• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Kemitraan Terhadap Risiko Usahatani Tembakau Di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Kemitraan Terhadap Risiko Usahatani Tembakau Di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur."

Copied!
105
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP RISIKO USAHATANI

TEMBAKAU DI KABUPATEN BOJONEGORO PROVINSI

JAWA TIMUR

AHMAD FANANI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis berjudul Pengaruh Kemitraan Terhadap Risiko Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Desember 2015

Ahmad Fanani

(4)
(5)

AHMAD FANANI. Pengaruh Kemitraan Terhadap Risiko Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur. (LUKYTAWATI ANGGRAENI sebagai Ketua, YUSMAN SYAUKAT sebagai Anggota Komisi Pembimbing).

Salah satu daerah penghasil tembakau di Jawa Timur yang paling tinggi produktivitasnya adalah Kabupaten Bojonegoro, namun produksi tembakau di Kabupaten Bojonegoro cenderung fluktuatif setiap musim. Adanya fluktuasi produksi tersebut menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi dalam usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Selain permasalahan produksi, petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro juga dihadapkan pada kondisi harga yang tidak menentu setiap musimnya. Harga tembakau tinggi pada saat musim kemarau dan harga tembakau turun ketika musim hujan. Musim yang tidak menentu menyebabkan fluktuasi harga tembakau di pasaran. Guna mengurangi risiko, baik risiko harga maupun risiko produksi petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro sebagian besar petani melakukan kemitraan dengan perusahaan rokok seperti PT. Gudang Garam, Tbk.

Tujuan penelitian ini adalah untuk: (1) Menganalisis dan membandingkan fungsi risiko produksi usahatani tembakau petani mitra dan non mitra di Kabupaten Bojonegoro (2) Menganalisis dan membandingkan risiko harga tembakau petani mitra dan non mitra di Kabupaten Bojonegoro (3) Menganalisis preferensi risiko produksi dan harga tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Bojonegoro khususnya di Kecamatan Kepohbaru, dan Kecamatan Baureno. Data yang digunakan adalah data cross section yang bersumber dari hasil wawancara dengan 120 petani tembakau yang terdiri dari 60 petani mitra dan 60 petani non mitra. Model Just and Pope digunakan untuk menganalisis fungsi risiko produksi usahatani tembakau, perhitungan Ekspektasi Harga digunakan untuk menganalisis risiko harga usahatani tembakau dan model Fungsi Utilitas Kuadratik digunakan untuk menganalisis preferensi risiko usahatani tembakau.

Hasil analisis menunjukkan bahwa terdapat dua variabel yang berpengaruh terhadap risiko produksi tembakau yaitu parameter dummy kemitraan yang bertanda negatif dan luas lahan tembakau yang bertanda positif. Hal tersebut menunjukkan bahwa dummy kemitraan merupakan faktor yang dapat mengurangi risiko produksi tembakau (risk reducing factors). Faktor penentu risiko produksi petani mitra adalah pupuk TSP yang mengurangi risiko dan pupuk Urea yang meningkatkan risiko produksi tembakau. Variabel yang mempengaruhi risiko petani non mitra adalah jumlah bibit yang meningkatkan risiko produksi, pestisida yang bersifat mengurangi risiko produksi dan tenaga kerja yang digunakan memiliki pengaruh positif terhadap risiko produksi.

(6)

Gudang Garam, Tbk memiliki jaminan harga dari perusahaan sehingga petani mitra menerima harga yang relatif stabil.

Preferensi risiko petani tembakau menunjukkan bahwa petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro berperilaku Risk Taker atau berani mengambil risiko terhadap risiko produksi dan harga. Petani akan mengimbangi dengan menurunkan keuntungan atau pendapatan yang diharapkan jika terjadi kenaikan ragam produksi. Petani bersifat Risk Taker dikarenakan usahatani tembakau sangat riskan terhadap adanya ketidakpastian produksi dan harga.

(7)

AHMAD FANANI. The Effect of Partnership on The Risk of Tobacco Farming in Bojonegoro District, East Java Province. (LUKYTAWATI ANGGRAENI as leader, YUSMAN SYAUKAT as a member of the supervising commission).

Bojonegoro district is one of center of tobacco production in East Java with fluctuative by season. Production fluctuation indicates that there is risk in the production of tobacco farming in Bojonegoro. In addition to production problems tobacco farmers in Bojonegoro is also facing the uncertain price each season. Tobacco prices high during the dry season and tobacco prices fell during the rainy season. Season uncertain cause tobacco prices fluctuate. Farmers mitigate these risks by conducting partnership with PT. Gudang Garam, Tbk.

The objectives of this study were (1) to analyze the production risk of tobacco farmers (partnership farmers and non partnership farmers) and the effect of partnership on the risks of tobacco farming in Bojonegoro district; (2) to analyze the price risk of tobacco farmers; (3) to analyze the risk preferences of production and the price of tobacco in Bojonegoro district. The multy stage purposive sampling technique was used to select Bojonegoro Regency included two sub districts (Kepohbaru and Baureno). The data used in this study was cross section data. The respondents were 120 growers of tobacco consist of 60 partnership farmers and 60 non partnership farmers. Just and Pope model used to analyze the production risk. The coefficient variation was used to analyze the price risk and Utility Functions Quadratic model were used to analyze the risk preferences of tobacco farming.

The results showed that the dummy of partnership and land area had statistically an significant effect on the risk of tobacco production (reducing risk factors). The determining factors on the production risk of partenrship farmer were the TSP fertilizer that reduces risk and the Urea fertilizers which increase the risk of tobacco production. Variables that influence the production risk of non-partnership farmers were the number of seeds, pesticide, and labor. The number of seeds that increase the risk of production, pesticide that was reducing the risk of production and labor used to have a positive influence on the risk of production.

Price risk that faced by partenership farmers was smaller than non partnership farmers. This is shown by the value of the coefficient variation for partnership farmers (0145) lower than non-partnership farmers (0194). The price risk of partnership farmers was low since farmers have a guaranteed price from the company (PT. Gudang Garam Tbk.).

Based on the values of the risk preferences, we found that most tobacco farmers in Bojonegoro District are risk taker against the risk of production and prices. Farmers will adjust by decreasing their expected profit or income when there is an increasing production varians. Farmers are risk taker because tobacco farming is too risky towards a production and price uncertainty.

(8)

© Hak Cipta Milik Institut Pertanian Bogor, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(9)

PENGARUH KEMITRAAN TERHADAP RISIKO USAHATANI

TEMBAKAU DI KABUPATEN BOJONEGORO PROVINSI

JAWA TIMUR

AHMAD FANANI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(10)

Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis: Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, M.S.

(11)
(12)
(13)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-NYA sehingga tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah mengenai usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro, dengan judul Pengaruh Kemitraan Terhadap Risiko Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro Provinsi Jawa Timur.

Penulis menyadari bahwa tesis ini dapat diselesaikan dengan baik karena bimbingan, arahan, curahan ilmu, masukan, dan dorongan dari komisi pembimbing dan bantuan serta masukan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini, penulis menghaturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Dr. Lukytawati Anggraeni, S.P., M.Si., selaku ketua komisi pembimbing, dan Dr. Ir. Yusman Syaukat, M.Ec., selaku anggota komisi pembimbing yang selalu meluangkan waktunya untuk memberikan koreksi dan masukan serta sebagai sumber inspirasi bagi penulis dalam penyusunan tesis.

2. Dr. Ir. Ratna Winandi Asmarantaka, M.S., selaku penguji Luar Komisi dan Dr. Meti Ekayani, S.Hut., M.Sc., selaku penguji Wakil Komisi Program Studi atas semua pertanyaan, masukan dan saran untuk perbaikan yang diberikan kepada penulis.

3. Prof. Dr. Ir. Sri Hartoyo, M.S., selaku ketua Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis menempuh pendidikan.

4. Seluruh dosen Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian atas segala ilmu yang telah diberikan selama masa perkuliahan.

5. Dirjen Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia atas kesempatan dan dukungan beasiswa BPPDN pendidikan Program Magister di IPB.

6. Dr. Ellys Fauziyah, S.P., M.Si., selaku dosen penguji skripsi yang telah memberikan dukungan serta arahan untuk melanjutkan pendidikan Magister di IPB.

7. Rektor Universitas Trunojoyo Madura dan Dekan Fakultas Pertanian Universitas Trunojoyo Madura serta Ketua Program Studi Agribisnis Universitas Trunojoyo Madura atas kesempatan untuk menjadi calon dosen di Universitas Trunojoyo Madura.

8. Om Johan, Teh Ina, Mas Widi, Buk Kokom, Om Erwin, Om Khusein, selaku staf administrasi di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian, yang telah banyak membantu selama penulis menempuh pendidikan.

9. Seluruh anggota keluarga penulis, khususnya Ibu tercinta Djuyatmi dan ayahnda tercinta Sutarman terima kasih atas doa dan dorongan moril serta semangat yang diberikan selama studi. Terima kasih juga kepada Kakak-kakakku Siti Mualimah, S.Pd, Moh. Imron Roshadi, Inda Mayasari, Siti Puji Astutik, S.Pd., Moh. Zaenuri, S.Kom, yang telah memberikan semangat dan dorongan selama kuliah.

