai tengah tinggi bibit pada perlakuan frekuensi penyiraman 5 hari tidak berbeda nyata dengan perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari.Pada 4, 6, 8 10, dan 12 MSP perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari memiliki rata-rata nilai tengah paling tinggi dibandingkan dengan frekuensi penyiraman 5 dan 11 hari.Pada akhir pengamatan (12 MSP), bibit yang memiliki tinggi bibit paling tinggi yaitu bibit pada perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari yaitu sebesar 69.59 cm.

Perlakuan faktor tunggal frekuensi penyiraman yang memiliki tinggi bibit paling rendah adalah perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari, hal ini kemungkinan disebabkan karena media pada perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari menjadi agak keras dibandingkan perlakuan frekuensi penyiraman 5 dan 8

hari. Kondisi tanah yang keras dan kekeringan akan memproduksi zat pengatur tumbuh yang sedikit sehingga dapat menghambat perkembangan tajuk dan produksi (Pranowo et al., 2006). Penelitian Parwata et al. (2010) juga menunjukkan bahwa penurunan tinggi bibit, diameter batang, jumlah daun, dan biomassa bibit jarak pagar yang ditanam pada media pasir pantai sejalan dengan semakin jarangnya frekuensi penyiraman.

Tabel 4. Rata-rata Nilai Tengah Pengaruh Faktor Tunggal Frekuensi Penyiraman dan Genotipe terhadap Tolok Ukur Tinggi Tanaman

MSP Frekuensi Penyiraman Genotipe Rata-rata Biak (G1) Bengkulu (G2) Bogor (G3) 2 5 hari (P1) 43.50 46.77 45.83 45.37 a 8 hari (P2) 43.48 46.10 46.04 45.21 a 11 hari (P3) 41.54 41.95 43.86 42.45 b Rata-rata 42.84 44.94 45.24 4 5 hari (P1) 50.39 53.44 50.30 51.38 a 8 hari (P2) 50.95 54.17 53.17 52.76 a 11 hari (P3) 47.19 47.27 50.49 48.32 b Rata-rata 49.51 51.63 51.32 6 5 hari (P1) 54.4 58.81 54.12 55.78 a 8 hari (P2) 56.14 58.57 59.24 57.98 a 11 hari (P3) 50.73 50.23 55.32 52.09 b Rata-rata 53.76 55.87 56.23 8 5 hari (P1) 58.05 63.07 56.98 59.37 a 8 hari (P2) 60.41 61.42 63.65 61.83 a 11 hari (P3) 54.17 52.52 58.11 54.93 b Rata-rata 57.55 59.00 59.58 10 5 hari (P1) 61.19 67.23 59.63 62.68 a 8 hari (P2) 64.70 65.51 67.96 66.06 a 11 hari (P3) 56.97 54.37 60.29 57.21 b Rata-rata 60.95 62.37 62.63 12 5 hari (P1) 64.29 71.07 64.35 66.57ab 8 hari (P2) 69.08 68.53 71.15 69.59 a 11 hari (P3) 6087 59.05 64.01 61.31 b Rata-rata 64.75 66.22 66.50

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.

Perlakuan faktor tunggal genotipe jarak pagar tidak memberikan perbedaan yang nyata pada tolok ukur tinggi bibit, begitu pula dengan interaksi antara frekuensi penyiraman dan genotipe jarak pagar. Perlakuan genotipe Bogor

memiliki rata-rata nilai tengah paling tinggi dibandingkan perlakuan genotipe Biak dan Bengkulu.

Diantara ketiga frekuensi penyiraman tersebut, perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari memiliki penurunan kadar air media paling tinggi. Grafik penurunan kadar air media perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari ditunjukkan pada Gambar 6. Rata-rata besarnya volume air yang harus ditambahkan pada frekuensi penyiraman 11 hari yaitu sebesar 916 ml per polybag (Lampiran 2 dan 3).

Gambar 6. Penurunan Kadar Air Media Perlakuan Frekuensi Penyiraman 11 Hari

Grafik penurunan kadar air perlakuan frekuensi penyiraman 11hari pada Gambar 6 menunjukkan bahwa penurunan kadar air media yang paling tinggi terjadi pada pengamatan 88 HSP yaitu berkisar antara 2.99 – 3.33 %. Kadar air media tersebut masih berada pada kondisi 85 – 86 % kadar air tanah kapasitas lapang, sehingga bibit belum bisa dinyatakan dalam kondisi tercekam. Hal ini kemungkinan disebabkan karena curah hujan yang cukup tinggi yang terjadi pada bulan Juni hingga Agustus 2010 mencapai 270.4 – 477.6 mm/bulan (Lampiran 7). Curah hujan yang cukup tinggi tersebut dapat menimbulkan suhu yang rendah dan kelembaban udara yang tinggi, sehingga dapat menurunkan evapotranspirasi yang terjadi pada bibit jarak pagar.

