• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keterkaitan Ketersediaan Infrastruktur dan Tingkat Pengangguran

Sebagai dasar pertimbangan dalam pemilihan model panel yang terbaik untuk menganalisis keterkaitan antara ketersediaan infrastruktur dan tingkat pengangguran di Pulau Jawa dan luar Jawa dapat dilakukan pengujian statistik melalui Hausman test dan Chow test. Berdasarkan Hausman test dan Chow test pada kedua model (model 1: Pulau Jawa; model 2: luar Jawa) memiliki probabilitas Chi-Sq yang kurang dari taraf nyata 5% (0.000<0.05) sehingga model tersebut lebih tepat menggunakan Fixed Effect Model (Tabel 5). Pada model ini pendugaan parameternya dilakukan dengan pembobotan dengan metode GLS

sehingga memenuhi asumsi Gauss-Markov untuk mendapatkan komponen-komponen sisaan yang homogen (homoskedastisitas) dan tidak menunjukkan autokorelasi (Juanda, 2009) dan coefficient covariance white cross section method dengan tujuan untuk mengoreksi masalah heteroskedastisitas, multikolinearitas, dan autokorelasi.

Tabel 5 Uji model terbaik (pooled least square, random effect model dan fixed

effect model)

Uji Model Terbaik Probabiltas Chi-sq

Model 1 Model 2

Hausman Test Probability 0.0000** 0.0000**

Chow Test Probability 0.0000** 0.0000**

Keterangan : ** signifikan pada taraf 5%

Untuk memperoleh penduga yang bersifat BLUE (Best, Linear, Unbiased

Estimator) maka penduga tersebut harus terbebas dari pelanggaran asumsi klasik

yaitu multikolinearitas, autokorelasi, dan heteroskedastisitas. Evaluasi hasil estimasi dilakukan dengan dua kriteria, yaitu kriteria statistika dan kriteria ekonomi. Uji diagnostik pada kriteria statistika terkait dengan kebaiksesuaian (goodness of fit) model dan pengujian hipotesis. Dalam pengujian hipotesis dapat dilakukan uji individu dan uji bersama-sama. Kriteria statistika terdiri dari

R-Squared (R2), uji t (uji individu), serta uji F. Sedangkan kriteria ekonomi

berkaitan dengan tanda (sign) dan besaran (magnitude) dari penduga.

Model Pulau Jawa

Uji pelanggaran terhadap asumsi klasik yang pertama adalah multikolinearitas. Untuk mengetahui ada atau tidaknya multikolinearitas, maka dapat dilakukan dengan membandingkan nilai korelasi (rij2) terhadap nilai R2. Hasil uji korelasi (Lampiran 1) menunjukkan bahwa pada model tidak terjadi multikolinearitas karena semua nilai rij2 lebih kecil dari nilai R2 (rij2 <R2). Uji pelanggaran asumsi yang kedua adalah autokorelasi. Pada jumlah k=5, maka selang DW statistik untuk dapat tidak tolak H0 adalah 1,8199 < DW < 2,1801. Dari analisis yang telah dilakukan pada kedua model, diperoleh hasil bahwa model 1 memiliki nilai DW sebesar 2.0411 yang berarti sudah terbebas dari masalah autokorelasi. Adapun uji pelanggaran asumsi yang ketiga adalah heteroskedastisitas. Estimasi model dilakukan dengan memberi perlakuan cross

section weights dan coefficient covariance white: cross section method, sehingga

pelanggaran asumsi heteroskedastisitas dapat diabaikan.

