• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERCOBAAN 1

Multiplikasi Pisang

Bahan tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah kultur pisang FHIA-17 hasil penelitian sebelumnya yang sudah disubkultur sebanyak tiga kali. Pada percobaan 1, kultur pisang dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan menjadi 1-2 tunas. Kemudian kultur pisang dipotong tunasnya dan disayat secara vertikal sebanyak empat kali. Setelah itu ditanam secara acak pada media perlakuan multiplikasi (BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm). Pertumbuhan kultur pisang FHIA-17 mulai terlihat pada hari ketiga setelah subkultur, ditandai dengan mulai merekahnya tunas yang sudah disayat vertikal. Kemudian diikuti dengan munculnya bakal-bakal tunas baru. Pada minggu keempat setelah subkultur, tunas yang ada dikelompokkan menjadi : tunas besar (dua atau lebih daun sudah membuka sempurna), tunas kecil (baru satu daun yang sudah membuka sempurna), primordia (daun belum membuka sempurna), dan nodul (tonjolan bakal tunas). Setelah itu dilakukan subkultur dengan cara membagi eksplan menurut adanya tunas, memotong tunasnya, menyayat vertikal empat kali dan menanamnya di media perlakuan. Subkultur dilakukan setiap empat minggu selama 16 minggu.

Jumlah Tunas Besar

Berdasarkan Tabel 1 dapat terlihat bahwa perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah tunas besar. Rata-rata jumlah tunas besar antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 3-4 tunas per eksplan. Jumlah tersebut tidak terlalu jauh berbeda antara beberapa periode subkultur. Hal ini berlawanan dengan penelitian Wiendi (1992) yang menyatakan bahwa daya regenerasi pisang biasanya meningkat seiring dengan dilakukannya subkultur. Rata-rata jumlah tunas besar yang tidak jauh berbeda antara beberapa periode subkultur menunjukkan bahwa kemungkinan tujuh kali bukan merupakan batas subkultur maksimal bagi pisang FHIA-17 sehingga kemungkinan pisang FHIA-17 dapat disubkultur lebih dari tujuh kali.

Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Tunas Besar Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Tunas Besar

SK 4 SK 5 SK6 SK 7 BAP (ppm) 1 1.7 3.9 2.6 2.9 2 1.8 2.8 2.5 2.8 3 1.3 2.5 2.5 2.6 4 2.0 2.9 3.1 1.8

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

SK = Subkultur

Jumlah Tunas Kecil

Perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah tunas kecil (Tabel 2). Rata-rata jumlah tunas kecil yang dihasilkan antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 0-1 tunas per eksplan dan tidak terlalu jauh berbeda antara setiap periode subkultur. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya sekitar satu primordia yang berkembang menjadi tunas kecil selama fase kultur (empat minggu).

Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Tunas Kecil

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 0.8 0.4 0.7 0.4 2 0.4 0.5 0.7 1.1 3 1.1 0.5 0.4 0.8 4 0.6 0.5 0.5 1.0 Keterangan : SK = Subkultur

Jumlah Primordia dan Nodul

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa rata-rata jumlah primordia yang dihasilkan antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 0-1 primordia per eksplan. Begitu juga dengan rata-rata jumlah nodul yang berkisar antara 0-1 nodul per eksplan (Tabel 4).

Tabel 3. Ra ta-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Primordia

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 0.9 0.1 0.1 0.1 2 0.8 0.1 0.3 0.4 3 0.5 0.1 0.4 0.3 4 0.6 0.0 0.1 0.2 Keterangan : SK = Subkultur

Baik rata-rata jumlah primordia maupun rata-rata jumlah nodul tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara setiap periode subkultur. Rata-rata jumlah primordia dan nodul yang sedikit dan tidak adanya perbedaan yang nyata antara setiap periode subkultur kemungkinan menunjukkan bahwa daya regenerasi pisang FHIA-17 masih sangat rendah dimana pada setiap fase kultur hanya muncul sekitar satu primordia dan satu nodul.

Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Nodul Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Nodul

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 0.4 0.1 0.0 0.0 2 0.4 0.1 0.1 0.1 3 0.8 0.1 0.1 0.1 4 0.2 0.0 0.0 0.1 Keterangan : SK = Subkultur

Total Jumlah Tunas

BAP tidak berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata total jumlah tunas (Tabel 5). Rata-rata total jumlah tunas yang dihasilkan berkisar antara 3-5 tunas per eksplan dari 2-3 tunas pada awal fase kultur dan cenderung stabil antara setiap periode subkultur. Jumlah tersebut sangat sedikit bila dibandingkan dengan penelitian Cronauer dan Krikorian (1984) terhadap pisang Philipine Lacatan dan Grande Naine yang dapat menghasilkan rata-rata 9.1 tunas per eksplan dengan perlakuan 5 ppm BAP. Sementara itu Yusnita et. al. (1996) melaporkan bahwa pada pisang Ambon Kuning dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas 12 buah per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm.

Rendahnya laju multiplikasi pisang FHIA-17 kemungkinan disebabkan oleh kurangnya respon terhadap perlakuan BAP atau kemungkinan ada faktor lain selain BAP yang mempengaruhi laju multiplikasi pisang FHIA-17. Selain itu rata-rata total jumlah tunas yang tidak jauh berbeda antara setiap periode subkultur kemungkinan menunjukkan daya regenerasi pisang FHIA-17 belum meningkat. Hal ini berlawanan dengan penelitian Yusnita (2003) yang menyatakan bahwa tanaman pisang dengan genotipe AAA mempunyai daya regenerasi yang tinggi. Namun dalam penelitian ini meskipun pisang FHIA-17 adalah pisang tetraploid (AAAA), daya regenerasinya terlihat masih rendah dibandingkan dengan kultivar triploid Ambon Kuning yang dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas 12 buah per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm (Yusnita, et. al., 1996). Sementara itu, Kasutjianingati (2004) yang meneliti laju multiplikasi pada lima jenis pisang melaporkan bahwa pisang Mas dapat menghasilkan rata-rata 10.1 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm, pisang Ambon Kuning menghasilkan rata-rata 13 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm, pisang Kepok Kuning menghasilkan rata-rata 8.3 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 5 ppm, pisang Raja Bulu menghasilkan rata-rata 5.5 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 5 ppm, dan pisang Tanduk menghasilkan 4 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm. Dengan demikian media MS dengan BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm kemungkinan belum optimal untuk multiplikasi pisang FHIA-17 atau ada faktor lain yang lebih menentukan kemampuan regenerasi pisang FHIA-17 seperti jenis sitokinin, jenis auksin, atau penambahan bahan organik misalnya air kelapa.

Tabel 5. Rata-Rata Total Jumlah Tunas Pisang FHIA-17 (tunas besar, tunas kecil, primordia, dan nodul) pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Tunas

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 3.8 4.5 3.4 3.4 2 3.6 3.5 3.6 4.4 3 2.9 3.3 3.4 3.8 4 3.3 3.6 3.7 3.1 Keterangan : SK = Subkultur

BAP 1 ppm BAP 2 ppm

BAP 3 ppm BAP 4 ppm

Gambar 2. Penampilan Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP pada Subkultur Pertama

Panjang Tunas

Perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang tunas pisang FHIA-17 (Tabel 6). Rata-rata panjang tunas terpanjang didapatkan pada subkultur 5. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kondisi eksplan awal yang tidak seragam dan pengaruh hormon internal dari pisang FHIA-17.

Tabel 6. Rata-Rata Panjang Tunas Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Panjang Tunas (cm)

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 1.9 5.4 3.1 3.3 2 2.5 3.8 2.7 3.9 3 1.8 3.7 2.5 3.4 4 2.7 3.9 3.0 2.8

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%. SK = Subkultur

Jumlah Akar

Sementara itu berdasarkan Tabel 7 dapat terlihat bahwa perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 pada subkultur 7.