(14)

11. Teman-teman di Program Studi Ilmu Ekonomi Pertanian Angkatan 2013 yang telah berbagi ilmu, berdiskusi dan belajar bersama selama mengikuti kuliah.

12. Semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu yang telah membantu terlaksananya penelitian dan penyusuan tesis ini.

Bogor, Desember 2015

(15)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiv

DAFTAR LAMPIRAN xiv

1 PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 4

Tujuan Penelitian 8

Manfaat Penelitian 8

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian 8

2 TINJAUAN PUSTAKA 10

Kerangka Teori 10

Konsep Risiko dan Preferensi Risiko 10

Risiko Produksi dan Risiko Harga Produk 13

Konsep Kemitraan Tembakau 14

Tinjauan Penelitian Terdahulu 17

Penelitian Tentang Risiko Usahatani 17

Penelitian Tentang Kemitraan Tembakau 19

Kerangka Konseptual 20

Hipotesis Penelitian 21

3. METODE PENELITIAN 22

Tempat dan Waktu Penelitian 22

Metode Pemilihan Contoh Responden 22

Jenis dan Sumber Data 22

Metode Pengumpulan Data 22

Metode Analisis Data 23

Analisis Risiko Produksi Tembakau 23

Analisis Fungsi Produksi dan Fungsi Risiko Produksi Tembakau 24

Analisis Risiko Harga Tembakau 26

Analisis Preferensi Risiko Usahatani Tembakau di Kabupaten

Bojonegoro 28

Analisis Preferensi Risiko Produksi Usahatani Tembakau di

Kabupaten Bojonegoro 28

Analisis Preferensi Risiko Harga Usahatani Tembakau di

Kabupaten Bojonegoro 33

4. GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 35

Keadaan Geografis 35

Jumlah Penduduk dan Mata Pencaharian 35

Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro 37 Karakteristik Petani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro 38

(16)

Keragaan Kemitraan Tembakau 42 Hak dan Kewajiban Petani Mitra Dengan PT. Gudang Garam, Tbk 43 Paduan Budidaya Usahatani Tembakau Virginia di Kabupaten

Bojonegoro 47

Produksi dan Penggunaan Input Usahatani Tembakau di

Kabupaten Bojonegoro 49

Analisis Pendapatan Usahatani Tembakau Petani Mitra dan

Non Mitra 50

5. HASIL DAN PEMBAHASAN 54

Risiko Produksi Usahatani Tembakau Petani Mitra dan

Non Mitra di Kabupaten Bojonegoro 54

Risiko Harga Tembakau Petani Mitra dan Non Mitra di

Kabupaten Bojonegoro 59

Preferensi Risiko Usahatani Tembakau di Kabupaten Bojonegoro 61 Preferensi Petani Tembakau Terhadap Risiko Produksi di Kabupaten

Bojonegoro 62

Perilaku Petani Tembakau Terhadap Risiko Harga di Kabupaten

Bojonegoro 63

6. KESIMPULAN DAN SARAN 66

Kesimpulan 66

Saran Kebijakan 66

Saran Penelitian Lanjutan 67

DAFTAR PUSTAKA 68

LAMPIRAN 72

(17)

DAFTAR TABEL

1 Perkembangan produksi perkebunan menurut provinsi dan

jenis tanaman (ribu ton) 2

2 Perkembangan produksi tembakau tiap Kabupaten di Jawa Timur 3 3 Produksi konsumsi dan perdagangan tembakau di Indonesia (Ton) 5 4 Jumlah rumah tangga, jumlah penduduk dan kepadatan

penduduk di Kabupaten Bojonegoro 2011 36

5 Mata pencaharian penduduk di Kabupaten Bojonegoro

tahun 2009-2011 37

6 Produksi, luas lahan dan produktivitas tembakau di

Kabupaten Bojonegoro tahun 2009-2013 37

7 Produksi tembakau virginia Kabupaten Bojonegoro tahun 2013 38 8 Keragaman umur petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro 39 9 Distribusi pendidikan petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro 39 10 Keragaman pengalaman petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro 40 11 Luas lahan petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro 40 12 Status kepemilikan lahan tembakau di Kabupaten Bojonegoro 41 13 Status usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro 41 14 Prosedur menjadi mitra PT. Gudang Garam, Tbk 45

15 Kewajiban perusahaan dan petani mitra 46

16 Hak perusahaan dan petani mitra 46

17 Penggunaan input usahatani tembakau di Kabupaten

Bojonegoro 49

18 Analisis pendapatan usahatani tembakau di Kabupaten

Bojonegoro (Rp/ha) 51

19 Uji beda untuk pendapatan usahatani tembakau 52 20 Kualitas dan harga tembakau di Kabupaten Bojonegoro 52 21 Rata-rata produktivitas tembakau dan peluang yang

diperoleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro 54 22 Besaran risiko produktivitas tembakau di Kabupaten Bojonegoro 55 23 Fungsi produksi dan risiko produksi tembakau di

Kabupaten Bojonegoro 57

24 Rata-rata harga tembakau dan peluang yang diperoleh petani

tembakau di Kabupaten Bojonegoro 60

25 Risiko harga tembakau di Kabupaten Bojonegoro 60 26 Preferensi petani tembakau terhadap risiko produksi di

Kabupaten Bojonegoro 62

27 Preferensi petani tembakau terhadap risiko harga di

(18)

DAFTAR GAMBAR

1 Perkembangan harga komoditas tembakau Kabupaten Bojonegoro

tahun 2008-2013 4

2 Fungsi utilitas 11

3 Kurva indiferen menghubungkan varians dengan pendapatan

yang diharapkan 12

4 Kerangka konseptual 21

DAFTAR LAMPIRAN

1 Hasil estimasi fungsi produksi petani tembakau (gabungan) 73 2 Hasil estimasi fungsi risiko produksi petani tembakau (gabungan) 73 3 Hasil estimasi fungsi produksi petani mitra 74 4 Hasil estimasi fungsi risiko produksi petani mitra 74 5 Hasil estimasi fungsi produksi petani non mitra 75 6 Hasil estimasi fungsi risiko produksi petani non mitra 75 7 Nilai AR preferensi risiko produksi petani gabungan 76 8 Nilai AR preferensi risiko produksi petani mitra 79 9 Nilai AR preferensi risiko produksi petani non mitra 81 10 Nilai AR preferensi risiko harga petani gabungan 83 11 Nilai AR preferensi risiko harga petani mitra 84 12 Nilai AR preferensi risiko harga petani non mitra 85 13 Grade dan kualitas tembakau virginia rajangan di Kabupaten

(19)

Latar Belakang

Indonesia merupakan negara agraris, yang kaya akan sumberdaya alam. Salah satunya adalah sumberdaya dalam sektor pertanian dimana sektor pertanian merupakan sektor penunjang pertumbuhan perekonomian di Indonesia. Pertanian merupakan sektor yang terpenting dalam perekonomian di Indonesia. Sektor pertanian sendiri di dalamnya terdapat beberapa sub sektor, yaitu tanaman pangan, tanaman perkebunan, perikanan, kehutanan, dan peternakan. Setiap sektor memiliki kontribusi yang besar terhadap perekonomian di Indonesia, kontribusinya adalah: (1) kontribusi produk (product contribution), (2) kontribusi pasar (market contribution), (3) kontribusi pangan (food contribution), (4) kontribusi tenaga kerja (employment contribution), dan (5) kontribusi devisa (export earning contribution), dimana ditinjau dari kontribusi kontribusi tersebut pertanian dalam penyediaan kebutuhan pangan bagi masyarakat di Indonesia (Saefudin, 2014). Oleh karena itu pertanian di Indonesia memiliki peranan penting dalam kelangsungan ketahanan pangan nasional.

Pembangunan pertanian memiliki peranan penting, dan strategis dalam perekonomian nasional. Peran strategis pertanian tersebut dapat digambarkan melalui kontribusi yang nyata yaitu: pembentukan kapital, penyediaan bahan pangan, bahan baku industri, pakan, dan bioenergi, penyerap tenaga kerja, sumber devisa negara, sumber pendapatan, dan pelestarian lingkungan melalui praktek usahatani yang ramah lingkungan (Kementrian pertanian, 2009).

Salah satu komoditas perkebunan yang memiliki peranan yang penting dalam pembangunan perekonomian di Indonesia adalah tembakau. Tembakau di Indonesia merupakan komoditas ekspor andalan Indonesia. Hal ini terlihat dari luas areal tanam tembakau Indonesia yang semakin meningkat dari tahun 2005-2009, jumlah permintaan tembakau luar negeri yang terus mengalami peningkatan yang tercermin dari kenaikan jumlah ekspor tembakau Indonesia, dimana pada tahun 2009 ekspor tembakau memberikan kontribusi sebesar US $ 140 867, penerimaan dari bea cukai sebesar Rp 52 trilyun dan kegiatan on farm serta off farm komoditas tembakau mampu menyerap tenaga kerja sebesar 28.4 juta jiwa (Fauziyah, 2010).

