• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian ginseng terhadap peubah jumlah anak per kelahiran, bobot lahir, bobot sapih dan pertambahan bobot badan tidak berbeda nyata (P>0.05)(Tabel 9). Hal ini diduga karena umur ginseng masih relatif muda, level pemberian ginseng masih rendah dan mencit yang digunakan bukan galur murni. Ginseng butuh waktu lama untuk dipanen, akar ginseng tidak akan dipanen hingga mencapai umur tiga tahun. Umur yang paling tepat apabila digunakan untuk medis jika mencapai 6-7 tahun (Moramarco,1998).

Tabel 9. Rataan Hasil Penelitian Terhadap Peubah yang Diamati Peubah

Hasil

R1 R2 R3 R4 Konsumsi Ransum (g/ekor/hari) 5,02±0,93 4,93±0,94 4,81±1,29 4,75±0,85 Jumlah Anak Per Kelahiran (ekor) 9,00±1,70 9,80±1,70 10,0±1,40 8,60±1,50 Bobot Lahir (g/ekor) 1,37±0.12 1,35±0,40 1,10±0,08 1,16±0,34 PBB Anak(g/ekor) 0,26±0,04 0,37±0,19 0,38±0,18 0,32±0,07 Bobot Sapih (g/ekor) 6,63±1,45 8,23±2,54 7,53±1,47 7,88±1,02 Mortalitas Anak (%) 3,03±0,07 6,27±0,12 8,33±0,28 9,6±0,18

Konsumsi Ransum Induk

Konsumsi merupakan faktor esensial yang menjadi dasar untuk menentukan produksi (Parakasi,1999 ). Ransum seimbang adalah porsi makanan yang mengandung zat makanan yang cukup untuk kesehatan, pertumbuhan dan reproduksi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsumsi ransum induk tidak berbeda nyata (P>0.05). Rataan umum konsumsi ransum induk yang diperoleh pada penelitian ini ialah 4,703 g/ekor/hari. Rataan konsumsi induk tersebut berada pada kisaran rataan konsumsi ransum yang diutarakan oleh Smith dan Mangkoewidjojo (1998) yaitu sebesar 3-5 gram/ekor/hari. Adapun respon perlakuan konsumsi induk yaitu masing-masing 5,02±0,93, 4,93±0,94, 4,81±1,29 dan 4,75±0,85 g/ekor/hari untuk perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (gambar 9).

4.60 4.65 4.70 4.75 4.80 4.85 4.90 4.95 5.00 5.05 R1 R2 R3 R4 Perlakuan K ons um s i R a ns um Ind uk ( g /e k o r/har i

Gambar 9. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Ransum Induk

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh konsumsi ransum tertinggi terdapat pada perlakuan R1 yaitu sebesar 5,02±0,93 g/ekor/hari, terendah terdapat pada perlakuan R4 yaitu sebesar 4,75±0,85 g/ekor/hari. Konsumsi ransum pada perlakuan yang diberi ginseng lebih rendah daripada pada kontrol, hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor yaitu kandungan ginsenosid pada ginseng merupakan golongan saponin yang berasa pahit sehingga menyebabkan konsumsi ransum menurun. Faktor lain yang menyebabkan kurangnya konsumsi adalah stres panas yang ditunjukkan dengan panas dari temperatur kandang dan kelembaban kandang yang berfluktuasi.

Salah satu faktor yang mempengaruhi konsumsi ransum adalah kualitas ransum yang diberikan. Status protein ransum penelitian ini yaitu antara 20,06-21,45% bahan kering. Status protein dalam ransum sudah sesuai dengan

standar bahan kering. Stasus protein dalam ransum sudah sesuai dengan standar status nutrisi NRC yaitu 12-21% BK ( NRC, 1995 ).

