• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengembangan Produk Minuman Emulsi Minyak Bekatul Tanpa Cokelat Pengembangan produk minuman emulsi minyak bekatul merupakan upaya pengembangan pangan fungsional. Pangan fungsional adalah pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah, mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan (BPOM 2005). Salah satu bentuk pangan fungsional yang digemari dalam bentuk minuman (Goldberg 2004). Hal ini dikarenakan pengolahan dalam pembuatan minuman tidak banyak sehingga kandungan gizi dalam minuman terjaga. Selain itu, pangan fungsional dalam bentuk minuman juga dirasa praktis.

Pengembangan produk minuman emulsi minyak bekatul meliputi penentuan jenis emulsifier yang digunakan serta perbandingan antara minyak dan air dalam minuman. Komposisi dan perbandingan yang dilakukan mengacu pada penelitian Rachman (2012). Perbedaan nyata pengembangan produk pada penelitian ini adalah dilakukan pengembangan produk minuman emulsi minyak bekatul tanpa cokelat. Pengembangan produk minuman emulsi ini adalah meningkatkan preferensi minyak bekatul dalam konsumsi sehari-hari dengan bentuk pangan fungsional, yaitu minuman emulsi antara minyak dan air.

Bahan-bahan yang digunakan adalah minyak bekatul, emulsifier, sukralosa, CMC, garam dan air. Sukralosa merupakan pemanis yang dibuat dengan penggantian tiga kelompok hidroksil pada molekul sukralosa dengan tiga atom klor. Kemanisan sukralosa setara dengan 600 kali kemanisan gula. Nilai kalori sukralosa adalah 0 kkal/ gram, serta Asupan Harian yang dapat Diterima atau ADI (Acceptable Dietary Intake) sukralosa sebesar 0-15 mg/ kg BB (BPOM 2004). Sukralosa dipilih karena sifatnya yang cukup stabil pada suhu tinggi dan mudah larut. CMC (Carboxymethil Cellulose) merupakan gum yang berfungsi sebagai stabilizer dalam minuman (Igoe 2011). Fungsi garam yaitu sebagai penyeimbang rasa manis dari sukralosa.

Pengembangan dilakukan yaitu menguji perbandingan (minyak:air) 1:9 menggunakan emulsifier sugar ester, 3:7 menggunakan sugar ester dan Tween 80, serta 4:6 menggunakan Tween 80. Perbandingan yang terpilih untuk diuji berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Rachman (2012) sebelumnya. Sesuai takaran, seluruh bahan dicampur dan dihomogenisasi kemudian dilihat hasil emulsi dan rasa yang ditimbulkan.

Hasil minuman dengan perbandingan 1:9 menggunakan sugar ester

memiliki rasa yang paling dapat diterima dibandingkan hasil dari perbandingan yang lain. Hal ini dapat disebabkan karena kadar minyak bekatul yang sedikit, sehingga rasa getir dari minyak bekatul tidak terasa. Kekurangan pada minuman dengan perbandingan 1:9 ini adalah mulai terlihat pemisahan setelah 1 jam pertama (Gambar 7).

Gambar 8 Minuman emulsi minyak bekatul tanpa cokelat menggunakan emulsifier sugar ester

Keterangan : Minuman di sebelah kiri dan kanan masing-masing menunjukkan emulsi dengan perbandingan 3:7 dan 1:9.

Hasil minuman dengan perbandingan 3:7 menggunakan sugar ester

menghasilkan after taste getir di tenggorokan, yang dimungkinkan akibat meningkatnya kandungan minyak bekatul. Namun emulsi lebih stabil dan tidak terlihat pemisahan setelah 3 jam (ditunjukkan pada Gambar 7).

Minuman yang dicobakan menggunakan Tween 80 yaitu dengan perbandingan 3:7 menghasilkan after taste getir (seperti produk 3:7 dengan

sugar ester) dan pada 3 jam pertama mulai terlihat adanya sedikit pemisahan. Minuman perbandingan 4:6 dengan Tween 80 menghasilkan rasa yang tidak dapat diterima yaitu pahit serta after taste yang sangat terasa namun emulsi yang dihasilkan lebih stabil. Seluruh minuman yang dihasilkan berwarna putih.

