• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Konsentrasi Bap Terhadap Multiplikasi Tunas Dan Giberelin Terhadap Kualitas Tunas Pisang Fhia-17 In Vitro

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Konsentrasi Bap Terhadap Multiplikasi Tunas Dan Giberelin Terhadap Kualitas Tunas Pisang Fhia-17 In Vitro"

Copied!
57
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP

MULTI PLI KASI TUNAS DAN GI BERELI N TERHADAP

KUALI TAS TUNAS PI SANG FHI A- 17

I N VI TRO

Oleh :

DONNY ANDRI ANA A3 4 3 0 1 0 6 4

PROGRAM STUDI HORTI KULTURA FAKULTAS PERTANI AN

(2)

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP

MULTI PLI KASI TUNAS DAN GI BERELI N TERHADAP

KUALI TAS TUNAS PI SANG FHI A- 17

I N VI TRO

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Donny Andriana

A34301064

PROGRAM STUDI HORTI KULTURA FAKULTAS PERTANI AN

(3)

RINGKASAN

DONNY ANDRIANA. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi

Tunas dan Giberelin untuk Perbaikan Kualitas Tunas Pisang FHIA-17 In

Vitro. (Dibimbing oleh DEWI SUKMA).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi BAP yang optimal untuk perbanyakan pisang FHIA-17 dan melihat pengaruh giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juli 2005 di laboratorium Kultur Jaringan Departemen Budidaya Pertanian, Kampus IPB Darmaga, Bogor.

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan multiplikasi tunas dan percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas. Untuk percobaan multiplikasi tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP. BAP terdiri dari empat taraf, yaitu 1, 2, 3, dan 4 ppm. Setiap perlakuan minimal terdiri dari 10 botol. Untuk percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap tiga faktor. Faktor pertama adalah jenis tunas, faktor kedua adalah asal media multiplikasi dan faktor ketiga perlakuan giberelin. Jenis tunas dibagi menjadi 3, yaitu tunas tinggi (tunas yang memiliki tinggi lebih dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna), tunas pendek (tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna), dan tunas kecil (tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan tidak memiliki daun yang membuka sempurna). Asal media multiplikasi terdiri dari empat taraf, yaitu BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm. Sedangkan perlakuan giberelin terdiri dari dua taraf, yaitu giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm. Masing- masing perlakuan giberelin terdiri dari 48 tunas, yang berasal dari 4 kombinasi asal media multiplikasi.

Hasil percobaan multiplikasi menunjukkan bahwa perlakuan BAP (1, 2, 3, 4 ppm) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah jumlah tunas besar, jumlah tunas kecil, jumlah primordia, jumlah nodul, total jumlah tunas, dan panjang tunas pisang FHIA-17. Rata-rata total jumlah tunas yang dihasilkan berkisar antara 3-5 tunas per eksplan dan tidak jauh berbeda antara beberapa periode subkultur. Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah akar, panjang akar dan panjang daun.

(4)

Hasil percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas didapatkan bahwa tinggi tanaman, panjang batang semu, panjang pelepah, lebar daun dan panjang akar dipengaruhi oleh jenis tunas. Perlakuan giberelin berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, jumlah akar, panjang batang semu dan lebar daun. Sedangkan konsentrasi BAP pada media asal berpengaruh nyata hanya pada peubah panjang pelepah pada minggu keempat.

Pertambahan tinggi tanaman terbesar, jumlah akar terbanyak, batang semu, pelepah, dan akar terpanjang, serta daun terlebar dihasilkan pada perlakuan asal media BAP 3 ppm dan pada jenis tunas tinggi. Pemberian giberelin 20 ppm dapat menghasilkan panjang batang semu dan panjang pelepah terpanjang. Sedangkan pertambahan tinggi terbesar, jumlah akar terbanyak, daun terlebar dan akar terpanjang dihasilkan oleh giberelin 0 ppm.

Interaksi antara jenis tunas tinggi dan giberelin 20 ppm menghasilkan pertambahan tinggi tanaman dan panjang batang semu terbesar. Daun terlebar dihasilkan dari interaksi tunas tinggi dan giberelin 0 ppm, serta BAP 1 ppm pada media asal dan giberelin 0 ppm. Interaksi antara tunas tinggi dan BAP 4 ppm pada media asal serta BAP 4 ppm pada media asal dan giberelin 20 ppm menghasilkan pelepah pisang terpanjang, yaitu sebesar 1.9 cm dan 1.1 cm. Akar terpanjang, yaitu 12.6, dihasilkan dari interaksi antara tunas tinggi dan media asal BAP 2 ppm.

(5)

Judul : PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN GIBERELIN

TERHADAP KUALITAS TUNAS PISANG FHIA-17

IN VITRO

Nama Mahasiswa : Donny Andriana (A34301064) Program Studi : Hortik ultura

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dewi Sukma, SP. MSi.

NIP. 132 166 488

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr.

NIP. 130 422 698

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 19 September 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari ayah Rubby Suhartono dan ibu Ella Sinta Rosana.

Penulis memulai pendidikan formalnya pada Taman Kanak – Kanak Sandi Putra di Bandung, dilanjutkan denga n pendidikan dasar di SD Negeri Nilem 2, Bandung. Penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 13 Bandung tahun 1998. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 5 Bandung.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan pada Robb pencipta alam semesta atas segala nikmat-Nya. Sholawat dan salam penulis junjungkan pada Rasulullah, Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya. Penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul Pengaruh konsentrasi BAP terhadap multiplikasi tunas dan giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 in vitro.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Dewi Sukma SP. MSi. selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi, bimbingan, serta ilmu pengetahuan.

2. Dr. Ir. Agus Purwito MSc. dan Dr. Ir. Sobir MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran.

3. Mama, Papa, dan Angga atas semua dukungan dan semangatnya.

4. Bayu Puji Widyarti yang telah setia menemani, membantu, dan memberikan semangat.

5. My friends in Hortikultura 38. Thanks for our good times together.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membaca dan memerlukannya.

Bogor, September 2005

(8)

DAFTAR ISI

Kultur Jaringan Pisang.……….. 5

Zat Pengatur Tumbuh...……….. 7

BAHAN DAN METODE………... 8

Tempat dan Waktu Penelitian……… 8

Bahan dan Alat……… 8

Metode Penelitian………... 8

Rancangan Penelitian………... 8

Pelaksanaan Penelitian………. 10

Pengamatan...…………..………. 10

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 12

Percobaan 1 : Multiplikasi Pisang...……… 12

Jumlah Tunas Besar...………... 12

Jumlah Tunas Kecil...………... 13

Jumlah Primordia dan Nodul.………... 13

Total Jumlah Tunas...………... 14

Panjang Tunas...………..……….. 16

Jumlah Akar.………..……… 17

Panjang Akar.………..….. 17

Panjang Daun………..….. 18

Percobaan 2 : Perbaikan Tunas Dengan Perlakuan Giberelin....…….... 19

Pertambahan Tinggi Tunas..………... 19

Jumlah Akar...………... 21

Panjang Batang Semu....………... 22

(9)

DAFTAR PUSTAKA……….…. 30

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Rata-Rata Jumlah Tunas Besar Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7.…...……. 13 2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 13 3. Rata-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 14 4. Rata-Rata Jumlah Nodul Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7……...……. 14 5. Rata-Rata Total Jumlah Tunas (tunas besar, tunas kecil, primordia,

dan nodul) Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7………..…. 15 6. Rata-Rata Panjang Tunas Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 16 7. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7.…...……. 17 8. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 18 9. Rata-Rata Panjang Daun Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7...…...……. 18 10.Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.……… 20 11.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap

Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17..……….. 21 12.Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 22 13.Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 23 14.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap

Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17..……….. 23 15.Rata-Rata Panjang Pelepah Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 24 16.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap

(11)

17.Pengaruh Interaksi Giberelin dan BAP pada Media Asal terhadap Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17…………...……….. 25 18.Rata-Rata Lebar Daun Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 26 19.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap

Lebar Daun Pisang FHIA-17…………..…………...……….. 27 20.Pengaruh Interaksi Giberelin dan BAP pada Media Asal terhadap

Lebar Daun Pisang FHIA-17…………..…………...……….. 27 21.Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 28 22.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap

Panjang Akar Pisang FHIA-17………..…………...……….. 28

Lampiran

1. Komposisi Media Murashige-Skoog (1962)...……….. 33 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh BAP

terhadap Multiplikasi Tunas Pisang FHIA-17...……… 34 3. Rekapitulasi Koefisien Keragaman (%) Pengaruh BAP

terhadap Multiplikasi...……….. 35 4. Rekapitulasi ANOVA Pengaruh Jenis Tunas, Perlakuan GA3, dan

(12)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman Teks

1. Klasifikasi Tunas dalam Pengamatan Percobaan pada Setiap

Akhir Fase Kultur...……… 11 2. Penampilan Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP

pada Subkultur Pertama...……….. 16 3. Penampilan Tunas Tinggi pada Perlakuan Giberelin 0 ppm

dan 20 ppm...……… 20 4. Penampilan Akar Pisang pada Perlakuan Giberelin 0 ppm

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Pisang (Musa sp.) merupakan tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sudah lama buah pisang menjadi komoditas buah tropis yang sangat populer di dunia. Hal ini dikarenakan rasanya lezat, gizinya tinggi, dan harganya relatif murah (Sunarjono, 2002). Data ekspor pisang pada tahun 2003 adalah sebanyak 0.24 juta ton, sedangkan impor pisang mencapai 0.56 juta ton (Badan Pusat Statistik, 2004). Dengan demikian peluang untuk memproduksi pisang masih sangat terbuka lebar.

Pisang FHIA-17 adalah sejenis pisang Cavendish hibrida dengan genotipe AAAA yang diintroduksikan oleh The Honduran Foundation for Agricultural Research (FHIA). Menurut Orjeda dan Moore (1999) pisang FHIA-17 dapat

menghasilkan hasil maksimum 43.8 kg per tandan. Disamping itu juga, pisang FHIA-17 tahan terhadap penyakit layu Fusarium, black sigatoka, dan beberapa bentuk penyakit Panama.

Dalam usaha agribisnis yang berorientasi pasar, penggunaan bibit bermutu merupakan syarat utama agar diperoleh hasil produksi yang optimum dan buah yang bermutu tinggi. Untuk penanaman skala luas, penggunaan bibit yang berasal dari anakan kurang efisien karena dalam siklus hidupnya tanaman pisang umumnya hanya menghasilkan lima sampai sepuluh anakan per rumpun tiap tahunnya. Disamping itu juga, dalam penanaman skala luas dibutuhkan bibit yang seragam, baik genetik maupun morfologis agar hasilnya optimum (Sunarjono, 2002). Hal tersebut akan sulit dipenuhi bila bibit yang digunakan berasal dari anakan.

(14)

Perbanyakan tanaman secara kultur jaringan, menurut Yusnita (2003) mempunyai beberapa kelebihan. Salah satunya adalah menawarkan peluang besar untuk menghasilkan bibit tanaman dalam jumlah besar dan dalam waktu relatif singkat. Selain itu menurut Cronauer dan Krikorian (1984) tanaman asal kultur jaringan dapat tumbuh lebih cepat pada awal perkembangannya dan mempunyai pseudostem yang lebih besar dan daun yang lebih sehat. Eckstein dan Robinson

(1995) menambahkan bahwa tanaman pisang asal kultur jaringan dapat menghasilkan berat kering dua kali lebih banyak dibandingkan dengan tanaman pisang yang berasal dari anakan. Apabila ditinjau dari segi hasil, Robinson et. al. (1993) mengemukakan bahwa pisang asal kultur jaringan dapat memberikan hasil lebih banyak 20.4 % dibandingkan pisang yang berasal dari anakan. Sedangkan bila dilihat dari segi penyediaan bibit, Cronauer dan Krikorian (1984) dan Winarsih et. al. (1999) mengemukakan bahwa bibit pisang asal kultur jaringan lebih murah, mudah diperbanyak dan mudah ditransportasikan.

Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan untuk perbanyakan in vitro pisang adalah dari golongan sitokinin. Menurut Wattimena (1988) sitokinin berfungsi dalam menginduksi pembelahan sel, mendorong proliferasi tunas dan diferensiasi tunas adventif dari kalus dan organ serta sintesis protein. Sitokinin yang sering dipakai untuk perbanyakan pisang adalah Benzyl Amino Purine (BAP). Hal tersebut dikarenakan BAP lebih stabil, tidak mahal, mudah tersedia, bisa disterilisasi, dan efektif.

Penggunaan BAP untuk perbanyakan pisang telah banyak dilaporkan, antara lain oleh Yusnita et. al.(1996) yang menyatakan bahwa penggunaan BAP 2 ppm menghasilkan hasil yang terbaik untuk perbanyakan pisang ambon kuning secara in vitro. Yusnita et. al. (1997) menambahkan bahwa media MS dengan konsentrasi BAP 1-2 ppm optimum untuk perbanyakan in vitro pisang Raja Sere.

(15)

menambahkan bahwa penggunaan BAP 1 ppm dan GA3 1 ppm dapat menginduksi dan merangsang pemanjangan meristem melati. Hayati (1992) melaporkan bahwa penggunaan MS cair, BAP 1.5 ppm, NAA 0.5 ppm, dan GA3 1 ppm dapat menghasilkan tingkat pemanjangan tertinggi pada tanaman nilam. Wahyurini (2002) menambahkan bahwa GA3 dapat digunakan untuk mengatasi rosette pada lili kultivar Snow Queen.

Penggunaan giberelin pada mikropropagasi tanaman pisang belum banyak dilaporkan. Salah satu potensi penggunaan giberelin pada tanaman pisang adalah untuk mendeteksi variasi somaklonal, seperti yang dilaporkan oleh Damasco et. al. (1996). Selain itu pada subkultur lanjut, tunas pisang cenderung menjadi pendek-pendek (rosette). Penggunaan giberelin dalam kultur in vitro kemungkinan dapat meningkatkan atau memperbaiki kualitas tunas yang memendek (rosette).

Tujuan Penelitian

1. Mengetahui konsentrasi BAP yang optimal untuk perbanyakan pisang FHIA-17 secara in vitro.

2. Melihat pengaruh giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 secara in vitro.

Hipotesis

1. Terdapat suatu konsentrasi BAP yang optimal untuk perbanyakan pisang FHIA-17 secara in vitro.

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Pisang

Pisang (Musa sp) merupakan tanaman asal Asia Tenggara yang kini sudah tersebar luas ke seluruh dunia, termasuk Indonesia (Sunarjono, 2002). Menurut Valles (1968) morfologi tanaman dapat dikenali dengan jelas melalui batangnya yang berlapis- lapis. Lapisan pada batang ini sebenarnya merupakan dasar dari pelepah daun yang dapat menyimpan banyak air (sukulenta) sehingga lebih tepat disebut batang semu (pseudostem). Samson (1986) menambahkan bahwa batang pisang yang sesungguhnya terdapat di dalam tanah, yaitu yang sering disebut bonggol. Pada sepertiga bagian bonggol sebelah atas terdapat mata, calon tumbuh tunas anakan. Sementara pada bagian bawah bonggol terdapat perakaran serabut yang lunak.

Lembaran daun (lamina) pisang lebar dengan urat daun utama menonjol berukuran besar sebagai pengembangan dari morfologis lapisan batang semu. Bunga pisang berupa tongkol yang disebut jantung. Bunga pisang terdiri dari beberapa lapisang yang disebut seludang (bractea). Diantara lapisan seludang bunga tersebut terdapat bakal buah yang sering disebut sisiran tandan (Trubus, 1998).

Berdasarkan cara makannya, pisang dibagi menjadi dua kelompok besar, yaitu pisang meja (banana) yang dapat langsung dimakan dan pisang plantain yang harus diolah terlebih dahulu. Kedua pisang tersebut berasal dari nenek moyang yang berbeda. Pisang meja (banana) turunan dari pisang liar Musa acuminata, sedangkan pisang plantain berasal dari Musa balbisiana. Kultivar

yang sekarang banyak dikenal umumnya merupakan hasil persilangan antar varietas pisang nenek moyang itu, sehingga bersifat triploid dan tidak menghasilkan biji (partenokarpi). Oleh karena itu perbanyakan pisang dilakukan secara vegetatif, baik dengan anakan maupun dengan mata tunas bonggol atau bit (Samson, 1986).