Lebih lanjut NRC memberikan batasan bahwa penggunaan makanan dengan kandungan protein 17% akan menghasilkan pertumbuhan yang sama dengan pakan berprotein 19 % dan 21%. Berikut adalah gambar konsumsi induk sebelum dan sesudah melahirkan

Jumlah Anak Per Kelahiran

Jumlah anak per kelahiran adalah jumlah total anak hidup dan mati setelah dilahirkan (Eisen dan Duran, 1980). Jumlah anak per kelahiran yang diperoleh dalam penelitian ini berkisar antara 7-12 ekor. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jumlah anak per kelahiran tidak berbeda nyata (P>0.05). Rataan umum jumlah anak per kelahiran yang diperoleh pada penelitian ini ialah sembilan ekor. Adapun respon perlakuan jumlah anak per kelahiran yaitu masing-masing 9.00±1.70, 9.80±1.70, 10.0±1.40 dan 8.60±1.50 ekor untuk perlakuan R1, R2, R3 dan R4. (Gambar 10). 7.5 8.0 8.5 9.0 9.5 10.0 10.5 R1 R2 R3 R4 Perlakuan Ju m la h A n ak pe r K el ahi ra n (e kor)

Gambar 10. Pengaruh Perlakuan Terhadap Jumlah Anak per Kelahiran Berdasarkan hasil penelitian diperoleh jumlah anak per kelahiran tertinggi terdapat pada perlakuan R3 yaitu sebesar 10 ekor, terendah terdapat pada perlakuan R4 yaitu sebesar 8 ekor. Penambahan ginseng pada pakan induk tidak berpengaruh terhadap jumlah anak per kelahiran. Hal ini diduga karena level pemberian ginseng belum optimal, sehingga flavonoid yang terdapat dalam ginseng belum memberikan pengaruh yang maksimal. Flavonoid merupakan deretan senyawa C5-C6 yang mempunyai cincin piran dan salah satu peran yang sangat menarik adalah mampu merangsang pembentukan hormon estrogen, karena memiliki kesamaan struktur dengan hormon estrogen (Robinson, 1996).

Sudono (1981) menyatakan bahwa jumlah anak yang lahir dengan pakan berkadar protein 22% adalah 8-9 ekor. Septaria Rosa (2004) dengan perlakuan bawang putih menghasilkan rataan jumlah anak per kelahiran delapan ekor, Ariny

(2003) dengan perlakuan biji jarak menghasilkan rataan jumlah anak per kelahiran sebesar tujuh ekor. Rataan jumlah anak per kelahiran yang diperoleh pada penelitian ini ialah sembilan ekor lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Sudono (1981), Ariny (2003) dan Rosa (2004).

Bobot Lahir Anak Mencit

Bobot lahir yaitu bobot badan suatu individu pada saat dilahirkan (Toelihere, 1979). Bobot lahir anak mencit yang diperoleh dari hasil penelitian ini berkisar antara 1.0-1.9 g/ekor. Rataan bobot lahir hasil penelitian ini adalah 1.25 g. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata (P>0.05). Adapun respon perlakuan bobot lahir yaitu masing-masing 1.37±0.12, 1.35±0.40, 1.10±0.08 dan 1.16±0.34 g pada perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (Gambar 11). 0.0 0.2 0.4 0.6 0.8 1.0 1.2 1.4 1.6 R1 R2 R3 R4 Perlakuan B o bot L ahi r ( g /e kor )

Gambar 11. Pengaruh Perlakuan Terhadap Bobot Lahir

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bobot lahir tertinggi terdapat pada perlakuan R1 yaitu sebesar 1.37 g/ekor, terendah terdapat pada perlakuan R3 yaitu sebesar 1.10 g/ekor. Bobot lahir berkorelasi negatif dengan jumlah anak per kelahiran. Apabila jumlah anak per kelahiran yang dihasilkan tinggi maka bobot lahir akan rendah. Noor (1996) menyatakan bahwa semakin banyak jumlah telur yang dikandung mengakibatkan penurunan bobot masing-masing foetus yang juga mempengaruhi bobot lahir karena bobot lahir dipengaruhi oleh pertumbuhan

foetus sebelum lahir. Penambahan ginseng pada pakan induk tidak berpengaruh terhadap bobot lahir. Hal ini diduga karena kandungan pakan khususnya protein

yang diperlukan mencit sudah terpenuhi, sehingga penambahan ginseng tidak memberikan pengaruh terhadap bobot lahir.