Minuman kemudian disimpan di dalam kulkas selama 4 hari. Minuman dengan perbandingan 3:7 menggunakan sugar ester terlihat mengalami pemisahan setelah disimpan selama 1 hari. Pada hari pertama penyimpanan ini seluruh minuman masih memiliki rasa yang sama seperti pada hari minuman dibuat. Pada hari penyimpanan kedua, keadaan emulsi dan rasa seluruh minuman masih sama dengan hari pertama. Pada penyimpanan hari ketiga minuman dengan perbandingan 3:7 menggunakan Tween 80 mengalami perubahan warna menjadi kebiru-biruan namun rasa tidak diuji cobakan,

sedangkan minuman lainnya memiliki kondisi tetap seperti sebelumnya. Pada hari keempat penyimpanan, pemisahan minyak terlihat di permukaan minuman dengan perbandingan 3:7 Tween 80, sedangkan minuman lainnya memiliki penampakan seperti sebelumnya namun wangi dari esens karamel sudah tidak tercium.

Secara keseluruhan, hasil minuman yang menggunakan sugar ester

dirasa lebih baik. Uji coba kemudian dilanjutkan untuk meningkatkan mutu emulsi. Uji coba dilakukan dengan membuat minuman dengan perbandingan 1:9 dan 2:8 menggunakan sugar ester 2x lipat, yaitu 2 g dan 2.5 g. Semakin banyak

sugar ester yang digunakan semakin cepat endapan sugar ester terbentuk di dasar gelas. Hal ini dapat disebabkan rendahnya perbandingan oil in water

namun emulsifier yang digunakan terlalu banyak.

Minuman dari seluruh uji coba ini masih meninggalkan after taste getir. Hal ini memberikan kekhawatiran akan daya terima subyek yang akan diintervensi. Maka minuman yang diintervensikan adalah minuman hasil penelitian Rachman (2012), yang telah diencerkan dan diberi cokelat serta telah diuji organoleptik. Uji organoleptik yang telah dilakukan menguatkan kemungkinan diterimanya minuman sebagai bahan yang diintervensikan. Selain itu cokelat berfungsi juga menetralisir after taste yang dihasilkan minyak bekatul. Gambar 8 adalah minuman emulsi ready to drink minyak bekatul-cokelat yang telah dikemas.

Gambar 9 Minuman emulsi ready to drink minyak bekatul-cokelat

Minuman yang telah dipasteurisasi dan dikemas kemudian dilihat masa simpannya. Uji coba penyimpanan dilakukan di suhu ruang, suhu kulkas (6-80C) dan suhu freezer (0-20C). Penyimpanan pada suhu ruang hanya bertahan sekitar 1.5 hari atau 36 jam. Rasa minuman mengalami perubahan. Penyimpanan pada suhu kulkas selama 8 hari memberikan rasa yang baik (tetap

seperti awal pembuatan) dan emulsi yang stabil. Walaupun demikian, minuman harus tetap dikocok sebelum dikonsumsi karena pengendapan cokelat. Penyimpanan pada suhu freezer membekukan minuman dan menghasilkan emulsi yang tidak stabil dengan terlihat butiran minyak dalam minuman.

Pengolahan yang dilakukan untuk membuat minuman berupa homogenisasi dan pasteurisasi. Pasteurisasi yang dilakukan pada suhu 800C selama 10 menit dengan mengukus minuman untuk mempertahankan kualitas gizi dari minuman karena panas tidak diberikan secara langsung. Setelahnya minuman dimasukkan dalam gelas plastik tahan panas secara hot filling

sehingga tercipta ruang vakum (tanpa udara) dalam gelas. Hal ini bertujuan untuk mengurangi terjadinya kerusakan akibat masuknya udara ke dalam gelas. Minuman kemudian disimpan maksimal selama 4 hari dalam lemari pendingin 6- 80C. Organoleptik dari minuman ini menunjukkan hasil bahwa minuman berwarna cokelat, berbau agak harum, memiliki kekentalan yang encer, berasa agak manis dan after taste-nya tidak berasa (Rachman 2012).