Jika evapotranspirasi kecil maka bibit tidak akan banyak kehilangan air, sehingga kadar air media masih cukup tinggi dan bibit tidak mengalami cekaman kekeringan. Menurut Handoko et al. (1995), evapotranspirasi adalah ukuran total kehilangan air (penggunaan air) untuk suatu luasan lahan melalui evaporasi dari permukaan tanah dan transpirasi dari permukaan tanaman. Secara potensial evapotranspirasi ditentukan hanya oleh unsur-unsur iklim, sedangkan secara aktual evapotranspirasi juga ditentukan oleh kondisi tanah dan sifat tanaman.

Berdasarkan penelitian Syafi (2008) menunjukkan bahwa penurunan kadar air media 40 % menjadi 32 % menurunkan tinggi tanaman secara nyata pada semua genotipe yang diamati. Pada kadar air media 40 % pertambahan tinggi tanaman paling besar, diduga karena pembelahan, pembesaran, dan pemanjangan sel berjalan dengan baik. Pada kadar air media 36 % dan 32 % diduga pembesaran dan pemanjangan sel terhambat karena terbatasnya air yang tersedia bagi tanaman. Respon defisit air yang semakin meningkat disebabkan karena perlakuan kadar air media yang semakin berkurang.

Jumlah Daun

Daun merupakan bagian vegetatif yang penting untuk proses fotosintesis. Jumlah daun berpengaruh terhadap kemampuan tanaman mengubah unsur hara menjadi zat-zat yang penting bagi pertumbuhan tanaman. Fungsi utama daun adalah menyintesis bahan organik dengan menggunakan sinar matahari sebagai sumber energi melalui proses fotosintesis (Mulyani, 2006). Muzayyinatin (2006) menambahkan bahwa jumlah daun mempengaruhi setiap tanaman dalam memperoleh CO2 dan cahaya yang sesuai dengan kebutuhannya. Pengamatan jumlah daun diperlukan selain sebagai indikator pertumbuhan juga sebagai data penunjang untuk menjelaskan proses pertumbuhan yang terjadi seperti pada pembentukan biomassa tanaman. Hasil rata-rata nilai tengah pengaruh faktor tunggal frekuensi penyiraman dan genotipe terhadap tolok ukur jumlah daun di rumah kaca ditunjukkan pada Tabel 5.

Jumlah daun yang diamati adalah daun yang telah membuka dengan sempurna selama penelitian. Tunas daun muda sudah dianggap sebagai daun apabila sudah membuka dan bentuk daun sudah terlihat dengan jelas. Pada 2

MSP, rata-rata nilai tengah jumlah daun pada perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari tidak berbeda nyata dengan perlakuan frekuensi penyiraman 5 hari, tetapi berbeda nyata dengan perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari. Perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari memiliki rata-rata jumlah daun paling tinggi dibandingkan perlakuan frekuensi penyiraman 5 dan 11 hari. Pada 6 MSP, perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari memiliki jumlah daun sebesar 26.51, lebih tinggi dibandingkan dengan frekuensi penyiraman 5 hari (25.60) dan 11 hari (25.36).

Tabel 5. Rata-rata Nilai Tengah Pengaruh Faktor Tunggal Frekuensi Penyiraman dan Genotipe terhadap Tolok Ukur Jumlah Daun