Perkebunan sebagai salah satu bagian integral dari sektor pertanian yang merupakan sub sektor yang memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional melalui kontribusinya adalah di dalam pendapatan nasional, penerimaan ekspor, dan penyediaan lapangan pekerjaan. Sektor pertanian juga menghadapi tantangan yang semakin besar di masa yang akan datang. Kebutuhan pangan yang semakin meningkat dengan dibarengi beberapa kendala seperti konversi lahan subur yang terus berjalan, perubahan iklim global yang sedang terjadi, teknologi pertanian yang mengalami stagnasi sampai dengan kendala kebijakan pemerintah pada saat ini yang kurang berpihak pada sektor pertanian.

(20)

2

ton dari produksi nasional. Selain itu, dapat terlihat bahwa perkembangan produksi tembakau di Jawa Timur cenderung mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sedangkan produksi tembakau Indonesia cenderung fluktuatif dari tahun ke tahun.

Jawa Timur merupakan provinsi yang memiliki peranan terbesar terhadap pertembakauan di Indonesia. Hal ini terlihat 50 persen tembakau sebagai bahan baku rokok berasal dari Jawa Timur. Di samping itu juga terlihat dari 56.6 persen pabrik rokok berada di Jawa Timur dan memberikan kontribusi cukai rokok yang cukup besar yaitu Rp 900 milyar setiap tahun atau sebesar 75 persen dari besarnya cukai rokok nasional. Budidaya tembakau juga dapat menyerap tenaga kerja sebanyak 27 703 250 orang selama musim panen (Dinas Infokom Jatim, 2009).

Walaupun komoditas tembakau memiliki kontribusi yang cukup besar dalam pembangunan perekonomian wilayah, namun usahatani tembakau menghadapi banyak sekali tantangan atau permasalahan seperti halnya pengaruh cuaca, serangan hama, dan penyakit tanaman menjadikan produktivitas tembakau menjadi rendah (risiko produksi). Penelitian ini akan dilaksanakan di Kabupaten Bojonegoro, hal ini dikarenakan Bojonegoro merupakan salah satu daerah sentra produksi tembakau, petani tembakau di daerah tersebut mengalami beberapa kendala dimana produksi dan luas areal tanam tembakau cenderung fluktuatif. Fluktuasi produksi tembakau tersebut merupakan salah satu indikator yang menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi dalam usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro.

(21)

menunjukkan bahwa terdapat risiko produksi dalam usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Hal ini yang mengantarkan penulis untuk melakukan penelitian mengenai risiko produksi tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Adapun perkembangan produksi tembakau untuk Kabupaten Bojonegoro dapat diketahui pada Tabel 2.

Tabel 2. Perkembangan produksi tembakau tiap Kabupaten di Jawa Timur

Kabupaten Produksi Perkebunan Tembakau (ton)

2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012

Tulungagung 2 192 525 452 408 2 306 703 1 145 2 243

Jember 8 679 7 975 6 220 7 668 7 620 7 235 15 846 31 284

Lumajang 4 996 1 627 1 654 1 680 1 706 812 1 084 1 053

Bojonegoro 9 827 6 962 5 401 7 732 10 427 3 857 15 218 11 216

Pamekasan 12 481 30 818 20 029 17 057 12 270 10 242 16 688 19 236

Tuban 896 1 102 855 878 4 055 525 1 579 2 095

Lamongan 2 037 2 477 4 654 2 876 1 471 2 053 7 331 13 704

Sumenep 14 147 21 348 16 561 13 210 6 575 3 139 9 247 13 392

Sampang 2 444 3 727 2 876 2 056 932 1 429 3 002 2 702

Ngawi 682 2 092 1 830 1 243 3 058 639 727 22 828

Jawa Timur 81 853 10 4839 80 893 78 805 80 661 53 695 101 777 13 5413

Sumber: Jawa Timur dalam angka 2013

Penyebab terjadinya risiko produksi adalah ketika menjelang musim panen dan terjadi hujan maka produksi dan kualitas tembakau di Kabupaten Bojonegoro akan mengalami penurunan. Adanya hujan menjelang musim panen merupakan risiko yang harus dihadapi oleh petani tembakau. Hal ini dikarenakan peramalan terjadinya musim hujan tidak dapat ditentukan secara tepat pada saat awal tanam. Selain adanya risiko produksi, usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro juga dihadapkan pada risiko harga. Pada umumnya harga produk tembakau pada masa panen sering tidak diketahui pada waktu rumahtangga petani melakukan keputusan menanam. Artinya keputusan melakukan penanaman yang dilakukan oleh rumahtangga petani tanpa didasarkan kepastian harga pada saat panen. Kondisi tersebut dapat menimbulkan kesenjangan antara penerimaan aktual yang diperoleh dengan penerimaan yang diharapkan oleh petani. Selain itu harga tembakau cenderung fluktuatif. Berdasarkan Gambar 1, dapat diketahui bahwa harga tembakau cenderung fluktuatif, dimana harga tembakau rajangan di kabupaten Bojonegoro pada tahun 2008 berkisar pada harga Rp 20 970 dan pada tahun 2009 harga tembakau mengalami peningkatan yaitu sebesar Rp 35 196 pada

tahun 2010 dan 2011 harga tembakau mengalami penurunan yaitu sebesar Rp 26 797 dan Rp 27 233. Harga tembakau kembali meningkat pada tahun 2012

(22)

4

Sumber: Disperindag Jawa Timur 2014

Gambar 1. Perkembangan harga komoditas tembakau Kabupaten Bojonegoro tahun 2008-2013

Guna mengurangi risiko, baik risiko harga maupun risiko produksi petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro sebagian besar petani melakukan kemitraan dengan perusahaan rokok seperti PT. Gudang Garam, Tbk. Hubungan kemitraan yang dilakukan oleh petani tembakau dengan PT. Gudang Garam, Tbk merupakan hubungan yang saling menguntungkan antara petani dan perusahaan rokok. Petani tembakau memiliki kewajiban untuk menjual hasil produksinya kepada PT. Gudang Garam, Tbk. dan petani tembakau juga memiliki hak untuk mendapat jaminan harga sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. Pihak perusahaan dalam kemitraan berkewajiban untuk memberikan jaminan harga kepada petani sehingga risiko harga yang dialami petani dapat berkurang dan perusahaan memiliki hak untuk memperoleh hasil produksi yang dihasilkan petani dengan kuantitas dan kualitas yang diinginkan oleh perusahaan. Selain itu, perusahaan selaku mitra bagi petani tembakau memberikan fasilitas kredit kepada petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro dengan tingkat suku bunga yang rendah. Sehingga adanya kemitraan dapat mengurangi risiko produksi yang dihadapi petani dengan menjual seluruh hasil produksinya kepada perusahaan dan risiko harga juga dapat berkurang karena adanya jaminan harga dari pihak mitra (PT. Gudang Garam, Tbk). Penelitian ini juga akan membahas mengenai perbandingan risiko usahatani tembakau antara petani mitra dan petani non mitra di Kabupaten Bojonegoro. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, mengindikasikan pentingnya penelitian mengenai risiko baik risiko produksi maupun risiko harga dan mengetahui perbandingan risiko usahatani tembakau antara petani mitra dengan petani non mitra di Kabupaten Bojonegoro.

Perumusan Masalah

Perkembangan produksi konsumsi tembakau di Indonesia dalam kurun waktu 2001 sampai 2010 menunjukkan bahwa pasokan tembakau tidak memenuhi kebutuhan atau konsumsi tembakau di Indonesia sehingga kondisi penawaran dan permintaan tembakau dalam keadaan kekurangan penawaran. Hal ini dilihat dari proporsi konsumsi lebih besar daripada produksi tembakau. Kekurangan penawaran tembakau dipenuhi oleh adanya impor tembakau dari berbagai negara

(23)

seperti China, Brazil dan Amerika Serikat. Jumlah produksi dalam negeri hanya mencukupi sekitar 52% dari kebutuhan nasional. Angka tersebut menunjukkan bahwa Indonesia memiliki produksi yang masih rendah. Hal ini dijelaskan pada Tabel 3.

Tabel 3. Produksi konsumsi dan perdagangan tembakau di Indonesia (Ton)

Tahun Produksi Konsumsi Ekspor Impor

2007 164 900 64 308 39 297 46 957

Jika dilihat dari Tabel 3 dapat diketahui bahwa konsumsi tembakau dalam negeri dari tahun 2007 sampai dengan 2011 menunjukkan adanya fluktuasi. Jika dilihat dari sisi produksi tembakau di Indonesia cenderung berfluktuasi tiap tahunnya, hal ini menunjukkan produksi tembakau di Indonesia dihadapkan adanya risiko produksi. Adanya produksi yang berfluktuasi berimplikasi terhadap tidak pastinya jumlah pasokan tembakau untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Salah satu daerah penghasil tembakau terbesar di Indonesia adalah Jawa Timur. Hal ini terbukti dari kontribusi produksi Jawa Timur yang mencapai 51% dari produksi nasional pada tahun 2012 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2013). Kontribusi yang terbesar dibandingkan dengan provinsi lainnya, menjadikan Jawa Timur salah satu kawasan yang sebagian besar petaninya merupakan petani tembakau.