Kandungan Asam Lemak Minuman Emulsi Ready to Drink Minyak Bekatul- Cokelat

Asam lemak adalah komponen organik yang terbentuk dari rantai karbon dengan hidrogen terikat dan grup asam (COOH) di ujung satu dan grup metil (CH3) pada ujung lainnya (Bender 2002). Tidak adanya ikatan rangkap pada rantai asam lemak dapat meningkatkan kadar kolesterol darah sedangkan semakin banyak ikatan rangkap pada rantai asam lemak semakin menurunkan kadar kolesterol namun juga semakin rentan terhadap terjadinya oksidasi. Menurut Breslow (2006), semakin tinggi konsumsi PUFA dan MUFA semakin rendah resiko terkena penyakit kardiovaskular.

Analisis asam lemak minuman emulsi minyak bekatul-cokelat diuji menggunakan metode gas chromatograph (GC). Berdasarkan analisis yang dilakukan, pada satu gelas minuman emulsi ready to drink minyak bekatul- cokelat (200 ml) terkandung 11.94 g lemak. Jenis dan jumlah asam lemak yang terkandung dalam 2 gelas minuman emulsi minyak bekatul-cokelat yang dikonsumsi subyek dalam sehari dimuat dalam Tabel 16.

Berdasarkan analisis asam lemak yang telah dilakukan, diketahui bahwa asam lemak terbanyak yang dikonsumsi subyek dalam sehari (2 gelas minuman) yaitu asam oleat sebanyak 7.778 g. Asam lemak kedua dan ketiga terbanyak adalah asam linoleat sebesar 6.791 g dan asam palmitat sebesar 4.181 g.

Tabel 16 Jenis dan jumlah asam lemak dalam dua gelas minuman emulsi minyak bekatul-cokelat

Jenis Asam Lemak Banyaknya (g)

Asam miristat, C14:0 0.090 Asam pentadekanoat, C15:0 0.004 Asam palmitat, C16:0 4.181 Asam palmitoleat, C16:1 0.038 Asam heptadekanoat, C17:0 0.010 Cis-10-asam heptadekanoat, C17:1 0.004 Asam stearat, C18:0 1.082 Asam oleat, C18:1n9c 7.778 Asam linoleat, C18:2n6c 6.791 Asam arachidat, C20:0 0.200 Cis-11-asam eicosenoat, C20:1 0.129 Asam linolenat, C18:3n3 0.279 Asam heneicosanoat, C21:0 0.002 Cis-11,14-asam eicosedienoat, C20:2 0.031 Asam behenat, C22:0 0.064 Asam erukat, C22:1n9 0.009 Asam trikosanoat, C23:0 0.004 Asam lignoserat, C24:0 0.102 Cis-5,8,11,14,17-asam eicosapentaenoat, C20:5n3 0.052 Asam nervonik, C24:1 0.002

Sumber: Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor (2012)

Selain itu, dapat dilihat bahwa total asam lemak tidak jenuh dalam minuman lebih banyak daripada total asam lemak jenuh. Total asam lemak tidak jenuh dalam 2 gelas minuman sebesar 15.12 g, sedangkan total asam lemak jenuh sebesar 5.74 g. Minuman, dengan demikian dapat dikatakan berpotensi memiliki efek menurunkan kolesterol.

Kandungan asam lemak pada minuman menyerupai komposisi asam lemak pada minyak bekatul komersial, dengan kandungan asam oleat dan asam linoleat yang terbanyak. Hal ini dapat disebabkan komponen dominan minuman adalah minyak bekatul yaitu sebesar 12.5 g dalam 200 g minuman. Perbandingan asam lemak minuman, cokelat dan minyak bekatul dipaparkan pada Tabel 17.

Tabel 17 menunjukkan komposisi asam lemak yang terkandung pada minuman menyerupai kandungan asam lemak pada bahan penyusunnya, yaitu minyak bekatul dan cokelat. Tingginya asam lemak dominan yaitu asam oleat dapat disebabkan karena tingginya asam oleat pada minyak bekatul dan cokelat. Tingginya jumlah asam palmitat pada minuman dapat dipengaruhi oleh cokelat,

Tabel 17 Perbandingan komposisi asam lemak minuman, cokelat dan minyak bekatul Minuman (g/ 100 g) Cokelata (g/ 100 g) Minyak bekatul b (g/ 100 g) Asam palmitat C16:0 1.04 8.6 14.6 Asam stearat C18:0 0.27 2.09 Asam oleat C18:1 1.94 4.7 44.51 Asam linoleat C18:2 1.70 0.4 36.59 Asam linolenat C18:3 0.07 0.87

Sumber: a = Mulato & Suharyanto (2011); b = Most et al. (2005)

dimana asam palmitat merupakan asam lemak terbesar ketiga dalam cokelat. Mulato & Suharyanto (2011) menyatakan asam lemak yang terdapat pada cokelat merupakan asam lemak netral karena sebagian besar terdiri dari asam lemak stearat, juga mengandung asam lemak jenuh palmitat dan asam lemak tak jenuh oleat sehingga saling memberikan efek netral atau tidak meningkatkan kolesterol darah.