(17)

Nangka (Sunarjono, 2002). Pisang FHIA-17 adalah sejenis pisang Cavendish hibrida dengan genotype AAAA, yang diintroduksikan oleh The Honduran Foundation for Agricultural Research (FHIA-17). Pisang FHIA-17 mempunyai

keunggulan dibanding pisang Cavendish lainnya, yaitu tahan terhadap layu Fusarium, tahan terhadap Black Sigatoka dan tahan terhadap beberapa bentuk penyakit Panama (Orjeda dan Moore, 1999).

Kultur Jaringan Pisang

Kultur jaringan tanaman merupakan teknik untuk mengisolasi bagian tanaman (organ, jaringan, sel, protoplas) dan menumbuhkannya dalam kondisi aseptik, sehingga bagian-bagian tanaman tersebut dapat memperbanyak diri dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap (Janick, 1972). Menurut Yusnita (2003) perbanyakan tanaman secara kultur jaringan mempunyai kelebihan, yaitu : dapat memperbanyak tanaman dalam jumlah besar dalam waktu relatif singkat, tanaman yang dihasilkan sama dengan induknya, tidak memerlukan bahan tanaman yang banyak, tidak tergantung musim, dan tanaman yang dihasilkan bebas penyakit.

Menurut Yuniastuti (1996) dan Sulistyaningsih (1997) pisang dengan genotype AAA seperti Pisang Ambon Kuning dan Cavendish relatif mudah untuk membentuk tunas. Hal tersebut diakibatkan karena pisang dengan genotype AAA mengeluarkan lebih sedikit senyawa fenol. Menurut Wattimena (1988) senyawa fenol adalah senyawa organik yang menghalangi pertumbuhan dan tidak mempunyai selang konsentrasi yang dapat mendorong pertumbuhan. Menurut Banarjee (1985) aktivitas fenol menurun seiring dengan semakin seringnya dilakukan subkultur. Wiendi (1992) menambahkan bahwa daya regenerasi pisang biasanya meningkat seiring dengan dilakukannya subkultur. Media yang digunakan dalam perbanyakan pisang secara in vitro dapat berupa media cair dan padat. Media cair mempunyai beberapa keuntungan dibandingkan dengan media padat, salah satunya adalah ketersediaan oksigen lebih baik pada media cair (Evans et. al., 1981).

(18)

yang diperkaya dengan 5 ppm 6-benzylaminopurine (BAP). Wong (1986) menambahkan bahwa penggunaan BA lebih efektif daripada Kinetin dan multiplikasi akan semakin rendah bila konsentrasi sitokinin di dalam media terlalu tinggi.

Yusnita et. al. (1996) melakukan penelitian terhadap pisang Ambon Kuning dan mendapatkan hasil bahwa kultur terbaik diperoleh dari media MS yang diperkaya dengan 2 ppm BA. Yusnita (1997) menambahkan bahwa BA efektif untuk menginduksi multiplikasi tunas dan peningkatan konsentrasi BA dalam media dari 1-5 ppm menghasilkan jumlah tunas yang banyak, tetapi hal itu diikuti dengan pengurangan panjang tunas. Tetapi Hasrini (2002) menemukan bahwa pembentukan tunas pada pisang Abaca terjadi dengan baik pada media MS cair yang diperkaya dengan BAP 5 ppm. Menurut Yusnita (2003) tahapan-tahapan dari perbanyakan dengan teknik kultur jaringan, yaitu :

1. Mendapatkan tanaman steril dalam kultur in vitro (establishment)

Tujuan utama tahapan ini adalah mengusahakan kultur yang aseptik dan aksenik. Untuk mendapatkan kultur yang steril dapat dilakukan sterilisasi permukaan pada eksplan yang hendak dikulturkan.

2. Perbanyakan tunas (multiplication)

Tahapan ini bertujuan untuk menggandakan propagaul atau bahan tanaman yang akan diperbanyak, seperti tunas atau embrio. Pada tahapan ini umumnya dilakukan penambahan hormon atau zat pengatur tumbuh (ZPT) untuk merangsang pertumbuhan tunas.

3. Induksi perakaran (root formation)

Tahapan ini biasa dilakukan pada kultur yang sulit untuk membentuk akar. Pengakaran tunas dapat dilakukan secara in vitro atau in vivo.

4. Aklimatisasi (acclimatization)

(19)

Zat Pengatur Tumbuh

Zat pengatur tumbuh adalah senyawa organik bukan nutrisi, aktif dalam jumlah kecil (10-6- 10-5 mM) yang disintesiskan pada bagian tertentu tanaman dan pada umumnya diangkut ke bagian lain tanaman dimana zat tersebut menimbulkan tanggapan secara biokimia, fisiologis, dan morfologis (Wattimena, 1988). Jenis dan konsentrasi ZPT yang digunakan sangat menentukan keberhasilan kultur jaringan. Jenis dan konsentrasi ZPT tergantung pada tujuan dan tahap pengkulturan (Yusnita, 2003). Menurut Janick (1972) sitokinin atau campuran sitokinin dengan auksin rendah dipakai untuk menumbuhkan dan menggandakan tunas aksilar atau merangsang tumbuhnya tunas-tunas adventif. Jenis sitokinin yang sering dipakai adalah BA (Benzyl Adenine) dan BAP (Benzyl Amino Purine), dikarenakan efektifitasnya tinggi, harganya murah, dan bisa

disterilisasi. Menurut Franklin dan Dixon (1993) BAP dalam konsentrasi 1-20 µm dapat menginduksi morfogenesis, dan bila konsentrasi ditingkatkan menjadi 20-50 µm dapat meningkatkan kecepatan multiplikasi tunas.

Penggunaan giberelin dalam kultur jaringan dilaporkan oleh Wahyurini (2002) yang menyatakan bahwa giberelin dapat digunakan untuk mengatasi rosette pada lili kultivar Snow Queen. Menurut Weaver (1972) GA3 secara

(20)

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di laboratorium Kultur Jaringan Departemen Budidaya Pertanian, Kampus IPB-Darmaga Bogor. Penelitian ini membutuhkan waktu enam bulan, dimulai pada bulan Februari sampai bulan Juli 2005.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan adalah kultur pisang FHIA-17 sebagai sumber eksplan. Sedangkan bahan kimia yang digunakan mencakup media MS, alkohol 95 %, BAP, NAA, giberelin, gula, dan spiritus. Alat yang digunakan adalah alat tanam yang biasa digunakan dalam kultur jaringan tanaman meliputi pinset, gunting tanam, lampu spiritus, millipore 0.45 mµ, syringe, kertas saring, dan scalpel.

Metode Penelitian

Rancangan Penelitian

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan multiplikasi tunas dan percobaan penggunaan giberelin terhadap kualitas tunas. Untuk percobaan multiplikasi tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP. BAP terdiri dari empat taraf, yaitu 1, 2, 3, dan 4 ppm. Setiap perlakuan minimal terdiri dari 10 botol.

Model linier aditif rancangan acak lengkap untuk percobaan 1 adalah sebagai berikut :

Yij = µ + ?i + eij Keterangan :

Yij = Pengamatan pada perlakuan BAP dan ulangan µ = Rataan umum

?i = Pengaruh perlakuan BAP

(21)

Untuk percobaan penggunaan giberelin terhadap kualitas tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap tiga faktor. Faktor pertama adalah jenis tunas, faktor kedua adalah asal media multiplikasi dan faktor ketiga perlakuan giberelin.

Jenis tunas dibedakan berdasarkan tinggi dan jumlah daun menjadi :

Tunas Tinggi (TT), yaitu tunas yang memiliki tinggi lebih dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna.

Tunas Pendek (TP), yaitu tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna.

Tunas Kecil (TK), yaitu tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan tidak memiliki daun yang membuka sempurna.

Asal media multiplikasi terdiri dari empat taraf, yaitu BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm. Sedangkan perlakuan giberelin terdiri dari dua taraf, yaitu giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm. Masing- masing perlakuan giberelin terdiri dari 48 tunas, yang berasal dari 4 kombinasi asal media multiplikasi. Setiap perlakuan pada percobaan 1 terdiri dari 10 ulangan, sementara pada percobaan 2 terdiri dari 32 ulangan.