Tabel 7. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Akar

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 3.2 8.0 7.7 11.8a 2 2.0 11.9 8.0 11.3a 3 1.0 6.0 2.9 7.4ab 4 0.5 11.0 9.2 2.4b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

SK = Subkultur

Rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 terbanyak didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm. Hal tersebut diduga disebabkan karena perimbangan auksin dan sitokinin lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Menurut Harjadi (1996) perimbangan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi tumbuhnya akar. Secara visual dapat terlihat bahwa perlakuan BAP 4 ppm akan menghasilkan akar yang sedikit dan lebih gemuk daripada perlakuan BAP 1 ppm.

Panjang Akar

Berdasarkan Tabel 8 perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah panjang akar pisang FHIA-17 pada subkultur 5 dan subkultur 7. Pada subkultur 5 akar terpanjang didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm dan pada subkultur 7 akar terpanjang didapatkan pada BAP 2 ppm. Hal tersebut diduga karena perimbangan auksin dan sitokinin yang lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan yang lain. Harjadi (1996) mengemukakan bahwa perimbangan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi tumbuhnya akar. Perlakuan BAP 1 ppm cenderung menghasilkan akar yang banyak, kecil, dan panjang.

Tabel 8. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Berbaga i Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Panjang Akar (cm)

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 1.5 8.0a 2.9 4.3a 2 0.8 5.1ab 3.3 4.4a 3 0.6 2.3b 2.1 3.0ab 4 0.3 3.8ab 4.5 1.0b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

SK = Subkultur

Panjang Daun

Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang daun pada subkultur 5 dan subkultur 7 (Tabel 9). Pada subkultur 5 hasil tertinggi didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 4.8 cm dan pada subkultur 7 hasil tertinggi didapatkan pada berlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 3.8 cm. Secara visual dapat terlihat bahwa tanaman pisang FHIA-17 yang ditanam di media perlakuan BAP 1 ppm mempunyai daun yang lebih langsing dan panjang daripada pisang yang ditanam di media BAP 4 ppm.

Tabel 9. Rata-Rata Panjang Daun Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Panjang Daun (cm)

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7 BAP (ppm) 1 2.0 4.8a 2.9 3.1ab 2 2.3 3.7ab 3.1 3.8a 3 1.8 2.8b 2.7 3.0ab 4 2.6 4.5ab 3.5 2.3b SK = Subkultur

Dari beberapa peubah yang diamati dapat terlihat bahwa konsentrasi BAP 1 ppm merupakan konsentrasi yang optimal untuk multiplikasi pisang FHIA-17 secara in vitro. Konsentrasi BAP 1 ppm menghasilkan jumlah akar pisang terbanyak, panjang akar pisang terpanjang, dan panjang daun terpanjang. Sedangkan untuk peubah rata-rata jumlah tunas, konsentrasi BAP 1-4 tidak berbeda nyata sehingga penggunaan BAP 1 ppm lebih ekonomis.

PERCOBAAN 2

Pengaruh Giberelin terhadap Kualitas Tunas

Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah kultur pisang FHIA-17 yang sudah disubkultur sebanyak tujuh kali. Pada percobaan 2, kultur pisang FHIA-17 dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan sehingga hanya menjadi satu tunas, kemudian kultur pisang dipotong tunas dan akarnya. Setelah itu ditanam secara acak pada media perlakuan giberelin (giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm). Tanaman berespon terhadap giberelin dengan penambahan panjang batang, meningkatkan ukuran tanaman, mendorong pertumbuhan tunas yang dorman, dan memperbesar bunga.

Pertumbuhan kultur pisang mulai terlihat pada hari ketiga, ditandai dengan munculnya daun yang masih menggulung dari pangkal batang semu bekas potongan. Pada umur lima hari setelah tanam, daun mulai terlihat membuka.

Pertambahan Tinggi Tunas

Jenis tunas berpengaruh sangat nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi pisang FHIA-17 pada minggu pertama dan minggu kedua setelah perlakuan. Pada minggu pertama pertambahan tinggi terbesar dihasilkan oleh tunas tinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 2 cm. Sedangkan pada minggu kedua pertambahan tinggi terbesar dihasilkan oleh tunas tinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 1.7 cm.