MSP Frekuensi Penyiraman Genotipe Rata-rata Biak (G1) Bengkulu (G2) Bogor (G3) 2 5 hari (P1) 17.47 19.40 20.07 18.98 a 8 hari (P2) 17.80 19.60 20.27 19.22 a 11 hari (P3) 17.07 17.53 19.40 18.00 b Rata-rata 17.44 c 18.84 b 19.91 a 4 5 hari (P1) 23.33 24.73 23.87 23.98 8 hari (P2) 23.27 24.13 24.47 23.96 11 hari (P3) 23.67 22.87 24.40 23.64 Rata-rata 23.42 23.91 24.24 6 5 hari (P1) 25.07 26.47 25.27 25.60 ab 8 hari (P2) 25.27 27.73 26.53 26.51 a 11 hari (P3) 25.47 24.73 25.87 25.36 b Rata-rata 25.27 26.31 25.89 8 5 hari (P1) 23.07 26.13 23.73 24.31 8 hari (P2) 24.93 26.40 23.93 25.09 11 hari (P3) 23.60 23.33 24.87 23.93 Rata-rata 23.87 25.29 24.18 10 5 hari (P1) 21.67 26.53 22.00 23.40 8 hari (P2) 25.93 25.73 22.00 24.56 11 hari (P3) 21.60 21.67 23.93 22.40 Rata-rata 23.07 24.64 22.64 12 5 hari (P1) 21.80 28.20 22.67 24.22 8 hari (P2) 25.27 26.13 22.53 24.64 11 hari (P3) 22.07 23.33 25.27 23.56 Rata-rata 23.04 25.89 23.49

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.

Grafik penurunan kadar air media perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari pada Gambar 7 menunjukkan bahwa pada pengamatan 96 HSP terjadi penurunan

kadar air media yang paling besar yaitu berkisar antara 2.96 – 3.25 %, kadar air media tersebut masih setara dengan 85 – 87 % kadar air tanah kapasitas lapang sehingga tanaman belum bisa dinyatakan dalam kondisi tercekam.Rata-rata volume air yang harus ditambahkan pada frekuensi penyiraman 8 hari adalah 817ml per polybag (Lampiran 2 dan 3). Hasil pengukuran kadar air pada frekuensi penyiraman 8 hari dapat dilihat pada Lampiran 5.

Gambar 7. Penurunan Kadar Air Media Perlakuan Frekuensi Penyiraman 8 Hari

Penurunan kadar air media yang sangat kecil diduga karena faktor iklim yang mempengaruhi lingkungan tumbuh bibit jarak pagar di rumah kaca. Curah hujan yang cukup tinggi (Lampiran 7) dapat menyebabkan lama penyinaran matahari yang diserap oleh bibit jarak pagar tidak maksimal. Tanaman jarak pagar merupakan tanaman yang memerlukan penyinaran matahari secara langsung sehingga tidak boleh ternaungi. Menurut Gardner et al. (1991), dari radiasi atau penyinaran matahari yang diserap oleh daun, 1 - 5 % digunakan untuk fotosintesis dan 75 – 85 % digunakan untuk memanaskan daun dan untuk transpirasi. Jika penyinaran matahari sedikit, maka evapotranspirasi menurun sehingga bibit tidak banyak kehilangan air baik dari tanah di dalam polybag maupun dari daun.

Perlakuan faktor tunggal genotipe pada Tabel 5 menunjukkan bahwa perbedaan jumlah daun pada ketiga genotipe hanya terjadi saat 2 MSP, dimana genotipe Bogor memiliki jumlah daun tertinggi (19.91) berbeda dengan genotipe Biak dan Bengkulu, namun pada 4 – 12 MSP sudah tidak menunjukkan perbedaan

jumlah daun. Jika dilihat dari penurunan kadar air media pada pengamatan 96 HSP, genotipe Bengkulu mengalami penurunan kadar air media paling besar dibandingkan dua genotipe lainnya yaitu sebesar 3.25 %.

Tanaman jarak pagar sangat respon terhadap pemeliharaan, pemeliharaan yang intensif pada pertumbuhan awal sangat berpengaruh terhadap produksi daun

dan produksi buah pada pertumbuhan selanjutnya (Ferry et al., 2006). Nurcholis dan Sumarsih (2007) menambahkan bahwa tanaman jarak jika

kekurangan air akan merontokkan daunnya. Apabila tercukupi kebutuhan airnya, pada musim kering dan suhu tinggi serta penyinaran matahari penuh, berkurangnya jumlah daun tersebut akan memacu munculnya banyak bunga sehingga produksi biji tinggi.