Model linier aditif rancangan acak lengkap untuk percobaan 2 adalah sebagai berikut :

Yijkl = µ + ai + ßj + ?k + (aß)ij + (a?)ik + (ß?)jk + (aß?)ijk + eijkl Keterangan :

Yijkl = Pengamatan pada perlakuan JT, giberelin, media asal, dan ulangan ai = Pengaruh Jenis Tunas

(aß?)ijk = Interaksi Jenis Tunas, media asal, dan giberelin

eijkl = Pengaruh acak pada perlakuan Jenis Tunas, media asal, giberelin dan ulangan

(22)

Pelaksanaan Penelitian

Pada percobaan 1 kultur pisang FHIA-17 yang digunakan sebagai sumber eksplan adalah planlet pisang yang ditanam dalam media BA 2 ppm + NAA 0.1 ppm. Planlet tersebut sebelumnya telah disubkultur 3 kali. Kultur tersebut dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan menjadi 1-2 tunas, kemudian kultur pisang dipotong tunasnya dan disayat secara vertikal sebanyak 4 kali. Setelah itu ditanam secara acak pada media perlakuan (BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm). Botol kultur diletakkan di ruang kultur bersuhu 18oC dan disinari oleh lampu neon berkekuatan 1000 lux. Subkultur dilakukan setiap empat minggu sekali dengan cara membelah eksplan menurut adanya tunas, memotong tunas, dan menyayat vertikal tunas yang tumbuh dominan. Subkultur dilakukan selama 16 minggu.

Pada percobaan 2 eksplan dikeluarkan dari dalam media multiplikasi, kemudian dikelompokkan berdasarkan tinggi tunas dan jumlah daunnya. Tunas tinggi untuk tunas yang tingginya lebih dari tiga sentimeter dan memiliki 2-3 helai daun yang sudah membuka sempurna, tunas pendek untuk tunas yang tingginya kurang dari tiga sentimeter dan memiliki 2-3 daun yang sudah membuka sempurna, dan tunas kecil untuk tunas yang tingginya kurang dari tiga sentimeter dan tidak memiliki daun yang membuka sempurna. Setelah itu eksplan dipotong tunasnya dan akarnya kemudian ditanam di dalam media perlakuan giberelin (giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm).

Pengamatan

Pengamatan percobaan 1 dilakukan setiap empat minggu sekali terhadap eksplan yang hendak disubkultur. Peubah yang diamati mencakup :

1. Jumlah tunas besar, tunas kecil, primordia, dan jumlah nodul 2. Panjang tunas

(23)

Gambar 1. Klasifikasi Tunas dalam Pengamatan Percobaan pada Setiap Akhir Fase Kultur

Sedangkan pengamatan pada percobaan 2 dilakukan setiap minggu selama empat minggu kecuali panjang akar yang diamati pada minggu terakhir. Peubah yang diamati mencakup :

1. Pertambahan tinggi tunas 2. Jumlah akar

3. Panjang batang semu 4. Panjang pelepah daun 5. Lebar daun

6. Panjang akar

Tunas Besar

Primordia

(24)

HASIL DAN PEMBAHASAN

PERCOBAAN 1

Multiplikasi Pisang

Bahan tanaman yang akan digunakan sebagai eksplan adalah kultur pisang FHIA-17 hasil penelitian sebelumnya yang sudah disubkultur sebanyak tiga kali. Pada percobaan 1, kultur pisang dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan menjadi 1-2 tunas. Kemudian kultur pisang dipotong tunasnya dan disayat secara vertikal sebanyak empat kali. Setelah itu ditanam secara acak pada media perlakuan multiplikasi (BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm). Pertumbuhan kultur pisang FHIA-17 mulai terlihat pada hari ketiga setelah subkultur, ditandai dengan mulai merekahnya tunas yang sudah disayat vertikal. Kemudian diikuti dengan munculnya bakal-bakal tunas baru. Pada minggu keempat setelah subkultur, tunas yang ada dikelompokkan menjadi : tunas besar (dua atau lebih daun sudah membuka sempurna), tunas kecil (baru satu daun yang sudah membuka sempurna), primordia (daun belum membuka sempurna), dan nodul (tonjolan bakal tunas). Setelah itu dilakukan subkultur dengan cara membagi eksplan menurut adanya tunas, memotong tunasnya, menyayat vertikal empat kali dan menanamnya di media perlakuan. Subkultur dilakukan setiap empat minggu selama 16 minggu.

Jumlah Tunas Besar

(25)

Tabel 1. Rata-Rata Jumlah Tunas Besar Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Tunas Besar

SK 4 SK 5 SK6 SK 7

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

SK = Subkultur

Jumlah Tunas Kecil

Perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah tunas kecil (Tabel 2). Rata-rata jumlah tunas kecil yang dihasilkan antara setiap perlakuan BAP berkisar antara 0-1 tunas per eksplan dan tidak terlalu jauh berbeda antara setiap periode subkultur. Hasil ini menunjukkan bahwa hanya sekitar satu primordia yang berkembang menjadi tunas kecil selama fase kultur (empat minggu).

Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Tunas Kecil

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

(26)

Tabel 3. Ra ta-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Primordia

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

Baik rata-rata jumlah primordia maupun rata-rata jumlah nodul tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara setiap periode subkultur. Rata-rata jumlah primordia dan nodul yang sedikit dan tidak adanya perbedaan yang nyata antara setiap periode subkultur kemungkinan menunjukkan bahwa daya regenerasi pisang FHIA-17 masih sangat rendah dimana pada setiap fase kultur hanya muncul sekitar satu primordia dan satu nodul.

Tabel 4. Rata-Rata Jumlah Nodul Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Nodul

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

(27)

Rendahnya laju multiplikasi pisang FHIA-17 kemungkinan disebabkan oleh kurangnya respon terhadap perlakuan BAP atau kemungkinan ada faktor lain selain BAP yang mempengaruhi laju multiplikasi pisang FHIA-17. Selain itu rata-rata total jumlah tunas yang tidak jauh berbeda antara setiap periode subkultur kemungkinan menunjukkan daya regenerasi pisang FHIA-17 belum meningkat. Hal ini berlawanan dengan penelitian Yusnita (2003) yang menyatakan bahwa tanaman pisang dengan genotipe AAA mempunyai daya regenerasi yang tinggi. Namun dalam penelitian ini meskipun pisang FHIA-17 adalah pisang tetraploid (AAAA), daya regenerasinya terlihat masih rendah dibandingkan dengan kultivar triploid Ambon Kuning yang dapat menghasilkan rata-rata jumlah tunas 12 buah per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm (Yusnita, et. al., 1996). Sementara itu, Kasutjianingati (2004) yang meneliti laju multiplikasi pada lima jenis pisang melaporkan bahwa pisang Mas dapat menghasilkan rata-rata 10.1 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm, pisang Ambon Kuning menghasilkan rata-rata 13 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm, pisang Kepok Kuning menghasilkan rata-rata 8.3 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 5 ppm, pisang Raja Bulu menghasilkan rata-rata 5.5 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 5 ppm, dan pisang Tanduk menghasilkan 4 tunas per eksplan dengan perlakuan BAP 2 ppm. Dengan demikian media MS dengan BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm kemungkinan belum optimal untuk multiplikasi pisang FHIA-17 atau ada faktor lain yang lebih menentukan kemampuan regenerasi pisang FHIA-17 seperti jenis sitokinin, jenis auksin, atau penambahan bahan organik misalnya air kelapa.

(28)

BAP 1 ppm BAP 2 ppm

BAP 3 ppm BAP 4 ppm

Gambar 2. Penampilan Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP pada Subkultur Pertama

Panjang Tunas

Perlakuan BAP tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang tunas pisang FHIA-17 (Tabel 6). Rata-rata panjang tunas terpanjang didapatkan pada subkultur 5. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kondisi eksplan awal yang tidak seragam dan pengaruh hormon internal dari pisang FHIA-17.

Tabel 6. Rata-Rata Panjang Tunas Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Panjang Tunas (cm)

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

BAP (ppm)

1 1.9 5.4 3.1 3.3

2 2.5 3.8 2.7 3.9

3 1.8 3.7 2.5 3.4

4 2.7 3.9 3.0 2.8

(29)

Jumlah Akar

Sementara itu berdasarkan Tabel 7 dapat terlihat bahwa perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 pada subkultur 7.