Menurut Sartika (2008), asam lemak tidak jenuh ganda seperti asam linoleat dan asam linolenat memiliki fungsi esensial pada sistem transport dan metabolisme lemak, sistem imun, serta mempertahankan fungsi kerja membran sel. Asam lemak tidak jenuh merupakan substrat untuk esterifikasi kolesterol dalam sel (Bender 2002). Tingginya asupan asam oleat, yang merupakan asam lemak terbanyak dalam minuman emulsi ready to drink minyak bekatul-cokelat, merangsang esterifikasi kolesterol dan penurunan kadar kolesterol bebas dalam hati. Hal ini kemudian meningkatkan reseptor LDL dalam membran plasma sehingga menurunkan kolesterol LDL plasma.

Karakteristik Subyek

Karakteristik subyek yang diamati pada penelitian meliputi usia, riwayat kesehatan orangtua subyek, serta status gizi menurut Indeks Massa Tubuh subyek. Subyek yang berpartisipasi dalam penelitian merupakan mahasiswa dan mahasiswi S1 Institut Pertanian Bogor, dengan jumlah enam pria dan enam wanita. Total subyek yang berpartisipasi dari awal hingga akhir sebanyak dua belas orang. Rata-rata usia subyek adalah 20.17 ± 1.85 tahun.

Seluruh subyek pada penelitian ini memiliki IMT obes. Obesitas adalah kondisi kelebihan lemak yang pada akhirnya mempengaruhi kesehatan orang tersebut (Whitney & Rolfes 2007). Salah satu indikator yang paling mudah untuk menentukan sesorang obes melalui pengukuran Indeks Massa Tubuh (IMT) dan

yang digunakan adalah pengukuran IMT menurut WHO (2000). Rata-rata IMT subyek adalah 33 ± 3.5 kg/m2. Distribusi subyek berdasarkan kategori IMT dipaparkan pada Tabel 18.

Tabel 18 Distribusi subyek berdasarkan kategori IMT

Kategori IMT WHO (2000) IMT (kg/m2) n %

Obes I 25.0-29.9 2 16.67

Obes II ш 30 10 83.33

TOTAL 12 100.00

Berdasarkan tabel, dapat dilihat bahwa sebagian besar subyek (83.33%) mengalami obes tingkat II yang dinilai dari IMT subyek yang sama dengan lebih besar dari 30 kg/m2.Salah satu faktor penyebab obesitas ialah faktor genetik. Faktor genetik mempengaruhi seseorang meningkat atau menurun berat badannya ketika ia kelebihan atau kekurangan asupan energi. Keadaan memiliki ayah atau ibu obes dapat meningkatkan resiko seseorang menjadi obes sebesar 30-70% lebih tinggi (Sizer & Whitney 2007). Maka dari itu, salah satu hal yang diteliti pula adalah kondisi keturunan subyek yang memiliki orangtua obes. Selain itu, keterkaitan antara obesitas dan penyakit degeneratif seperti hiperkolesterolemia, hipertensi, penyakit jantung dan diabetes mellitus, sangat erat. Berikut adalah riwayat kesehatan keluarga subyek dirangkum pada Tabel 19.

Tabel 19 Riwayat kesehatan keluarga subyek Riwayat Kesehatan Keluarga Subyek n % Kolesterol tinggi 5 41.67 Hipertensi 4 33.33 Penyakit jantung 1 8.33 Obesitas 3 25.00 Diabetes Mellitus 2 16.67

Berdasarkan Tabel 19 dapat diketahui riwayat kesehatan keluarga subyek. Diketahui 41.67% subyek memiliki riwayat keluarga hiperkolesterolemia, 33% subyek memiliki riwayat keluarga hipertensi, 8.33% subyek memiliki riwayat keluarga berpenyakit jantung, 25.00% subyek memiliki riwayat keluarga obesitas, serta 16.67% subyek memiliki riwayat keluarga diabetes mellitus. Riwayat kesehatan di atas dapat menunjukkan diatas termasuk degeneratif dan dampak yang ditimbulkan belum terlihat pada subyek.