Hasil penelitian Sudono (1981) menyebutkan bahwa mencit yang mendapatkan pakan berkadar protein 15% menghasilkan bobot lahir 1.49 g, sedangkan mencit yang mendapat pakan berkadar protein 22% menghasilkan bobot lahir 1.51 g demikian pula Rosa (2004) dengan perlakuan bawang putih menghasilkan rataan bobot lahir 1.49 g, sedangkan Jaenudin (2002) dengan perlakuan stimulan monogastrik menghasilkan rataan bobot lahir 1.67 g. Rataan bobot lahir hasil penelitian ini lebih rendah dibandingkan rataan hasil penelitian Sudono (1981), Rosa (2004) dan Jaenudin (2002). Hal ini diduga disebabkan karena kandungan kimia ginseng yang disebut ginsenosid memberikan rasa pahit pada bahan pangan nabati sehingga menurunkan tingkat tingkat konsumsi pakan, dengan menurunnya tingkat konsumsi secara tidak langsung akan menyebabkan bobot lahir anak rendah.

Bobot Sapih

Bobot sapih adalah bobot badan ternak pada saat disapih dari induknya. Rataan bobot sapih yang diperoleh pada penelitian ini berkisar antara 6.63-8.21 g/ekor. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata. Adapun respon perlakuan bobot sapih yaitu masing-masing 6.63±1.02, 8.23±1.15, 7.53±0.84 dan 7.88±0.59 g pada perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (Gambar 12). 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 R1 R2 R3 R4 Perlakuan B o b o t S apih ( g /e kor )

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bobot lahir tertinggi terdapat pada perlakuan R2 yaitu sebesar 8.23 g/ekor, terendah terdapat pada perlakuan R1 yaitu sebesar 6.63 g/ekor. Hasil penelitian Sudono menunjukkan bahwa bobot sapih anak mencit bervariasi dari 6.65-7.69 g pada mencit jantan dan dari 6.61-7.69 g pada mencit betina. Bobot sapih yang diperoleh pada penelitian ini lebih tinggi dibandingkan hasil penelitian Sudono (1981).

Bobot sapih anak mencit dipengaruhi oleh ketersediaan air susu induk. Produksi air susu induk dipengaruhi oleh tingkat perkembangan sel epitel kelenjar susu selama periode kebuntingan dan awal laktasi (Baker, 1979). Pertumbuhan dan perkembangan kelenjar susu diatur oleh hormon-hormon mammoganik yang juga merupakan hormon kebuntingan (Partodihardjo, 1988). Flavonoid yang terdapat dalam ginseng berfungsi merangsang pembentukan hormon esterogen (Robinson, 1996). Partodihardjo (1982) menyatakan bahwa hormon estrogen merangsang pertumbuhan saluran-saluran susu dalam kelenjar susu dan alveoli kelenjar susu. Peningkatan sekresi estrogen selama kebuntingan, selain mendukung implantasi embrio juga memelihara kebuntingan dan untuk mempersiapkan kelenjar susu untuk mensintesis air susu setelah melahirkan.

Hasil analisis menunjukkan bahwa bobot sapih antara kontrol dengan penambahan ginseng pada pakan induk tidak berbeda nyata. Hal ini diduga karena kandungan nutrisi pakan khususnya protein yang terdapat pada pakan kontrol dengan panambahan ginseng sama, sehingga penambahan ginseng pada pakan induk tidak memberikan pengaruh. Protein diperlukan untuk produksi susu dan pembentukan jaringan baru pada masa menyusui dan pertumbuhan (Winarno, 2002). Sudono (1981) menyatakan bahwa mencit dengan pakan berkadar protein 15% mampu menghasilkan produksi susu sebesar 4.61 g, sedangkan mencit dengan pakan berkadar protein 22 % mampu menghasilkan produksi susu sebesar 4.85 g. Selanjutnya Sudono (1981) menyatakan bahwa bobot badan mencit pada umur 21 hari dipengaruhi sangat nyata oleh suhu dan protein makanan. Mencit yang mendapat makanan berprotein tinggi dan suhu lingkungan panas berbobot badan lebih tinggi daripada yang mendapatkan makanan berprotein rendah bersuhu dingin. Laju pertambahan bobot badan dan bobot lahir mempengaruhi

bobot sapih anak mencit. Pertambahan bobot badan rendah menghasilkan bobot sapih yang rendah.

