• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Kapasitas Gelasi (modifikasi Andualem dan Amare 2013)

Suspensi sampel tepung tempe dibuat pada konsentrasi 2-25 % dalam lima mililiter akuades di tabung reaksi bertutup. Sampel kemudian dipanaskan selama satu jam di dalam penangas air mendidih. Selanjutnya sampel didinginkan secara cepat di air mengalir. Sampel lalu didinginkan pada suhu 4 oC selama dua jam. Konsentrasi terendah gelasi ditentukan sebagai konsentrasi ketika sampel tidak tumpah saat tabung dibalik.

Pengolahan dan Analisis Data

Data hasil analisis sifat fisik, kimia, fungsional, dan organoleptik tepung tempe hasil penelitian diolah menggunakan Microsoft Excel selanjutnya dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA) dengan program SPSS 20 for Windows. Jika hasil sidik ragam menunjukkan pengaruh yang nyata, maka dilakukan uji lanjut Duncan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian Pendahuluan Penentuan Metode Pembuatan Tepung Tempe

Salah satu tahapan dalam pembuatan tepung tempe adalah pengeringan. Pengeringan merupakan proses mengeluarkan atau menghilangkan sebagian air dari suatu bahan dengan cara menguapkan air tersebut menggunakan energi panas. Pengolahan bahan pangan dengan metode pengeringan dimaksudkan untuk mengendalikan laju kerusakan bahan pangan agar diperoleh bahan pangan olahan kering yang bermutu, aman, dan stabil selama masa penyimpanan (Dewi 2006). Penentuan metode pembuatan tepung tempe pada penelitian ini diawali dengan menetapkan suhu pengeringan. Hal ini penting karena suhu pengeringan dapat berdampak pada perubahan bentuk, sifat fisik, kimia, dan organoleptik, serta penurunan mutu dari sifat asal bahan yang digunakan (Lubis 2009). Faktor suhu yang diujikan adalah suhu 60, 70, dan 80 oC. Pengaruh suhu pengeringan terhadap derajat putih, warna, dan rendemen tepung tempe dapat dilihat pada Tabel 1.

10

Tabel 1. Perbandingan karakteristik tepung tempe berdasarkan suhu pengeringan Suhu

Pengeringan (oC)

Derajat

Putih (%) Nilai L Nilai a Nilai b

Rendemen (%) 60 45.63±0.81 75.31±0.88 0.45±0,13 20.46±0.46 23.06±4.84 70 45.96±2.77 75.50±1.46 0.82±0.13 19.47±1.63 23.83±4.82 80 40.00±2.64 72.14±1.48 2.27±0.31 22.78±1.22 24.47±2.38 Hasil menunjukkan bahwa suhu 80 oC menyebabkan tepung tempe memiliki derajat putih (40.00±2.64 %) dan nilai L (72.14±1.48) yang paling rendah dibandingkan dengan tepung yang dikeringkan pada suhu 60 dan 70 oC. Menurut Rizal et al. (2013), semakin tinggi suhu pengeringan akan menurunkan derajat putih bahan. Penurunan derajat putih disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatik akibat bahan yang sensitif terhadap suhu tinggi. Laju reaksi pencoklatan meningkat tajam pada suhu yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan proses pencoklatan semakin cepat terjadi.

Pengaruh suhu pengeringan juga dilihat terhadap karakteristik warna dengan menggunakan notasi Hunter. Sistem notasi warna Hunter dicirikan dengan tiga parameter warna, yaitu kecerahan (L), warna kromatik (a), dan intensitas warna (b) (Andarwulan et al. 2011). Nilai a (redness) merupakan kisaran nilai yang menunjukkan intensitas warna hijau (a negatif) sampai merah (a positif.). Nilai b (yellowness) merupakan kisaran nilai yang menunjukkan intensitas warna biru (b negatif) sampai kuning (b positif) (Purwanto et al. 2013). Apabila melihat hasil pengamatan terhadap nilai a, suhu 80 oC memberikan pengaruh terhadap tingginya intensitas redness dibandingkan dengan suhu 60 dan 70 oC. Dengan demikian dapat diketahui bahwa suhu 80 oC menyebabkan tepung memiliki intensitas warna merah yang paling besar. Hasil pengukuran terhadap nilai b juga memberikan hasil serupa. Pengeringan pada suhu 80 oC ternyata juga menyebabkan warna kuning yang paling dominan di antara tepung lainnya. Nilai a dan b yang semakin besar berpengaruh pada rendahnya nilai L dan derajat putih. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Dewi (2006) bahwa semakin tinggi suhu pengeringan yang digunakan maka semakin gelap pula warna tepung tempe yang dihasilkan. Alasannya karena proses pengeringan yang berlangsung cepat pada suhu tinggi menyebabkan perubahan warna yang lebih banyak daripada pengeringan pada suhu dan kecepatan yang lebih rendah (Fellows 1990 di dalam Dewi 2006). Berdasarkan hasil pengamatan ini, dapat disimpulkan suhu 80 oC paling tidak baik untuk digunakan sebagai suhu pengeringan tepung tempe.

Berdasarkan hasil pada Tabel 1, karakteristik kecerahan (L) dan derajat putih paling tinggi dihasilkan oleh tepung dengan suhu pengeringan 70 oC. Selain itu, pertimbangan akan efisiensi waktu pengeringan dan pemakaian energi panas juga turut mendukung pemilihan suhu tersebut. Suhu 70oC menurut metode Bastian et al. (2013) adalah suhu terpilih karena waktu pengeringannya hanya berlangsung selama 4-4,5 jam dibandingkan suhu 60 oC yang berlangsung selama 5-5,5 jam.

Proses yang juga tidak kalah penting dalam pembuatan tepung tempe adalah blansir. Blansir merupakan tahap pengolahan yang penting pada bahan yang akan dikeringkan. Blansir adalah proses memanaskan bahan mentah selama

11 beberapa menit pada suhu mendekati air mendidih atau tepat pada suhu air mendidih. Dalam proses pengeringan, blansir dimaksudkan untuk mencegah perubahan akibat aktivitas enzim, serta mematikan dan mengurangi mikroba yang ada di permukaan bahan (Dewi 2006). Perlakuan blansir mampu menginaktivasi enzim sehingga tidak merangsang reaksi metabolisme yang menyebabkan perubahan warna dan timbulnya bau tidak enak (Ikrawan 2004). Akan tetapi, karena perubahan warna yang terjadi pada pembuatan tepung tempe bukan disebabkan reaksi enzimatis maka perlu diketahui apa ada pengaruh lama blansir terhadap karakteristik derajat putih dan warna dari tepung tempe.

Suhu blansir yang digunakan adalah 99±1 oC dengan metode perebusan. Suhu ini sudah memenuhi syarat untuk mematikan mikroba target pada tempe, yaitu kapang Rhizopus, yang tidak dapat hidup di atas suhu 42oC (Dewi 2006). Lama waktu yang digunakan untuk blansir bervariasi antara 3-15 menit. Pengujian ini dimaksudkan untuk melihat perbedaan lama blansir terhadap karakteristik (derajat putih dan warna) tepung tempe yang dihasilkan pada suhu pengeringan 70oC. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh lama blansir terhadap derajat putih dan warna tepung tempe Lama blansir

(menit)

Derajat putih

(%) Nilai L Nilai a Nilai b

3 46.94±2.43 73.32±0.01 0.66±0.01 17.66±0.01 5 47.06±1.08 76.22±0.02 0.82±0.00 18.62±0.01 10 44.68±0.00 76.34±0.01 0.95±0.01 20.34±0.02 15 44.50±2.55 76.10±0.01 0.86±0.01 21.24±0.01 Hasil penelitian menunjukkan bahwa semakin lama waktu blansir akan semakin rendah derajat putihnya, namun akan semakin tinggi kecerahannya (nilai L) sampai menit ke-10. Lama waktu blansir memberikan pengaruh yang berbeda terhadap nilai a dan b. Hasil ini sesuai dengan penelitian Isnaini dan Aniswatul (2010) bahwa lama blansir memiliki pengaruh nyata terhadap warna produk. Blansir selama tiga dan lima menit menyebabkan intensitas warna merah dan kuning yang lebih rendah sehingga berpengaruh terhadap tingginya derajat putih. Sebaliknya, blansir selama 10 dan 15 menit memperkuat intensitas warna merah dan kuning. Hal ini sesuai dengan salah satu fungsi blansir, yaitu untuk mempertajam warna alami bahan pangan (Purwanto et al. 2013). Terdapat perbedaan hasil terbaik antara karakteristik derajat putih dan kecerahan. Nilai derajat putih tertinggi (47.06±1.08 %) dihasilkan dari blansir selama lima menit sedangkan nilai kecerahan tertinggi (76.34±0.01) dihasilkan tepung yang diblansir selama 10 menit. Meskipun demikian, blansir selama lima menit kemudian dipilih karena menghasilkan derajat putih yang paling tinggi dan nilai kecerahan yang juga tinggi.

Penentuan Parameter Konsentrasi Larutan Blansir

Penentuan konsentrasi larutan blansir menggunakan natrium metabisulfit sebagai acuan. Hal ini disebabkan natrium metabisulfit merupakan bahan tambahan pangan yang sering digunakan sebagai pemutih dan pencegah reaksi

12

pencoklatan, baik secara enzimatis maupun non enzimatis, pada bahan pangan, seperti pada pengolahan gula pasir (Alreza 2012). Selain itu sifatnya efektif, stabil, dan harganya murah (Rahayu 1997).

USFDA pda tahun 1995 telah memasukkan sulfur dioksida dan beberapa garam sulfit lainnya sebagai GRAS (21 CFR 182), tetapi tidak boleh digunakan dalam daging atau pangan sumber thiamin, buah, dan sayuran segar. Regulasi penggunaan sulfit pada makanan berbeda-beda untuk setiap negara. FDA mengatur batas maksimum penggunaan SO2 pada makanan yang dikeringkan sebesar 2000-3000 ppm. Batas maksimum residu SO2 dalam produk tepung maksimum 70 mg/kg menurut Peraturan KBPOM Nomor 36 Tahun 2013 tentang Batas Maksimum Penggunaan BTP Pengawet.

Konsentrasi natrium metabisulfit yang diujikan adalah 0; 0,1; dan 0,3 %. Konsentrasi tersebut dipilih mengingat proses blansir yang hanya dilakukan dalam waktu singkat, di mana tidak 100 % senyawa sulfit akan terserap tempe, dan adanya proses pengeringan. Kelebihan sulfur dioksida dapat hilang selama proses pengeringan. Dengan demikian konsentrasi larutan blansir yang tinggi sepertinya tidak akan meninggalkan residu SO2 yang melewati batas maksimum regulasinya. Tepung tempe yang dihasilkan selanjutnya dianalisis derajat putih dan nilai L, a, b. Hasil analisis selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh konsentrasi larutan Na-metabisulfit terhadap derajat putih dan warna tepung tempe

Konsentrasi (%)

Derajat Putih

(%) Nilai L Nilai a Nilai b

0 45.26±0.19 79.84±0.01 0.02±0.01 23.40±0.00 0.1 50.72±0.13 80.26±0.01 0.22±0.05 20.68±0.01 0.3 50.04±0.19 80.64±0.00 0.13±0.01 21.58±0.00

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa konsentrasi larutan blansir mempengaruhi intensitas derajat putih, nilai L, a, dan b tepung tempe. Semakin tinggi konsentrasi larutan natrium metabisulfit maka semakin besar kecerahan tepung tempe. Hal ini disebabkan oleh fungsi sulfit yang dapat menghambat reaksi pencoklatan dengan cara membentuk ikatan dengan gugus aldehid gula pereduksi sehingga gugus aldehid tidak memiliki kesempatan untuk bereaksi dengan asam amino. Dengan demikian sulfit mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksi metal furfural atau HMF. Senyawa ini merupakan senyawa antara yang berkontribusi pada pembentukan pigmen melanoidin yaitu pigmen yang berperan dalam pembentukan warna coklat pada pangan (Purwanto et al. 2013).

Perendaman dengan natrium metabisulfit berpengaruh terhadap peningkatan intensitas warna merah pada tepung tempe. Peningkatan intensitas warna merah sepertinya diakibatkan pigmen alami dalam kedelai yang diperkuat karena pengaruh blansir. Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, salah satu fungsi blansir dapat meningkatkan warna alami bahan pangan (Purwanto et al. 2013). Sebaliknya, perendaman dalam natrium metabisulfit menurunkan intensitas warna kuning pada tepung sehingga tepung kontrol (0 %) memiliki warna paling kuning dibandingkan tepung pada perlakuan lainnya.. Larutan natrium

13 metabisulfit dengan konsentrasi 0,1 % terpilih karena memiliki nilai derajat putih tertinggi dan nilai kecerahan yang tinggi pula.

Berdasarkan hasil uji pendahuluan untuk menentukan suhu pengeringan, lama waktu blansir, dan konsentrasi larutan blansir yang akan digunakan dalam pengolahan tepung tempe maka diperoleh metode pembuatan tepung tempe dalam penelitian ini sebagai berikut. Sebanyak 500 gram tempe diiris tipis menggunakan

slicer lalu tempe diblansir dalam larutan blansir 0.1 % selama lima menit pada suhu 99±1 oC. Selanjutnya tempe ditiriskan. Kemudian tempe dikeringkan menggunakan tray drier pada suhu 70 oC selama 4-4.5 jam. Setelah itu tempe kering digiling menggunakan blender dan diayak menggunakan saringan 40 mesh. Tepung tempe dikemas dalam pastik polipropilen. Metode pembuatan tepung tempe secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 2. Dokumentasi proses pembuatan tepung tempe dapat dilihat pada Lampiran 4.

Gambar 2. Diagram alir metode terpilih pembuatan tepung tempe dengan dua perlakuan TEMPE Pengirisan (slicer) Blansir 0,1% (5 menit; 99±1oC)

A1 : tempe kedelai lokal A2 : tempe kedelai impor

(PRG)

B0 : kontrol

B1:larutan Na-metabisulfit B2 : larutan asam askorbat Pengeringan tray drier

(70oC; 4-4.5 jam) Penggilingan (blender) Pengayakan (40 mesh) TEPUNG TEMPE Pengemasan (plastik PP)

14

Penelitian Utama Karakteristik Fisik

Derajat Putih

Derajat putih adalah daya memantulkan cahaya yang mengenai permukaan bahan. Nilai yang diperoleh adalah perbandingan dengan warna putih barium sulfat (Nurhayati 2010). Derajat putih suatu produk berkisar antara 0 sampai 100. Nilai 0 menunjukkan warna hitam sedangkan nilai 100 menunjukkan warna putih (Rizal et al. 2013). Hasil pengukuran derajat putih tepung tempe pada penelitian ini berkisar antara 40.54-48.11 %. Derajat putih tertinggi dimiliki oleh tepung tempe kedelai lokal pada perlakuan kontrol dan yang diblansir menggunakan larutan natrium metabisulfit 0.1 %, sedangkan derajat putih terendah dimiliki oleh tepung tempe kedelai PRG dengan blansir menggunakan larutan asam askorbat 0,1 %. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap derajat putih tepung tempe

Jenis Kedelai Larutan Blansir Derajat Putih (%)

Lokal Kontrol 46.86±1.50 d Na-metabisulfit 48.11±0.58d Asam askorbat 44.81±0.26c PRG Kontrol 44.36±1.28 b Na-metabisulfit 45.33±1.50b Asam askorbat 40.54±0.29a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (p<0,01).

Nilai derajat putih tepung tempe berbeda sangat nyata (p<0.01) antarjenis kedelai dan larutan blansir berdasarkan hasil analisis ragam seperti yang terdapat pada Lampiran 5. Hasil analisis ragam juga menunjukkan bahwa tidak ada interaksi yang terjadi antara variabel jenis kedelai dengan jenis larutan blansir selama pengolahan tepung tempe. Dapat diketahui bahwa nilai derajat putih tepung tempe kedelai PRG memiliki kisaran yang lebih rendah jika dibandingkan dengan tepung tempe kedelai lokal. Secara umum, tepung tempe kontrol pada kedelai lokal maupun PRG memiliki derajat putih yang rendah, yaitu kurang dari 50.00%. Rendahnya derajat putih disebabkan terjadinya reaksi pencoklatan non enzimatis, yaitu reaksi Maillard. Reaksi Maillard dapat terjadi karena adanya reaksi antara senyawa yang mengandung gugus amin bebas (asam amino, protein, atau senyawa lain yang mengandung gugus amin) dengan gugus karbonil gula-gula pereduksi (gula-gula aldosa) dalam bahan pangan, dikatalis dengan adanya pemanasan, yang dalam hal ini terjadi pada saat proses pengeringan, dan pada kondisi aktivitas air sebesar 0.50-0.80. Reaksi awal gugus amin dengan gugus karbonil gula pereduksi menghasilkan senyawa glucosyl amine. Senyawa ini kemudian melalui Amadori rearrangement membentuk amino-deoxy-ketose. Degradasi senyawa ini menghasilkan komponen pigmen melanoidin yang memberi warna coklat pada produk akhir (Kusnandar 2010). Tahapan reaksi Maillard secara sistematis dapat dilihat pada Gambar 3.

15

Gambar 3. Alur reaksi Maillard

(Whistler dan Daniel 1985, dalam Chandra et al. 2013)

Penggunaan natrium metabisulfit cenderung meningkatkan derajat putih tepung tempe jika dibandingkan dengan kontrol pada kedua jenis kedelai, meskipun tidak secara signifikan. Mekanisme pencegahan pencoklatan oleh natrium metabisulfit adalah sebagai berikut. Natrium metabisulfit di dalam air akan terurai menjadi sulfur dioksida (SO2), ion HSO3-, dan asam sulfit (Frazier 1976, dalam Chandra et al. 2013). Reaksi penguraian garam sulfit menjadi ion-ion sebagaimana telah dipaparkan sebelumnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Reaksi Penguraian Natrium Metabisulfit dalam Air

Menurut Braverman (1963) dalam Chandra et al. (2013), mekanisme penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh sulfit adalah reaksi antara bisulfit dengan gugus aldehid dari gula, sehingga gugus aldehid tidak memiliki kesempatan untuk bereaksi dengan asam amino. Maka dengan demikian sulfit akan mencegah konversi D-glukosa menjadi 5-hidroksi metal furfural atau HMF. Senyawa ini merupakan senyawa antara yang bereaksi dengan gugus amino dan kemudian membentuk pigmen melanoidin yang menyebabkan timbulnya pencoklatan. Penghambatan reaksi pencoklatan oleh sulfit dapat dilihat pada Gambar 5.

16

Gambar 5. Penghambatan reaksi pencoklatan non enzimatis oleh sulfit Peningkatan derajat putih secara signifikan dapat dilakukan dengan meningkatkan konsentrasi larutan perendam natrium metabisulfit. Sementara itu, asam askorbat yang diharapkan mampu menjadi anti browning agent ternyata menurunkan derajat putih tepung tempe secara sangat nyata, baik pada tepung tempe kedelai lokal maupun PRG. Hal ini terjadi karena asam askorbat merupakan senyawa yang tidak stabil dalam bentuk larutan dan bila terpapar panas. Asam askorbat merupakan senyawa yang lebih efektif untuk mencegah pencoklatan enzimatis karena kapasitasnya sebagai antioksidan (Fennema 2007), sedangkan reaksi pencoklatan yang dialami tepung tempe bukanlah reaksi pencoklatan enzimatis, melainkan non enzimatis. Dengan demikian yang terjadi adalah asam askorbat teroksidasi dan terdegradasi karena pengaruh pemanasan selama blansir dan pengeringan. Menurut Andarwulan dan Sutrisno (2008), perlakuan panas pada saat pengolahan pangan selama satu jam dapat menyebabkan kerusakan asam askorbat sebanyak 50 %. Kerusakan asam askorbat akibat oksidasi sendiri merupakan salah satu penyebab dalam reaksi pencoklatan non enzimatis (Prangdimurti et al. 2007). Winarno (1986) dalam Chandra et al.

(2013) juga menyebutkan bahwa asam askorbat merupakan suatu senyawa reduktor dan dapat bertindak sebagai prekursor untuk pembentukan warna coklat non-enzimatik. Asam askorbat berada dalam keseimbangan dengan asam dehidroaskorbat. Dalam suasana asam, cincin lakton asam dehidroaskorbat terurai secara irreversible dengan membentuk senyawa diketoglutarat dan kemudian berlangsunglah reaksi pencoklatan. Reaksi pencoklatan pada asam askorbat dapat dilihat pada Gambar 6.

17

Gambar 6. Reaksi pencoklatan pada asam askorbat (Theander 1980, dalam Chandra et al. 2013)

Warna

Warna merupakan salah satu atribut mutu yang sangat penting pada bahan dan produk pangan. Peranan warna sangat nyata karena umumnya konsumen akan mendapat kesan pertama, baik suka atau tidak suka terhadap suatu produk pangan. Warna memiliki arti dan peranan penting pada produk pangan sebagai penciri jenis, tanda-tanda pematangan buah, tanda-tanda kerusakan, petunjuk tingkat mutu, pedoman proses pengolahan, dan sebagainya. Analisis terhadap warna dinyatakan dalam sistem notasi. Sistem notasi warna adalah suatu cara sistematik dan objektif untuk menyatakan atau mendeskripsikan suatu jenis warna. Warna dinyatakan secara kuantitatif dalam notasi huruf dan atau angka sehingga dapat dipahami secara konsisten oleh semua pihak (Andarwulan et al. 2011).

Analisis warna pada penelitian ini dinyatakan dalam sistem notasi Hunter, yaitu L,a,b. Pengaruh interaksi jenis kedelai dengan jenis larutan blansir terhadap warna tepung tempe disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 menunjukkan bahwa blansir menggunakan natrium metabisulfit dan asam askorbat tidak berpengaruh secara nyata terhadap nilai L (lightness) namun berpengaruh sangat nyata terhadap nilai a (redness) dan b (yellowness).

Menurut hasil analisis ragam pada Lampiran 5, pengaruh sangat nyata yang timbul pada nilai a disebabkan karena faktor jenis kedelai dan larutan blansir itu sendiri, serta disebabkan adanya interaksi antara kedua faktor tersebut selama pengolahan. Sementara itu pada nilai b, perbedaan yang ada disebabkan perbedaan jenis kedelai saja, tidak dipengaruhi jenis larutan blansir, serta tidak ditemukan adanya interaksi antara kedua faktor uji terhadap intensitas yellowness

tepung tempe. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tepung tempe kedelai PRG memiliki intensitas warna kuning yang lebih besar daripada tepung tempe kedelai lokal.

18

Tabel 5. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap warna tepung tempe

Jenis Kedelai Larutan

Blansir Nilai L (Kecerahan) Nilai a (Redness) Nilai b (Yellowness) Lokal Kontrol 79.96±2.37 a 2.13±0.01d 18.42±0.15a Na-metabisulfit 80.50±1.62a 2.02±0.02c 18.17±0.20a Asam askorbat 77.48±4.07a 5.02±0.01f 19.66±0.89a PRG Kontrol 80.44±0.86 a 0.15±0.01b 23.32±0.12b Na-metabisulfit 80.93±0.93a 0.11±0.01a 21.99±1.82b Asam askorbat 77.07±2.70a 3.41±0.03e 23.07±0.29b

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang berbeda menunjukkan hasil yang berbeda sangat nyata (p<0,01).

Penggunaan natrium metabisulfit sebesar 0.1 % dalam larutan blansir tidak cukup mampu meningkatkan kecerahan tepung tempe, demikian pula dengan asam askorbat. Penampakan secara umum warna tepung tempe kontrol adalah kuning, tepung tempe dengan Na-metabisulfit berwarna kuning pucat, dan tepung tempe dengan asam askorbat berwarna kemerahan. Dokumentasi tepung tempe hasil penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7 dan 8.

Gambar 7. Tepung tempe kedelai lokal (A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat)

Gambar 8. Tepung tempe kedelai PRG (A=kontrol, B=Na-metabisulfit, C=askorbat)

Warna yang berbeda pada masing-masing perlakuan tidak hanya disebabkan reaksi pencoklatan non enzimatis yang terjadi pada tepung tempe, melainkan turut dipengaruhi oleh pigmen yang terdapat pada kacang kedelai itu sendiri. Reaksi yang dimunculkan oleh pigmen kedelai dipengaruhi oleh pH lingkungannya. Penggunaan asam askorbat dapat menurunkan pH tepung tempe akibat sifat asam dari senyawa itu sendiri.Kedelai memiliki kandungan flavonoid

B C

A

19 di dalam bijinya. Senyawa flavonoid yang dikandung kedelai terdiri dari isoflavon, yang berperan sebagai antioksidan, serta antosianin dan flavonol, yang berfungsi memberikan warna pada kedelai. Antosianin terakumulasi lebih banyak dan terekspresi pada kedelai hitam karena adanya peran dari gen I dan gen R yang bersifat pleiotropik. Kedelai kuning tidak memiliki gen tersebut sehingga akumulasinya tidak sebanyak pada kedelai hitam dan juga tidak terekspresi. Senyawa flavonol, yang memberikan warna kuning, lebih terekspresi pada kedelai kuning (Wirnas et al. 2012).

Pada pH 1-4, antosianin berada pada bentuk terstabilnya yaitu kation flavilium dan memunculkan warna merah atau ungu, sedangkan pada pH di atas 4, antosianin terdapat dalam bentuk kalkon yang berwarna kuning (SEAFAST 2012). Hal ini menunjukkan kenaikan intensitas redness pada tepung tempe dengan perlakuan asam askorbat dapat dipengaruhi dari menurunnya pH sehingga mengaktifkan warna merah dari antosianin. Selain itu diketahui bahwa senyawa asam askorbat dapat mempercepat degradasi antosianin karena asam askorbat mampu berkondensasi dengan antosianin membentuk senyawa phlobafen yang berwarna coklat (SEAFAST 2012). Ini berarti penampakan tepung tempe dengan warna kemerahan merupakan percampuran dari adanya sebagian antosianin yang membentuk kation flavilium dan phlobafen. Sementara itu tepung tempe dengan natrium metabisulfit tidak berwarna kemerahan disebabkan pemberian senyawa sulfit menyebabkan SO2 bereaksi dengan antosianin menghasilkan senyawa tidak berwarna (SEAFAST 2012).

Aktivitas Air (aw)

Aktivitas air adalah parameter yang paling umum digunakan sebagai kriteria untuk keamanan pangan dan kualitas pangan. Aktivitas air adalah parameter yang dapat digunakan untuk menjelaskan bagaimana air berpengaruh pada stabilitas dan keawetan pangan, laju reaksi kimia, aktivitas enzim dan pertumbuhan mikroba. Semakin tinggi nilai aw akan semakin tinggi pula kemungkinan tumbuhnya mikroorganisme dalam bahan pangan tersebut.

Aktivitas air diukur secara sederhana menggunakan alat aw-meter. Nilai aw

tersebut dapat berubah bila kelembapan relatif lingkungannya berubah. Nilai aw

berkisar antara 0.0-1.0, yang diperoleh dari rasio antara tekanan uap air (P) pada kelembapan relatif tertentu dengan tekanan uap murni (Po). Bila aw = 0 maka bahan bersifat kering mutlak, sedangkan bila aw = 1 maka bahan adalah air murni (Kusnandar 2010).

Tabel 6 menunjukkan hasil pengukuran aktivitas air pada enam sampel tepung tempe. Pengukuran dilakukan pada suhu 30.80 oC. Hasil pengukuran menunjukkan tepung tempe memiliki nilai aw sebesar 0.583-0.601.

Faktor jenis kedelai, larutan blansir, serta interaksi antarperlakuan jenis kedelai dan larutan blansir ternyata tidak berpengaruh nyata, menurut hasil analisis ragam pada Lampiran 5, terhadap aktivitas air tepung tempe yang dihasilkan. Aktivitas air tepung tempe rata-rata senilai 0.592±0.044. Menurut Kusnandar (2010), nilai aktivitas air tepung pada umumnya sebesar 0.72. Dengan demikian hasil penelitian menunjukkan hasil yang lebih rendah dibandingkan nilai aktivitas air tepung secara umum. Nilai aw yang rendah berkorelasi dengan kestabilan dan keawetan produk pangan selama penyimpanan. Ini dapat dijelaskan

20

dalam kurva hubungan laju reaksi relatif dengan aktivitas air dalam pangan pada Gambar 9.

Tabel 6. Pengaruh jenis kedelai dan larutan blansir terhadap aktivitas air tepung tempe

Jenis Kedelai Larutan Blansir Aktivitas Air

Lokal Kontrol 0.601±0.033 a Na-metabisulfit 0.592±0.045a Asam askorbat 0.583±0.036a PRG Kontrol 0.585±0.050 a Na-metabisulfit 0.596±0.060a Asam askorbat 0.596±0.040a

Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata (p>0,05).

Berdasarkan Gambar 9 dapat diketahui bahwa kisaran nilai aktivitas air tepung tempe pada penelitian ini berada pada nilai di mana pertumbuhan mikroba

Dokumen terkait