Diameter Batang

Hasil rata-rata nilai tengah pengaruh faktor tunggal frekuensi penyiraman dan genotipe terhadap tolok ukur diameter batang ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Rata-rata Nilai Tengah Pengaruh Faktor Tunggal Frekuensi

Penyiraman dan Genotipe terhadap Tolok Ukur Diameter Batang

MSP Frekuensi Penyiraman Genotipe Rata-rata (cm) Biak (G1) Bengkulu (G2) Bogor (G3) 4 5 hari (P1) 0.95 0.98 0.91 0.95 a 8 hari (P2) 0.88 1.02 0.92 0.94 a 11 hari (P3) 0.85 0.86 0.86 0.85 b Rata-rata 0.89 b 0.95 a 0.89 b 8 5 hari (P1) 1.15 1.18 1.11 1.14 a 8 hari (P2) 1.08 1.23 1.14 1.15 a 11 hari (P3) 1.06 1.08 1.05 1.06 b Rata-rata 1.09 b 1.16 a 1.10 b 12 5 hari (P1) 0.76 0.95 0.76 1.39 a 8 hari (P2) 0.79 0.88 0.77 1.37 a 11 hari (P3) 0.72 0.69 0.72 1.30 b Rata-rata 1.29 b 1.43 a 1.33 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti dengan huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5 % uji DMRT.

Diameter batang pada penelitian ini diukur 10 cm dari permukaan tanah dengan menggunakan jangka sorong. Perlakuan faktor tunggal frekuensi

penyiraman menunjukkan perbedaan terhadap diameter batang pada 4, 8, dan 12 MSP. Perlakuan faktor tunggal frekuensi penyiraman 5 hari memiliki rata-rata diameter batang paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan frekuensi penyiraman 11 hari, tetapi tidak berbeda nyata dengan perlakuan frekuensi penyiraman 8 hari. Diameter batang tertinggi dihasilkan oleh perlakuan frekuensi penyiraman 5 hari pada umur 12 MSP yaitu sebesar 1.39 cm.

Perlakuan faktor tunggal genotipe memberikan perbedaan terhadap diameter batang pada 4, 8, dan 12 MSP. Perlakuan genotipe Biak berbeda nyata dengan genotipe Bengkulu, tetapi tidak berbeda nyata dengan genotipe Bogor. Selama pengamatan diameter batang, genotipe Bengkulu memiliki rata-rata diameter batang paling tinggi dibandingkan dengan genotipe Biak dan Bogor. Interaksi antara perlakuan frekuensi penyiraman dan genotipe tidak memberikan perbedaan nyata terhadap diameter batang pada semua umur bibit.

Berdasarkan grafik penurunan kadar air perlakuan frekuensi penyiraman 5hari pada Gambar 8 menunjukkan bahwa penurunan kadar air media mengalami penurunan yang fluktuatif dan penurunan paling besar terjadi pada pengamatan 105 HSP, dimana kadar air media mengalami penurunan sebesar 2.79 – 3.16 %.

Gambar 8. Penurunan Kadar Air Perlakuan Frekuensi Penyiraman 5 Hari Kadar air ini masih terbilang cukup tinggi karena setara dengan 87 – 89 % kadar air tanah kapasitas lapang. Menurut Hakim et al. (1986), kadar air tanah

selalu berubah sebagai respon terhadap faktor-faktor lingkungan dan gaya gravitasi. Baik kelebihan air ataupun kekurangan air dapat mengganggu pertumbuhan tanaman. Jumlah curah hujan dan kelembaban udara yang cukup tinggi pada saat penelitian (Lampiran 7) diduga menjadi penyebab kadar air media pada bibit jarak pagar tidak mengalami penurunan yang berarti. Oleh karena itu bibit dapat dinyatakan belum mengalami cekaman kekeringan selama penelitian di rumah kaca.

Kirkham (1990) menambahkan bahwa penurunan jumlah air yang tersimpan pada tajuk tanaman yang toleran terhadap cekaman kekeringan relatif lebih rendah dibandingkan dengan tanaman yang tidak toleran. Hasil pengukuran kadar air media pada frekuensi penyiraman 5 hari dapat dilihat pada Lampiran 4. Rata-rata volume air yang harus ditambahkan pada frekuensi penyiraman 5 hari adalah 767 ml per polybag (Lampiran 2 dan 3).

Hartati (2008) menyatakan bahwa disamping faktor genetik, pertumbuhan dan perkembangan tanaman jarak pagar sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan. Menurut Santoso (2009), ukuran diameter batang suatu ekotipe jarak agar akan bertambah seiring dengan semakin bertambahnya jumlah cabang primer. Hal ini disebabkan percabangan (cabang primer) banyak terbentuk di pangkal batang dekat permukaan tanah.