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 6, model 1 memiliki nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata 5% (0,0000<0,0500) sehingga hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran. Nilai R2 sebesar 0.9341 yang berarti sebesar 93.41% keragaman yang terdapat pada variabel dependen (TPT) dapat dijelaskan oleh variabel bebas, sedangkan 6.59% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Pengujian berikutnya dilakukan pada masing-masing variabel bebas. Untuk membuktikan secara statistik variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pengangguran maka dilakukan melalui Uji-t. Uji tersebut dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing

variabel bebasnya. Nilai probabilitas yang kurang dari taraf nyata 5% dan 10% menandakan bahwa variabel tersebut signifikan pada taraf nyatanya masing-masing dan mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan Uji-t, pada Model 1 semua variabel signifikan di taraf nyata 5%.

Tabel 6 Hasil estimasi model pengaruh ketersediaan infrastruktur terhadap TPT dengan metode fixed effect model di Pulau Jawa

No. Variabel Bebas Pulau Jawa

Koefisien S.E. 1 C 29.42** 11.49 2 Air Bersih -0.13** -12.28 3 Listrik -0.20** -4.89 4 Panjang Jalan -0.37** -3.18 5 Ranjang RS -0.84** -2.65 6 Sekolah 2.19** 1.73

Uji Kesesuaian Model

R-Squared (R2) 0.9341

Durbin-Watson 2.0411

Prob > F-stat 0.0000**

Number of Obs 330

Keterangan : ** signifikan pada taraf 5%

Ketersediaan infrastruktur air bersih (AIR) memberikan dampak negatif yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur air bersih dapat menurunkan tingkat pengangguran. Pada Model 1, kenaikan ketersediaan infrastruktur air bersih sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.13%. Ketersediaan infrastruktur listrik (LTK) pada berpangaruh negatif secara signifikan pada taraf 5%, yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur listrik dapat menurunkan tingkat pengangguran. Kenaikan ketersediaan infrastruktur listrik sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.2%. Ketersediaan infrastruktur jalan (lnJLN) berpangaruh negatif secara signifikan pada taraf 5%, yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur jalan dapat menurunkan tingkat pengangguran. Kenaikan ketersediaan infrastruktur jalan sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.37%. Secara umum dapat dikatakan bahwa infrastruktur ekonomi memiliki pengaruh sesuai dengan hipotesis yang telah diajukan.

Ketersediaan infrastruktur kesehatan (lnTT) berpangaruh negatif secara signifikan pada taraf 5%, yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur kesehatan dapat menurunkan tingkat pengangguran. Kenaikan ketersediaan infrastruktur kesehatan sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.84%. Ketersediaan infrastruktur pendidikan (lnSK) pada berpangaruh positif secara signifikan pada taraf 5%, yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur pendidikan cenderung dapat meningkatkan tingkat pengangguran. kenaikan ketersediaan infrastruktur pendidikan sebesar 1% akan meningkatkan tingkat pengangguran sebesar 1.05%.

Model Luar Jawa

Berdasarkan hasil estimasi pada Tabel 7, model 2 memiliki nilai probabilitas F-statistik lebih kecil dari taraf nyata 5% (0,0000<0,0500) sehingga hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel bebas secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik pengaruhnya terhadap tingkat pengangguran. Nilai R2 sebesar 0.9549 yang berarti sebesar 95.49% keragaman yang terdapat pada variabel dependen (TPT) dapat dijelaskan oleh variabel bebas, sedangkan 4.51% dijelaskan oleh variabel lain di luar model. Pengujian berikutnya dilakukan pada masing-masing variabel bebas. Untuk membuktikan secara statistik variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap tingkat pengangguran maka dilakukan melalui Uji-t. Uji tersebut dapat dilakukan dengan melihat probabilitas dari masing-masing variabel bebasnya. Nilai probabilitas yang kurang dari taraf nyata 5% dan 10% menandakan bahwa variabel tersebut signifikan pada taraf nyatanya masing-masing dan mempengaruhi variabel dependen. Berdasarkan Uji-t, pada Model 1 semua variabel signifikan di taraf nyata 5%.

Tabel 7 Hasil estimasi model pengaruh ketersediaan infrastruktur terhadap TPT dengan metode fixed effect model di luar Jawa

No. Variabel Bebas Pulau Jawa

Koefisien S.E. 1 C 8.04** 21.76 2 Air -0.05** -3.82 3 Listrik -0.005 -0.89 4 Jalan -0.12 -0.99 5 Ranjang RS -0.56** -2.14 6 Sekolah 1.09** 6.19

Uji Kesesuaian Model

R-Squared (R2) 0.9549

Durbin-Watson 1.7541

Prob > F-stat 0.0000**

Number of Obs 420

Keterangan : ** signifikan pada taraf 5%

Ketersediaan infrastruktur air bersih (AIR) memberikan dampak negatif yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur air bersih dapat menurunkan tingkat pengangguran. Pada Model ini, kenaikan ketersediaan infrastruktur air bersih sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.05%. Berbeda dengan Infrastruktur air bersih, ketersediaan infrastruktur listrik (LTK) tidak berpangaruh secara signifikan pada taraf 5%, namun memiliki tanda negatif sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Kondisi ini diduga karena di luar Jawa kebutuhan listrik bukanlah hal utama dalam kegiatan ekonomi seperti yang terjadi di Pulau Jawa. Pulau Jawa merupakan kawasan industri utama Indonesia, sehingga kebutuhan energi seperti listrik sangat penting dalam proses produksi. Sektor Industri adalah sektor yang berbasis pada teknologi terutama mesin, sehingga ketersediaan sumber listrik yang baik akan sangat membantu perkembangan sektor tersebut dan menyerap tenaga kerja lebih banyak. Selain itu, populasi yang padat memudahkan dikembangkannya sistem interkoneksi.

Pada model ini, ketersediaan infrastruktur jalan (lnJLN) tidak berpengaruh secara signifikan di taraf nyata 5%, namun memiliki tanda negatif sesuai dengan hipotesis yang diajukan. Kondisi ini diduga karena jalan bukanlah hambatan utama dalam melakukan kegiatan ekonomi di luar Jawa. Jika ditinjau berdasarkan kondisi Pulau Jawa, masalah kemacetan yang timbul akibat terlalu padatnya lalu lintas merupakan salah satu hambatan utama dalam kegiatan ekonomi sehingga dapat mengurangi efisiensi produksi berupa peningkatan biaya transportasi. Enam kota dengan tingkat kemacaten tertinggi, tiga diantaranya berada di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya2.

Ketersediaan infrastruktur kesehatan (lnTT) berpengaruh secara signifikan di taraf 5%, yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur kesehatan dapat menurunkan tingkat pengangguran. Pada model ini, kenaikan ketersediaan infrastruktur kesehatan sebesar 1% akan menurunkan tingkat pengangguran sebesar 0.56%. Sedangkan, infrastruktur pendidikan (lnSK) berpangaruh positif secara signifikan pada taraf 5%, yang berarti peningkatan ketersediaan infrastruktur pendidikan cenderung dapat meningkatkan tingkat pengangguran. Pada model ini, kenaikan ketersediaan infrastruktur pendidikan sebesar 1% akan meningkatkan tingkat pengangguran sebesar 1.09%.

Berdasarkan hasil estimasi pada kedua model, terdapat perbedaan karakteristik antara kawasan Pulau Jawa dan luar Jawa dalam upaya mengurangi tingkat pengangguran. Ketersediaan infrastruktur ekonomi yang terdiri dari infrastruktur jalan, air bersih, dan listrik mampu menyerap tenaga kerja di Pulau Jawa, namun di luar Jawa hanya infrastruktur air bersih yang mampu mengurangi tingkat pengangguran. Kondisi ini diduga berkaitan dengan sektor yang berkembang di kedua kawasan. Pulau Jawa merupakan kawasan industri utama Indonesia, sehingga kebutuhan sumber energi dasar seperti listrik sangat dibutuhkan dalam proses produksi. Sektor industri adalah sektor yang berbasis pada teknologi terutama mesin, sehingga ketersediaan listrik yang baik akan membantu perkembangan sektor tersebut dalam menyerap tenaga kerja lebih banyak. Tabel 8 menunjukkan bahwa pada periode 2009-2011 rata-rata PDB yang berasal dari sektor industri di Pulau Jawa sebesar 65% yang menunjukkan bahwa Pulau Jawa merupakan pusat industri Indonesia.

Tabel 8 Jumlah dan proporsi sektor industri di Pulau Jawa 2009-2011

Kawasan 2009 2010 2011

Pulau Jawa 380 264.52 392 158.09 410 921.05

Indonesia 570 102.50 597 134.90 633 781.90

Proporsi 66.7 % 65.7 % 64.8 %

Sumber: BPS RI, 2012

Ketersediaan infrastruktur jalan juga tidak berpengaruh signifikan di luar Jawa. Kondisi ini lebih dikarenakan jalan bukanlah hambatan utama dalam kegiatan ekonomi di luar Jawa. Jika ditinjau berdasarkan kondisi Pulau Jawa, masalah kemacetan yang timbul akibat tingkat kepadatan kendaraan yang tinggi

2Antique S. 2011. Dalam artikel “Strategi Atasi Macet di 6 Kota Besar”

merupakan salah satu hambatan utama dalam melakukan kegiatan ekonomi sehingga dapat mengurangi efisiensi produksi berupa peningkatan biaya transportasi. Enam kota dengan tingkat kemacetan tertinggi, tiga diantaranya berada di Pulau Jawa yaitu DKI Jakarta, Bandung, dan Surabaya3.

Hasil estimasi terhadap infrastruktur pendidikan cenderung akan meningkat tingkat pengangguran. Hasil ini menunjukkan bahwa pembangunan sarana prasarana pendidikan belum tepat. Pada hipotesis telah disampaikan bahwa pendidikan dapat meningkatkan pengangguran melalui jalur upah. Selain itu, pengangguran dapat muncul akibat kurangnya keterampilan angkatan kerja sehingga terjadi mismatch (ketidaksesuaian) antara tingkat pendidikan pencari kerja dan lapangan pekerjaan yang tersedia. Tabel 9 menunjukkan bahwa pada tingkat pendidikan yang sama yaitu SLTA Umum dan SLTA Kejuruan, tingkat pengangguran terbuka yang berasal dari SLTA Umum lebih tinggi, bahkan jumlah tersebut merupakan yang tertinggi dibandingkan tingkat pendidikan lainnya. Data ini menunjukkan bahwa lulusan SLTA Kejuruan yang memiliki keterampilan khusus dapat membuka kesempatan kerja yang lebih baik dibandingkan SLTA Umum. Hasil penelitian Suryono (2011) yang mencari kesesuaian antara tingkat pendidikan dan jenis pekerjaan pekerja di Pulau Jawa menunjukkan bahwa pada beberapa provinsi seperti Banten dan D. I. Yogyakarta masih terjadi mismatch yang cukup tinggi. Kondisi mismatch di Pulau Jawa cenderung semakin parah pada periode 2008-2010. Penelitian tersebut juga menyatakan bahwa banyaknya lulusan pendidikan tinggi dapat memberikan pengaruh negatif apabila pertambahan lulusan tidak diimbangi dengan lapangan pekerjaan yang tersedia. Tabel 9 Pengangguran terbuka menurut pendidikan tertinggi yang ditamatkan

2010-2012

No Pendidikan Tertinggi yang Ditamatkan Agustus 2010 Agustus 2011 Agustus 2012 1 SD 1 402 858 1 120 090 1 449 508 2 SLTP 1 661 449 1 890 755 1 701 294 3 SLTA Umum 2 149 123 2 042 629 1 832 109 4 SLTA Kejuruan 1 195 192 1 032 317 1 041 265 Sumber: BPS RI, 2012

Dokumen terkait