Sementara itu pengaruh media asal BAP tidak berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi. Hal tersebut diduga karena kultur pisang sudah mencapai keseimbangan hormonalnya, sehingga pengaruh perlakuan sebelumnya sudah tidak berbeda nyata. Penggunaan giberelin berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi pada minggu pertama dan minggu keempat. Pada minggu pertama pertambahan tinggi terbesar diperoleh dengan perlakuan giberelin 20 ppm, tetapi pada minggu keempat perlakuan giberelin 0 ppm justru menghasilkan pertambahan tinggi terbesar.

Dari Tabel 10 dapat dilihat bahwa pengaruh giberelin terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi menghasilkan pertambahan tinggi yang baik hanya

pada minggu pertama, sedangkan pada minggu- minggu selanjutnya perlakuan giberelin 0 ppm menghasilkan pertambahan tinggi yang lebih besar.

Selain pengaruh tunggal jenis tunas dan giberelin yang berpengaruh nyata terhadap rata-rata pertambahan tinggi, interaksi antara keduanya juga memberikan hasil yang nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi. Interaksi antara tunas tinggi dan giberelin 20 ppm menghasilkan rata-rata pertambahan tinggi terbesar yaitu sebesar 2.51 tunas.

Tabel 10. Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu Setelah Perlakuan

1 2 3 4

Pertambahan tinggi (cm) Jenis Tunas

Tunas Tinggi 2.0a 1.7a 1.1 1.4 Tunas Pendek 1.1b 1.2b 1.3 1.4 Tunas Kecil 0.5c 1.2b 1.1 1.0 Media Asal BAP 1 ppm 1.2 1.4 1.1 1.1 BAP 2 ppm 1.3 1.2 1.1 1.2 BAP 3 ppm 1.1 1.6 1.4 1.4 BAP 4 ppm 1.1 1.2 1.1 1.2 Giberelin 0 ppm 0.9b 1.4 1.3 1.5a 20 ppm 1.4a 1.4 1.0 1.0b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Giberelin 0 ppm Giberelin 20 ppm

Tabel 11. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17

Jenis tunas GA3 0 ppm GA3 20 ppm

Tunas tinggi 1.44b 2.51a

Tunas pendek 0.91bc 1.19b

Tunas kecil 0.38d 0.59cd

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Dari Tabel 11 dapat diduga bahwa tunas tinggi lebih responsif terhadap pemberian giberelin bila dibandingkan dengan tunas pendek dan tunas kecil. Menurut Damasco et. al. (1996) tunas yang mempunyai respon rendah atau tidak berespon sama sekali terhadap pemberian giberelin menunjukkan bahwa tunas tersebut adalah varian. Tetapi hal tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut apakah tunas yang berespon rendah atau tidak berespon sama sekali terhadap giberelin benar-benar merupakan variasi somaklonal.

Jumlah Akar

Perlakuan jenis tunas tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah akar pisang. Hal ini diduga terjadi karena perimbangan auksin dan sitokinin di dalam pisang tersebut yang lebih mempengaruhi peubah jumlah akar. Konsentrasi BAP pada media asal juga memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap peubah jumlah akar. Hal tersebut kemungkinan diakibatkan oleh sudah tercapainya keseimbangan hormon pada tanaman pisang. Sedangkan giberelin memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah akar dari minggu pertama sampai minggu keempat. Dari Tabel 12 dapat dilihat bahwa konsentrasi giberelin 0 ppm menghasilkan rata-rata jumlah akar terbanyak dari minggu pertama sampai minggu keempat. Dengan demikian giberelin cenderung menekan jumlah akar pisang FHIA-17 in vitro.