Secara keseluruhan berdasarkan hasil pengukuran kadar air media pada frekuensi penyiraman 5, 8 dan 11 hari dapat diketahui bahwa pada frekuensi penyiraman 5 dan 11 hari sekali genotipe Bengkulu memiliki rata-rata penurunan kadar air paling besar, sedangkan pada frekuensi penyiraman 8 hari sekali genotipe Bogor memiliki rata-rata penurunan kadar air yang paling besar. Pada penelitian ini, ketigaperlakuan frekuensi penyiraman tidak menyebabkan penurunan kadar air yang cukup besar, hal ini karena kadar air tersebut masih berada pada kondisi 85 – 89 % kadar air tanah kapasitas lapang sehingga bibit belum bisa dinyatakan dalam kondisi tercekam.

Faktor tumbuhan dan iklim mempunyai pengaruh yang berarti pada jumlah air yang dapat diabsorpsi dengan efisien oleh tumbuhan dari dalam tanah. Temperatur dan perubahan udara (curah hujan dan kelembaban udara) merupakan perubahan iklim dan berpengaruh pada efisiensi penggunaan air tanah dan

penentuan air yang dapat hilang melalui saluran evaporasi permukaan tanah maupun transpirasi melalui daun (Buckman dan Brady, 1982).

Percobaan 2

Dampak Frekuensi Penyiraman Bibit Jarak Pagar terhadap Pertumbuhan Tanaman di Lapangan

Hasil rekapitulasi sidik ragam dampak frekuensi penyiraman bibit jarak pagar terhadap pertumbuhan tanaman di lapangan ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7. Rekapitulasi Sidik Ragam Dampak Frekuensi Penyiraman Bibit Jarak

Pagar terhadap Tolok Ukur yang Diamati

Tolok Ukur Sumber Keragaman KK (%)

Genotipe Tinggi Tanaman 2 MST tn 8.60 4 MST tn 9.29 6 MST tn 8.29 Jumlah Daun 2 MST tn 16.05 4 MST tn 20.59 6 MST tn 19.96 Diameter Batang 2 MST * 6.91 6 MST tn 25.95 Jumlah Cabang 6 MST tn 21.33

Jumlah Malai per tanaman tn 16.54^

Jumlah Buah Panen tn 23.78^

Jumlah Buah Total tn 25.16^

Bobot Buah tn 28.41^

Bobot Biji Basah tn 26.37 ^

Keterangan : tn = tidak berpengaruh nyata

* = berpengaruh nyata pada taraf 5% DMRT ** = berpengaruh sangat nyata pada taraf 1% DMRT KK = Koefisien keragaman

MST= Minggu Setelah Tanam

Hasil rekapitulasi sidik ragam pada Tabel 7 menunjukkan bahwa genotipe jarak pagar hanya berpengaruh nyata terhadap tolok ukur diameter batang pada umur 2 Minggu Setelah Tanam (MST) di lapangan. Pengaruh genotipe jarak pagar tidak tampak pada tolok ukur tinggi tanaman, jumlah daun, jumlah cabang, jumlah

malai per tanaman, jumlah buah panen, jumlah buah total, bobot buah dan bobot biji basah pada semua umur tanaman di lapangan. Hal ini menunjukkan bahwa frekuensi penyiraman bibit tiga genotipe jarak pagar tidak memberikan dampak terhadap pertumbuhan tanaman di lapangan sehingga dapat dikatakan bahwa semua tanaman jarak pagar mengalami recoveryselama di lapangan.

Sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Misnen (2010) bahwa tanaman jarak pagar memiliki daya pemulihan atau adaptasi yang baik setelah dipindahkan ke lapangan. Begitu pula dengan tidak adanya cekaman kekeringan pada percobaan frekuensi penyiraman di rumah kaca sehingga menyebabkan tanaman jarak pagar yang ditanam di lapangan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hasil analisis sidik ragam masing-masing tolok ukur dapat dilihat pada Lampiran 11 sampai 19.

Diameter Batang di Lapangan

Rata-rata nilai tengah dampak frekuensi penyiraman bibit jarak pagar terhadap tolok ukur diameter batang pada Tabel 8 menunjukkan bahwa perlakuan genotipe jarak pagar hanya memberikan perbedaan terhadap diameter batang pada umur 2 MST di lapangan.

Tabel 8.Rata-rata Nilai Tengah Dampak Frekuensi Penyiraman Bibit Jarak Pagar terhadap Tolok UkurDiameter Batang

Perlakuan Diameter Batang (cm)

Dokumen terkait