Tabel 7. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Jumlah Akar

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

SK = Subkultur

Rata-rata jumlah akar pisang FHIA-17 terbanyak didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm. Hal tersebut diduga disebabkan karena perimbangan auksin dan sitokinin lebih tinggi daripada perlakuan lainnya. Menurut Harjadi (1996) perimbangan auksin dan sitokinin yang tinggi akan menginduksi tumbuhnya akar. Secara visual dapat terlihat bahwa perlakuan BAP 4 ppm akan menghasilkan akar yang sedikit dan lebih gemuk daripada perlakuan BAP 1 ppm.

Panjang Akar

(30)

Tabel 8. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Berbaga i Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Panjang Akar (cm)

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

SK = Subkultur

Panjang Daun

Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang daun pada subkultur 5 dan subkultur 7 (Tabel 9). Pada subkultur 5 hasil tertinggi didapatkan pada perlakuan BAP 1 ppm, yaitu sebesar 4.8 cm dan pada subkultur 7 hasil tertinggi didapatkan pada berlakuan BAP 2 ppm, yaitu sebesar 3.8 cm. Secara visual dapat terlihat bahwa tanaman pisang FHIA-17 yang ditanam di media perlakuan BAP 1 ppm mempunyai daun yang lebih langsing dan panjang daripada pisang yang ditanam di media BAP 4 ppm.

Tabel 9. Rata-Rata Panjang Daun Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7.

Perlakuan Panjang Daun (cm)

(31)

PERCOBAAN 2

Pengaruh Giberelin terhadap Kualitas Tunas

Bahan tanaman yang digunakan sebagai eksplan adalah kultur pisang FHIA-17 yang sudah disubkultur sebanyak tujuh kali. Pada percobaan 2, kultur pisang FHIA-17 dikeluarkan dari botol kultur dan dipisahkan sehingga hanya menjadi satu tunas, kemudian kultur pisang dipotong tunas dan akarnya. Setelah itu ditanam secara acak pada media perlakuan giberelin (giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm). Tanaman berespon terhadap giberelin dengan penambahan panjang batang, meningkatkan ukuran tanaman, mendorong pertumbuhan tunas yang dorman, dan memperbesar bunga.

Pertumbuhan kultur pisang mulai terlihat pada hari ketiga, ditandai dengan munculnya daun yang masih menggulung dari pangkal batang semu bekas potongan. Pada umur lima hari setelah tanam, daun mulai terlihat membuka.

Pertambahan Tinggi Tunas

Jenis tunas berpengaruh sangat nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi pisang FHIA-17 pada minggu pertama dan minggu kedua setelah perlakuan. Pada minggu pertama pertambahan tinggi terbesar dihasilkan oleh tunas tinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 2 cm. Sedangkan pada minggu kedua pertambahan tinggi terbesar dihasilkan oleh tunas tinggi dengan rata-rata pertambahan tinggi sebesar 1.7 cm.

Sementara itu pengaruh media asal BAP tidak berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi. Hal tersebut diduga karena kultur pisang sudah mencapai keseimbangan hormonalnya, sehingga pengaruh perlakuan sebelumnya sudah tidak berbeda nyata. Penggunaan giberelin berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi pada minggu pertama dan minggu keempat. Pada minggu pertama pertambahan tinggi terbesar diperoleh dengan perlakuan giberelin 20 ppm, tetapi pada minggu keempat perlakuan giberelin 0 ppm justru menghasilkan pertambahan tinggi terbesar.

(32)

pada minggu pertama, sedangkan pada minggu- minggu selanjutnya perlakuan giberelin 0 ppm menghasilkan pertambahan tinggi yang lebih besar.

Selain pengaruh tunggal jenis tunas dan giberelin yang berpengaruh nyata terhadap rata-rata pertambahan tinggi, interaksi antara keduanya juga memberikan hasil yang nyata terhadap peubah rata-rata pertambahan tinggi. Interaksi antara tunas tinggi dan giberelin 20 ppm menghasilkan rata-rata pertambahan tinggi terbesar yaitu sebesar 2.51 tunas.

Tabel 10. Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu Setelah Perlakuan

1 2 3 4

Pertambahan tinggi (cm) Jenis Tunas

Tunas Tinggi 2.0a 1.7a 1.1 1.4 Tunas Pendek 1.1b 1.2b 1.3 1.4 Tunas Kecil 0.5c 1.2b 1.1 1.0 Media Asal

BAP 1 ppm 1.2 1.4 1.1 1.1

BAP 2 ppm 1.3 1.2 1.1 1.2

BAP 3 ppm 1.1 1.6 1.4 1.4

BAP 4 ppm 1.1 1.2 1.1 1.2

Giberelin

0 ppm 0.9b 1.4 1.3 1.5a

20 ppm 1.4a 1.4 1.0 1.0b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Giberelin 0 ppm Giberelin 20 ppm

(33)

Tabel 11. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17

Jenis tunas GA3 0 ppm GA3 20 ppm

Tunas tinggi 1.44b 2.51a

Tunas pendek 0.91bc 1.19b

Tunas kecil 0.38d 0.59cd

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Dari Tabel 11 dapat diduga bahwa tunas tinggi lebih responsif terhadap pemberian giberelin bila dibandingkan dengan tunas pendek dan tunas kecil. Menurut Damasco et. al. (1996) tunas yang mempunyai respon rendah atau tidak berespon sama sekali terhadap pemberian giberelin menunjukkan bahwa tunas tersebut adalah varian. Tetapi hal tersebut perlu dibuktikan lebih lanjut apakah tunas yang berespon rendah atau tidak berespon sama sekali terhadap giberelin benar-benar merupakan variasi somaklonal.

Jumlah Akar

(34)

Tabel 12. Rata-rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Panjang Batang Semu

Jenis tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang batang semu. Tunas tinggi menghasilkan rata-rata-rata-rata panjang batang semu yang lebih besar dari minggu pertama sampai minggu keempat dibandingkan dengan tunas kecil maupun tunas pendek. Batang semu terpanjang didapatkan pada minggu keempat pada tunas tinggi dengan panjang 1.98 cm.

(35)

Tabel 13. Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Giberelin juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada peubah rata-rata panjang batang semu pada minggu kedua, ketiga, dan nyata pada minggu keempat. Rata-rata batang semu terpanjang dihasilkan pada minggu keempat dengan perlakuan giberelin 20 ppm. Perlakuan giberelin 20 ppm mampu meningkatkan rata-rata panjang batang semu setiap minggunya.

Interaksi antara jenis tunas dan giberelin memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang batang semu. Rata-rata batang semu terpanjang didapatkan pada tunas tinggi dengan giberelin 20 ppm yaitu sebesar 2.34 cm. Dari Tabel 14 dapat dilihat bahwa tunas tinggi memberikan respon yang baik terhadap giberelin untuk peubah rata-rata panjang batang semu.

Tabel 14. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17

Jenis tunas GA3 0 ppm GA3 20 ppm

Tunas tinggi 1.63b 2.34a

Tunas pendek 1.41b 1.44b

Tunas kecil 1.24bc 1.25bc

(36)

Panjang Pelepah

Peubah panjang pelepah dipengaruhi secara sangat nyata oleh jenis tunas. Tunas tinggi menghasilkan pelepah yang lebih panjang daripada tunas pendek dan tunas kecil dari mulai minggu pertama sampai minggu keempat. Rata-rata panjang pelepah terbesar didapatkan pada tunas tinggi pada minggu keempat.

Perlakuan BAP pada media asal memberikan hasil yang nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah pada minggu keempat. Perlakuan BAP 2 ppm pada media asal menunjukkan hasil yang berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan BAP 3 ppm pada media asal. Rata-rata panjang pelepah terbesar didapatkan pada minggu keempat dengan perlakuan BAP 3 ppm pada media asal.

Tabel 15. Rata-Rata Panjang Pelepah Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

(37)

Interaksi antara jenis tunas dan BAP pada media asal memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah. Panjang pelepah terpanjang didapatkan oleh tunas tinggi dengan perlakuan BAP 4 ppm pada media asal. Dari Tabel 16 dapat dilihat bahwa pertambahan konsentrasi BAP pada media asal cenderung menaikkan panjang pelepah pada tunas tinggi. Tetapi sebaliknya pada tunas kecil, pertambahan konsentrasi BAP pada media asal cenderung menurunkan panjang pelepah.