Tabel 12. Rata-rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu 1 2 3 4 Jumlah Akar Jenis Tunas Tunas Tinggi 2.56 3.94 4.91 5.88 Tunas Pendek 5.59 4.25 5.59 6.19 Tunas Kecil 2.09 3.84 4.84 5.59 Media Asal BAP 1 ppm 2.29 3.50 4.71 5.46 BAP 2 ppm 2.42 3.79 4.83 5.58 BAP 3 ppm 2.46 4.50 5.46 6.46 BAP 4 ppm 2.50 4.25 5.46 6.04 Giberelin

0 ppm 2.71a 4.77a 5.98a 6.88a 20 ppm 2.13b 3.25b 4.25b 4.90b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Panjang Batang Semu

Jenis tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang batang semu. Tunas tinggi menghasilkan rata-rata-rata-rata panjang batang semu yang lebih besar dari minggu pertama sampai minggu keempat dibandingkan dengan tunas kecil maupun tunas pendek. Batang semu terpanjang didapatkan pada minggu keempat pada tunas tinggi dengan panjang 1.98 cm.

Sementara perlakuan BAP pada media asal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang batang semu. Pada Tabel 13 dapat terlihat bahwa konsentrasi BAP 2 ppm pada media asal menghasilkan batang semu terpanjang pada minggu pertama dan minggu ketiga. Tetapi pada minggu kedua dan minggu keempat batang semu terpanjang dihasilkan oleh perlakuan BAP 3 ppm pada media asal.

Tabel 13. Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

1 2 3 4

Panjang Batang Semu (cm) Jenis Tunas

Tunas Tinggi 1.31a 1.53a 1.50a 1.98a Tunas Pendek 0.97b 1.07b 1.12b 1.43b Tunas Kecil 0.85b 0.95b 1.06b 1.24b Media Asal BAP 1 ppm 0.96 1.14 1.24 1.43 BAP 2 ppm 1.22 1.23 1.26 1.63 BAP 3 ppm 1.05 1.28 1.24 1.68 BAP 4 ppm 0.94 1.09 1.18 1.46 Giberelin 0 ppm 0.96 1.02b 1.10b 1.42b 20 ppm 1.12 1.35a 1.36a 1.68a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Giberelin juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada peubah rata-rata panjang batang semu pada minggu kedua, ketiga, dan nyata pada minggu keempat. Rata-rata batang semu terpanjang dihasilkan pada minggu keempat dengan perlakuan giberelin 20 ppm. Perlakuan giberelin 20 ppm mampu meningkatkan rata-rata panjang batang semu setiap minggunya.

Interaksi antara jenis tunas dan giberelin memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang batang semu. Rata-rata batang semu terpanjang didapatkan pada tunas tinggi dengan giberelin 20 ppm yaitu sebesar 2.34 cm. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa tunas tinggi memberikan respon yang baik terhadap giberelin untuk peubah rata-rata panjang batang semu.

Tabel 14. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17

Jenis tunas GA3 0 ppm GA3 20 ppm

Tunas tinggi 1.63b 2.34a

Tunas pendek 1.41b 1.44b

Tunas kecil 1.24bc 1.25bc

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Panjang Pelepah

Peubah panjang pelepah dipengaruhi secara sangat nyata oleh jenis tunas. Tunas tinggi menghasilkan pelepah yang lebih panjang daripada tunas pendek dan tunas kecil dari mulai minggu pertama sampai minggu keempat. Rata-rata panjang pelepah terbesar didapatkan pada tunas tinggi pada minggu keempat.

Perlakuan BAP pada media asal memberikan hasil yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah pada minggu keempat. Perlakuan BAP 2 ppm pada media asal menunjukkan hasil yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan BAP 3 ppm pada media asal. Rata-rata panjang pelepah terbesar didapatkan pada minggu keempat dengan perlakuan BAP 3 ppm pada media asal.