Pertambahan Bobot Badan

Newth (1970) menyatakan pertumbuhan bisa diartikan sebagai pertambahan panjang, volume, massa, jumlah sel atau molekul, selanjutnya Newth menyatakan bahwa tingkat nutrisi merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam pertumbuhan, karena rendahnya nutrisi akan menurunkan. Rataan pertambahan bobot badan dari lahir sampai umur sapih yang dihasilkan pada penelitian ini berkisar antara 0.26-0.37 gram/ekor/hari. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan tidak berbeda nyata. Adapun respon perlakuan pertambahan bobot badan yaitu masing-masing 0.26±0.03, 0.37±0.06, 0.38±0.04 dan 0.32±0.04 g/ekor/hari pada perlakuan R1, R2, R3 dan R4 (Gambar 13).

0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 0.35 0.40 R1 R2 R3 R4 Perlakuan P er ta m b a ha n B ob ot B a da n (g /e ko r/ ha ri )

Gambar 13. Pengaruh Perlakuan terhadap Pertambahan Bobot Badan Anak Berdasarkan hasil penelitian diperoleh pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan R3 yaitu sebesar 0.38 g/ekor/hari, terendah terdapat pada perlakuan R1 yaitu sebesar 0.26 g/ekor/hari. Pertumbuhan mencit dari lahir sampai sapih dipengaruhi oleh produksi air susu induk. Parakkasi (1983) menyatakan bahwa produksi air susu sangat penting untuk kehidupan anak yang sedang menyusu.

Penambahan ginseng pada pakan tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan, hal ini diduga disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah umur ginseng yang masih muda, level pemberian ginseng masih rendah dan kandungan protein induk sama dan telah sesuai dengan kebutuhan mencit,

sehingga penambahan ginseng tidak memberikan pengaruh terhadap pertambahan bobot badan. Hasil penelitian Sudono menyatakan bahwa protein makanan sangat nyata mempengaruhi kecepatan pertumbuhan, mencit yang mendapat protein tinggi menunjukkan kecepatan yang tinggi. Protein diperlukan untuk produksi susu dan pembentukan jaringan baru pada masa menyusui dan pertumbuhan (Winarno, 2002). Walaupun demikian terlihat bahwa pada perlakuan yang diberi ginseng menghasilkan pertambahan bobot badan lebih tinggi dibanding dengan kontrol. Hal ini diduga disebabkan karena ginseng mampu memacu sintesis protein. Moramarco (1998) menyatakan bahwa ginseng berperan dalam sintesis protein, jika sintesis protein berjalan normal maka proses pertumbuhan juga berjalan normal. Newth (1970) menyatakan bahwa tingkat nutrisi merupakan salah satu faktor yang menentukan pertumbuhan.

Mortalitas

Tingkat mortalitas merupakan salah satu pedoman yang dapat digunakan untuk mengukur kemampuan induk mengasuh anak. Hasil pengamatan terhadap mortalitas anak dalam penelitian ini disajikan pada tabel dibawah ini.

Tabel 8. Pengaruh Perlakuan Terhadap Mortalitas Anak mencit Peubah Perlakuan R1 R2 R 3 R4 Jumlah anak(ekor) 27 59 40 43 Mortalitas (ekor) 1 4 4 3 Rataan 0.3 0.7 1 0.6

Penyebab mortalitas pada penelitian ini ialah adanya sifat kanibal yaitu memakan anaknya sendiri sehingga meningkatkan jumlah kematian anak. Hal ini dapat dilihat dengan tidak adanya bangkai dalam kandang. Penyebab lain adalah terganggunya induk mencit setelah melahirkan anak-anaknya. Hal ini sesuai pernyataan Malole dan Pramono (1989), bahwa sifat kanibal pada mencit jarang terjadi kecuali apabila induk yang melahirkan diganggu. Kematian anak muncul pada beberapa kondisi misalnya sarang terlalu jarang sehingga mencit kedinginan,

hanya sedikit anak yang dilahirkan, luka (abnormal), sarang dan anak diganggu serta pengaruh suhu dan kelembaban. Beberapa hal tersebut dijumpai pada penelitian ini.

Dokumen terkait