Tabel 16. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17

Jenis tunas Asal Media BAP (ppm)

1 2 3 4

Tunas tinggi 0.65b 0.62bc 1.03b 1.93a Tunas pendek 0.44bcd 0.35bcd 0.73b 0.50bc

Tunas kecil 0.85b 0.43bcd 0.21d 0.14d

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Interaksi antara giberelin dan BAP pada media asal juga memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang pelepah. Pelepah terpanjang didapatkan dari perlakuan BAP 4 ppm pada media asal dengan giberelin 20 ppm. Dari Tabel 17 dapat terlihat bahwa pada perlakuan giberelin 20 ppm pertambahan konsentrasi BAP pada media asal cenderung meningkatkan panjang pelepah.

Tabel 17. Pengaruh Interaksi giberelin dan BAP pada Media Asal terhadap Panjang Pelepah Daun Pisang FHIA-17

GA3 Asal Media BAP (ppm)

1 2 3 4

0 ppm 1.12a 0.52bc 0.73b 0.57bc 20 ppm 0.18d 0.41cd 0.58bc 1.14a

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Lebar Daun

(38)

Sedangkan BAP pada media asal tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah rata-rata lebar daun. BAP 3 ppm pada media asal cenderung menghasilkan rata-rata lebar daun yang terbesar.

Giberelin berpengaruh sangat nyata terhadap peubah rata-rata lebar daun. Rata-rata lebar daun terbesar dihasilkan pada minggu keempat dengan perlakuan giberelin 0 ppm. Perlakuan giberelin 0 ppm sejak minggu pertama menghasilkan lebar daun yang lebih lebar daripada perlakuan dengan giberelin 20 ppm.

Tabel 18. Rata-Rata Lebar Daun Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.

Perlakuan Minggu

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

(39)

Tabel 19. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap Lebar Daun Pisang FHIA-17

Jenis tunas GA3 0 ppm GA3 20 ppm

Tunas tinggi 1.12a 0.41b

Tunas pendek 0.59b 0.26bc

Tunas kecil 0.34b 0.21bc

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Interaksi antara giberelin dan BAP pada media asal juga memberikan hasil yang nyata terhadap peubah lebar daun. Daun terlebar didapatkan dari perlakuan BAP 1 ppm pada media asal dan giberelin 0 ppm. Dari Tabel 20 dapat dilihat bahwa perlakuan giberelin 0 ppm cenderung menghasilkan daun yang lebar dan giberelin 20 ppm cenderung menghasilkan daun yang sempit.

Tabel 20. Pengaruh Interaksi GA3 dan BAP pada Media Asal terhadap Lebar Daun Pisang FHIA-17

GA3 Asal Media BAP (ppm)

1 2 3 4

0 ppm 0.91a 0.54b 0.81b 0.48b

20 ppm 0.12d 0.20cd 0.37bc 0.50b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Panjang Akar

Jenis tunas memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap peubah rata-rata panjang akar. Tunas tinggi memberikan akar yang lebih panjang dibandingkan tunas kecil dan tunas pendek.

Giberelin 0 ppm Giberelin 20 ppm

(40)

Tabel 21. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan giberelin pada Minggu Keempat

Perlakuan Panjang Akar (cm) Jenis Tunas

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf 5%

Perlakuan BAP pada media asal tidak berpengaruh nyata terhadap peubah rata-rata panjang akar pisang. Akar terpanjang didapatkan pada konsentrasi BAP 3 ppm pada media asal. giberelin tidak berpengaruh terhadap peubah rata-rata panjang akar. Akar terpanjang dihasilkan dengan perlakuan giberelin 0 ppm.

Tabel 22. Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap Panjang Akar Pisang FHIA-17

Jenis tunas Asal Media BAP (ppm)

1 2 3 4

Tunas tinggi 6.38cd 12.58a 12.29a 10.21ab Tunas pendek 7.01c 6.95c 7.78bc 6.73cd

Tunas kecil 8.50b 4.46de 5.81d 6.48cd

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom dan baris tidak berbeda nyata berdasarkan uji Beda Nyata Jujur (BNJ) pada taraf

(41)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Laju multiplikasi pisang FHIA-17 tidak berbeda pada perlakuan BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm. Laju multiplikasi sampai subkultur tujuh masih terlihat rendah, yaitu dari 2-3 tunas pada awal subkultur menjadi 4-5 tunas setelah empat minggu fase subkultur. Pemberian giberelin dapat meningkatkan tinggi tunas pisang FHIA-17 tetapi tunas terlihat pucat dan kurus, selain itu daun menjadi panjang dan sempit. Tunas tinggi lebih responsif terhadap pemberian giberelin.

Saran

(42)

DAFTAR PUSTAKA

Arteca, R. N. 1996. Plant Growth Substances : Principles and Applications. The Pennsylvania State University. 332 p.

Badan Pusat Statistik. 2004. Neraca Ekspor Impor Produk Hortikultura. http://www.bps.co.id. 9 Februari 2005.

Banarjee, N., and E. De Langhe. 1985. A tissue culture technique for rapid clonal propagation and storage under minimal growth condition of Musa (banana and plantain). Plant. Cell. Report. 4 : 351-354.

Cronauer, S.S., and A. D. Krikorian. 1984. Rapid multiplication of bananas and plantain by in vitro shoot tip culture. Hort. Sci. 19 (2) : 234-235.

Damasco, O. P., I. D. Godwin, M. K. Smith, S.W. Adkins. 1996. Gibberellic acid detection of dwarf off types in micropropagated cavendish banana. Aust. J. Exper. Agric. 36 : 237-241.

Eckstein, K., and J. C. Robinson. 1995. Physiological responses of banana (Musa AAA : cavendish sub group) in the subtropic. Comparison between tissue culture and conventional planting material during the first month of development. J.Hort. Sci. 70 (4) : 549-559.

Edmond, J. B., T. L. Senn, F. S. Andrews. 1957. Fundamental of Horticulture. Third edition. McGraw hill Book Company. USA. 476p.

Evans, D. A., W. R. Sharp, C. E. Flick. 1981. Plant regeneration from cell cultures. P 214-314. In Jules Janick (Ed). Horticultural Reviews. The AVI Publishing Company, Inc. Connecticut.

Franklin, C. I., and R. A. Dixon. 1993. Initiation and maintenance of cell and cell suspension culture. P 1-15. In D. Rickwood, and B. D. Hames (Eds). Plant. Cell. Culture. Oxford University Press. USA.

Gamborg, O. L. 1991. Kalus dan kultur sel. Hal 1-13. Dalam L. R. Wetter dan F. Constabel (Eds). Metode Kultur jaringan Tanaman. Edisi kedua. Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Geum, S. D., B. B. Seo, J. M. Ko, S. H. Lee, J. H. Pak, I. S. Kim, S. D. Song.1999. Analysis of somaclonal variation through tissue culture and chromosomal localization of rDNA site by fluorescent in situ hybridization in wild Allium tuberosum and a regenerated variant. Plant. Cell. Tiss. Org. Cult. 57 : 113-119.

(43)

Hasrini, R. F. 2002. Studi Perbanyakan Pisang Abaca (Musa textilis var tangongon) secara in vitro. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian IPB. Bogor. 35 hal. (tidak dipublikasikan).

Hayati, M. 1992. Pengaruh Kombinasi ZPT BAP, NAA, dan GA3 terhadap Pertumbuhan Meristem Tanaman Nilam (Pogostemon cablin Benth.) secara In Vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 113 hal. (tidak dipublikasikan).

Janick, J. 1972. Horticultural Science. Second edition. W. H. Freeman and Company. USA. 586p.

Kasutjianingati. 2004. Pembiakan Mikro Berbagai Genotipe Pisang (Musa spp.) dan Potensi Bakteri Endofitik terhadap Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 88 hal. (tidak dipublikasikan).

Murashige, T., and F. Skoog. 1962. A Revised Medium for Rapid Growth and Bioassays with Tobacco Tissue. Physiol. Plant. 15 : 473-497.

Orjeda and N. Y. Moore. 1999. IMTP phase II find result : response to fusarium and stability of genotypes across environment. p. 164-173. In. A. B. Molina, N. H. Nikmasdek, and K. W. Liew (Eds). Banana Fusarium Wilt Management : Towards Sustainable Cultivation. Proceedings of the International Workshop on the Banana Fusarium Wilt Disease. Genting Highland Resort. Malaysia.

Robinson, J. C., C. Fraser, and K. Eckstein. 1993. A field comparison of conventional sucker with tissue culture banana planting material over three crop cycle. J. Hort. Sci. 68 (6) : 831-836.