Kebiasaan Subyek Makan Makanan Sumber Lemak

Kadar profil lipid seseorang dipengaruhi asupan makanan dan minuman. Apabila asupan seseorang tinggi akan zat gizi lemak, maka hal tersebut akan terlihat pada profil lipidnya. Tingkat asupan makan seseorang yang terlalu tinggi juga akan dikonversikan tubuh menjadi cadangan dalam bentuk lemak dan mempengaruhi profil lipid darah.

Kebiasaan makan adalah cara individu atau kelompok individu memilih pangan dan mengonsumsi sebagai reaksi terhadap pengaruh fisiologi, psikologi dan sosial budaya (Suhardjo 1994). Alat yang digunakan untuk melihat kebiasaan makan subyek berupa food frequency, food recall 2x24 jam dan food record 7 hari.

Frekuensi Konsumsi Pangan

Kuesioner food frequency merupakan salah satu metode untuk mengetahui kebiasaan makan seseorang yang diukur dalam satuan kali per hari, kali per minggu dan kali per bulan. Metode ini digunakan untuk melihat kualitas asupan makan subyek, melihat rata-rata seberapa sering subyek mengonsumsi pangan sumber lemak dan serat.

Kelompok jenis pangan yang didata berupa makanan yang diperkirakan berkontribusi tinggi terhadap profil lipid subyek, yaitu jenis makanan berlemak dan berserat. Jenis makanan berlemak yang diukur adalah kelompok pangan hewani, jajanan dan fast food, susu dan olahannya. Jenis makanan berserat yang diukur pada penelitian berupa kelompok pangan sayuran dan buah-buahan. Tabel 20 berikut merupakanrata-rata frekuensi per bulan jenis kelompok pangan hewani dan susu beserta olahan.

Berdasarkan Tabel 20, dapat dilihat bahwa rata-rata pangan yang sering dikonsumsi subyek adalah telur, ayam, susu dan gorengan. Tingkat konsumsi pangan tersebut hampir dapat dikatakan setiap hari (hampir mencapai 30 kali dalam sebulan). Seperti yang telah diketahui bahwa telur merupakan penyumbang kolesterol yang besar. Susu yang dikonsumsi rata-rata 20 kali dalam sebulan merupakan kontributor tinggi terhadap lemak jenuh, dimana asupan lemak jenuh dan lemak trans lebih berpengaruh pada peningkatan kolesterol darah daripada asupan kolesterol pada pangan (Whitney & Rolfes 2005).

Pada Tabel 20 juga terlihat bahwa konsumsi subyek sebagai mahasiswa tinggi terhadap gorengan bakwan, tahu, pisang dan lainnya serta masakan yang

Tabel 20 Rata-rata frekuensi konsumsi pangan sumber lemak per bulan

Jenis Makanan Frekuensi kali per bulan

Ayam 24 ± 19.0 Sapi 4 ± 3.3 Telur ayam 25 ± 18.0 Ikan 9 ± 7.5 Fried chicken 6 ± 4.1 Sosis 2 ± 3.3 Kornet 3.5 ± 5.8 Nugget 4 ± 7.3 Gorengan 18±5.3

Mie /nasi goring 12±3.5

Jeroan 4±5 Masakan bersantan 4.3±4 Chiki /sejenis 4.3±6 Keripik 6.3±5 Buah segar 13±9.5 Jus buah 11±5.5 Es buah 2±0 Sayur sop 7±9 Sayur bersantan 6.5±7 Sayur mentah 4±4.5 Sayur tumis 10±7.3 Gado-gado 3±3.8 Susu cair 20 ± 21.6 Susu bubuk 4 ± 5.9 Keju 5 ± 5.5 Yoghurt 7 ± 8.4

digoreng seperti mie goreng dan nasi goreng. Gorengan, mie dan nasi goreng masakan yang dianggap enak dan mudah didapat di lingkungan kampus. Minyak goreng yang telah digunakan berkali-kali dan melalui pemanasan yang tinggi akan mengalami oksidasi dan hidrogenasi sehingga asam lemak pada minyak telah mengalami perubahan sehingga menjadi asam lemak trans yang berbahaya bagi kesehatan jantung.