Salah satu daerah penghasil tembakau di Jawa Timur yang paling tinggi produktivitasnya adalah Kabupaten Bojonegoro. Daerah tersebut merupakan salah satu wilayah dengan luas areal produksi tembakau yang terbesar setelah Madura (Kabupaten Sumenep dan Pamekasan). Luas areal tembakau di Bojonegoro mencapai 12 333 ha pada tahun 2012. Hal ini menunjukkan bahwa usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro merupakan usahatani yang banyak dilakukan oleh sebagian besar rumahtangga petani di kabupaten tersebut.

(24)

6

untuk menganalisis risiko produksi dan risiko usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro (Dinas Perkebunan Jawa Timur, 2013).

Selain permasalahan produksi, petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro juga dihadapkan pada kondisi harga yang tidak menentu setiap musimnya. Harga tembakau cenderung tinggi pada saat musim kemarau dan harga tembakau cenderung turun ketika terjadi hujan. Musim yang tidak menentu menyebabkan fluktuasi harga tembakau di pasaran. Selain itu, harga tembakau sangat tergantung pada produksi tembakau. Pada kondisi produksi tembakau melimpah akan menyebabkan penurunan harga dan sebaliknya. Keterkaitan produksi dan harga mengindikasikan ada hubungan antara risiko produksi dan harga yang diterima oleh petani. Hal ini sesuai dengan penelitian dari Beach et al (2008) tentang Tobacco Farmer Interest and Success in Income Diversification yang menyatakan bahwa risiko produksi dan risiko pasar pada usahatani tembakau lebih tinggi dari tanaman lainnya (tanaman pangan) dan karakteristik petani seperti umur, pengalaman, dan pendidikan mempengaruhi keputusan petani untuk membudidayakan tembakau atau non tembakau. Oleh karena itu, penting untuk meneliti mengenai risiko produksi dan risiko harga komoditas tembakau karena sangat riskan terhadap risiko.

Penelitian ini akan difokuskan terhadap analisis risiko usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro, karena daaerah tersebut merupakan daerah yang cenderung memiliki risiko produksi dan harga yang tinggi. Petani kecil cenderung menghindari risiko (risk averse) dimana adanya risiko produksi dan harga mempengaruhi produsen untuk menghindari risiko dengan memilih tingkat penggunaan input yang optimal. Faktor produksi yang bersifat menurunkan risiko adalah faktor produksi benih, dan adanya penyuluhan. Sedangkan faktor produksi tanah, pupuk, pestisida dan akses kepada irigasi memiliki efek meningkatkan risiko. Petani subsisten cenderung tidak mengambil risiko dengan menggunakan pupuk secara optimal walaupun harga input pupuk yang rendah (Guttormsen and Roll, 2013). Hal ini juga terjadi pada usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro dimana petani tembakau merupakan petani dengan skala usaha yang kecil yang dihadapkan pada risiko produksi dan risiko harga yang terjadi setiap musim tembakau tiba. Petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro yang berskala kecil tersebut memiliki kecenderungan tidak menggunakan sarana produksi secara optimal dan sebagia besar petani tembakau tersebut cenderung bersifat menghindari risiko (risk averse).

(25)

kontrak karena adanya jaminan harga dari kemitraan. Jadi adanya contract farming merupakan alternatif dalam mengurangi risiko dan ketidakpastian dalam produksi kentang. Begitu pula yang dialami oleh petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro sebagian besar bermitra dengan perusahan rokok seperti PT. Gudang Garam, Tbk.

Daryanto (2009) menyebutkan bahwa kemitraan merupakan konsep yang dapat digunakan untuk memperkuat perekonomian di Indonesia. Urgensi yang besar terhadap kemitraan diwujudkan dengan lahirnya Undang-Undang (UU) No. 9 tahun 1995 tentang usaha kecil, serta Peraturan Pemerintah No. 44 tahun 1997 tentang kemitraan. Kemitraan didefinisikan sebagai kerjasama antara usaha kecil dengan usaha menengah atau usaha besar yang disertai pembinaan dan pengembangan yang berkelanjutan oleh usaha menengah atau usaha besar dengan memperhatikan prinsip saling memerlukan, saling memperkuat, dan saling menguntungkan.

Secara normatif, kemitraan dilakukan untuk memitigasi risiko baik harga maupun produksi, penelitian akan membahas mengenai pengaruh kemitraan terhadap preferensi risiko petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Kemitraan yang dilakukan oleh petani tembakau dengan PT. Gudang Garam, Tbk dapat mengurangi kerugian yang dialami petani akibat adanya risiko produksi dan harga. Penerapan sistem Intensifikasi Tembakau Rakyat Kemitraan (kemitraan dengan PT. Gudang Garam Tbk.), selain memberikan produktivitas lebih tinggi dibandingkan petani non mitra, juga dapat menghasilkan tembakau yang memiliki kualitas lebih baik, pendapatan petani menjadi lebih tinggi. Hasil ini dapat dicapai, karena pihak petani dan pabrik rokok bekerja saling menguntungkan dan meminimalkan risiko produksi dengan pendampingan secara intensif.

Petani memiliki lahan dan tenaga pelaksana, sedangkan pabrik rokok meminjamkan modal tanpa bunga dan agunan. Pendampingan teknis dan bantuan permodalan dapat menurunkan risiko produksi yang dialami petani. Petani tembakau selaku mitra memiliki kewajiban untuk menjual hasil produksinya kepada PT. Gudang Garam, Tbk. dan petani tembakau juga memiliki keuntungan dari adanya kemitraan tersebut yaitu petani tembakau mendapatkan jaminan harga sesuai dengan kontrak yang telah disepakati. PT. Gudang Garam, Tbk berkewajiban untuk memberikan jaminan harga kepada petani sehingga risiko harga yang dialami petani dapat berkurang dan perusahaan berhak untuk memperoleh hasil produksi yang dihasilkan petani dengan kuantitas dan kualitas sesuai standar perusahaan. Kemitraan tersebut dapat mengurangi risiko produksi yang dihadapi petani dengan adanya pendampingan teknis dan bantuan modal, selain itu risiko harga juga dapat berkurang karena adanya jaminan harga dari pihak mitra (PT. Gudang Garam, Tbk.). Risiko yang dihadapi oleh petani mitra dan non mitra akan berbeda karena adanya jaminan harga dan bimbingan teknis bagi petani mitra. Oleh karena itu penelitian ini juga akan membahas mengenai perbandingan risiko usahatani tembakau antara petani mitra dan petani non mitra di Kabupaten Bojonegoro.

(26)

8

adalah tidak terpenuhinya kebutuhan keluarga, bahkan pada level subsisten. Di samping itu, risiko yang dihadapi petani yang bermitra dan yang tidak bermitra diduga yang terdapat perbedaan, karena adanya jaminan harga dan jaminan pasar bagi petani yang bermitra. Besar kecilnya risiko ini akan berpengaruh terhadap perilaku petani dalam menghadapi risiko. Perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi akan menjadi dasar bagi petani untuk membuat keputusan mengenai seberapa besar alokasi input-input yang akan digunakan dalam kegiatan usahataninya. Jumlah input yang digunakan oleh petani yang risk averse akan berbeda dengan jumlah input yang dialokasikan oleh petani yang netral terhadap risiko atau risk taker (Ellis, 1988). Oleh karena itu, penelitian ini juga difokuskan dalam menganalisis perilaku petani mitra dan non mitra dalam menghadapi risiko produksi dan harga.

Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah, penelitian ini secara umum bertujuan untuk mengetahui risiko usahatani tembakau serta dampak kemitraan terhadap risiko usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Secara spesifik tujuan ini, adalah :

1. Menganalisis dan membandingkan fungsi risiko produksi usahatani tembakau petani mitra dan non mitra di Kabupaten Bojonegoro.

2. Menganalisis dan membandingkan risiko harga tembakau petani mitra dan non mitra di Kabupaten Bojonegoro.

3. Menganalisis preferensi risiko produksi dan harga tembakau di Kabupaten Bojonegoro.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi petani mengenai risiko produksi dan harga tembakau selain itu bagi pemerintah dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi dalam perumusan kebijakan di sektor perkebunan utamanya untuk komoditi tembakau.

Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini difokuskan untuk mengkaji mengenai risiko produksi dan harga tembakau serta dampak adanya kemitraan terhadap risiko usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro. Ruang lingkup penelitian ini dapat diperinci sebagai berikut:

1. Risiko yang diteliti dalam penelitian ini adalah risiko produksi dan harga tembakau, dimana kedua jenis risiko tersebut sering dihadapi oleh petani tembakau dibandingkan risiko lainnya.

2. Penelitian difokuskan pada petani yang bermitra dan petani yang tidak bermitra dengan PT. Gudang Garam, Tbk serta pengaruhnya terhadap risiko.

Penelitian ini juga memiliki keterbatasan, yaitu:

(27)
(28)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Kerangka Teori

Konsep Risiko dan Preferensi Risiko

Risiko dan ketidakpastian sering digunakan secara bersama-sama baik dalam jurnal maupun beberapa tulisan lainnya. Silberberg (1990), Henderson dan Quandt (1980) dan Varian (1992) menggunakan istilah ketidakpastian (uncertainty) terkait dengan peluang (probability). Sedangkan Robison dan Barry (1987) menjelaskan terdapat perbedaan antara konsep risiko dan ketidakpastian. Jika peluang suatu kejadian dapat diketahui oleh pembuat keputusan, yang didasarkan pada pengalaman, maka hal tersebut menunjukkan konsep risiko. Sedangkan jika peluang suatu kejadian tidak dapat diketahui oleh pembuat keputusan maka hal tersebut menunjukkan konsep ketidakpastian.

Beberapa sumber risiko yang dapat dihadapi oleh petani diantaranya adalah risiko produksi, risiko pasar atau risiko harga, risiko kelembagaan, risiko kebijakan dan risiko finansial (Ellis, 1988; Harwood et al., 1999; Moschini dan Hennessy, 1999). Dari beberapa sumber risiko tersebut, ternyata risiko yang paling utama dihadapi rumahtangga petani diantaranya adalah risiko produksi dan harga produk (Patrick et al., 1985; Wik et al., 1998).

Sementara itu Ellis (1988) menunjukkan bahwa perilaku rumahtangga petani kecil pada umumnya adalah risk averse. Adanya ketidakpastian dalam produksi akan menghasilkan keputusan ekonomi yang sub optimal pada tingkat produksi. Produsen yang berperilaku risk averse dalam menghadapi risiko produksi akan memproduksi lebih rendah dibandingkan produsen yang berperilaku risk neutral dan jika terjadi peningkatan risiko maka produsen risk averse akan mengurangi output (Wik et al., 1998). Salah satu strategi produksi risk averse adalah tumpangsari (mixed cropping) yang memberikan banyak keuntungan. Kebijakan yang dapat merespon ketidakpastian alami diantaranya irigasi, asuransi tanaman dan varietas benih yang tahan terhadap hama dan penyakit tanaman, musim kemarau, dan stabilitas hasil. Sementara itu kebijakan mengatasi ketidakpastian harga meliputi stabilitas harga, informasi pasar dan kredit.

Namun risiko dapat juga diinterpretasikan sebagai berikut: (1) risiko dapat merujuk kepada kemungkinan atau peluang yang lebih tinggi dari sebuah hasil yang merugikan, sebuah bahaya, atau sebuah kerugian potensial, (2) risiko dapat merujuk kepada besaran atau ukuran dari kerugian jika terjadi, dimana besaran kerugian dapat secara relatif sedang atau dapat menyebabkan kebangkrutan perusahaan, dan (3) risiko dapat merujuk kepada nilai yang diharapkan dari kerugian potensial (Miller et al., 2004).

(29)

dengan usahatani, dan (2) lingkungan operasional internal dari usahatani (McConnell dan Dillon, 1997).

Selanjutnya bila dilihat dari sikap pembuat keputusan dalam menghadapi risiko dapat diklasifikasikan menjadi tiga kategori yaitu sebagai berikut (Robison dan Barry, 1987):

1. Pembuat keputusan yang takut terhadap risiko (risk aversion). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam (variance) dari keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menaikkan keuntungan yang diharapkan yang merupakan ukuran tingkat kepuasan.

2. Pembuat keputusan yang berani terhadap risiko (risk taker). Sikap ini menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan ragam keuntungan maka pembuat keputusan akan mengimbangi dengan menurunkan keuntungan yang diharapkan.

3. Pembuat keputusan yang netral terhadap risiko (risk neutral). Sikap ini menunjukkan jika terjadi kenaikan ragam keuntungan maka pembuat keputusan tidak akan mengimbangi dengan menaikkan atau menurunkan keuntungan yang diharapkan.

Fungsi utilitas digunakan dalam menggambarkan preferensi petani ketika menghadapi risiko produksi. Menurut Doll dan Orazem (1984) utilitas dari kejadian tertentu adalah dipertimbangkan dalam konteks meningkatkan atau menurunkan kekayaan. Pada usahatani tembakau maka utilitas dari kejadian tertentu dipertimbangkan dalam konteks meningkatkan atau menurunkan pendapatan petani. Tiga kemungkinan fungsi utilitas diilustrasikan pada Gambar 2. dari pendapatan. Setiap tambahan rupiah dalam pendapatan mempunyai marjinal utilitas yang sama. Sehingga dalam kasus ini, petani dikatakan risk neutral.

Pada Gambar 2. B, fungsi utilitas petani adalah fungsi cekung dari pendapatan. Setiap tambahan rupiah dalam pendapatan menambah sedikit utilitas sehingga marjinal utilitas adalah positif tetapi menurun. Sehingga dalam kasus ini, petani dikatakan risk averse. Sedangkan pada Gambar 2. C, fungsi utilitas petani adalah fungsi cembung dari pendapatan. Setiap tambahan rupiah dalam

(30)

12

pendapatan maka marjinal utilitas juga meningkat. Sehingga dalam kasus ini, petani dikatakan risk preferrer. Dari Gambar 1 dapat dilihat bahwa terdapat tiga preferensi perilaku petani dalam menghadapi risiko yaitu risk neutral, risk averter dan risk preferrer (risk lover).

Maksimisasi utilitas digunakan untuk menentukan pilihan yang dibuat oleh petani. Seperti dalam Gambar 1, dapat dilihat adanya tiga kemungkinan fungsi yang menghubungkan utilitas dengan pendapatan. Utilitas tidak hanya merupakan fungsi dari pendapatan yang diharapkan, tetapi juga varians pendapatan. Menurut Debertin (1986) kurva indiferen menghubungkan varians pendapatan dengan pendapatan yang diharapkan, dengan rumusan sebagai berikut:

U = z + bz2 (2.1)

dimana z adalah beberapa variabel penting yang menghasilkan utilitas untuk produsen/petani, seperti pendapatan. Misalkan ada ketidakpastian yang berkaitan dengan tingkat pendapatan, maka z diganti dengan z yang diharapkan atau E(z). Sehingga utilitas yang diharapkan adalah:

E(U) = E(z) + bE(z2) (2.2)

Nilai yang diharapkan dari variabel yang dikuadratkan adalah sama dengan varians dari variabel ditambah kuadrat nilai yang diharapkan. Maka:

E(z2) = σ2 + [E(x)2] (2.3)

E(U) = E(x) + b[E(x)2] + bσ2 (2.4)

Maka utilitas adalah fungsi yang tidak hanya dari pendapatan yang diharapkan, tetapi juga dari variansnya.

Sumber: Debertin (1986)

Gambar 3. Kurva indiferen menghubungkan varians dengan pendapatan yang diharapkan

Gambar 3, mengilustrasikan kurva indiferen yang menunjukkan kombinasi-kombinasi yang mungkin dari pendapatan dan variansnya yang menghasilkan jumlah yang sama dari utilitas untuk petani yang mungkin

(31)

diperoleh dengan mengasumsikan bahwa U sama dengan U0 dan memperoleh diferensial total dari fungsi utilitas sebagai berikut:

dU0= 0 = (1 + 2b) dE(x) + bd(σ2) (2.5)

dE/dσ2 = -b / [1 + 2bE(x)] (2.6)

Nilai [1 + 2bE(x)] akan selalu positif. Bentuk kurva indiferen akan tergantung pada nilai b. Jika b = 0 maka petani adalah risk neutral. Jika b > 0 maka petani adalah risk lover dan kurva indiferen akan mempunyai slope negatif. Jika b < 0 maka petani adalah risk averse dan kurva indiferen akan mempunyai slope naik ke kanan atas.

Dalam usahatani adanya ketidakpastian akan mempengaruhi jumlah optimal penggunaan input dan output yang dihasilkan sehingga akan mempengaruhi permintaan input dan penawaran output. Ketidakpastian produksi dalam usahatani dapat disebabkan oleh perubahan cuaca, hama dan penyakit. Petani sebagai produsen dalam menjalankan usahataninya bertujuan memaksimumkan keuntungan. Adanya risiko usahatani akan mempengaruhi keuntungan usahatani. Sehingga risiko usahatani merupakan salah satu pertimbangan petani dalam memilih jenis komoditi yang akan dikembangkan pada usahatani. Lima sumber utama risiko usahatani adalah: (1) risiko produksi atau teknis, (2) risiko pasar atau harga, (3) risiko teknologi, (4) risiko legal atau sosial, dan (5) risiko karena kesalahan manusia (Sonka dan Patrick, 1984 dalam Adiyoga & Soetiarso, 1999). Menurut Adiyoga & Soetiarso (1999) kelima sumber risiko tersebut dapat menimbulkan efek jangka pendek maupun jangka panjang terhadap usahatani.

Risiko Produksi dan Risiko Harga Produk

Beberapa ukuran risiko didasarkan pada nilai variance, standard deviation dan coefficient of variation (Anderson et al., 1977; Calkin dan DiPietre, 1983; Elton dan Gruber, 1995). Ketiga ukuran tersebut berkaitan satu sama lain dan nilai variance sebagai penentu ukuran yang lainnya. Seperti misalnya standard deviation merupakan akar kuadrat dari variance sedangkan coefficient of variation merupakan rasio standard deviation dengan nilai ekspektasi. Pada umumnya petani mengusahakan lebih dari satu kegiatan usahatani. Oleh karena itu coefficient of variation sangat efektif mengukur perbandingan variasi produksi atau harga atau pendapatan dari dua atau lebih kegiatan.

(32)

14

Salah satu model yang sering digunakan dalam mengestimasi adanya risiko produksi adalah model Just Pope. Just and Pope telah mempelajari banyak mengenai isu penting yang menyertakan input penurun risiko. Model fungsi produksi dengan memasukkan unsur risiko di dalamnya:

q = f(x) + g(x)ε (2.7)

dimana x merupakan faktor produksi yang digunakan, ε mengikuti distribusi ε~(0,σ2

e), q adalah besarnya produksi yang dicapai, f(x) adalah fungsi produksi

rata-rata sedangkan g(x) adalah fungsi varians atau fungsi risiko (Robison dan Barry, 1987).

Selain risiko produksi, petani tembakau menghadapi risiko harga produk. Analisis risiko harga produk tidak dilakukan seperti analisis risiko produksi. Hal ini dikarenakan data yang tidak memadai sehingga tidak dimungkinkan dilakukan analisis seperti risiko produksi. Data yang tidak memadai disini mencakup variabel-variabel yang mempengaruhi harga produk, sementara petani tembakau sebagai price taker. Dengan demikian analisis risiko harga produk dianalisis dengan menggunakan perhitungan variance secara manual yang merupakan penjumlahan selisih kuadrat harga produk dengan ekspektasi harga dikalikan dengan peluang dari setiap kejadian. Adapun formulasi umum untuk mengestimasi risiko harga sebagai berikut:

Kemitraan usaha agribisnis (contract farming management) adalah hubungan bisnis usaha pertanian yang melibatkan satu atau kelompok orang atau badan hukum dengan satu atau kelompok orang atau badan hukum lainnya, dimana masing-masing pihak memperoleh penghasilan dari usaha bisnis yang sama atau saling berkaitan dengan tujuan menjamin terciptanya keseimbangan, keselarasan, dan saling melaksanakan etika bisnis (Suwandi 1995). Oleh karena itu berpijak dari definisi tersebut, tujuan kemitraan agribisnis adalah: (1) untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi dan sosial yang diperoleh petani atau perusahaan mitra; dan (2) untuk mewujudkan terciptanya keseimbangan usaha agribisnis yang memenuhi skala ekonomi dalam suatu wilayah atau kawasan.

(33)

(intermediary model). Kemitraan usaha agribisnis terdiri dari tiga pola, yaitu: (1) kemitraan yang berkembang mengikuti jalur evolusi sosio-budaya atau ekonomi tradisi; (2) kemitraan program pemerintah yang dikaitkan dengan intensifikasi pertanian; dan (3) kemitraan yang tumbuh akibat perkembangan ekonomi pasar.

Shinta (2011) juga menyatakan bahwa ada lima model kemitraan, yaitu model intiplasma, kontrak beli, sub kontrak, dagang umum, dan kerja sama operasional agribisnis. Lebih jauh Shinta (2011) menjelaskan bahwa model intiplasma adalah hubungan kemitraan antara usahatani kecil dengan usahatani menengah atau usaha besar, yang di dalamnya usaha menengah atau usaha besar bertindak sebagai inti dan usaha kecil selaku plasma. Pada model kemitraan ini dapat berupa kemitraan langsung antara kelompok tani dengan plasma yang memproduksi bahan baku dengan perusahaan agroindustri yang melakukan pengolahan. Perusahaan inti berkewajiban untuk melakukan pembinaan mengenai teknis produksi agar dapat memperoleh hasil yang sesuai dengan yang diharapkan. Selain itu pembinaan dilakukan untuk meningkatkan kualitas manajemen kelompok tani/agroindustri dan plasma. Model kontrak beli adalah hubungan kerjasama antara kelompok skala kecil dengan perusahaan agroindustri skala menengah atau besar yang dituangkan dalam usaha perjanjian kontrak jual beli secara tertulis untuk jangka waktu yang disaksikan oleh pemerintah. Model subkontrak adalah hubungan kemitraan antara usaha kecil dengan usaha menengah atau besar yang di dalamnya usaha kecil memproduksi komponen dan atau jasa yang merupakan bagian dari produksi usaha menengah atau usaha besar. Pada model ini, kelompok tidak melakukan kontrak secara langsung dengan perusahaan pengolah (processor) tetapi melalui agen atau pedagang. Model dagang umum adalah hubungan kemitraan antara perusahaan kecil dengan usaha menengah atau besar atau usaha menengah memasarkan hasil produksi usaha kecil atau usaha kecil memasok kebutuhan yang diperlukan oleh usaha menengah atau usaha besar atau usaha kecil yang memasarkan hasil usaha besar. Model kerjasama operasional agribisnnis merupakan hubungan kemitraan yang di dalamnya kelompok mitra menyediakan lahan, sarana, dan tenaga kerja sedangkan perusahaan-perusahaan mitra menyediakan biaya atau modal atau sarana untuk mengusahakan atau membudidayakan suatu komoditas pertanian.

Syarat yang harus dipenuhi, yaitu bahwa kedua belah pihak yang bermitra harus: (1) mempunyai bisnis inti (core business) yang sama; (2) memiliki tingkat saling ketergantungan yang tinggi (high interdependency); (3) dapat diandalkan (reliable) untuk menjalankan tugas masing-masing sesuai dengan perjanjian; dan (4) jujur dan dapat dipercaya (honest and trustable) dalam menjalankan kegiatan masing-masing. Syarat lain yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa komoditas yang tercakup dalam kemitraan usaha agribisnis harus mempunyai prospek ekonomi yang sangat baik (Iqbal, 2008).

(34)

16

terutama kuantitas, kualitas, karakteristik, dan waktu memproduksi serta apa yang harus diproduksi. Manfaat CF bagi petani adalah untuk memudahkan petani untuk akses pasar, menambah permodalan (kredit), manajemen risiko yang lebih baik serta secara tidak langsung memberi kesempatan kerja bagi anggota keluarga petani sekaligus pemberdayaan wanita dan pengembangan kebiasaan berniaga menjadi lebih baik dan petani dapat memperoleh transfer teknologi (Key and Rusten, 1999).

Berdasarkan manfaat tersebut, CF merupakan institusi pertanian utama yang telah diaplikasikan secara luas di berbagai Negara maju dan berkembang untuk memperbaiki koordinasi dan kinerja pasar komoditi pertanian yang umumnya bertujuan untuk mengatasi masalah kegagalan pasar, tingginya biaya transaksi karena informasi yang asimetris. Oleh karena itu, CF banyak diteliti di berbagai Negara maju dan berkembang dengan menggunakan pendekatan analisis Ekonomi Kelembagaan Baru atau New Institutional Economic (NIE) terutama mengkaji aspek ekonomi biaya transaksi dan informasi yang asimetris (Grosh, 1994; Key and Rusten, 1999; Tripathi et al, 2005; Wu, 2006; Kumar and Prakash, 2008; Miyata et al, 2009; Singh, 2011).

Ciri CF sama dengan ciri kemitraan pada agribisnis, yakni adanya kontrak antara petani di tingkat hulu dengan perusahaan besar untuk memproduksi dan atau memasarkan produk. Tujuanya adalah untuk memperkecil biaya transaksi (transaction cost) yang dipicu oleh adanya informasi yang tidak sempurna (Grosh, 1994; Key and Runsten,1999). Umumnya CF yang diterapkan di Indonesia pada bidang pertanian disebut kemitraan yang bertujuan untuk mencapai keuntungan kedua belah pihak yang bermitra, yakni petani, peternak, pekebun sebagai produsen dan perusahaan sebagai sponsor karena kemitraan memungkinkan adanya dukungan yang lebih luas untuk mengatasi masalah minimnya informasi dan risiko (Daryanto, 2006). Dengan adanya kemitraan diharapkan petani mampu beralih dari usaha subsisten ke usaha produksi yang bernilai ekonomi dan berdaya saing tinggi karena melalui kemitraan petani memperoleh manfaat ekonomi. Dengan demikian, kemitraan tidak hanya berpotensi meningkatkan penghasilan petani, tetapi juga mempunyai pengaruh ganda (multiplier effects) terhadap perekonomian di pedesaan maupun perekonomian dalam skala yang lebih luas (Daryanto, 2006).

Lahirnya institusi kemitraan pertanian yang mengatur produksi pertanian dengan cara mengkaitkan petani-petani kecil (grower) dengan perusahaan pertanian besar (sponsors) melalui sebuah kontrak, yang mana para petani memasok output pertanian untuk dijual kepada perusahaan sesuai dengan ketentuan yang sudah diatur dalam sebuah kontrak atau perjanjian (White, 1997). Oleh karena itu, kemitraan pertanian lebih tepat disebut sebagai pertanian kontrak (contract farming) seperti yang didefinisikan oleh Eaton dan Shepherd (2001) sebagai suatu persetujuan antara petani dan perusahaan processing atau pemasaran untuk memproduksi dan memasok produk pertanian sesuai perjanjian bertujuan untuk mengantisipasi fluktuasi harga.

(35)

output menyediakan penunjang produksi dalam bentuk pasokan input dan bimbingan teknis produksi. Pengaturan perjanjian berazaskan pada komitmen bahwa pihak petani harus memproduksi komoditi dengan spesifikasi kuantitas dan kualitas yang sudah ditentukan (standart) oleh perusahaan sebagai pembeli dan pihak perusahaan mendukung petani dalam proses produksi dan membeli hasil produksi (Eaton dan Shepherd, 2001). Untuk memenuhi penyediaan produk dengan spesifikasi kuantitas dan kualitas yang dipersyaratkan sesuai preferensi perusahaan mitra maka peran teknologi produksi merupakan suatu keniscayaan.

Petani di Kabupaten Bojonegoro sebagian besar dari mereka melakukan contract farming dengan perusahaan rokok, seperti bermitra dengan PT. Gudang Garam, Tbk, dengan demikian selain mengalami risiko pada produksi dan risiko pada harga petani di daerah tersebut juga sudah melakukan contract farming dengan perusahaan rokok, selanjutnya akan diketahui perbandingan risiko yang dihadapi antara petani mitra dengan petani non mitra di Kabupaten Bojonegoro.

Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian Tentang Risiko Usahatani

Studi Hranaiova (2002) menggunakan asumsi maksimisasi utilitas yang diharapkan dari keuntungan dan nonparametrik metode elastisitas untuk mengkaji perilaku produksi dan preferensi risiko dengan adanya ketidakpastian harga output pada usaha ternak sapi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perkiraan sikap risiko petani yang diwakili oleh marjinal premium risiko individu juga berkaitan dengan atribut sosial ekonomi petani. Selain itu secara keseluruhan, luas usahatani berperan penting dalam menjelaskan perbedaan produktivitas dan skala, dan memiliki efek negatif paling signifikan pada risk averse.

Penelitian tentang perilaku risiko produksi juga telah dilakukan oleh Roger dan Engler (2008) menurut hasil penelitian mereka keputusan-keputusan petani sebagain besar dipengaruhi oleh risiko dan pilihan risiko. Petani-petani kecil pada usahatani Rasberry termasuk dalam kategori petani yang takut terhadap risiko (risk averse), sedangkan faktor-faktor yang menentukan produktivitas adalah pengalaman produsen, ukuran usahatani dan dosis pemupukan.

Perilaku petani di Kwara Nigeria lebih bervariasi. Menurut Ayinde et al., (2008) Perilaku petani di Kwara State berbeda-beda ada petani yang menyukai risiko, netral terhadap risiko dan takut terhadap risiko. Petani yang skala usahataninya kecil, tidak semuanya takut terhadap risiko. Implikasi kebijakannya adalah perlu dibentuk kelompok tani, ini akan menjadi fasilitas untuk saling berinteraksi dan berbagi pengalaman yang dapat menurunkan ketakutan terhadap risiko produksi, di samping itu kelompok tani juga dapat digunakan untuk memperkuat posisi tawar mereka. Crop insurance juga dibutuhkan untuk sharing risiko. Strategi manejeman risiko yang paling banyak dilakukan oleh petani di wilayah ini adalah dengan diversifikasi tanam.

(36)

18

berkaitan dengan hama dan serangga adalah relatif tinggi untuk usahatani hortikultura di Desa Cisarua Kabupaten Sukabumi. Penggunaan yang tinggi pada pestisida adalah bertujuan untuk menurunkan risiko kegagalan panen. Akan tetapi penggunaan pestisida yang tinggi berdampak pada kesehatan konsumen, karena tingginya residu pestisida dalam produk yang dikonsumsi oleh konsumen dan adanya residu pestisida di lahan usahatani menyebabkan degradasi lahan. Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa petani hortikultura cenderung risk averse dalam menggunakan pestisida di Desa Cisarua Kabupaten Sukabumi. Sementara itu di Desa Kemang Kabupaten Cianjur, petani padi relatif risk neutral dalam harga output karena sebagian besar produksi padi digunakan untuk konsumsi domestik.

Fariyanti et al. (2007) menggunakan model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity (GARCH) untuk mengkaji perilaku ekonomi rumahtangga petani sayuran dalam menghadapi risiko produksi dan harga produk di Kecamatan Pengalengan Kabupaten Bandung. Hasil penelitian menunjukkan bahwa risiko produksi pada komoditas kentang lebih tinggi dibandingkan pada komoditas kubis sedangkan risiko harga produk pada komoditas kubis lebih tinggi dibandingkan komoditas kentang. Kegiatan diversifikasi usahatani kentang dan kubis mempunyai risiko produksi yang lebih rendah dibandingkan dengan kegiatan spesialisasi usahatani kentang atau kubis. Perilaku rumah tangga petani dalam produksi dengan adanya risiko produksi dan harga produk termasuk risk averse dengan melakukan pengurangan penggunaan luas lahan garapan, benih, pupuk, obat-obatan dan tenaga kerja.

Penelitian Fauziyah (2010) tentang pengaruh perilaku petani dalam menghadapi risiko produksi terhadap alokasi input usahatani tembakau dengan mengadopsi model Khunbakar untuk menganalisis perilaku petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 66,67 persen petani tembakau di Kabupaten Pamekasan menghindari risiko produksi (risk averse) sementara kondisi agroekosistem dan sistem usahatani tidak berpengaruh terhadap perilaku risiko produksi. Risk averse tersebut berkonsekuensi terhadap alokasi input yaitu petani yang semakin menghindari risiko maka akan mengurangi penggunaan inputnya.

Beach et al (2008) tentang Tobacco Farmer Interest and Success in Income Diversification yang menyatakan bahwa risiko produksi dan risiko pasar pada usahatani tembakau lebih tinggi dari tanaman lainnya (tanaman pangan) dan karakteristik petani seperti umur, pengalaman, dan pendidikan mempengaruhi keputusan petani untuk membudidayakan tembakau atau non tembakau. Oleh karena itu, penting untuk meneliti mengenai risiko produksi dan risiko harga komoditas tembakau karena sangat riskan terhadap risiko.

(37)

Berdasarkan gambaran studi-studi terdahulu tersebut maka dapat disimpulkan bahwa studi terdahulu mengenai risiko dan preferensi risiko sudah banyak dilakukan dengan aspek kajian, model dan komoditi yang berbeda. Misalnya ada yang menggunakan model fungsi utilitas kuadratik (quadratic utility function) untuk mengkaji risiko harga output dan model Generalized Autoregressive Conditional Heteroskedasticity (GARCH) untuk mengkaji perilaku petani terhadap risiko.

Penelitian Tentang Kemitraan Tembakau

Penelitian secara khusus yang mengkaji pengaruh kemitraan terhadap penurunan risiko fluktuasi harga relatif belum banyak. Namun, Setboonsarng (2008) menemukan bahwa peningkatan pendapatan pada contract farming umumnya disertai dengan risiko fluktuasi harga meskipun output dijamin dibeli oleh perusahaan sebagai sponsor. Analisis Setboonsarng (2008) menunjukkan bahwa kemitraan sebagai institusi pertanian di beberapa negara asia sangat berperan dalam menfasilitasi petani dalam pemasaran output pada berbagai tahap perkembangan pasar. Peran tersebut diklasifikasikan menjadi empat berdasarkan fungsi utamanya, yaitu (1) adalah transformasi dari pertanian subsisten menjadi pertanian komersial, (2) pengembangan dan pertumbuhan agroindustri dan diversivikasi tanaman, (3) produksi dalam jumlah yang besar dan mengembangkan fungsi pasar, (4) mencegah kegagalan pasar melalui diferensiasi produk untuk menghadapi pasar global.

Tripathi et al (2005) yang meneliti tentang Contract Farming in Potato Production: An Alternative for Managing Risk and Uncertainty menunjukkan bahwa biaya budidaya kentang bagi petani yang melakukan kontrak ditemukan 17% sampai 24% lebih besar daripada petani yang non kontrak. Hal ini karena adanya investasi yang tinggi pada benih, pupuk dan mesin. Namun jika dilihat dari keuntungan yang diperoleh petani yang melakukan kontrak cenderung memiliki keuntungan yang lebih besar daripada petani yang tidak melakukan kontrak karena adanya jaminan harga dari kemitraan. Jadi adanya contract farming merupakan alternatif dalam mengurangi risiko dan ketidakpastian dalam produksi kentang.

(38)

20

mengkaji pengaruh kemitraan terhadap preferensi risiko petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro.

Kerangka Konseptual

Kabupaten Bojonegoro merupakan wilayah pertanian yang memiliki karakterisitik yang berbeda dibandingkan dengan daerah lain yang ada di sekitarnya. Petani di daerah lain yang tidak berada di Kabupaten Bojonegoro menjadikan padi sebagai tanaman utama yang dibudidayakan dalam proses usahatani untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka. Hal berbeda dilakukan oleh petani di Kabupaten Bojonegoro yang mayoritas penduduknya menanam tanaman tembakau.

Budidaya tembakau tidak sepenuhnya memberikan keuntungan maksimum bagi petani. Hal tersebut terjadi karena adanya risiko dalam pelaksanaan usahatani tembakau yang dilakukan. Risiko utama yang terjadi di Kabupaten Bojonegoro adalah risiko produksi dan risiko harga. Risiko produksi yang terjadi diindikasikan dengan adanya fluktuasi produktivitas tembakau di antara petani tembakau yang ada di daerah tersebut. Produktivitas tembakau rata-rata yang dihasilkan petani belum mencapai target produktivitas nasional. Sumber internal yang menyebabkan risiko produksi adalah karena adanya perbedaan penggunaan jumlah input pada masing-masing petani. Sedangkan sumber eksternal yang menyebabkan adanya risiko produksi adalah adanya pengaruh musim, hama dan penyakit tanaman. Berdasarkan faktor-faktor produksi yang ada, dilakukan analisis risiko produksi menggunakan model Just and Pope. Analisis tersebut dilakukan dengan melakukan pendekatan terhadap fungsi produktivitas rata-rata dan fungsi varians produktivitas. Hasil analisis akan memberikan gambaran risiko produksi yang dihadapi oleh petani tembakau.

(39)

meminjamkan modal tanpa bunga dan agunan. Selain itu petani mendapatkan jaminan harga. Oleh karena itu, dalam hal ini akan dilihat perbedaan risiko yang dihadapi antara petani mitra dengan petani non mitra di Kabupaten Bojonegoro.

Gambar 4. Kerangka konseptual

Hipotesis Penelitian

1. Risiko produksi petani mitra lebih rendah dibandingkan petani non mitra. Input pupuk dan bibit yang digunakan dalam usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro bersifat memperbesar risiko produksi, sedangkan pestisida dan tenaga kerja serta dummy kemitraan bersifat mengurangi risiko produksi.

2. Usahatani tembakau di Kabupaten Bojonegoro diduga memiliki risiko harga yang tinggi. Risiko harga yang dihadapi petani mitra lebih rendah daripada petani non mitra.

3. Petani tembakau di Kabupaten Bojonegoro diduga memiliki sifat risk averse (penghindar risiko).

Fungsi Utilitas Kuadratik

Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Just and Pope Ekspektasi Harga

Preferensi Risiko Usahatani Tembakau di

Kabupaten Bojonegoro

Petani non Mitra Usahatani Tembakau di Kabupaten

Bojonegoro

Produksi Tembakau Fluktuatif

Harga Tembakau Fluktuatif

Risiko Produksi Risiko Pasar atau Harga

Petani bermitra dengan PT. Gudang

(40)

3 METODE PENELITIAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kabupaten Bojonegoro. Pemilihan kabupaten dilakukan pengambilan secara purposive dengan pertimbangan bahwa (1) daerah tersebut adalah penghasil tembakau di Jawa Timur yang memiliki produksi tembakau yang berfluktuasi; (2) tembakau merupakan komoditas unggulan di Kabupaten Bojonegoro; (3) Sebagian besar petani tembakau di Bojonegoro ada yang melakukan mitra dengan PT. Gudang Garam Tbk. dan sebagian petani lainnya tidak bermitra. Pelaksanaan penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari-November 2015.

Metode Pemilihan Contoh Responden

Metode pengambilan contoh dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan metode multistage sampling. Tahap pertama yang dilakukan adalah pemilihan kabupaten sampel secara purposive (Kabupaten Bojonegoro). Hal ini dikarenakan kabupaten tersebut merupakan kabupaten yang memiliki produksi tembakau yang cenderung berfluktuasi. Tahap kedua adalah memilih secara purposif kecamatan sampel dari kabupaten sampel. Peneliti memilih 2 kecamatan sampel (Kecamatan Kepohbaru, dan Kecamatan Baureno). Hal ini dikarenakan kedua kecamatan tersebut merupakan kecamatan yang merupakan sentra produksi tembakau dan di daerah tersebut sebagian besar petani melakukan mitra dengan PT. Gudang Garam Tbk. Tahap ketiga adalah pemilihan desa sampel secara purposive yaitu desa yang akan dipilih merupakan desa yang memiliki agroekosistem yang sama dan sebagian besar petani ada yang melakukan mitra dan ada pula yang tidak bermitra dengan PT. Gudang Garam, Tbk. Tahap keempat adalah pemilihan sampel petani secara purposif. Peneliti memilih dari masing-masing desa sebanyak 20 petani tembakau. Sehingga secara keseluruhan sampel yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 120 petani. Dari 120 sampel petani tersebut, akan dipilih 60 petani yang melakukan mitra dan 60 petani yang tidak melakukan mitra.

Jenis dan Sumber Data

Data dalam penelitian ini menggunakan data primer. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan dan wawancara langsung kepada petani. Jenis data berupa data panel dan data kerat lintang (cross section) dimana data yang dikumpulkan adalah data produksi, harga, penerimaan dan pengeluaran usahatani tembakau. Wawancara dilakukan pada setiap responden dengan mengajukan pertanyaan terstruktur yang telah dipersiapkan sebelumnya.

Metode Pengumpulan Data

(41)

dengan bantuan kuesioner pada sampel petani sebagai responden. Daftar pertanyaan terdiri dari karakteristik petani responden dan usahataninya, data produksi, biaya input usahatani, dan penerimaan usahatani tembakau, serta permasalahan yang dihadapi petani. Data produksi dan harga tembakau diambil selama tiga musim tanam pada tahun 2013 sampai 2015 yaitu musim kemarau I (MKI) tahun 2013, musim kemarau I (MKI) tahun 2014 dan musim kemarau I (MKI) tahun 2015. Adapun data tentang risiko menyangkut data peluang petani tembakau memperoleh harga produk yang tertinggi, terendah dan normal yang pernah dialami petani tembakau selama mengusahakan usahatani tembakau. Data peluang didekati dengan menanyakan frekuensi petani memperoleh harga tertinggi, terendah dan normal selama mengusahakan usahatani tembakau.

Metode Analisa Data

Analisis Risiko Produksi Tembakau

Besaran risiko produksi tembakau dihitung dengan menggunakan perhitungan coefficient of variation sebagai berikut:

a) Variance

Nilai varian menunjukkan penyimpangan atau risiko yang dihadapi petani tembakau. Nilai variance dapat dituliskan dengan rumus sebagai berikut:

̂ ̂ ̂ (3.1)

Untuk menghitung nilai ekspektasi produktivitas tembakau dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

̂ (3.2)

Keterangan: σ2

= Variance dari produktivitas tembakau

pi = Peluang dari suatu kejadian (petani memperoleh produktivitas tertinggi,

normal dan terendah)

Qi = produktivitas tembakau (kg/ha)

̂I = Ekspektasi Produktivitas tembakau (kg/ha)

b) Standard Deviation

Standar deviasi bisa digunakan untuk melihat seberapa besar risiko yang dihadapi oleh pelaku usahatani tembakau. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut:

√ (3.3)

Keterangan: σ2

Gambar

Gambar 1. Perkembangan harga komoditas tembakau Kabupaten Bojonegoro
Tabel 3. Tabel 3. Produksi konsumsi dan perdagangan tembakau di Indonesia (Ton)
Gambar 2. Fungsi utilitas
Gambar 4. Kerangka konseptual
+7

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor penyebab perubahan mata pencaharian masyarakat petani kopi menjadi petani sayuran di Desa Tiga Jaya Kecamatan Sekincau

[r]

Tujuan umum dari penelitian ini adalah mempelajari termodinamika proses pembentukan hidrat metana sehingga diperoleh kondisi suhu dan tekanan kesetimbangan

 Nilai pada hakikatnya suatu sifat atau kualitas yang melekat pada suatu objek, namun bukan objek itu sendiri.Nilai merupakan kualitas dari sesuatu yang bermanfaat bagi

3. Keterkaitan pendidikan pra-jabatan dan pelatihan dalam jabatan guru. Sekalipun program pendidikan pra-jabatan dan pelatihan dalam jabatan mempunyai fungsi spesifik

Berdasarkan hasil temuan peneliti di lapangan mengenai hambatan peran guru Pendidikan Agama Islam dalam menguatkan motivasi siswi muslimah dalam berjilbab, salah satunya adalah

Based on the statement about learning and teaching grammar above, the researcher formulated research question as follow; was Transformational Grammar Drill through game effective

Denni Junaedi memaparkan bendera yang digunakan HTI di daerah Istimewa Yogyakarta. Ia menemukan bahwa HTI ketika melakukan kegiatan selalu menyertakan dua bendera,