Samson, J. A. 1986. Tropical Fruits. Second edition. Longman Singapore Publisher (Pte) Ltd. Singapore. 336 p.

Smith, M. K., and R. A. Drew. 1990. Growth and yield characteristics of dwarf off types recovered from tissue cultured bananas. Aust. J. Exper. Agric. 30 : 575-578.

Sulistyaningsih, Y. C. 1997. Studi Embriogenesis Somatik pada Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp.). Tesis Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 35 hal. (tidak dipublikasikan).

Sunarjono, H. 2002. Budidaya Pisang dengan Bibit Kultur Jaringan. Penebar Swadaya. Jakarta. 96 hal

(44)

Trubus. 1998. Berkebun Pisang Secara Intensif. Penebar Swadaya. Jakarta. 44 hal. Valles, J. P. 1968. The World Market for Banana 1964-1972 Outlook for Demand,

Supply, and Price. Frederick. A. Praeger, Inc. USA. 238p.

Wahyurini, E. 2002. Stimulasi Pertumbuhan dan Perkembangan Beberapa Kultivar Lili (Lilium longiflorum) dengan Aplikasi GA3 dan Paclobutrazol. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 70 hal. (tidak dipublikasikan). Wattimena, G. A. 1988. Zat Pengatur Tumbuh Tanaman. Pusat Antar Universitas.

IPB. Bogor. 145 hal.

Weaver, R. J. 1972. Plant Growth Substances in Agriculture. San Francisco. USA. Freeman. p 176-250

Wiendi, N. M. A. 1992. Pengaruh Air Kelapa, Zeolit, dan Subkultur Beruntun Terhadap Daya Multiplikasi Tunas Pisang Tanduk secara in vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana IPB. Bogor. 66 hal. (tidak dipublikasikan).

Winarsih, S., Priyono, dan O. Atmawinata. 1999. Pengaruh beberapa teknik pengemasan terhadap daya hidup planlet pisang giant Cavendish. J. Hort. 8 (4) : 1293-1298.

Wong, W. C. 1986. In vitro. Propagation of banana (Musa sp.) initiation, proliferation, and development of shoot-tip cultures on defined media. Plant. Cell. Tiss. And. Org. Cult. 6 : 159-166.

Yuniastuti, E. 1996. Pengaruh Keanekaragaman Genetik Terhadap Keberhasilan Embriogenesis Somatik Beberapa Kultivar Pisang (Musa sp.) Indonesia. Tesis. Program. Pasca Sarjana IPB. Bogor. 62 hal. (tidak dipublikasikan). Yusnita, K. Mantja, dan D. Hapsoro. 1996. Pengaruh benziladenin, adenine, dan

asam indolasetat terhadap perbanyakan tunas pisang ambon kuning secara in vitro. J. Agrot. 1 (1) : 29-32.

Yusnita, A. Edy, D. Kurniawati, K. Rugayah, D. Hapsoro. 1997. Pembiakan in vitro dan aklimatisasi planlet pisang raja sere. J. Agrotrop. 2 : 6-12.

Yusnita. 2003. Kultur Jaringan : Cara Memperbanyak Tanaman Secara Efisien. PT. Agromedia Pustaka. Jakarta. 105 hal.

(45)

Tabel Lampiran 1. KOMPOSISI MEDIA MURASHIGE – SKOOG (1962)

Nama Stok Bahan Kimia Konsentrasi dalam media

(46)

Tabel Lampiran 2. Rekapitulasi Hasil Analisis Sidik Ragam Pengaruh BAP terhadap Multiplikasi Tunas Pisang FHIA-17

Peubah Waktu Pengamatan

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

Jumlah tunas besar tn tn tn tn

Jumlah tunas kecil tn tn tn tn

Jumlah primordia tn tn tn tn

Jumlah nodul tn tn tn tn

Total jumlah tunas tn tn tn tn

Tinggi tunas tn tn * tn

Jumlah akar tn tn tn *

Panjang akar tn * tn *

Panjang daun tn * tn *

Keterangan : * = nyata pada taraf 5%

(47)

Tabel Lampiran 3. Rekapitulasi Koefisien Keragaman (%) Pengaruh BAP terhadap Multiplikasi Tunas Pisang FHIA-17

Peubah Waktu Pengamatan

SK 4 SK 5 SK 6 SK 7

Jumlah tunas besar 28.14b 23.41b 26.65b 28.74b Jumlah tunas kecil 30.37b 21.90b 30.06b 28.44b Jumlah primordia 26.27b 9.47b 18.18b 20.84b Jumlah nodul 17.86b 9.19b 9.54b 13.28b Total jumlah tunas 29.81a 26.47a 23.23b 24.92b Tinggi tunas 24.59b 24.79b 24.45b 26.52a Jumlah akar 25.32e 30.09f 31.98f 29.54f Panjang akar 22.37c 27.02d 28.84c 26.61c Panjang daun 23.60b 28.13a 26.89a 29.47a

Ket : tn = tidak nyata

a =Data ditransformasi dengan menggunakan rumus vx

b =Data ditransformasi dengan menggunakan rumus vx + 1

c =Data ditransformasi dengan menggunakan rumus vx + 2

d =Data ditransformasi dengan menggunakan rumus vx + 3

e =Data ditransformasi dengan menggunakan rumus vx + 4

(48)

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP

MULTI PLI KASI TUNAS DAN GI BERELI N TERHADAP

KUALI TAS TUNAS PI SANG FHI A- 17

I N VI TRO

Oleh :

DONNY ANDRI ANA A3 4 3 0 1 0 6 4

PROGRAM STUDI HORTI KULTURA FAKULTAS PERTANI AN

(49)

PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP

MULTI PLI KASI TUNAS DAN GI BERELI N TERHADAP

KUALI TAS TUNAS PI SANG FHI A- 17

I N VI TRO

Skripsi Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh : Donny Andriana

A34301064

PROGRAM STUDI HORTI KULTURA FAKULTAS PERTANI AN

(50)

RINGKASAN

DONNY ANDRIANA. Pengaruh Konsentrasi BAP terhadap Multiplikasi

Tunas dan Giberelin untuk Perbaikan Kualitas Tunas Pisang FHIA-17 In

Vitro. (Dibimbing oleh DEWI SUKMA).

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui konsentrasi BAP yang optimal untuk perbanyakan pisang FHIA-17 dan melihat pengaruh giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 secara in vitro. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Februari sampai bulan Juli 2005 di laboratorium Kultur Jaringan Departemen Budidaya Pertanian, Kampus IPB Darmaga, Bogor.

Penelitian ini terdiri dari dua percobaan, yaitu percobaan multiplikasi tunas dan percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas. Untuk percobaan multiplikasi tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap dengan satu faktor yaitu konsentrasi BAP. BAP terdiri dari empat taraf, yaitu 1, 2, 3, dan 4 ppm. Setiap perlakuan minimal terdiri dari 10 botol. Untuk percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas, rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap tiga faktor. Faktor pertama adalah jenis tunas, faktor kedua adalah asal media multiplikasi dan faktor ketiga perlakuan giberelin. Jenis tunas dibagi menjadi 3, yaitu tunas tinggi (tunas yang memiliki tinggi lebih dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna), tunas pendek (tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan memiliki 2-3 helai daun yang telah membuka sempurna), dan tunas kecil (tunas yang tingginya kurang dari 3 cm dan tidak memiliki daun yang membuka sempurna). Asal media multiplikasi terdiri dari empat taraf, yaitu BAP 1, 2, 3, dan 4 ppm. Sedangkan perlakuan giberelin terdiri dari dua taraf, yaitu giberelin 0 ppm dan giberelin 20 ppm. Masing- masing perlakuan giberelin terdiri dari 48 tunas, yang berasal dari 4 kombinasi asal media multiplikasi.

Hasil percobaan multiplikasi menunjukkan bahwa perlakuan BAP (1, 2, 3, 4 ppm) tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap peubah jumlah tunas besar, jumlah tunas kecil, jumlah primordia, jumlah nodul, total jumlah tunas, dan panjang tunas pisang FHIA-17. Rata-rata total jumlah tunas yang dihasilkan berkisar antara 3-5 tunas per eksplan dan tidak jauh berbeda antara beberapa periode subkultur. Perlakuan BAP memberikan pengaruh yang nyata pada peubah jumlah akar, panjang akar dan panjang daun.