Konsumsi subyek terhadap buah dan sayur sebagai sumber serat dirasa kurang apabila dibandingkan dengan konsumsi subyek terhadap pangan sumber lemak yang dijelaskan sebelumnya. Penelitian ini mengumpulkan data konsumsi buah dan sayur sebagai sumber serat disebabkan konsumsi mahasiswa pada umumnya hanya mengonsumsi sayur dan buah sebagai sumber serat. Konsumsi serat berbanding terbalik dengan kejadian hiperkolesterolemia. Efek hipokolesterolemik dari serat larut air antara lain: (1) serat larut air mengikat

garam empedu sehingga menurunkan kadar kolesterol serum, dan (2) bakteri memfermentasikan serat untuk menghasilkan asetat, propionate dan butirat sehingga sintesa kolesterol terhambat (Mahan & Escott-Stump 2008). Sebagaimana yang terlihat pada tabel, konsumsi terbesar yaitu buah segar sebanyak 13 ± 9.5 kali, kemudian jus sebanyak 11 ± 5.5 dan sayur tumis sebanyak 10 ± 7.3 kali dalam sebulan.

Kebiasaan Makan Subyek Sebelum Masa Intervensi

Tujuan dilakukannya pengumpulan data food recall ini supaya dapat dilihat bila terdapat perbedaan kebiasaan makan pada subyek sebelum dan pada masa intervensi. Perbedaannya adalah pada sebelum penjelasan pertama, subyek makan seperti biasa, sedangkan pada masa setelah penjelasan pertama, yaitu masa dua minggu sebelum intervensi, subyek diminta mengurangi konsumsi makanan yang tinggi antioksidan dan tidak diperbolehkan mengonsumsi suplemen (Petunjuk himbauan makanan yang dikurangi terlampir pada Lampiran 6).

Kebutuhan energi subyek dihitung berdasarkan rumus Oxford Equation dengan menggunakan berat badan ideal dan tingkat aktivitas sedang, sesuai dengan WNPG (2004). Tabel 21 berikut merupakan data rata-rata asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan subyek sebelum masa pemberian intervensi: Tabel 21 Data asupan, kebutuhan dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi

subyek sebelum intervensi

Energi (kkal) Lemak (g) Lemak jenuh (g) Kolesterol (mg) Serat (g) Asupan 1407±375 50.7±15.90 23±10 251±112 5.6±1.8 Kebutuhan 2188±368 61±10.22 19±3.3 300 22±3.7 Tingkat Kecukupan 65±17% 85±25.3% 122±48.3% 83.7±26.9% 26±9.1% Berdasarkan tabel di atas, dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi subyek sebelum intervensi sebesar 65±17% dan termasuk kategori defisit berat (<70%). Hal ini dapat disebabkan subyek kurang teratur dalam mengatur waktu makan. Rata-rata tingkat kecukupan lemak adalah sebesar 85 ± 25.3%. Berdasarkan hal tersebut, dapat dilihat bahwa kontribusi energi dari lemak sudah hampir mencukupi kebutuhan, dibandingkan dengan pemenuhan tingkat kecukupan energi itu sendiri yang hanya mendekati setengah dari kebutuhan subyek. Subyek sebaiknya mengatur waktu dan proporsi makan lebih baik lagi.

Rata-rata kecukupan lemak jenuh adalah sebesar 122 ± 48.3%. Hal ini menunjukkan bahwa pembatasan asupan lemak jenuh sebesar 8% sudah terlampaui. Kebiasaan makan yang banyak terjadi pada mahasiswa di masa kini yaitu mengonsumsi masakan yang digoreng, menyebabkan subyek mengasup lemak jenuh lebih besar dari anjuran WNPG (2004) bagi warga Negara Indonesia. Tingginya asupan lemak jenuh meningkatkan resiko meningkatnya kadar kolesterol dalam darah.