Tabel 15. Rata-Rata Panjang Pelepah Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

1 2 3 4

Panjang Pelepah (cm) Jenis Tunas

Tunas Tinggi 1.05a 3.26a 5.37a 6.29a Tunas Pendek 0.50b 2.52a 3.88b 4.83b Tunas Kecil 0.41b 1.61b 2.89b 3.64c Media Asal BAP 1 ppm 0.65 2.27 4.11 4.77ab BAP 2 ppm 0.46 2.39 3.63 4.00b BAP 3 ppm 0.65 2.41 4.18 5.72a BAP 4 ppm 0.85 2.77 4.27 5.21ab Giberelin 0 ppm 0.73 2.24 3.73 4.60 20 ppm 0.58 2.68 4.36 5.24

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Pemberian giberelin tidak menghasilkan perubahan yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah pisang. Perlakuan giberelin 0 ppm pada minggu pertama menghasilkan rata-rata panjang pelepah yang lebih panjang daripada perlakuan giberelin 20 ppm. Tetapi pada minggu kedua, ketiga, dan keempat perlakuan giberelin 20 ppm dapat menghasilkan hasil yang lebih baik daripada perlakuan giberelin 0 ppm. Rata-rata panjang pelepah terbesar didapatkan pada minggu keempat dengan perlakuan giberelin 20 ppm.

Interaksi antara jenis tunas dan BAP pada media asal memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah. Panjang pelepah terpanjang didapatkan oleh tunas tinggi dengan perlakuan BAP 4 ppm pada media asal. Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa pertambahan konsentrasi BAP pada media asal cenderung menaikkan panjang pelepah pada tunas tinggi. Tetapi sebaliknya pada tunas kecil, pertambahan konsentrasi BAP pada media asal cenderung menurunkan panjang pelepah.

Tabel 16. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17

Jenis tunas Asal Media BAP (ppm)

1 2 3 4

Tunas tinggi 0.65b 0.62bc 1.03b 1.93a Tunas pendek 0.44bcd 0.35bcd 0.73b 0.50bc

Tunas kecil 0.85b 0.43bcd 0.21d 0.14d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Interaksi antara giberelin dan BAP pada media asal juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah. Pelepah terpanjang didapatkan dari perlakuan BAP 4 ppm pada media asal dengan giberelin 20 ppm. Dari Tabel 17 dapat terlihat bahwa pada perlakuan giberelin 20 ppm pertambahan konsentrasi BAP pada media asal cenderung meningkatkan panjang pelepah.

Tabel 17. Pengaruh Interaksi giberelin dan BAP pada Media Asal terhadap Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17

GA3 Asal Media BAP (ppm)

1 2 3 4

0 ppm 1.12a 0.52bc 0.73b 0.57bc 20 ppm 0.18d 0.41cd 0.58bc 1.14a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Lebar Daun

Jenis tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata lebar daun. Tunas tinggi menghasilkan rata-rata-rata-rata lebar daun terbesar pada minggu pertama sampai minggu keempat.

Sedangkan BAP pada media asal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata lebar daun. BAP 3 ppm pada media asal cenderung menghasilkan rata-rata lebar daun yang terbesar.

Giberelin berpengaruh sangat nyata terhadap peubah rata-rata lebar daun. Rata-rata lebar daun terbesar dihasilkan pada minggu keempat dengan perlakuan giberelin 0 ppm. Perlakuan giberelin 0 ppm sejak minggu pertama menghasilkan lebar daun yang lebih lebar daripada perlakuan dengan giberelin 20 ppm.

Tabel 18. Rata-Rata Lebar Daun Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

1 2 3 4

Lebar Daun (cm) Jenis Tunas

Tunas Tinggi 0.77a 1.16a 1.35a 1.60a Tunas Pendek 0.43b 0.87b 1.12b 1.37ab Tunas Kecil 0.28b 0.65b 0.85c 1.13b Media Asal BAP 1 ppm 0.51 0.90 1.08 1.28 BAP 2 ppm 0.37 0.81 1.03 1.24 BAP 3 ppm 0.59 0.93 1.19 1.54 BAP 4 ppm 0.49 0.92 1.12 1.39 Giberelin

0 ppm 0.69a 1.07a 1.27a 1.56a

20 ppm 0.30b 0.71b 0.94b 1.17b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Selain pengaruh tunggal jenis tunas dan giberelin yang memberikan

Dokumen terkait