(51)

Hasil percobaan perlakuan giberelin terhadap kualitas tunas didapatkan bahwa tinggi tanaman, panjang batang semu, panjang pelepah, lebar daun dan panjang akar dipengaruhi oleh jenis tunas. Perlakuan giberelin berpengaruh nyata pada tinggi tanaman, jumlah akar, panjang batang semu dan lebar daun. Sedangkan konsentrasi BAP pada media asal berpengaruh nyata hanya pada peubah panjang pelepah pada minggu keempat.

Pertambahan tinggi tanaman terbesar, jumlah akar terbanyak, batang semu, pelepah, dan akar terpanjang, serta daun terlebar dihasilkan pada perlakuan asal media BAP 3 ppm dan pada jenis tunas tinggi. Pemberian giberelin 20 ppm dapat menghasilkan panjang batang semu dan panjang pelepah terpanjang. Sedangkan pertambahan tinggi terbesar, jumlah akar terbanyak, daun terlebar dan akar terpanjang dihasilkan oleh giberelin 0 ppm.

Interaksi antara jenis tunas tinggi dan giberelin 20 ppm menghasilkan pertambahan tinggi tanaman dan panjang batang semu terbesar. Daun terlebar dihasilkan dari interaksi tunas tinggi dan giberelin 0 ppm, serta BAP 1 ppm pada media asal dan giberelin 0 ppm. Interaksi antara tunas tinggi dan BAP 4 ppm pada media asal serta BAP 4 ppm pada media asal dan giberelin 20 ppm menghasilkan pelepah pisang terpanjang, yaitu sebesar 1.9 cm dan 1.1 cm. Akar terpanjang, yaitu 12.6, dihasilkan dari interaksi antara tunas tinggi dan media asal BAP 2 ppm.

(52)

Judul : PENGARUH KONSENTRASI BAP TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS DAN GIBERELIN

TERHADAP KUALITAS TUNAS PISANG FHIA-17

IN VITRO

Nama Mahasiswa : Donny Andriana (A34301064) Program Studi : Hortik ultura

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Dewi Sukma, SP. MSi.

NIP. 132 166 488

Mengetahui,

Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. H. Supiandi Sabiham, M.Agr.

NIP. 130 422 698

(53)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, pada tanggal 19 September 1983. Penulis merupakan anak pertama dari dua bersaudara dari ayah Rubby Suhartono dan ibu Ella Sinta Rosana.

Penulis memulai pendidikan formalnya pada Taman Kanak – Kanak Sandi Putra di Bandung, dilanjutkan denga n pendidikan dasar di SD Negeri Nilem 2, Bandung. Penulis menyelesaikan pendidikan di SLTP Negeri 13 Bandung tahun 1998. Tahun 2001 penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMU Negeri 5 Bandung.

(54)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan pada Robb pencipta alam semesta atas segala nikmat-Nya. Sholawat dan salam penulis junjungkan pada Rasulullah, Muhammad SAW beserta sahabat-sahabatnya. Penulis dapat menyelasaikan skripsi yang berjudul Pengaruh konsentrasi BAP terhadap multiplikasi tunas dan giberelin terhadap kualitas tunas pisang FHIA-17 in vitro.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada

1. Dewi Sukma SP. MSi. selaku pembimbing skripsi dan pembimbing akademik yang telah memberikan arahan, masukan, motivasi, bimbingan, serta ilmu pengetahuan.

2. Dr. Ir. Agus Purwito MSc. dan Dr. Ir. Sobir MSi. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran.

3. Mama, Papa, dan Angga atas semua dukungan dan semangatnya.

4. Bayu Puji Widyarti yang telah setia menemani, membantu, dan memberikan semangat.

5. My friends in Hortikultura 38. Thanks for our good times together.

Akhir kata, semoga skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan semua pihak yang membaca dan memerlukannya.

Bogor, September 2005

(55)

DAFTAR ISI

Kultur Jaringan Pisang.……….. 5

Zat Pengatur Tumbuh...……….. 7

BAHAN DAN METODE………... 8

Tempat dan Waktu Penelitian……… 8

Bahan dan Alat……… 8

Metode Penelitian………... 8

Rancangan Penelitian………... 8

Pelaksanaan Penelitian………. 10

Pengamatan...…………..………. 10

HASIL DAN PEMBAHASAN……….. 12

Percobaan 1 : Multiplikasi Pisang...……… 12

Jumlah Tunas Besar...………... 12

Jumlah Tunas Kecil...………... 13

Jumlah Primordia dan Nodul.………... 13

Total Jumlah Tunas...………... 14

Panjang Tunas...………..……….. 16

Jumlah Akar.………..……… 17

Panjang Akar.………..….. 17

Panjang Daun………..….. 18

Percobaan 2 : Perbaikan Tunas Dengan Perlakuan Giberelin....…….... 19

Pertambahan Tinggi Tunas..………... 19

Jumlah Akar...………... 21

Panjang Batang Semu....………... 22

(56)

DAFTAR PUSTAKA……….…. 30

(57)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman Teks

1. Rata-Rata Jumlah Tunas Besar Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7.…...……. 13 2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 13 3. Rata-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 14 4. Rata-Rata Jumlah Nodul Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7……...……. 14 5. Rata-Rata Total Jumlah Tunas (tunas besar, tunas kecil, primordia,

dan nodul) Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7………..…. 15 6. Rata-Rata Panjang Tunas Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 16 7. Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7.…...……. 17 8. Rata-Rata Panjang Akar Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7..…...……. 18 9. Rata-Rata Panjang Daun Pisang FHIA-17 pada Berbagai

Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai subkultur 7...…...……. 18 10.Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin.……… 20 11.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap

Rata-Rata Pertambahan Tinggi Pisang FHIA-17..……….. 21 12.Rata-Rata Jumlah Akar Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 22 13.Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 23 14.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan Giberelin terhadap

Rata-Rata Panjang Batang Semu Pisang FHIA-17..……….. 23 15.Rata-Rata Panjang Pelepah Pisang FHIA-17 pada Perlakuan

Jenis Tunas, BAP pada Media Asal, dan Giberelin ……… 24 16.Pengaruh Interaksi Jenis Tunas dan BAP pada Media Asal terhadap

Gambar

Gambar 1. Klasifikasi Tunas dalam Pengamatan Percobaan pada Setiap Akhir
Tabel 2. Rata-Rata Jumlah Tunas Kecil Pisang FHIA-17 pada Berbagai
Tabel 3. Rata-Rata Jumlah Primordia Pisang FHIA-17 pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7
Tabel 5. Rata-Rata Total Jumlah Tunas Pisang FHIA-17 (tunas besar, tunas kecil, primordia, dan nodul) pada Berbagai Konsentrasi BAP dari Subkultur 4 sampai Subkultur 7
+7

Referensi

Dokumen terkait

Perlakuan yang diberikan terhadap tunas apikal tidak memberikan pengaruh nyata terhadap perkembangan kalus pada selang kepercayaan 95%, namun pemberian BAP pada

Penambahan konsentrasi BAP 6 ppm memberikan hasil cenderung baik pada variabel saat muncul tunas, tinggi tunas, jumlah tunas, panjang akar dan jumlah akar.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) penggunaan 2 mg/l BA pada kultur pisang Ambon Kuning menghasilkan jumlah mata tunas dan jumlah tunas yang lebih banyak, tetapi tunas

BAP memberikan pengaruh yang nyata terhadap waktu muncul tunas namun tidak memberikan pengaruh yang nyata saat 8 MST (minggu setelah tanam) terhadap jumlah tunas

Kombinasi perlakuan konsentrasi asam humat 0,2% dengan konsentrasi BAP 1,50-2,25 ppm merupakan kombinasi perlakuan yang tepat sebagai media multiplikasi tunas

Tidak terdapat interaksi yang nyata antara konsentrasi NAA dengan BAP terhadap saat inisiasi, jumlah tunas, tinggi tunas dan jumlah akar eksplan kaktus. Aneka

Pada penelitian ini penggunaan BAP menghasilkan perbedaan yang nyata terhadap perlakuan tanpa pemberian BAP dalam kaitannya dengan waktu munculnya tunas, sehingga

Hasil sidik ragam untuk jumlah tunas yang terbentuk pada kultur in vitro menunjukkan bahwa kedua media yang diteliti tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah