• Tidak ada hasil yang ditemukan

Terdapat beberapa pokok bahasan yang akan dijabarkan dalam bab ini, yaitu: (1) mengenai risiko produksi usahatani tembakau petani mitra dan non mitra di Kabupaten Bojonegoro, (2) mengenai risiko harga usahatani tembakau petani mitra dan non mitra di Kabupaten Bojonegoro, dan (3) mengenai preferensi risiko usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro.

Risiko Produksi Usahatani Tembakau Petani Mitra dan Non Mitra di Kabupaten Bojonegoro

Penelitian ini akan membahas mengenai risiko produksi yang dihadapi oleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Analisis risiko produksi dan harga digunakan untuk melihat seberapa besar kerugian yang diakibatkan oleh adanya fluktuasi produksi tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Risiko yang dihadapi petani tembakau yang berupa risiko produksi dapat diakibatkan adanya variasi input yang digunakan. Risiko produksi akan mempengaruhi terhadap produktivitas tembakau yang dihasilkan. Produktivitas yang berfluktuasi ditunjukkan oleh adanya nilai produktivitas tertinggi, normal dan terendah. Adanya produktivitas yang berubah-ubah dan berfluktuasi maka peluang petani tembakau sampel memperoleh produktivitas tertinggi, terendah dan normal diamati dengan menghitung jumlah kemungkinan atau frekuensi petani mengalami kejadian atau mendapatkan produktivitas tertinggi, terendah dan normal dibagi dengan keseluruhan jumlah sampel pada periode satu tahun (tahun 2015). Adapun yang dimaksud dengan produktivitas tertinggi yaitu tingkat produktivitas yang paling tinggi, yang pernah diperoleh petani sampel selama berusahatani tembakau. Sedangkan yang dimaksud dengan produktivitas terendah yaitu tingkat produktivitas yang paling rendah, yang pernah diperoleh petani tembakau sampel. Sementara itu yang dimaksud dengan produktivitas normal dalam kajian ini yaitu produktivitas yang sering diperoleh petani tembakau sampel selama pengusahaan komoditas yang bersangkutan.

Adapun rata-rata produktivitas tembakau tertinggi, normal dan terendah yang diperoleh oleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro disajikan pada Tabel 21.

Tabel 21. Rata-rata produktivitas tembakau dan peluang yang diperoleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Uraian

Gabungan Mitra Non mitra

Rata- rata Std. Deviasi Rata- rata Std. Deviasi Rata- rata Std. Deviasi

Produktivitas terendah (kg/ha) 1 000 40.29 1 050 37.13 1 000 40.50

Produktivitas normal (kg/ha) 1 204 43.91 1 239 43.47 1 170 40.88

Produktivitas tertinggi (kg/ha) 1 500 67.77 1 500 69.48 1 500 71.30

Peluang terendah 0.40 - 0.23 - 0.53 -

Peluang normal 0.45 - 0.62 - 0.37 -

Peluang tertinggi 0.15 - 0.15 - 0.10 -

Produktivitas harapan (kg/ha) 1169.51 143.85 1234.05 136.12 1112.33 151.58 Sumber: Data primer (diolah)

Berdasarkan Tabel 21 diketahui produktivitas normal yang diperoleh rata- rata petani tembakau adalah sebesar 1 204 kg/ha. Adanya risiko produksi yang diakibatkan perubahan cuaca serta hama penyakit dapat menyebabkan penurunan produktivitas menjadi 1 000 kg/ha. Produktivitas tertinggi yang dapat dicapai usahatani tembakau adalah 1 500 kg/ha. Jika dibandingkan produktivitas antara petani mitra dan non mitra, terdapat perbedaan produktivitas normal yang dihasilkan yaitu produktivitas petani mitra lebih tinggi daripada petani non mitra yaitu berturut-turut 1 239 kg/ha dan 1 170 kg/ha. Adapun produktivitas terendah yang diperoleh oleh petani mitra maupun non mitra adalah sebesar 1 050 kg/ha dan 1 000 kg/ha. Hal ini menunjukkan produktivitas terendah yang diperoleh oleh petani mitra dan non mitra relatif sama. Perbedaan produktivitas tersebut dapat disebabkan oleh prilaku petani mitra yang lebih berani dalam menggunakan pupuk sesuai anjuran. Adapun produktivitas yang diperoleh petani tembakau di Bojonegoro, baik mitra maupun non mitra masih lebih tinggi daripada produktivitas tembakau Kabupaten Bojonegoro yaitu sebesar 0.975 ton/ ha atau 975 kg/ha.

Adapun untuk mengukur besaran risiko produktivitas yang dihadapi petani tembakau dapat dihitung melalui nilai varian, standar deviasi dan koefisien variasi. Risiko produktivitas diperoleh dari perhitungan nilai produktivitas tertinggi, normal dan terendah dengan ekspektasi harga yang dikalikan dengan masing-masing peluang produktivitas (persamaan 3.4). Adapun besaran risiko produktivitas petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Tabel 22.

Tabel 22. Besaran risiko produktivitas tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Ukuran Gabungan Petani mitra Petani non mitra

Variance (kg/ha2) 20 692.82 18 528.55 22 977.89

Std.Deviation (kg/ha) 143.85 136.12 151.58

Coefficient variation 0.125 0.11 0.14

Sumber: Data primer (diolah)

Berdasarkan Tabel 22 diketahui bahwa besaran risiko produktivitas yang dihadapi petani mitra lebih kecil dari risiko yang dihadapi petani non mitra. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien variasi petani mitra sebesar 0.11. Nilai tersebut lebih rendah dari nilai koefisien petani non mitra sebesar 0.14. Nilai koefisien variasi produktivitas petani mitra menunjukkan setiap kilogram produktivitas yang diharapkan maka risiko produktivitas yang dihadapi sebesar 0.11 kg/ha yang lebih rendah dari petani non mitra sebesar 0.14 kg/ha. Rendahnya risiko produktivitas petani mitra diduga disebabkan petani yang bermitra dengan PT. Gudang Garam, Tbk memperoleh bantuan modal sebesar Rp 5 000 000, sehingga petani mitra lebih berani dalam mengalokasikan input produksi daripada petani non mitra. Selain itu jika dilihat dari penggunaan input produksi, penggunaan input produksi petani mitra juga rendah sesuai dengan rekomendasi begitupula dengan petani non mitra, namun yang membedakan adalah penggunaan bibit pupuk, urea dan NPK lebih intensif pada petani mitra sehingga berimplikasi terhadap risiko petani mitra menjadi lebih rendah.

Penentuan fungsi risiko produksi yang digunakan dalam penelitian ini didasarkan pada nilai varians produksi yang diperoleh dari hasil pendugaan persamaan produksi dan varians dengan menggunakan model Just and Pope

56

(persamaan 3.9). Dimana model Just and Pope dapat mengakomodasi adanya risiko dalam produksi. Untuk membandingkan risiko produksi antara petani mitra dan non mitra dilakukan analisis secara parsial masing-masing pada fungsi produksi dan fungsi risiko untuk petani mitra dan non mitra. Adapun variabel yang digunakan dalam menduga fungsi produksi dan risiko untuk petani mitra dan non mitra adalah digunakan variabel yang sama yaitu; bibit tembakau, luas lahan garapan, pupuk NPK, pupuk TSP, pupuk Urea, pestisida dan tenaga kerja. Perbandingan akan dilakukan dengan melihat faktor apa saja yang mempengaruhi produksi dan risiko usahatani tembakau antara petani mitra dengan non mitra.

Berdasarkan Tabel 23 diketahui hasil pendugaan persamaan produksi tembakau gabungan menunjukkan nilai koefisien determinasi (R2) sebesar 98.18 persen, sedangkan pada persamaan fungsi risiko menunjukkan nilai koefisien determinasi sebesar 10.02 persen. Nilai koefisien determinasi fungsi risiko tersebut tergolong relatif kecil. Beberapa hasil penelitian yang menganalisis risiko memberikan koefisien determinasi yang sangat kecil hal ini dikarenakan analisis risiko melalui beberapa tahap estimasi sehingga diperoleh fungsi risiko (Walter et al., 2004). Meskipun nilai koefisien determinasi relatif kecil, namun demikian model tersebut sudah cukup baik menjelaskan pengaruh penggunaan input terhadap produksi dan risiko produksi terutama dalam hal tanda (sign).

Hasil estimasi persamaan fungsi produksi menunjukkan bahwa semua parameter dugaan memiliki tanda positif kecuali untuk variabel pupuk Urea dan pupuk TSP yang menunjukkan tanda yang negatif. Adapun variabel yang berpengaruh positif dan nyata pada taraf kurang dari 5 persen yaitu luas lahan, pupuk NPK dan dummy kemitraan. Adanya peningkatan luas lahan dan kemitraan tembakau dapat meningkatkan produksi tembakau yang dihasilkan. Hal ini sesuai dengan penelitian Fauziyah (2010) yang menyatakan bahwa luas lahan dan kemitraan tembakau mampu meningkatkan produksi tembakau. Selain itu, pupuk NPK juga mampu meningkatkan produksi tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Halil (2013) yang menunjukkan bahwa pupuk NPK mampu meningkatkan produksi tembakau.

Hasil pendugaan fungsi produksi petani mitra menunjukkan bahwa variabel yang berpengaruh secara nyata pada taraf 1 persen terhadap produksi adalah luas lahan. Parameter dugaan variabel lahan petani mitra sebesar 1.01. Hasil ini menunjukkan bahwa produksi tembakau petani mitra responsif terhadap luas lahan dimana jika dilakukan penambahan luas lahan tembakau maka akan meningkatkan produksi tembakau mitra. Selain itu, pupuk urea yang digunakan oleh petani mitra berpengaruh negatif terhadap produksi tembakau. Hal ini dikarenakan penggunaan pupuk urea untuk petani mitra sebesar 211 kg/ha sudah melebihi anjuran sebesar 200 kg/ha, sehingga penambahan pupuk urea akan menurunkan produksi. Pestisida yang digunakan petani mitra memiliki pengaruh positif terhadap produksi tembakau yang mengindikasikan peningkatan penggunaan pestisida oleh petani mitra mampu meningkatkan produksi tembakau. Sedangkan pada petani non mitra, variabel yang berpengaruh terhadap produksi adalah luas lahan. Adapun fungsi produksi dan risiko produksi tembakau di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Tabel 23.

Koefisien Std. error Prob > │t│ Koefisien Std. error Prob > │t│ Koefisien Std. error Prob > │t│ Fungsi produksi Konstanta 6.341* 1.011 0.000 6.707* 1.454 0.000 6.327* 1.424 0.000 Bibit (ln) 0.031 0.091 0.734 0.057 0.141 0.689 0.010 0.140 0.944 Lahan tembakau (ln) 0.944* 0.116 0.000 1.014* 0.167 0.000 0.930* 0.167 0.000 Dummy kemitraan 0.075* 0.022 0.001 - - - - Pupuk NPK (ln) 0.005* 0.003 0.045 0.003 0.005 0.510 0.005 0.005 0.339 Pupuk TSP (ln) -0.001 0.041 0.979 0.039 0.069 0.576 -0.031 0.063 0.622 Pupuk Urea (ln) -0.016 0.063 0.803 -0.152* 0.097 0.122 0.051 0.096 0.594 Pestisida (ln) 0.050 0.038 0.200 0.060* 0.040 0.138 0.048 0.128 0.708 Tenaga kerja (ln) 0.032 0.033 0.332 0.013 0.033 0.690 0.035 0.050 0.485 R2 0.982 0.986 0.977 Adjusted R2 0.981 0.984 0.974 Fungsi risiko Konstanta -1.792 1.350 0.187 0.540 1.307 0.681 -0.221* 0.136 0.110 Bibit (ln) 0.145 0.122 0.237 -0.042 0.126 0.617 0.026* 0.013 0.056 Dummy kemitraan -0.054* 0.029 0.065 - - - - Lahan tembakau (ln) -0.136 0.155 0.382 0.065 0.151 0.669 -0.015 0.016 0.353 Pupuk NPK (ln) -0.003 0.004 0.364 -0.019* 0.004 0.000 0.002 0.001 0.671 Pupuk TSP (ln) 0.030 0.055 0.589 0.065 0.061 0.292 0.005 0.006 0.425 Pupuk Urea (ln) -0.001 0.084 0.987 -0.065 0.085 0.449 0.002 0.009 0.839 Pestisida (ln) -0.002 0.051 0.958 0.010 0.036 0.789 -0.018* 0.012 0.148 Tenaga kerja (ln) 0.108* 0.044 0.016 0.042* 0.029 0.148 0.016* 0.005 0.002 R2 0.191 0.384 0,360 Adjusted R2 0.132 0.301 0,273

58

Hasil estimasi fungsi risiko produksi tembakau menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang berpengaruh terhadap risiko produksi tembakau yaitu parameter dummy kemitraan yang bertanda negatif dan luas lahan tembakau yang bertanda positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa dummy kemitraan merupakan faktor yang dapat mengurangi risiko produksi tembakau (risk reducing factors). Hal ini mendukung penelitian Fauziyah (2010) yang menyatakan bahwa kemitraan yang dilakukan pada berbagai kondisi agrosistem mampu mengurangi risiko produksi tembakau. Adanya kemitraan dengan PT. Gudang Garam, Tbk. dapat menurunkan risiko produksi tembakau dikarenakan petani yang bermitra memperoleh bantuan kredit yang berimplikasi terhadap penggunaan input petani mitra yang relatif lebih banyak dibandingkan dengan petani non mitra. Sedangkan untuk faktor tenaga kerja berpengaruh positif terhadap risiko produksi yang berarti faktor tersebut merupakan faktor yang meningkatkan risiko produksi (risk increasing factors). Hal ini sesuai dengan penelitian Hutabarat (1985); Fariyanti (2008) dan Villano et al (2005) yang menyatakan bahwa pada musim kemarau, tenaga kerja sebagai faktor produksi yang menimbulkan risiko produksi.

Hasil pendugaan persamaan fungsi risiko petani mitra dan non mitra sesuai dengan Tabel 23. Dapat diketahui bahwa pada fungsi risiko petani mitra terdapat variabel NPK dan tenaga kerja yang berpengaruh nyata terhadap risiko produksi, dimana tenaga kerja yang dimasukkan ke dalam model adalah tenaga kerja luar keluarga. Variabel pupuk NPK berpengaruh negatif pada taraf 1 persen yang menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan pupuk NPK pada petani mitra akan mampu menurunkan risiko produksi. Ini dikarenakan penggunaan pupuk NPK pada petani mitra sudah sesuai dengan anjuran sehingga memberikan pengaruh negatif terhadap risiko produksi. Hal ini sesuai dengan penelitian Fauziyah (2010) yang menunjukkan penggunaan pupuk NPK akan menurunkan risiko produksi tembakau. Sedangkan variabel tenaga kerja luar keluarga memberikan pengaruh positif terhadap risiko produksi. Hal ini dikarenakan tenaga kerja luar keluarga lebih di dominasi oleh buruh tani yang biasanya melakukan usahatani padi sehingga kurangnya pengaruh tenaga kerja luar keluarga mengakibatkan peningkatan risiko produksi, dimana sesuai dengan penelitian Fariyanti (2008) yang menyatakan tenaga kerja dapat meningkatkan risiko produksi.

Hasil pendugaan fungsi risiko produksi pada petani non mitra dapat terlihat bahwa terdapat tiga variabel yang berpengaruh terhadap risiko produksi yaitu variabel bibit, pestisida dan tenaga kerja. Variabel bibit pada fungsi risiko petani non mitra berpengaruh positif pada taraf 15 persen. Hal ini menunjukkan bahwa peningkatan penggunaan bibit akan meningkatkan risiko produksi tembakau. Pernyataan ini didukung penelitian Rahayu (2011) yang menunjukkan bahwa bibit dapat berpengaruh positif terhadap risiko produksi dikarenakan banyaknya petani yang melakukan pembibitan sendiri. Selain itu, peningkatan jumlah bibit yang digunakan akan berpengaruh terhadap jarak tanam, dimana jika terjadi peningkatan jumlah bibit akan menyebabkan jarak tanam akan semakin kecil sehingga akan menyebabkan peningkatan risiko produksi. Begitupula dengan variabel tenaga kerja, dimana tenaga kerja yang dibutuhkan pada usahatani tembakau juga harus disesuaikan dengan kebutuhan, dimana jika terjadi peningkatan tenaga kerja yang melebihi kebutuhan akan menyebabkan peningkatan risiko. Penelitian Hutabarat (1985) dan Fariyanti (2008) menunjukkan bahwa tenaga kerja dapat menjadi faktor produksi yang menimbulkan risiko pada musim kemarau. Adapun pengaruh pestisida pada

fungsi risiko petani non mitra memiliki tanda negatif yang berarti peningkatan jumlah pestisida yang digunakan akan menurunkan risiko. Hal ini sesuai dengan penelitian Just & Pope (1979) dan Fariyanti (2008) menunjukkan bahwa obat- obatan merupakan faktor pengurang risiko produksi. Selain itu, penggunaan pestisida pada kelompok petani non mitra relatif masih sedikit sehingga peningkatan alokasi pestisida masih dapat menurunkan risiko produksi.

Risiko Harga Tembakau Petani Mitra dan Non Mitra di Kabupaten Bojonegoro

Selain risiko produksi, petani tembakau di kabupaten bojonegoro juga dihadapkan dengan adanya risiko harga dari produk yang dihasilkan. Risiko harga ditunjukkan dengan adanya fluktuasi harga tembakau yang diterima oleh petani. Analisis risiko harga tidak dilakukan seperti analisis risiko produksi. Hal ini dikarenakan data yang tidak memadai sehingga tidak memungkinkan untuk dianalisis seperti analisis risiko produksi. Data yang tidak memadai meliputi variabel-variabel yang mempengaruhi risiko harga, sementara petani merupakan price taker. Adapun fluktuasi harga menunjukkan adanya harga tertinggi, terendah, dan harga normal yang pernah diterima oleh petani selama mengusahatanikan tembakau. Harga tertinggi yang diterima petani merupakan harga yang paling tinggi yang pernah diterima oleh petani selama mengusahatanikan dan menjual hasil produksi tembakaunya. Sedangkan yang dimaksud dengan harga terendah adalah harga yang paling rendah yang pernah diterima oleh petani ketika menjual hasil produksinya. Adapun harga normal merupakan harga yang sering diterima oleh petani tembakau ketika mengusahatanikan dan menjual hasil produksinya.

Petani tembakau sebagian melakukan penjualan hasil panen tembakau kepada pedagang pengumpul dan sebagian menjual kepada pihak mitra (PT. Gudang Garam, Tbk). Petani yang menjual kepada pedagang pengumpul mayoritas adalah petani yang tidak bermitra dengan PT. Gudang Garam, Tbk. Dalam kaitannya dengan harga tembakau, menunjukkan bahwa harga yang diterima oleh petani mitra relatif lebih tinggi jika dibandingkan dengan petani non mitra yang menjual kepada pedagang pengumpul. Harga tembakau relatif berfluktuasi, hal ini dikarenakan harga tembakau ditentukkan oleh kondisi cuaca, serta kualitas dari tembakau itu sendiri.

Guna melihat perbedaan risiko yang harga yang dihadapi antara petani mitra dan non mitra terlebih dahulu akan dilihat mengenai harga tertinggi yang diterima, harga terendah yang diterima dan harga normal yang diterima berdasarkan formulasi pada persamaan 3.13. Petani mitra menjual hasil produksi langsung kepada perusahan mitra yaitu PT. Gudang Garam, Tbk. Sedangkan petani non mitra menjual hasil produksinya kepada pedagang pengumpul yang kemudian oleh pedagang pengumpul dijual ke perusahaan rokok. Berdasarkan hal tersebut terdapat indikasi perbedaan harga yang diterima antara petani mitra dan non mitra. Tabel 23 menunjukkan bahwa jika dilakukan perhitungan risiko harga secara keseluruhan antara petani mitra dan non mitra diketahui harga gabungan antara petani mitra dan non mitra, harga tertinggi yang diterima dalam mengusahatikan tembakau adalah sebesar Rp 35 000, dan harga terendah yang diterima sebesar Rp 20 000 dan harga normal yang diterima sebesar Rp 28 508. Adapun rata-rata harga tembakau yang diterima oleh petani mitra dan non mitra dapat dilihat pada Tabel 24.

60

Tabel 24. Rata-rata harga tembakau dan peluang yang diperoleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Uraian

Gabungan Mitra Non mitra

Rata-rata Std. Deviasi Rata-rata Std. Deviasi Rata-rata Std. Deviasi Harga terendah (Rp/kg) 20 000 1 434 24 000 1 692 20 000 955 Harga normal (Rp/kg) 28 508 1 301 30 000 1 904 27 322 1 253 Harga tertinggi (Rp/kg) 35 000 1 169 35 000 1 706 33 500 1 207 Peluang rendah 0.47 - 0.40 - 0.27 - Peluang normal 0.36 - 0.33 - 0.35 - Peluang tinggi 0.17 - 0.27 - 0.38 - Ekspektasi harga (Rp/kg) 29 434 4 974 30 400 4 409 27 663 5 376

Sumber: Data primer (diolah)

Melihat Tabel 24 juga dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan harga antara petani mitra dan non mitra. Harga tertinggi yang diterima oleh petani mitra sebesar Rp 35 000 sedangkan harga terendah yang diterima sebesar Rp 24 000 dan harga normal sebesar Rp 30 000 untuk masing-masing 1 kg tembakau virginia dalam bentuk rajang. Jika dibandingkan dengan petani non mitra, harga yang diterima mitra jauh lebih tinggi dimana harga tertinggi yang diterima petani non mitra sebesar Rp 33 500, harga terendah sebesar Rp 20 000, dan harga normal sebesar Rp 27 322 untuk masing-masing 1 kg tembakau virginia rajang. Hal ini mengindikasikan bahwa pada kelompok petani mitra dan non mitra terdapat perbedaan harga yang diterima yang berkisar antara Rp 1 500 sampai Rp 4 000. Perbedaan harga tersebut akan berdampak terhadap pendapatan petani. Berdasarkan rata-rata harga tertinggi, terendah dan normal diketahui bahwa harga ekspektasi petani mitra sebesar Rp 30 400 sedangkan untuk petani non mitra sebesar Rp 27 663. Oleh karena itu, adanya kemitraan mampu memberikan jaminan harga kepada petani sehingga harga yang diterima oleh petani mitra jauh lebih tinggi. Jika dilihat dari nilai peluang petani memperoleh harga tertinggi, terendah dan normal, petani mitra lebih berpeluang memperoleh harga yang rendah sedangkan petani non mitra lebih berpeluang memperoleh harga normal. Namun demikian harga terendah yang diterima oleh petani mitra hampir sama dengan harga normal petani non mitra. Hal ini mengindikasikan adanya perbedaan yang signifikan antara petani mitra dan non mitra.

Beberapa ukuran risiko yang dapat digunakan dalam mengukur tingkat risiko harga adalah nilai varians, standar deviasi dan koefisien variasi (persamaan 3.15). Namun demikian penentuan nilai varians pada risiko harga berbeda dengan risiko produksi dimana penentuan nilai varians pada risiko harga dihitung secara manual berdasarkan pada nilai harga tertinggi, harga terendah, dan harga normal dengan ekspektasi harga yang dikalikan dengan masing-masing peluang harga seperti perhitungan pada Tabel 24. Adapun besaran risiko harga yang dihadapi oleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro dapat dilihat pada Tabel 25.

Tabel 25. Risiko harga tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Ukuran Gabungan Petani mitra Petani non mitra

Variance (Rp/kg2) 24 744 118 19 440 000 28 897 118

Std. Deviation (Rp/kg) 4 974 4 409 5 375

Coefficient variation 0.169 0.145 0.194

Berdasarkan Tabel 25 Harga tertinggi yang pernah diterima oleh petani tembakau adalah Rp 35 000/kg untuk tembakau rajang. Harga terendah yang pernah diterima oleh petani adalah sebesar Rp 20 000/kg untuk tembakau rajang. dan harga normal yang sering diterima petani adalah pada kisaran Rp 28 508/kg untuk tembakau rajang. Pengukuran risiko harga pada penelitian ini menggunakan ukuran koefisien variasi yang diukur dari rasio standar deviasi dengan harga yang diharapkan atau ekspektasi harga. Nilai koefisien variasi adalah sebesar 0.191. Nilai tersebut menunjukkan setiap Rp. 1 harga yang diterima terdapat risiko sebesar 0.191. Hal ini menunjukkan bahwa risiko harga yang dihadapi oleh petani tembakau masih lebih kecil dibandingkan harga atau penerimaan yang diperoleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro.

Tabel 25 juga menjelaskan bahwa risiko harga yang dihadapi petani mitra lebih kecil jika dibandingkan dengan petani non mitra. Hal ini ditunjukkan oleh nilai koefisien variasi petani mitra sebesar 0.145. Nilai tersebut lebih rendah dari nilai koefisien variasi untuk petani non mitra sebesar 0.194. Nilai koefisien variasi petani mitra menunjukkan setiap rupiah harga yang diharapkan maka risiko harga yang dihadapi sebesar Rp 0.145 yang lebih rendah dari risiko petani non mitra sebesar Rp 0.194. Rendahnya risiko harga petani mitra dikarenakan petani yang bermitra dengan PT. Gudang Garam, Tbk memiliki jaminan harga dari perusahaan sehingga meskipun terjadi fluktuasi harga petani mitra menerima harga yang relatif stabil. Sedangkan petani non mitra tidak mendapatkan jaminan harga dari pembeli (pedagang pengumpul) sehingga harga yang diterima oleh petani non mitra cenderung bervariasi dan lebih rendah. Selain itu, perbedaan harga juga disebabkan oleh adanya petani mitra yang memperoleh harga sesuai dengan kontrak dimana petani mitra dapat mendapat harga terendah sebesar Rp 24 000. Adapun harga yang diterima oleh petani mitra sangat tergantung pada kualitas yang dihasilkan seperti disebutkan pada Bab 4 (terdapat 4 grade) dimana petani mitra dapat memperoleh harga tertinggi sebesar Rp 35 000 jika memiliki kualitas grade A namun petani dapat pula memperoleh harga terendah sebesar Rp 24 000 jika menghasilkan kualitas grade D (syarat kualitas terdapat pada lampiran 10).

Sedangkan pada petani non mitra yang sebagian besar menjual tembakau yang dihasilkan kepada tengkulak atau bandol cenderung memperoleh harga yang relatif lebih rendah jika dibandingkan petani mitra dimana petani yang menjual tembakau kepada tengkulak memperoleh harga tertinggi sebesar Rp 33 000 dan harga terendah sebesar Rp 20 000 dimana harga tersebut ditentukkan oleh tengkulak tanpa dilihat dari atau kualitas seperti ketika dijual kepada perusahaan rokok. Jika petani menjual pada bandol harga tertinggi yang diterima adalah Rp 33 500 dan harga yang terendah adalah Rp 21 000.

Preferensi Risiko Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro

Keseharian petani selalu dihadapkan pada kejadian-kejadian yang menyangkut risiko, baik risiko produksi atau risiko harga produk. Petani dalam menjalankan usahataninya dipengaruhi oleh faktor internal yang dapat dikontrolnya, namun juga dihadapkan pada faktor eksternal yang diluar kendalinya. Kesediaan petani produsen untuk mengambil risiko atau menghindari risiko, pada dasarnya akan tergantung pada pembawaan fisiko dan utilitas yang diterima petani dari output yang dihasilkan (Semaoen, 1992).

62

Preferensi Petani Tembakau terhadap Risiko Produksi di Kabupaten Bojonegoro

Kesediaan petani untuk mengambil risiko atau menghindari risiko produksi, pada dasarnya akan tergantung pada pembawaan fisik dan utilitas yang diterima petani dari output yang dihasilkan. Setelah diketahui fungsi risiko produksi yang dihadapi oleh dua kelompok petani baik kelompok petani mitra maupun non mitra, maka perlu untuk mengetahui perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi. Estimasi terhadap nilai preferensi risiko tersebut digunakan perhitungan nilai AR (Absolute Risk Averse) yang telah diformulasikan

Dokumen terkait