Rata-rata tingkat kecukupan kolesterol subyek sebesar 83.7 ± 26.9%. Nilai tersebut sudah hampir mencukupi atau mencapai batas yang disarankan Asupan Diet yang Direkomendasikan di Amerika Serikat, yaitu 300 mg (IOM 2002). Hal ini menunjukkan asupan kolesterol subyek cukup baik. Rata-rata tingkat kecukupan serat pangan subyek sebesar 26.91 ± 7.5%. Cut off point

yang digunakan dalam menentukan tingkat kecukupan serat dari anjuran WNPG (2004) 10-14 g per 1000 kkal kebutuhan adalah batas minimum yaitu 10 g per 1000 kkal. Rendahnya tingkat kecukupan serat subyek dapat disebabkan jam makan yang tidak teratur sehingga subyek cenderung mengonsumsi jajanan untuk mengisi jam makan yang terlewatkan. Hal ini dapat pula disebabkan kurangnya asupan biji-bijian dan buah tinggi serat, serta sayur tinggi serat yang diolah secara tepat.

Kebiasaan Makan Subyek Selama Masa Intervensi

Kuesioner food record selama 7 jam ini berbentuk buku yang dibawa pulang dan diisi sendiri oleh subyek. Konsumsi pada masa sebelum intervensi dan pada masa intervensi diharapkan tidak terdapat banyak perubahan. Hal ini diteliti untuk melihat bahwa adanya perubahan pada profil lipid plasma subyek pada sub bab selanjutnya, terjadi karena pemberian intevensi dan bukan perubahan konsumsi subyek. Tingkat kecukupan pada masa sebelum dan pada masa intervensi digambarkan pada Gambar 9.

Perbedaan tingkat kecukupan lemak subyek paling terlihat dibandingkan dengan perbedaan tingkat kecukupan energi, lemak jenuh, kolesterol dan serat yang hampir tidak berbeda. Hal ini diakibatkan meningkatnya konsumsi makanan sumber lemak subyek pada masa intervensi, namun lemak yang dikonsumsi bukan merupakan sumber lemak jenuh. Pangan sumber lemak yang dikonsumsi dapat berupa sumber kolesterol ataupun lemak tak jenuh.

Gambar 10 Tingkat kecukupan energi dan zat gizi subyek masa sebelum dan dalam masa intervensi

Secara keseluruhan dapat dilihat bahwa tingkat kecukupan energi dan zat gizi dari pangan pada masa sebelum intervensi dan dalam masa intervensi hampir dapat dikatakan serupa. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi di atas hanya didapat dari konsumsi pangan subyek, tidak termasuk minuman yang diintervensikan. Hal ini menunjukkan konsumsi makanan subyek sehari-hari sudah dapat tergambar dari kuesioner food recall dan food record yang dilakukan karena terdapat kekonsistenan data.

Minuman emulsi ready to drink minyak bekatul-cokelat berkontribusi dalam memenuhi tingkat kecukupan energi dan zat gizi subyek. Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dari asupan pangan dan minuman emulsi ready to drink minyak bekatul-cokelat yang diberikan 2 sajian per hari disajikan pada Tabel 22.

Tabel 22 Tingkat kecukupan energi dan zat gizi dari asupan pangan dan minuman emulsi ready to drink minyak bekatul-cokelat

Energi (kkal) Lemak (g) Lemak jenuh (g) Kolesterol (mg) Serat (g) Asupan dari pangan

lain 1455±308 58±12.4 23±4.8 252±114 5±1.9

Asupan dari minuman emulsi 2 sajian per hari

130 2.08 1.43 0 1.4

Total asupan 1574±312 60±12.4 24.43 252±114 6.9±1.9

Kebutuhan 2188±368 61±10.22 19±3.3 ≤ γ00 10/1000

kkal Tingkat Kecukupan 74.3±21.2% 102.9±31.3% 128.61% 84±38% 33.1±12.6% Sumber: Lab Terpadu IPB (2012), Mulato & Suharyanto (2011), Informasi Gizi

Oryza Grace® 65% 85% 122% 84% 26% 69% 99% 121% 84% 27% 0% 20% 40% 60% 80% 100% 120% 140%

Energi Lemak Lemak jenuh Kolesterol Serat Sebelum intervensi Masa intervensi

Tingkat kecukupan energi meningkat menjadi 74.3±21.2% dengan penambahan energi dari asupan minuman yang diintervensikan. Jumlah ini termasuk pada kategori defisit sedang (70-80%). Minuman emulsi ini menyumbang 2.08 g asupan lemak subyek per harinya sehingga tingkat kecukupan lemak meningkat dari 99% menjadi 102.9%.

Peningkatan kecukupan lemak jenuh dari konsumsi minuman yang

Dokumen terkait