• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh TDZ terhadap inisiasi dan multiplikasi kultur in vitro pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. AAB Group)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh TDZ terhadap inisiasi dan multiplikasi kultur in vitro pisang raja bulu (Musa paradisiaca L. AAB Group)"

Copied!
60
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH TDZ TERHADAP INISIASI DAN

MULTIPLIKASI KULTUR

IN VITRO

PISANG RAJA BULU

(

Musa paradisiaca

L. AAB Group)

Oleh

Nurul Isnaeni

A34303015

PROGRAM STUDI AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

NURUL ISNAENI.

Pengaruh TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro Pisang Rajabulu (Musa paradisiaca L. AAB Group). Dibimbing oleh Sri Setyati Harjadi dan Darda Efendi.

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan kombinasi zat pengatur tumbuh Thiadiazuron dan IAA yang lebih baik dalam mempercepat multiplikasi tunas in vitro pisang Rajabulu. Di samping itu penelitian ini juga bertujuan untuk mempelajari pengaruh beberapa konsentrasi zat pengatur tumbuh, yaitu BAP 1 ppm (4.4 μM), BAP 2 ppm (8.9μM), TDZ 0.04 ppm (0.2μM) dan TDZ 0.08 ppm (0.4μM) terhadap kemampuan inisiasi tunas pisang Rajabulu.

Penelitian dilakukan di laboratorium kultur jaringan Pusat Kajian Buah-buahan Tropika, Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang Bogor pada bulan Februari sampai bulan Juli 2007. Bahan tanaman atau eksplan yang digunakan dalam penelitian ini adalah anakan atau rebung pisang Rajabulu Polytani; biakan in vitro pisang Rajabulu Juara (subkultur ke-5 dari media MS0) dan biakan in vitro pisang Rajabulu Cianjur (subkultur ke-2 dari media BA 2 ppm). Beragamnya jenis pisang yang digunakan di sini karena kegagalan inisiasi dan keterbatasan bahan. Diasumsikan pisang dengan genom yang sama memiliki respon yang sama pada perlakuan yang sama.

Penelitian ini terdiri dari dua set percobaan. Percobaan pertama untuk inisiasi terdapat 4 perlakuan dan masing-masing perlakuan dengan 7 ulangan sehingga terdapat 28 satuan percobaan satu faktor yaitu jenis sitokinin yang terdiri dari konsentrasi BAP 1 ppm (4.4 μM), BAP 2 ppm (8.9μM), TDZ 0.04 ppm (0.2μM) dan TDZ 0.08 ppm (0.4μM). Data tidak memiliki kontrol dan merupakan jumlah pertotal 7 eksplan yang ditanam sehingga tidak diolah secara statistik. Data percobaan disajikan secara deskriptif. Kondisi tersebut berakibat kesimpulan yang diambil dalam percobaan ini kurang kuat. Media inisiasi yang digunakan adalah media MS padat masing-masing ditambah sitokinin (TDZ atau BAP) sesuai perlakuan.

Pada percobaan kedua (multiplikasi) perlakuan merupakan kombinasi dari dua faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi Thiadiazuron yang terdiri dari tiga taraf yaitu 0 ppm, 0.01 ppm, dan 0.1 ppm. Faktor kedua adalah konsentrasi IAA dengan dua taraf yaitu 0 ppm dan 3 ppm. Semuanya 6 kombinasi perlakuan, masing-masing perlakuan dengan 6 ulangan (untuk pisang Rajabulu Juara) total terdapat 36 satuan percobaan dan untuk pisang Rajabulu Cianjur masing-masing perlakuan dengan 7 ulangan sehingga total 42 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdiri dari 1 botol kultur, masing-masing botol berisi 1 eksplan. Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap.

(3)

Persen kematian pada percobaan inisiasi mencapai 35.7%. Nilai kematian eksplan terendah didapat pada perlakuan TDZ 0.04 ppm. Pada perlakuan lainnya (TDZ 0.08 ppm, BAP 1 ppm, dan BAP 2 ppm) jumlah eksplan yang mati nilainya sama yaitu 3 eksplan dari keseluruhan 7 eksplan yang ditanam. Penggunaan TDZ dengan konsentrasi 0.04 ppm diduga memicu inisiasi lebih cepat dibandingkan penyebaran senyawa fenolik yang terjadi pada eksplan, sehingga sel-sel yang ada dapat berfungsi normal. Penggunaan TDZ 0.04 ppm terbukti lebih baik bila dibandingkan dengan BAP.

Pada percobaan multiplikasi hasil analisis statistik menunjukkan bahwa media perlakuan tidak berpengaruh nyata pada jumlah tunas dan jumlah daun pisang Rajabulu Juara, tetapi berpengaruh nyata terhadap jumlah akar pada 2 MST dan berpengaruh sangat nyata menurunkan jumlah akar 3-7 MST. Pada pengamatan yang dilakukan sebelum aklimatisasi (10 MST) didapati bahwa media perlakukan berpengaruh nyata pada panjang akar. Perlakuan TDZ dengan konsentrasi 0.1 dan 0.01 ppm terlihat menurunkan panjang akar. Akar terpanjang didapatkan pada kontrol, atau media tanpa penambahan ZPT. Peubah tinggi tunas in vitro pisang berbeda sangat nyata antara kontrol dan perlakuan TDZ. Konsentrasi TDZ 0.1 dan 0.01 ppm yang diberikan dapat mengurangi tinggi tanaman. Respon terbaik terhadap jumlah daun, jumlah tunas, jumlah akar, panjang akar dan tinggi tanaman diberikan oleh media kontrol.

(4)

PENGARUH TDZ TERHADAP INISIASI DAN

MULTIPLIKASI KULTUR

IN VITRO

PISANG RAJA BULU

(

Musa paradisiaca

L. AAB Group)

Skripsi sebagai salah satu syarat

untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian

pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Oleh

Nurul Isnaeni

A34303015

PROGRAM STUDI AGRONOMI DAN HORTIKULTURA

FAKULTAS PERTANIAN

(5)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul :

PENGARUH TDZ TERHADAP INISIASI DAN

MULTIPLIKASI KULTUR

IN VITRO

PISANG RAJA

BULU (

Musa paradisiaca

L. AAB Group)

Nama : Nurul Isnaeni

NRP : A34303015

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Pembimbing 1 Pembimbing 2

Prof. Dr Ir Sri Setyati Harjadi, MSc Dr Ir Darda Efendi, MSi NIP.130203587 NIP. 131841755

Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr Ir Didy Sopandie, MAgr

NIP. 131124 019

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kudus, Propinsi JawaTengah pada tanggal 04 Juni

1985. Penulis adalah anak pertama dari tiga bersaudara dari Bapak Nur Ali dan

Ibu Parisih. Tahun 1992 penulis lulus dari TK Pertiwi Ngembal Rejo, kemudian

pada tahun 1997 penulis menyelesaikan studi di SDN 2 Ngembal Rejo Kudus.

Selanjutnya penulis lulus dari SLTP N 2 Kudus pada tahun 2000 dan SMU N 1

Bae Kudus pada tahun 2003.

Tahun 2003 penulis diterima di IPB melalui jalur USMI sebagai

mahasiswa Departemen Agronomi dan Hortikultura, Fakultas Pertanian. Dari

tahun 2003 hingga 2007 penulis aktif di berbagai organisasi kemahasiswaan.

Tahun 2003 /2004 penulis menjadi Sekretaris Komisi Minat dan Bakat DPM

(Dewan Perwakilan Mahasiswa) TPB-40 IPB. Tahun 2004 sampai 2005 sebagai

Ketua OMDA (Organisasi Mahasiswa Daerah) Keluarga Kudus Bogor “Menara

Kota” dan Staff Biro Eksternal Himagron (Himpunan Mahasiswa Agronomi)

Faperta IPB. Selanjutnya tahun 2005/2006 sebagai Ketua Divisi Pengembangan

Kerjasama Himagron Faperta IPB dan tim Dewan Pembina OMDA KKB “MK”.

Tahun 2006/2007 penulis menjadi Ketua Divisi Komunikasi dan

Hubungan Alumni Organisasi Mahasiswa Daerah Keluarga Kudus Bogor

“Menara Kota” (OMDA KKB “MK”). Penulis saat ini juga aktif dalam kegiatan

pemberantasan buta aksara sebagai salah satu tutor di daerah Leuwiliang. Selama

masa perkuliahan penulis juga mengikuti kegiatan-kegiatan kepanitiaan, seminar

dan pelatihan (magang). Salah satu kegiatan pelatihan dan magang yang penulis

ikuti adalah “Program Belajar Bekerja Terpadu” selama 4 bulan di Pusat Kajian

Buah-buahan Tropika Bogor, kerjasama Kantor Jasa Ketenagakerjaan IPB dengan

Direktorat Jendral Perguruan Tinggi Depdiknas. Selama kuliah penulis

mendapatkan beasiswa “Student Equity” dari Direktorat Jendral Perguruan Tinggi

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas berkat, rahmat

dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Pengaruh

TDZ terhadap Inisiasi dan Multiplikasi Kultur In Vitro Pisang Rajabulu (Musa

paradisiaca L. AAB Group)” ini dengan baik.

Penelitian ini dilaksanakan karena melihat prospek pengembangan pisang

untuk mencukupi kebutuhan pangan masyarakat Indonesia yang semakin

mendesak. Penelitian ini dilaksanakan bekerjasama dengan Pusat Kajian

Buah-buahan Tropika, LPPM-IPB.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada Prof Dr Ir Sri Setyati Harjadi,

MSc dan Dr Ir Darda Efendi, MSi selaku dosen pembimbing atas bimbingan,

kesabaran, motivasi dan waktu untuk memberikan pengarahan dan penjelasan

berkaitan dengan penelitian ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada

staf PKBT yang telah memberikan bantuan selama pelaksanaan penelitian.

Kepada keluarga dan teman–teman seperjuangan yang telah memberikan

dorongan yang tulus baik moril maupun materiil, penulis mengucapkan

terimakasih yang sedalam-dalamnya.

Akhir kata penulis berharap semoga hasil penelitian ini berguna bagi

penulis dan pembaca pada umumnya.

Bogor, Maret 2008

(8)

DAFTAR ISI

Halaman

PENDAHULUAN ... 1

Latar Belakang ... 1

Tujuan ... 2

Hipotesis... 3

TINJAUAN PUSTAKA ... 4

Taksonomi Pisang ... 4

Pisang Raja Bulu ... 4

Teknik Kultur Jaringan ... 5

Pertumbuhan dan Perkembangan in Vitro... 9

Zat Pengatur Tumbuh... 10

Sitokinin ... 10

Auksin ... 11

BAHAN DAN METODE ... 13

Waktu dan Tempat ... 13

Bahan dan Alat... 13

Metode Percobaan... 13

Pelaksanaan Penelitian ... 14

Pengamatan ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18

Keadaan Umum Kultur ... 18

Inisiasi Kultur Pisang Rajabulu ... 19

Multiplikasi Tunas in vitro Pisang Rajabulu ... 21

KESIMPULAN DAN SARAN ... 30

Kesimpulan ... 30

(9)

DAFTAR PUSTAKA... 31

(10)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-rata Jumlah Tunas Pisang

Raja bulu Juara yang Baru Terbentuk pada Tanaman awal ... 21

2. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-rata Jumlah Daun Pisang

Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada Tanaman awal ... 22

3. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-rata Jumlah Akar Pisang

Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada Tanaman awal ... 23

4. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-rata Panjang Akar dan

Tinggi Tanaman awal Pisang Rajabulu Juara pada 10 MST ... 24

5. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-Rata Jumlah Tunas Pisang

Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal ... 25

6. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-Rata Jumlah Daun Pisang

Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal ... 26

7. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-Rata Jumlah Akar Pisang

Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal ... 27

8. Pengaruh IAA dan TDZ terhadap Rata-Rata Panjang Akar dan

Tinggi Tanaman Awal Pisang Rajabulu Cianjur pada 10 MST... 28

No. Lampiran Halaman

1. Komposisi Media Murashige-Skoog ... 35

2. Jumlah Eksplan Hidup dan Mati selama Periode Pengamatan ... 36

3. Rekapitulasi hasil Analisis Ragam pada Tahap Multiplikasi Tunas

in vitro pisang Rajabulu Juara ... 37

4. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Jumlah Tunas Pisang Rajabulu Juara ... 38

5. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Jumlah Akar Pisang Rajabulu Juara ... 39

(11)

7. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Tinggi Pisang Rajabulu Juara ... 41

8. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Panjang Akar Pisang Rajabulu Juara ... 42

9. Rekapitulasi hasil Analisis Ragam pada Tahap Multiplikasi Tunas

in vitro pisang Rajabulu Juara ... 43

10. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Jumlah Tunas Pisang Rajabulu Cianjur ... 44

11. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Jumlah Akar Pisang Rajabulu Cianjur ... 45

12. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Jumlah Daun Pisang Rajabulu Cianjur ... 46

13. Analisis Sidik Ragam Pengaruh TDZ dan IAA terhadap Panjang Akar Pisang Rajabulu Cianjur ... 47

(12)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Histogram Jumlah Eksplan Hidup dan Mati Pisang Rajabulu Polytani pada 8 MST ... 20

2. Kultur tunas Pisang Rajabulu Polytani pada media (A) BAP 1 ppm, (B) BAP 2 ppm, (C) TDZ 0.04 ppm, dan (D) TDZ 0.08 ppm

pada 8 MST ... 20

3.Penampakan Planlet Pisang Rajabulu Juara (A) Kontrol atau MS0 tanpa Zat Pengatur Tumbuh, (B) Perlakuan TDZ 0.1 ppm

pada 8 MST ... 24

4. Penampakan Planlet Pisang Rajabulu Cianjur (A) Kontrol atau MS0 tanpa Zat Pengatur Tumbuh, (B) Perlakuan TDZ 0.1 ppm

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Meningkatnya kesadaran akan pentingnya hidup sehat mendorong

kenaikan kebutuhan produk hortikultura, khususnya buah-buahan. Pisang adalah

salah satu komoditi buah-buahan dari kawasan tropis yang cukup digemari.

Pisang sangat populer dan banyak dikonsumsi karena rasanya enak dan harganya

murah. Buah pisang merupakan sumber makanan yang bergizi tinggi, sumber

vitamin A dan karbohidrat. Apabila dikonsumsi setelah makan, kandungan

Kalium dalam pisang dapat membantu menetralisir efek negatif konsumsi garam

dan MSG berlebih. Selain itu kandungan Kalium dalam pisang dapat berfungsi

menjaga keseimbangan air tubuh, kenormalan tekanan darah, fungsi jantung dan

kerja otot.

Kebutuhan konsumen terhadap komoditi pisang yang terus meningkat

tersebut harus diikuti oleh suatu upaya peningkatan produksi dengan tetap

mempertahankan kualitas. Masalah utama dalam peningkatan produksi pisang

adalah penyediaan bibit tanaman dalam jumlah yang besar, kontinu dan bermutu

tinggi.

Salah satu teknologi alternatif yang dapat digunakan untuk mengatasi

permasalahan pengadaan bibit yang berkualitas adalah melalui teknik kultur

jaringan. Melalui metode ini satu tunas pisang Rajabulu dapat menghasilkan

sekitar 200.000 bibit dalam waktu satu tahun, dengan asumsi satu tunas dalam

waktu 13 MST menghasilkan 21.4 tunas dan tidak terjadi penurunan daya

multiplikasi tunas (Pasaribu, 1996), sedangkan teknik perbanyakan secara

konvensional menggunakan bonggol hanya menghasilkan 6-10 bibit dari satu

tanaman (Rismunandar, 1981).

Dalam kultur jaringan peran zat pengatur tumbuh (ZPT) sangat penting.

Penambahan zat pengatur tumbuh ke dalam media merupakan salah satu faktor

yang sangat mempengaruhi keberhasilan kultur jaringan. Zat pengatur tumbuh

digolongkan menjadi 6 kelompok yaitu: Auksin, giberelin, sitokinin, asam absisik

(ABA), etilen dan retardan (PAU, 1991). Auksin dan sitokinin adalah dua zat

(14)

tumbuh ini mempengaruhi pertumbuhan dan morfogenesis kultur sel, organ, dan

jaringan.

Efek penggunaan sitokinin dan auksin ini ditentukan oleh perimbangan

auksin dan sitokinin. Perimbangan konsentrasi yang lebih efisien dari auksin dan

sitokinin tidak dapat ditentukan dengan pasti, karena sumber ZPT yang sama

pada tanaman yang berbeda dapat memberikan efek yang berbeda. Perbandingan

konsentrasi tersebut dipengaruhi oleh tingkatan taxa dan spesifik kultivar pisang

(Sukma, 1994). Konsentrasi yang efisien dari zat pengatur tumbuh harus

diperhatikan, karena akan mempengaruhi kecepatan inisiasi, sehingga diperlukan

studi untuk mengetahui nilai yang paling efisien dari ZPT ini.

Salah satu jenis zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan dalam

penelitian adalah IAA, BAP, dan Thiadiazuron (TDZ). Fungsi dari IAA terkait

dengan proses pertumbuhan untuk meningkatkan kualitas tunas dan pembentukan

akar. BAP dan TDZ lebih berfungsi untuk pembentukan tunas dan morfogenesis.

Pemanfaatan TDZ di Indonesia belum banyak dilaporkan, karena peneliti lebih

sering menggunakan sitokinin jenis BAP.

TDZ merupakan sitokinin sintesis turunan dari phenylurea. Meskipun

tidak banyak penggunaan TDZ sebagai salah satu jenis sitokinin telah dilaporkan

oleh beberapa peneliti. Onamu (2003) menyatakan bahwa TDZ dalam konsentrasi

rendah mampu meningkatkan jumlah, panjang dan kualitas tunas anyelir. Fatimah

Nursandi (2006) sebagai salah satu peneliti PKBT menyatakan bahwa TDZ juga

memiliki kemampuan yang tinggi dalam menginduksi tunas secara langsung pada

nenas.

Tujuan

Tujuan dari percobaan inisiasi adalah untuk mempelajari pengaruh jenis

sitokinin BAP dan TDZ terhadap inisiasi tunas pisang Rajabulu. Tahap

multiplikasi bertujuan untuk menentukan kombinasi zat pengatur tumbuh

Thiadiazuron (TDZ) dan auksin IAA dalam multiplikasi biakan in vitro pisang

Rajabulu.

(15)

Hipotesis

1. Konsentrasi zat pengatur tumbuh BAP dan TDZ berpengaruh terhadap

inisiasi tunas pisang Rajabulu.

2. Konsentrasi zat pengatur tumbuh TDZ, IAA dan interaksinya berpengaruh

terhadap multiplikasi tunas pisang Rajabulu dan kemampuan plantlet

(16)

TINJAUAN PUSTAKA

Taksonomi Pisang

Tanaman pisang (Musa sp.) termasuk dalam famili Musaceae, ordo

Scitaminae. Famili Musaceae terdiri dari dua genus yaitu Ensente dan Musa.

Genus Musa dibagi menjadi empat golongan yaitu Australimusa, Eumusa,

Callimusa, Rodochlamys. Australimusa dan Eumusa adalah golongan yang

banyak dimanfaatkan sebagai buah konsumsi. Golongan Eumusa adalah golongan

yang saat ini paling banyak dibudidayakan. Kultivar pisang yang dapat dimakan

dan terkenal sekarang merupakan hasil persilangan dari dua spesies liar anggota

Eumusa yaitu Musa acuminata (AA) dan Musa balbisiana (BB) (Simmonds,

1959). Hasil persilangan pisang budidaya diploid tersebut menghasilkan turunan

hibrid steril baik diploid, triploid maupun tetrapolid dengan genom AB, AAA,

AAB, ABB dan seterusnya.

Pisang Raja Bulu

Buah pisang dikelompokkan menjadi dua, yaitu pisang meja yang dimakan

setelah matang (banana) dan pisang yang diolah terlebih dulu baru dimakan

(plantain). Menurut Direktorat Bina Produksi Hortikultura (1985) jenis pisang

yang disenangi (populer) di Indonesia untuk pisang meja adalah pisang Rajabulu,

Ambon, Raja Sereh, Mas, dan Barangan, sedangkan untuk plantain adalah pisang

Tanduk, Oli, Kepok, dan Nangka.

Menurut Pusat Kajian Buah-buahan Tropika (2005) pisang Rajabulu

merupakan jenis pisang dengan genom AAB. Bentuk buahnya lurus sedikit

melengkung dengan ujung buah sedikit tumpul. Kulitnya memiliki ketebalan

0.3-0.4 cm dan berwarna kuning cerah bila sudah matang. Daging buahnya sangat

manis, berwarna kuning kemerahan, bertekstur lunak, dan tidak berbiji. Panjang

buah antara 10-17 cm dengan bobot rata-rata 160-170 gram. Setiap pohon

biasanya dapat menghasilkan rata-rata sekitar 100 buah.

Berdasarkan analisis gizi diketahui bahwa pisang Rajabulu memiliki

keunggulan dari segi rasa (lebih manis dan lebih legit), penampilan buah menarik,

kandungan karoten sangat tinggi serta memiliki total gula rendah. Nilai indeks

(17)

Pisang Raja Bulu adalah tanaman monokotil yang berasal dari kawasan Asia

Tenggara sehingga pisang dapat tumbuh dengan baik pada berbagai kondisi iklim

tropik. Pisang merupakan tanaman herba tahunan sehingga salah satu syarat yang

harus dipenuhi dalam budidaya pisang adalah drainase tanah yang baik untuk

mencegah terjadinya busuk akar.

Pisang secara keseluruhan adalah tanaman yang unik. Pisang memiliki

sistem perakaran bonggol yang berasal dari batang yang terletak di bawah tanah.

Batang semu yang terletak di atas permukaan tanah sebenarnya merupakan

kumpulan pangkal pelepah daun. Bunga pisang terdiri dari daun-daun pelindung

yang saling menutupi, sedangkan bunganya sendiri terletak diantara daun

pelindung tersebut. Setiap kumpulan bunga-bunga pisang (atau calon sisir) ini

tersusun spiral pada tangkainya.

Cara konvensional dalam perbanyakan pisang adalah dengan cara vegetatif

menggunakan anakan (sucker). Sedangkan cara generatif dengan biji tidak dapat

dilakukan karena tanaman pisang umumnya tidak berbiji. Walaupun ada sebagian

yang berbiji namun bijinya bersifat steril.

Terdapat beberapa kelemahan perbanyakan tanaman secara konvensional

antara lain: (1) waktu yang diperlukan untuk memperbanyak anakan atau mata

tunas sangat lama, (2) jumlah bibit yang dihasilkan sedikit, (3) propagula vegetatif

memungkinkan bagi meluasnya patogen, yang akan sangat nyata menurunkan

produksi.

Teknik Kultur Jaringan

Kultur jaringan adalah salah satu metode perbanyakan tanaman yang

dilakukan untuk menjawab berbagai masalah yang terjadi dalam perbanyakan

tanaman secara konvensional. Kultur jaringan dilakukan dengan mengisolasi

berbagai bagian dari tanaman serta menumbuhkannya dalam kondisi aseptik,

sehingga bagian tanaman tersebut dapat beregenerasi dan berkembang menjadi

tanaman utuh.

Dasar kultur jaringan adalah teori totipotensi sel yang menyatakan bahwa

setiap sel merupakan suatu satuan otonomi dan mempunyai kemampuan untuk

beregenerasi menjadi tanaman lengkap kembali (Gunawan, 1988). Secara umum

(18)

jaringan adalah seleksi eksplan dan persiapan, inisiasi dan kultur pada media

prekondisi, media multiplikasi,media pengakaran dan media aklimatisasi

(Acquaah, 2004).

1. Seleksi eksplan dan persiapan

Bagian tanaman yang digunakan sebagai bahan inisiasi dalam kultur

jaringan disebut eksplan. Eksplan yang digunakan dalam kultur jaringan harus

memiliki kondisi fisiologi yang bagus dan bebas penyakit. Jenis tanaman, bagian

tanaman yang digunakan, morfologi permukaan, lingkungan tumbuhnya, umur,

kondisi tanaman, dan ukuran eksplan serta musim waktu mengambil merupakan

beberapa faktor yang menentukan keberhasilan proses selanjutnya (Gunawan,

1988).

Jaringan sumber eksplan dapat berupa sel meristematik, kambium dan

embrio yang belum mengalami perubahan bentuk dan kekhususan fungsi. Selain

itu dapat pula digunakan tunas, bunga, daun muda, cabang, akar, umbi bagian–

bagian embrio, benangsari dan sebagainya. Walaupun eksplan dapat

dikembangkan dari berbagai bagian tanaman, tetapi bagian yang lebih muda

seringkali merupakan sumber eksplan yang lebih baik pada banyak spesies

(Conger, 1981).

Ukuran eksplan yang digunakan tergantung dari tujuan pembiakannya.

Ukuran eksplan yang besar cenderung mudah terkontaminasi, namun ukuran

eksplan yang telalu kecil mempunyai persentase kematian jaringan yang lebih

tinggi (Conger, 1981). Tingkat kontaminasi juga dipengaruhi oleh musim waktu

mengambil eksplan. Pengambilan bahan tanaman yang dilakukan pada musim

hujan biasanya memiliki tingkat kontaminasi yang lebih tinggi dibandingkan pada

musim kemarau. Pada musim penghujan terjadi peningkatan kelembaban tanah

dan kelebihan air yang mendukung pertumbuhan jamur maupun bakteri secara

cepat pada lingkungan tumbuh tempat mengambil bahan tanaman (Semangun,

1989).

2. Inisiasi dan kultur pada media prekondisi

Inisiasi kultur yang bebas dari kontaminan merupakan langkah yang sangat

penting dalam kultur jaringan karena bila tidak dihilangkan kontaminan ini akan

(19)

tahap ini dilakukan proses sterilisasi eksplan untuk mendapatkan kultur aseptik.

Eksplan yang telah disterilisasi kemudian ditanam pada media kultur prekondisi

untuk memastikan apakah eksplan telah bebas dari kontaminasi mikroba dan

jaringan berinisiasi untuk tumbuh. Tahap ini merupakan tahapan paling mahal

dalam proses produksi.

Halperin dalam Tripepi (1997) menyatakan bahwa terdapat tiga

kemungkinan yang dapat menyebabkan eksplan gagal berinisiasi. Pertama, sel-sel

pada eksplan kekurangan totipotensi. Kedua, sel-sel pada eksplan tidak mampu

berdiferensiasi. Ketiga, eksplan mempunyai batasan fisiologi untuk dapat

berdiferensiasi dan berdediferensiasi karena kurangnya rangsangan induksi

esensial seperti jenis atau konsentrasi zat pengatur tumbuh yang tidak tepat.

Faktor lain yang mempengaruhi ketidakberhasilan inisiasi adalah

munculnya pencoklatan (browning) pada eksplan beberapa hari setelah ditanam

di media kultur. Browning tersebut diakibatkan oleh oksidasi senyawa fenolik.

Tingkat Browning pada pisang Raja bulu dengan genom AAB ini cukup tinggi.

Browning yang terjadi masih bisa muncul setelah beberapa kali subkultur

Ernawati et al. (1994). Senyawa fenolik yang terakumulasi tersebut dapat

menghambat penyerapan bahan pangan dalam media, akibatnya eksplan

kekurangan energi untuk pertumbuhan dan perkembangan. Kondisi ini lama

kelamaan akan mengakibatkan kematian pada eksplan (Trigiano, 2003).

3. Media multiplikasi

Multiplikasi merupakan kegiatan memperbanyak calon tanaman yang

dilakukan dengan penanaman eksplan pada media dengan kandungan sitokinin

yang tinggi. Pada tahap ini diupayakan eksplan menghasilkan tunas sebanyak

mungkin (bermultiplikasi). Tunas yang terbentuk dipisahkan melalui kegiatan

subkultur berulang.

Tingkat multiplikasi pisang Rajabulu ini antara lain dipengaruhi oleh

perbedaan genom. Pisang Raja bulu dengan genom AAB tergolong sebagai

kultivar pisang dengan laju multiplikasi yang rendah (Kasutjianingati, 2004).

Permasalahan yang sering terjadi dalam tahap multiplikasi antara lain

munculnya senesen, yaitu salah satu proses fisiologi dalam kultur in vitro yang

(20)

dan akumulasi racun pada media kultur jaringan. Senesen pada kultur in vitro

dapat terjadi melalui wujud yang berbeda seperti daun menguning dan perubahan

warna kalus menjadi abu-abu lalu coklat. Senesen yang terjadi pada daun diawali

oleh degradasi kloroplas, diikuti membran sitoplasma. Mitokondria dan nukleus

merupakan bagian akhir yang terpisah dan masih terus berfungsi hingga akhir

tahap senesen (Cachiţă and Crăciun dalam Prihatmanti dan Mattjik, 2004).

4. Media pengakaran

Fase dimana eksplan menunjukkan adanya pertumbuhan akar sebagai syarat

bahwa tanaman siap dipindah ke lapang. Pengakaran dapat dirangsang dengan

penggunaan media dengan tambahan ZPT jenis auksin. Wattimena (1988)

menyatakan bahwa pemberian auksin diketahui sebagai pemicu pertumbuhan

tunas dan akar.

5. Media aklimatisasi

Gunawan (1988) menyatakan bahwa aklimatisasi merupakan tahap

pemindahan plantlet dari kondisi aseptik (in vitro) ke kondisi lapang (ex vitro)

atau dari keadaan heterotrop ke keadaan autotrop. Tahap aklimatisasi adalah

tahap yang sangat penting, karena keberhasilan teknik kultur jaringan dilihat dari

berhasil atau tidaknya proses aklimatisasi.

Proses aklimatisasi seringkali gagal karena adanya cekaman lingkungan

yang tinggi. Perubahan kondisi heterotrop ke autotrop mengharuskan tanaman

dapat melakukan fotosintesis dan melakukan penyerapan hara menggunakan akar.

Akar yang berasal dari tanaman in vitro masih lemah dan belum berfungsi dengan

baik, sehingga akar menjadi cepat mati dan mungkin akan digantikan dengan akar

baru yang tumbuh ketika plantlet ditanam pada media aklimatisasi. Oleh karena

itu lingkungan tumbuhnya harus mendekati lingkungan asalnya pada biakan,

terutama kelembaban dan suhu. Hal ini disebabkan tanaman hasil in vitro peka

terhadap evapotranspirasi, serangan cendawan dan bakteri serta intensitas cahaya

yang tinggi. Pemberian hara tanaman yang cukup juga sangat penting dilakukan,

(21)

Pertumbuhan dan Perkembangan In Vitro

Totipotensi sel sebagai dasar teori kultur jaringan terkait dengan proses

pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Pertumbuhan berarti pertambahan

ukuran volume, bobot, jumlah sel, banyaknya protoplasma dan tingkat kerumitan

(Salisbury dan Ross, 1992).

Pertumbuhan pada tumbuhan berlangsung terbatas pada beberapa bagian

tertentu yang terdiri dari sejumlah sel yang baru saja dihasilkan melalui proses

pembelahan sel di meristem. Daerah-daerah meristematik antara lain terdapat

pada ujung akar, ujung tajuk, kambium pembuluh, dan tepat di atas nodus

pertumbuhan monokotil, atau di pangkal daun rumputan. Pembelahan sel tidak

menyebabkan pertumbuhan (pertambahan ukuran), namun produk dari

pembelahan sel itulah yang tumbuh dan menyebabkan pertumbuhan (Salisbury

dan Ross, 1992).

Perkembangan adalah keseluruhan proses pertumbuhan dan diferensiasi sel

menjadi jaringan, organ dan organisme. Nama lain proses tersebut adalah

morfogenesis (dari bahasa Yunani morphos: bentuk, dan genesis: asal).

Pembelahn sel menghasilkan sel baru yang tidak hanya menjadi lebih besar, tetapi

juga lebih kompleks. Sel mengalami perubahan dengan cara yang berbeda-beda,

menghasilkan tumbuhan dewasa yang tersusun dari berbagai jenis sel (Salisbury

dan Ross, 1992).

Beragam bentuk sel yang dihasilkan dalam pertumbuhan dan perkembangan

merupakan hasil dari tiga proses yang sederhana. Proses tersebut terdiri dari

pembelahan, pembesaran dan diferensiasi sel. Satu sel dewasa membelah menjadi

dua sel yang terpisah, yang tidak selalu serupa satu sama lain. Salah satu atau

kedua sel anak tersebut membesar volumenya. Sel yang sudah mencapai volume

akhirnya, menjadi terspesialisasi dengan cara tertentu menghasilkan berbagai jenis

jaringan, organ tumbuhan, dan banyak jenis tumbuhan (Salisbury dan Ross,

1992).

Zat Pengatur Tumbuh

Kelompok dari zat-zat yang mempengaruhi pertumbuhan dan

perkembangan, dapat secara memuaskan disebut zat pengatur tumbuh. Zat

(22)

dibandingkan dengan konsentrasinya. Keaktifan tersebut menyangkut

proses-proses fisiologi tanaman seperti pertumbuhan, diferensiasi, dan perkembangan

tanaman. Proses-proses lain yaitu pembukaan stomata, serapan hara, dan

translokasi. Kerja zat pengatur tumbuh ini masih dapat diwujudkan dalam tempat

yang jauh dari tempat asalnya (Harjadi, 1996).

Dua golongan zat pengatur tumbuh yang sangat penting dan mempengaruhi

pertumbuhan serta morfogenesis adalah sitokinin dan auksin. Interaksi dan

perimbangan zat pengatur tumbuh yang diberikan media dan yang diproduksi

oleh sel akan mempengaruhi arah perkembangan suatu kultur.

Sitokinin

Sitokinin adalah kelompok senyawa organik yang menyebabkan

pembelahan sel yang dikenal dengan proses sitokinesis (Wattimena, 1988).

Pengaruh sitokinin di dalam kultur jaringan tanaman antara lain berhubungan

dengan proses pembelahan sel, proliferasi tunas ketiak, penghambatan

pertumbuhan akar dan induksi umbi mikro terutama pada kentang. Pembelahan

mitosis tidak akan terjadi tanpa sitokinin. Jenis sitokinin yang saat ini sering

digunakan adalah BAP (6-benzyl amino purine) dan TDZ (Thiadiazuron).

Peran khusus BAP adalah untuk induksi kalus, pertumbuhan kalus dan

suspensi sel serta induksi morfogenesis. Pada konsentrasi yang lebih tinggi dapat

digunakan untuk meningkatkan multiplikasi tunas, pucuk atau meristem. BAP

banyak digunakan dalam perbanyakan tanaman melalui kultur jaringan karena

sifatnya stabil, tidak mahal dan mudah tersedia. Ernawati, Purwito dan Suketi

(1994) menyatakan bahwa kombinasi IAA dan BAP pada perbanyakan mikro

pisang Ambon, Barangan dan Rajabulu dapat menginduksi penggandaan tunas

tertinggi. Berdasarkan penelitian tersebut juga diketahui bahwa BAP 0.5-1 ppm

mampu menginduksi pembentukan embrio somatik. Menurut Sukma (1994)

perlakuan yang terbaik untuk multiplikasi tunas pada pisang Rajabulu dengan

eksplan tunas in vitro dari anakan adalah pada 10.5 ppm BAP + 3.0 ppm IAA.

Penelitian tersebut juga melaporkan pengaruh BAP terhadap pertumbuhan

daun. BAP sebagai salah satu jenis sitokinin lebih berfungsi untuk mendorong

pembentukan tunas, menghambat pertambahan tinggi, sehingga menekan jumlah

(23)

konsentrasi BAP yang tinggi (7 dan 10 ppm) cenderung kurang normal, dimana

daun sebagian menggulung dan sempit (Sukma, 1994).

TDZ merupakan sitokinin yang juga bersifat merangsang multiplikasi pucuk

dalam konsentrasi rendah dan dapat menghasilkan tunas kerdil dengan kualitas

rendah pada konsentrasi yang tinggi. Devilana (2005) menyatakan bahwa pada

kultur jaringan nenas, TDZ dengan konsentrasi 1x10-1 ppm menghasilkan jumlah

tunas aksilar dan tunas adventif tertinggi yaitu sekitar 35 buah pada lima minggu

setelah tanam.

BAP dan TDZ adalah dua jenis sitokinin dengan tipe urea yang berbeda.

Menurut Huetteman dan Preece dalam Anwar (2007) sitokinin tipe urea seperti

TDZ, memiliki aktivitas lebih kuat dibanding tipe adenin atau purin seperti BAP.

Penggunaan TDZ dan BAP sebagai salah satu zat pengatur tumbuh pada

komoditas pisang dilaporkan oleh Sukmadjaja et al. (2007) yang menyatakan

bahwa pemberian 0.1 ppm TDZ tanpa penambahan BAP serta pemberian BAP

pada konsentrasi rendah (0.5 ppm) yang dikombinasikan dengan TDZ 1.5 ppm

merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang memberikan hasil penambahan

jumlah tunas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kontrol dan perlakuan

lainnya.

Auksin

Auksin didefinisikan sebagai zat tumbuh yang mendorong elongasi jaringan

koleoptil hasil pembelahan sel. Pengaruh auksin lainnya adalah penghambatan

mata tunas samping, merangsang akivitas kambium dan merangsang

pertumbuhan akar (Wattimena, 1988). Jenis auksin yang sering digunakan adalah

Indole Acetic Acid (IAA), 1-Napthalena Acetic Acid (NAA), Indole 3-Butyric

Acid (IBA), dan 2,4-Dichlorophenoxy Acetic Acid (2,4-D). IAA merupakan

satu-satunya jenis auksin alami yang terdapat dalam tumbuhan. Kasutjianingati (2004)

menyatakan bahwa taraf IAA 3 ppm meningkatkan tunas layak pada kultur in

vitro pisang 10% bila dibandingkan media tanpa IAA. Beberapa pustaka juga

menunjukkan bahwa penggunaan IAA 3 ppm untuk mengimbangi rangsangan

BAP lebih efektif dalam menambah jumlah tunas (Sukma, 1994; Ernawati et al,

(24)

Penggunaan auksin dalam kultur jaringan pada umumnya dilakukan melalui

kombinasi dengan sitokinin. Nisbah sitokinin dan auksin akan menentukan apakah

suatu tunas akan membentuk tunas adventif, akar, atau tunas adventif dan akar.

Sampai saat ini belum diketahui secara pasti perimbangan auksin dan sitokinin

yang paling efektif. Konsentrasi yang diperlukan dari masing-masing ZPT ini

tergantung pada jenis eksplan, genom, kondisi kultur serta jenis sitokinin dan

(25)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Pusat Kajian

Buah-buahan Tropika, Institut Pertanian Bogor (IPB) Baranangsiang Bogor pada

bulan Februari sampai bulan Juli 2007.

Bahan dan Alat

Bahan tanaman yang digunakan dalam percobaan tahap inisiasi adalah

anakan pisang Raja bulu (Musa paradisiaca L.) asal Polytani. Tahap multiplikasi

adalah tunas in vitro pisang Raja bulu dari LIPI yang diinisiasi dari anakan

(subkultur ke-5 dari media MS0) dan tunas in vitro pisang Raja bulu dari Cianjur

yang diinisiasi di Laboratorium Kultur Jaringan PKBT dari anakan (subkultur

ke-2 dari media BA ke-2 ppm). Beragamnya jenis pisang yang digunakan disini terkait

dengan ketersediaan bahan dan kegagalan dalam inisiasi. Diasumsikan pisang

dengan genom yang sama memiliki respon yang sama pada perlakuan yang sama.

Bahan kimia yang digunakan berupa penyusun media dasar Murashige dan

Skoog, IAA, BAP dan TDZ. Bahan lain yang digunakan yaitu HCl 1.0 N, NaOH

1.0 N, alkohol, spiritus, asam askorbat (untuk mengurangi pencoklatan), aquades

steril, tissue, bahan pemadat berupa agar, kertas saring, plastik, deterjen, formalin

dan clorox.

Peralatan yang digunakan untuk persiapan media meliputi timbangan

analitik, gelas ukur, pipet, erlenmeyer, labu takar, pengaduk, gelas piala, botol

kultur dan autoklaf. Peralatan untuk menanam antara lain laminar air flow

cabinet, handsprayer, lampu bunsen, pinset, pisau, dan petridish.

Metode Percobaan

Penelitian ini terdiri dari dua tahap percobaan :

1. Tahap Inisiasi Tunas

Pada tahap inisiasi tunas perlakuan yang digunakan adalah BAP 1 ppm (4.4

μM), BAP 2 ppm (8.9μM), TDZ 0.04 ppm (0.2μM), dan TDZ 0.08 ppm (0.4μM) yang ditambahkan pada media MS0 padat. Percobaan ini terdiri dari 4 perlakuan

(26)

percobaan. Pada tahap inisiasi tunas digunakan rancangan acak lengkap dengan

satu faktor yaitu jenis sitokinin. Setiap satu satuan percobaan terdiri dari satu

botol yang berisi satu eksplan. Data selanjutnya disajikan secara deskriptif.

2. Tahap Multiplikasi

Pada tahap multiplikasi tunas perlakuan merupakan kombinasi dari dua

faktor. Faktor pertama adalah konsentrasi Thiadiazuron yang terdiri dari tiga taraf

yaitu 0 ppm, 0.01 ppm, dan 0.1 ppm. Faktor kedua adalah konsentrasi IAA

dengan dua taraf yaitu 0 ppm dan 3 ppm. Semuanya 6 kombinasi perlakuan,

masing-masing perlakuan dengan 6 ulangan (untuk pisang Rajabulu Juara) total

terdapat 36 satuan percobaan dan untuk pisang Rajabulu Cianjur masing-masing

perlakuan dengan 7 ulangan sehingga total 42 satuan percobaan. Setiap satuan

percobaan terdiri dari 1 botol kultur, masing-masing botol berisi 1 eksplan.

Percobaan ini menggunakan rancangan acak lengkap.

Kombinasi dari perlakuan diatas adalah sebagai berikut :

a.T1A1 = TDZ 0,01 ppm + IAA 3 ppm

b.T2A0 = TDZ 0,1 ppm + IAA 0 ppm

c.T2A1 = TDZ 0,1 ppm + IAA 3 ppm

d.T0A0 = TDZ 0 ppm + IAA 0 ppm

e.T0A1 = TDZ 0 ppm + IAA 3 ppm

f. T1A0 = TDZ 0,01 ppm + IAA 0 ppm

Data dianalisa dengan uji F, bila terjadi beda nyata, diuji lanjut dengan uji

DMRT pada taraf 5 % .

Pelaksanaan Penelitian

Sterilisasi Botol dan Alat Tanam

Pinset, pisau, gelas ukur, erlenmeyer, labu takar, petridish, pipet,

pengaduk, gelas piala, dan botol kultur yang akan dipakai dicuci bersih dengan

deterjen, kemudian di sterilisasi selama 60 menit pada suhu 1700 C dengan oven.

Pembuatan Media

Untuk memudahkan pembuatan media dibuat larutan stok MS0 terlebih

dahulu. Selanjutnya pembuatan media dilakukan dengan cara memipet larutan

(27)

Sejumlah larutan stok berupa stok A, B, C, D, E, F, Myo inositol dan

vitamin (Tabel Lampiran 1) dipipet kemudian dimasukkan ke dalam labu takar 1

liter yang berisi aquades 1/3 volume. Kemudian ZPT ditambahkan sesuai dengan

jenis dan konsentrasi perlakuan. Aquades ditambahkan hingga volume mencapai

tera 1 l. Derajat keasaman diatur hingga mencapai 5.8 dengan menambahkan

NaOH atau HCl 1 N. Jika pH kurang dari normal dilakukan penambahan NaOH,

sedangkan jika pH lebih dari 5.8 dilakukan penambahan HCL menggunakan

pipet. Media yang telah diatur pH-nya ditambah agar-agar 6,5 gram/liter sebagai

pemadat (khusus untuk media padat), dimasak di atas kompor sampai mendidih

kemudian media dimasukkan ke dalam botol kultur yang telah disterilisasi dan

diusahakan setiap botol isinya sama. Botol kemudian ditutup menggunakan

plastik dan diikat dengan karet.

Proses selanjutnya adalah sterilisasi media dalam botol menggunakan

autoclave dengan suhu 1210 C dan tekanan 17.5 psi selama 20 menit.

Sterilisasi Bahan Tanaman

Anakan pisang Rajabulu Polytani yang diambil dari Kebun Koleksi

PKBT–IPB Tajur dikupas, dibuka seludangnya hingga berukuran kurang lebih

1.5 cm, dibersihkan dengan cara dicuci bersih dengan air mengalir, direndam

dalam larutan deterjen selama 30 menit kemudian dalam larutan formalin 0,4%

selama 30 menit. Bahan tanaman dicuci dengan air mengalir selama 30 menit.

Selanjutnya direndam dalam campuran Benlate 2 gr/liter dan Agrept 2 gr/liter

selama dua jam sambil dikocok dengan shaker.

Sterilisasi tahap selanjutnya dilakukan dalam laminar air flow cabinet.

Bahan tanaman yang telah dikocok kemudian dicuci dengan air steril sebanyak

tiga kali atau sampai bersih. Bahan tanaman yang sudah bersih dikupas

seludangnya lalu direndam dalam larutan clorox 30% selama 10 menit, setelah itu

anakan dibilas dengan air steril, dibuka seludangnya, direndam dalam larutan

clorox 20% selama 20 menit dan dibilas. Tahap terakhir bahan tanaman direndam

(28)

Penanaman Eksplan

Pada percobaan inisiasi, eksplan yang telah disterilkan dari anakan

ditanam pada media MS0 padat, setelah 4 minggu dipilih eksplan yang terbebas

dari kontaminan dan seragam untuk dikulturkan dalam media sesuai perlakuan.

Pada percobaan multiplikasi digunakan eksplan berupa tunas in vitro

pisang Rajabulu Juara dari laboratorium LIPI hasil inisiasi anakan (subkultur

ke-5 dari media MS0) dan tunas in vitro pisang Rajabulu Cianjur yang diinisiasi dari

anakan di Laboratorium Kultur Jaringan PKBT (subkultur ke-2dari media BA 2

ppm). Eksplan hasil inisiasi dikulturkan ke dalam botol kultur yang berisi media

MS0 cair dan ditutup dengan plastik. Botol kultur yang telah berisi eksplan

diletakkan dalam ruang kultur dan diinkubasi selama kurang lebih 4 minggu.

Eksplan yang terbebas dari kontaminan dan seragam disubkultur ke dalam media

perlakuan.

Aklimatisasi

Plantlet hasil multiplikasi selanjutnya diaklimatisasi di screen house untuk

mengetahui pengaruh media perlakuan terhadap kondisi tanaman di lapang.

Pelaksaan aklimatisasi diawali dengan penyiapan media tanam berupa sekam

steril yang dimasukkan dalam gelas plastik sampai kira-kira 1 cm dari permukaan

gelas. Plantlet dikeluarkan dari botol dengan pinset secara hati-hati, dibersihkan

dari sisa-sisa media dengan cara dicuci menggunakan air mengalir, lalu dikering

anginkan. Bahan tanaman hasil in vitro ditanam dalam media tumbuh dan

keseluruhnnya disungkup dengan kantong plastik selama kurang lebih satu

minggu. Setelah satu minggu tanaman dikeluarkan dari sungkup, dipindah dalam

media pembibitan berupa arang sekam yang disterilkan dengan autoclave selama

30 menit pada tekanan 17.5 psi. Perawatan dilakukan dengan penyiraman.

Pengamatan

Pengamatan keadaan visual kultur tahap inisisi berupa:

ƒ Jumlah tunas hidup: jumlah eksplan yang berwarna kehijauan.

ƒ Jumlah tunas mati: jumlah eksplan yang berwarna merah atau kecoklatan

(29)

ƒ Jumlah tunas yang mengalami kontaminasi: ditandai dengan keberadaan

cendawan dan bakteri.

Pada tahap multiplikasi pengamatan respon tumbuh yang dilakukan setiap

minggu di botol kultur meliputi:

ƒ Jumlah tunas: Jumlah tunas yang baru terbentuk, yang merupakan

parameter yang paling menentukan keberhasilan tahap multiplikasi.

ƒ Jumlah daun: Jumlah daun baru yang terbentuk dan telah membuka

sempurna pada eksplan awal (induk pisang).

ƒ Jumlah akar: Jumlah akar yang terbentuk pada eksplan awal (induk

pisang).

Sebagai data pendukung diamati keadaan visual kultur pada media MS0

dan media multiplikasi seperti tingkat kontaminasi, tingkat browning, dan warna

daun. Pengamatan ini dilakukan selama 8 MST.

Pada tahap multiplikasi pengamatan pertumbuhan kultur yang dilakukan

setelah plantlet dikeluarkan dari botol kultur dan dicuci bersih dari sisa-sisa media

yang menempel sebelum aklimatisasi (10 MST) meliputi:

ƒ Panjang akar pada eksplan awal (induk pisang): diukur dari pangkal akar

hingga ujung akar yang terpanjang.

ƒ Tinggi tanaman pada eksplan awal (induk pisang): diukur dari pangkal

(30)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum Kultur

Temperatur ruangan selama penelitian berkisar antara 19-240 C.

Penyinaran menggunakan lampu 15 dan 20 watt selama 16 jam/hari dan Intensitas

cahaya rata-rata 100 ft-c. Pada percobaan pertama pertumbuhan eksplan mulai

terlihat sekitar 1 MST, ditandai dengan perubahan warna eksplan dari putih

menjadi kehijauan dan eksplan yang mati ditandai dari perubahan warna putih

menjadi kemerahan dan lama-kelamaan menjadi coklat kemudian mati. Tingkat

kontaminasi yang terjadi ketika inisiasi mencapai 25%.

Pada percobaan kedua pengaruh interaksi dari 2 faktor perlakuan IAA dan

TDZ setelah dianalisis ragam memberikan hasil yang tidak berbeda nyata pada

semua variabel pengamatan. Koefisien keragaman menunkjukkan nilai antara

45-600%. Pembahasan selanjutnya diarahkan pada hasil analisis ragam faktor tunggal

yang menunjukkan beda nyata.

Hasil analisis statistik faktor tunggal TDZ dan IAA menunjukkan bahwa

media perlakuan tidak berpengaruh nyata pada jumlah tunas dan jumlah daun

Pisang Rajabulu Juara. Perlakuan yang diberikan berpengaruh sangat nyata pada

jumlah akar sejak 3 MST. Pada pengamatan yang dilakukan sebelum aklimatisasi

(10 MST) didapatkan bahwa media perlakukan tidak berpengaruh nyata pada

panjang akar tetapi berpengaruh nyata pada tinggi eksplan (Tabel Lampiran 3).

Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa media perlakuan tidak

berpengaruh nyata pada jumlah tunas Pisang Rajabulu Cianjur. Perlakuan TDZ

berpengaruh nyata pada jumlah akar (3, 4, dan 5 MST), sedangkan perlakuan IAA

berpengaruh nyata pada 5-8 MST. Pada pengamatan jumlah daun nilai yang

berbeda nyata hanya diperoleh pada minggu ke-enam. Pada pengamatan yang

dilakukan sebelum aklimatisasi yaitu pada 10 MST didapatkan pengaruh sangat

nyata pada panjang akar dan tinggi eksplan (Tabel Lampiran 9).

Pertumbuhan pisang mulai terlihat sejak 1 MST. Pertumbuhan ini ditandai

dengan pemanjangan daun-daun yang terpotong dan terbentuknya daun-daun

baru. Daun baru yang terbentuk berwarna hijau muda pada hampir semua

(31)

bagian ujung, gejala ini ditandai dengan perubahan warna daun menjadi

kekuningan. Perubahan warna daun ini mungkin terjadi akibat degradasi

kloroplas.

Inisiasi Kultur Pisang Rajabulu

Pada percobaan ini tidak digunakan kontrol karena awalnya percobaan ini

bertujuan untuk menyiapkan bahan tanaman untuk percobaan multiplikasi, tetapi

inisiasi yang dilakukan mengalami kegagalan (membutuhkan waktu yang lama

dan hasilnya tidak mencukupi) sehingga akhirnya dibuat sebagai percobaan

tersendiri. Kondisi tersebut berakibat kesimpulan yang diambil dalam percobaan

ini kurang kuat. Data tidak memiliki kontrol dan merupakan jumlah pertotal 7

eksplan yang ditanam sehingga tidak diolah secara statistik. Data hanya

ditampilkan secara deskriptif.

Gambar 1 menunjukkan jumlah eksplan hidup pada masing-masing

perlakukan BAP atau TDZ pada 8 MST: terlihat bahwa jumlah eksplan yang

hidup pada hampir sama untuk semua perlakuan. Nilai tertinggi didapatkan pada

perlakuan TDZ 0.04 ppm sebanyak 5 eksplan dari keseluruhan 7 eksplan yang

ditanam (71%). Selanjutnya penambahan TDZ 0.08 ppm didapatkan 4 eksplan

hidup (57%). Nilai ini terkait dengan fungsi sitokinin dalam meningkatkan

pembelahan sel, memacu inisiasi dan pertumbuhan tunas in vitro.

Pada perlakuan BAP 1 ppm didapatkan jumlah eksplan hidup yang rendah

(2 eksplan). Sedangkan pada media dengan penambahan BAP 2 ppm tidak

diperoleh eksplan hidup hal ini mungkin diakibatkan oleh bahan tanaman yang

gagal berinisiasi. Eksplan tidak memperlihatkan adanya pertumbuhan dan

mengalami dormansi (Gambar 2 B).

Persen kematian pada percobaan inisiasi ini mencapai 35.7%. Nilai kematian

eksplan terendah didapat pada perlakuan TDZ 0.04 ppm (1 eksplan). Pada

perlakuan lainnya (TDZ 0.08 ppm, BAP 1 ppm, dan BAP 2 ppm) jumlah eksplan

yang mati menunjukkan nilai yang sama yaitu 3 eksplan (43%) dari keseluruhan

eksplan yang ditanam (7 eksplan). Penggunaan TDZ dengan konsentrasi 0.04 ppm

(32)

fenolik yang terjadi pada eksplan, sehingga sel-sel yang ada dapat berfungsi

Jumlah Eksplan Hidup Jumlah Eksplan Mati

Gambar 1. Histogram Jumlah Eksplan Hidup dan Mati Pisang Rajabulu Polytani pada 8 MST

(A) (B)

(C) (D)

(33)

MST (Eksplan pada gambar B tidak menunjukkan adanya pertumbuhan dan mengalami dormansi)

Penggunaan TDZ 0.04 ppm terbukti lebih baik bila dibandingkan dengan

BAP. Penggunaan sitokinin tipe urea seperti TDZ, memiliki aktivitas lebih kuat

dibanding tipe adenin atau purin seperti BAP. Hasil ini sama dengan hasil

penelitian Sukmadjaja et al. (2007).

Multiplikasi Tunas in vitro Pisang Rajabulu

Pisang Rajabulu Juara

Respon Pertumbuhan

Respon pertumbuhan yang diamati meliputi jumlah tunas, jumlah daun

dan jumlah akar setiap minggu selama kultur (8 MST). Semua data disajikan

dalam 6 ulangan.

Pengaruh interaksi TDZ dan IAA tidak berpengaruh nyata pada jumlah

tunas hingga minggu terakhir pengamatan (Tabel Lampiran 3). Analisis pada

faktor tunggal juga tidak berpengaruh nyata hingga 8 MST (Tabel 1). Perlakuan

TDZ dan IAA pada berbagai taraf dapat menginduksi tunas, tetapi nilainya masih

sangat rendah. Nilai ini masih cukup baik mengingat konsentrasi TDZ yang

digunakan di sini sangat rendah (0.01 dan 0.1 ppm) bila dibandingkan dengan

konsentrasi yang telah digunakan dalam penelitian sejenis.

Hasil penelitian Sukmadjaja et al. (2007) menunjukkan bahwa pemberian

BAP pada konsentrasi rendah (0.5 ppm) yang dikombinasikan dengan

Thiadiazuron 1.5 ppm merupakan konsentrasi zat pengatur tumbuh yang

memberikan hasil penambahan jumlah tunas yang lebih tinggi dibanding dengan

kontrol maupun perlakuan lainnya.

Tabel 1. Rata-rata Jumlah Tunas Pisang Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 (MST)

AUKSIN

IAA 0 ppm 0.06 0.06 0.22 0.22 0.22 0.22 0.22 0.22

IAA 3 ppm 0.06 0.06 0.11 0.17 0.17 0.17 0.17 0.17

(34)

TDZ 0 ppm 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08 0.08

TDZ 0.01 ppm 0.08 0.08 0.17 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25

TDZ 0.1 ppm 0.00 0.00 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 0.25 Rendahnya jumlah tunas yang dihasilkan oleh semua perlakuan diduga karena

sumber eksplan yang digunakan kurang bersifat meristematis (telah tua, hasil dari

sub kultur ketiga) untuk berdiferensiasi dan menginduksi tunas baru.

Jumlah daun pada percobaan ini dihitung dari daun yang telah mekar

sempurna pada tanaman awal (induk biakan). Interaksi TDZ dan IAA tidak

berpengaruh nyata hingga minggu terakhir pengamatan (Tabel Lampiran 3).

Penambahan IAA dan TDZ sebagai faktor tunggal juga tidak berpengaruh nyata

terhadap jumlah daun mulai minggu pertama sampai minggu kedelapan setelah

tanam seperti yang terlihat pada Tabel 2. Tunas yang ditanam pada media dengan

penambahan TDZ dan IAA memiliki jumlah daun yang sama dengan media tanpa

penambahan Zat Pengatur Tumbuh.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun Pisang Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 (MST)

Hal ini diduga disebabkan tanaman pisang pada kultur in vitro memiliki

pertumbuhan tinggi yang cepat sehingga pada 4 MST tanaman sudah mencapai

tutup botol. Kondisi ini mengakibatkan daun yang terbentuk melengkung dan

tetap menggulung. Media kontrol lebih baik digunakan karena secara ekonomi

lebih murah dan memberikan hasil yang sama bila dibandingkan dengan media

perlakuan.

Interaksi TDZ dan IAA tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah akar

hingga minggu terakhir pengamatan (Tabel Lampiran 3). Penambahan IAA

(35)

hingga 8 MST. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian TDZ pada media

untuk multiplikasi berpengaruh sangat nyata menurunkan jumlah akar bila

dibandingkan dengan kontrol. Respon mulai terlihat sejak dua minggu setelah

tanam, dengan kecenderungan adanya penurunan jumlah akar dengan

penambahan sitokinin TDZ (Tabel 2). Konsentrasi TDZ yang lebih tinggi yakni

0.1 ppm memberikan jumlah akar paling sedikit. Penambahan TDZ 0.1 mg/l ke

dalam media mengakibatkan penurunan jumlah akar pisang Rajabulu Juara hingga

seperempatnya dibandingkan dengan kontrol pada 8 MST. Peningkatan

konsentrasi TDZ diduga meningkatkan konsentrasi etilen yang dapat menghambat

pembentukan akar. Hasil ini searah dengan penelitian Devilana (2005) pada

komoditi nenas yang menyatakan bahwa konsentrasi TDZ 0.01 dan 0.1 ppm dapat

menghambat pembentukan akar yang menyebabkan tidak terbentuknya akar.

Tabel 3. Rata-rata Jumlah Akar Pisang Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 (MST)

AUKSIN

IAA 0 ppm 0.0 0.50 1.78 2.61 4.67 6.22 8.67 9.00

IAA 3 ppm 0.0 0.22 1.28 2.06 4.11 6.00 7.28 8.94

SITOKININ

TDZ 0 ppm 0.0 a 0.67 a 3.25 a 4.83 a 7.67 a 9.83 a 12.25 a 12.42 a

TDZ 0.01ppm 0.0 a 0.08 b 0.83 b 1.58 b 3.75 b 5.83 ab 8.08 ab 8.75 ab

TDZ 0.1 ppm 0.0 a 0.33 ab 0.50 b 0.58 b 1.75 b 2.67 b 3.58 b 5.75 b

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Ukutan Plantlet

Ukuran plantlet dalam hal ini ditekankan pada panjang akar dan tinggi

plantlet pada 10 MST. Semua data disajikan dalam 6 ulangan.

Pemberian IAA tidak berpengaruh nyata pada panjang akar, tanaman yang

ditanam pada media dengan penambahan IAA memiliki panjang akar yang sama

dibandingkan dengan tanaman yang ditanam pada media kontrol. Perlakuan TDZ

(36)

(A) (B)

Gambar 3. Penampakan Planlet Pisang Rajabulu Juara (A) Kontrol atau MS0 tanpa Zat Pengatur Tumbuh, (B) Perlakuan TDZ 0.1 ppm pada 8 MST (Tanaman kontrol lebih tinggi dari tanaman yang diberi perlakuan)

Penggunaan TDZ pada media multiplikasi tunas in vitro pisang berpengaruh

sangat nyata pada tinggi. Semakin tinggi konsentrasi TDZ yang diberikan dapat

mengurangi tinggi tanaman (Gambar 3). Penambahan TDZ 0.1 mg/l ke dalam

media mengakibatkan penurunan tinggi pisang Rajabulu Juara hingga

sepertiganya dibandingkan dengan kontrol pada 10 MST (Tabel 4). Al-Wasel

(2000) menyatakan bahwa TDZ mampu menginduksi tunas tetapi menghambat

pertumbuhan tanaman. Oleh karena itu, tanaman harus disubkultur terlebih dahulu

ke media MS0 sebelum diaklimatisasi.

Tabel 4. Rata-rata Panjang Akar dan Tinggi Tanaman Awal Pisang Rajabulu Juara pada 10 MST Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan Panjang Akar Tinggi Tanaman AUKSIN

IAA 0 ppm 15.06  14.06  IAA 3 ppm 14.22  10.41  SITOKININ

TDZ 0 ppm 21.00 a 19.11 a TDZ 0.01 ppm 12.62 ab 11.46 b TDZ 0.1 ppm 10.29 b 6.12 b

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Pada Tabel 4 terlihat penambahan TDZ 0.1 mg/l ke dalam media

(37)

setengahnya dibandingkan dengan kontrol pada 10 MST. Akar terpanjang

didapatkan pada media tanpa penambahan ZPT. Hasil ini searah dengan penelitian

Anwar (2007) pada komoditi nenas yang menyatakan bahwa penggunaan TDZ

0.1-0.5 µM yang disertai dengan penambahan konsentrasi auksin yang semakin

tinggi cenderung menurunkan panjang akar.

Pisang Rajabulu Cianjur

Respon Pertumbuhan

Respon pertumbuhan yang diamati meliputi jumlah tunas, jumlah daun

dan jumlah akar setiap minggu selama kultur (8 MST). Semua data disajikan

dalam 7 ulangan.

Tabel 5. Rata-rata Jumlah Tunas Pisang Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 (MST)

Pada Tabel Lampiran 9 dapat dilihat bahwa interaksi TDZ dan IAA tidak

berpengaruh nyata pada jumlah tunas hingga minggu terakhir pengamatan.

Analisis pada faktor tunggal juga memberikan hasil yang sama. Namun, hampir

semua perlakuan TDZ dan IAA pada berbagai taraf perlakuan dapat menginduksi

tunas, walaupun nilainya masih rendah (Tabel 5). Rendahnya jumlah tunas yang

dihasilkan oleh semua perlakuan diduga karena sumber eksplan yang digunakan

kurang bersifat meristematis (telah tua, hasil dari sub kultur ketiga) untuk

berdiferensiasi dan menginduksi tunas baru.

Tunas rata-rata mulai terbentuk pada minggu pertama setelah tanam

kecuali pada perlakuan IAA 3 ppm, tunas baru terbentuk pada minggu kedua

setelah tanam dan pada penambahan TDZ 0.01 ppm tunas baru terbentuk pada

(38)

Jumlah daun pada percobaan ini dihitung dari daun yang telah mekar

sempurna. Pada Tabel Lampiran 9 dapat dilihat bahwa interaksi TDZ dan IAA

tidak berpengaruh nyata hingga minggu terakhir pengamatan. Penambahan IAA

juga tidak berpengaruh nyata hingga minggu terakhir pengamatan. Tunas yang

ditanam pada media dengan konsentrasi IAA 3 ppm memiliki jumlah daun yang

hampir sama dengan media tanpa penambahan Zat Pengatur Tumbuh.

Pemberian TDZ pada beberapa taraf perlakuan juga memberikan hasil

yang tidak berbeda nyata, kecuali pada 6 MST (Tabel 6). Pada minggu keenam

pertambahan jumlah daun pada media tanpa ZPT lebih tinggi dibandingkan

dengan perlakukan lainnya. Pada 7 - 8 MST sidik ragam kembali memberikan

hasil yang tidak berbeda nyata. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh terjadinya

stagnasi kembali akibat ruang tumbuh yang terbatas sehingga daun yang terbentuk

melengkung dan tetap menggulung.

Tabel 6. Rata-rata Jumlah Daun Pisang Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 (MST)

Keterangan : Nilai yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%.

Pengaruh penambahan IAA pada jumlah akar berbeda nyata pada 3-5

MST. Pada 6-8 MST penggunaan IAA tidak memberikan hasil yang berbeda

nyata. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian TDZ pada media untuk

multiplikasi memberikan pengaruh yang nyata bila dibandingkan dengan kontrol.

Konsentrasi TDZ yang lebih tinggi yakni 0.1 ppm memberikan jumlah akar paling

sedikit (Gambar 4). Respon mulai terlihat sejak 5 MST, dengan kecenderungan

adanya penurunan jumlah akar dengan penambahan zat pengatur tumbuh pada

(39)

(A) (B)

Gambar 4. Penampakan Planlet Pisang Rajabulu Cianjur (A) Kontrol atau MS0 tanpa Zat Pengatur Tumbuh, (B) Perlakuan TDZ 0.1 ppm pada 8 MST (Jumlah akar tanaman kontrol lebih banyak dari tanaman yang diberi perlakuan)

Pada Tabel 7 terlihat penambahan TDZ 0.1 mg/l ke dalam media

mengakibatkan penurunan jumlah akar pisang Rajabulu Cianjur hingga

setengahnya dibandingkan dengan kontrol pada 8 MST.

Peningkatan konsentrasi TDZ diduga meningkatkan konsentrasi etilen

yang dapat menghambat pembentukan akar (Hutchinson et al., dalam Devilana

2005). Media kontrol lebih baik digunakan karena secara ekonomi lebih murah

dan berpengaruh baik pada tanaman.

Tabel 7. Rata-rata Jumlah Akar Pisang Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk pada Tanaman Awal Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 (MST)

AUKSIN

IAA 0 ppm 0.48 a 0.90 a 1.29 b 1.95 b 2.19 b 3.43 a 3.86 a 4.33 a

IAA 3 ppm 0.57 a 1.28 a 2.95 a 4.00 a 4.67 a 4.81 a 5.29 a 6.00 a

SITOKININ

TDZ 0 ppm 0.78 a 1.71 a 3.36 a 4.29 ab 4.71 a 5.64 a 6.36 a 7.50 a

TDZ 0.01 ppm 0.21 a 0.86 a 1.93 ab 3.29 ab 4.00 ab 4.71 a 4.86 ab 4.86 ab

TDZ 0.1 ppm 0.57 a 0.71 a 1.07 ab 1.36 b 1.57 b 2.00 b 2.50 b 3.14 b

(40)

Ukuran Plantlet

Ukuran plantlet dalam hal ini ditekankan pada panjang akar dan tinggi

plantlet selama kultur pada 10 MST. Semua data disajikan dalam 7 ulangan.

Pemberian IAA tidak berpengaruh nyata pada panjang akar, media dengan

penambahan IAA memiliki panjang akar yang sama dibandingkan dengan media

tanpa penambahan IAA. Perlakuan konsentrasi TDZ 0.01 dan 0.1 ppm

berpengaruh sangat nyata menurunkan panjang akar. Akar terpanjang didapatkan

pada media tanpa penambahan TDZ. Pemberian TDZ 0.1 ppm memberikan akar

terpendek dengan rata-rata 6.89 cm (Gambar 4). Pada Tabel 8 terlihat

penambahan TDZ 0.1 mg/l ke dalam media mengakibatkan penurunan panjang

akar pisang Rajabulu Cianjur hingga sepertiganya dibandingkan dengan kontrol

pada 10 MST. Hambatan pertumbuhan akar disebabkan adanya etilen sebagai

penghambat pertumbuhan akar yang sintesisnya diinduksi oleh media dengan

penambahan TDZ.

Pengamatan pada peubah tinggi tunas in vitro pisang berpengaruh sangat

nyata antara kontrol dan perlakuan dengan TDZ. Pada Tabel 8 terlihat

penambahan TDZ 0.1 mg/l ke dalam media mengakibatkan penurunan tinggi

pisang Rajabulu Cianjur hingga setengahnya dibandingkan dengan kontrol pada

10 MST. Semakin tinggi konsentrasi TDZ yang diberikan mengurangi tinggi

tanaman. Hal ini disebabkan karena TDZ lebih berfungsi dalam proses

pembelahan sel dan memacu inisiasi.

Tabel 8. Rata-rata Panjang Akar dan Tinggi Tanaman Awal Pisang Rajabulu Cianjur pada 10 MST Akibat Pengaruh IAA dan TDZ (cm)

Perlakuan Panjang Akar Tinggi Tanaman

AUKSIN

(41)

Aklimatisasi

Proses aklimatisasi dilaksanakan pada 10 MST. Proses ini diawali dengan

penanaman dalam media tumbuh berupa sekam dalam gelas plastik dan

keseluruhnnya disungkup dengan kantong plastik selama kurang lebih satu

minggu. Setelah satu minggu tanaman dikeluarkan dari sungkup, dipindah dalam

media pembibitan. Perawatan dilakukan dengan penyiraman.

Pertumbuhan planlet mulai terlihat sejak awal penyungkupan dengan

terjadinya pembukaan daun yang menggulung. Pada masa awal aklimatisasi

warna daun terlihat pucat dan keriting. Hal ini merupakan reaksi yang wajar

terjadi pada masa awal aklimatisasi. Pada masa awal ini biasanya planlet belum

mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang baru.

Tunas yang berasal dari media multiplikasi dengan berbagai taraf

konsentrasi TDZ dan IAA menghasilkan persentase tunas hidup yang cukup tinggi

di atas 90% pada masa penyungkupan. Persentase tunas hidup kemudian terus

mengalami penurunan pada minggu pengamatan selanjutnya hingga akhirnya

keseluruhan tunas mengalami kematian.

Kegagalan ini mengakibatkan tidak diperolehnya data mengenai dampak

media multiplikasi terhadap kondisi tanaman di lapang. Kegagalan aklimatisasi ini

diduga akibat kondisi lingkungan yang kurang mendukung. Suhu di dalam screen

house yang tinggi sekitar 30-330 C, kelembaban yang terlalu rendah yaitu sekitar

50-55% dan paranet yang dipergunakan kurang dari 75%. Alasan utama

kegagalan aklimatisasi diduga karena planlet yang digunakan belum melalui tahap

pengakaran, tetapi dari tahap multiplikasi langsung aklimatisasi sehingga akar

(42)

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Pada tahap inisiasi penggunaan zat pengatur tumbuh Thiadiazuron

memberikan hasil yang lebih baik bila dibandingkan dengan BAP. Jumlah tunas

hidup tertinggi diberikan oleh media dengan penambahan TDZ 0.04 mg/l .

Pada tahap multiplikasi tidak terdapat interaksi antara IAA dan TDZ dalam

mempengaruhi multiplikasi pisang Rajabulu Juara. Penggunaan kedua konsentrasi

TDZ belum mampu meningkatkan jumlah tunas dan secara statistik tidak

berpengaruh nyata dibandingkan dengan kontrol. Penambahan TDZ 0.1 mg/l ke

dalam media mengakibatkan penurunan jumlah akar pisang Rajabulu Juara hingga

seperempatnya dibandingkan dengan kontrol pada 8 MST. Penggunaan Media

TDZ berpengaruh lebih buruk pada multiplikasi pisang Rajabulu Juara

dibandingkan dengan media MS0.

Tidak terdapat interaksi antara IAA dan TDZ dalam mempengaruhi

multiplikasi pisang Rajabulu Cianjur. Penggunaan TDZ dengan konsentrasi 0.01

ppm atau 0.1 ppm belum mampu meningkatkan multiplikasi tunas dan tidak

berbeda nyata secara statistik dengan kontrol. Penambahan TDZ 0.1 mg/l ke

dalam media mengakibatkan penurunan jumlah akar pisang Rajabulu Cianjur

hingga setengahnya dibandingkan dengan kontrol pada 8 MST. Penggunaan TDZ

pada media berpengaruh lebih buruk pada multiplikasi pisang Rajabulu Cianjur

dibandingkan media MS0.

SARAN

Perlu dilakukan pengkajian ulang mengenai pengaruh TDZ dalam inisiasi

dan multiplikasi tunas in vitro pisang Rajabulu menggunakan bahan tanaman yang

lebih banyak dalam level konsentrasi yang lebih beragam agar dapat dilakukan

regresi (disarankan menggunakan TDZ pada level konsentrasi lebih rendah dari

0.1 dan 0.01 ppm). Pada kultur in vitro pisang sebaiknya digunakan botol ukuran

besar (panjang).

Perlu diteliti kembali metode aklimatisasi yang tepat bagi pisang Rajabulu,

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Acquaah, G. 2004. Understanding Biotechnology. Pearson Prentice Hall. New Jersey. 402p.

Al-Wasel, A. S. 2000. Micropagation of Acacia seyal Del. In vitro. Journal of Arid Environtment 46: 425-431.

Andriana, D. 2005. Pengaruh Konsentrasi BAP Terhadap Multiplikasi Tunas dan Giberelin terhadap Kualitas Tunas Pisang FHIA-17 In vitro. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Anwar, N. 2007. Pengaruh Media multiplikasi Terhadap Pembentukan Akar pada Tunas In vitro Nenas (Ananas Comosos (L.) Merr.) cv. Smooth Cayenne di Media Pengakaran. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Arinaitwe, G., P. R. Rubaihayo, and M.J.S. Magambo. 1999. Effect of Auxin/Cytokinin Combination on Shoot Proliveration on Banana Cultivar. African Crop Science Journal. 7(4) : 605-611.

Azria, D. and P. L. Bhalla. 2000. Plant Regeneration From Mature Embryo-Derived Callus (Oryza sativa L.) Varieties. Aust. J. Agric. Res. 51:305-312.

Conger, B. S. 1981. Cloning Agriculture Plant via In vitro Techniques. CRC Press-Boca Raton. Florida. 280p.

Direktorat Bina Produksi hortikultura. 1985. Vademekum Buah-buahan. Dirjen. Pertanian Tanaman Pangan. Jakarta.

Devilana, M. R. 2005. Pengaruh Sitokinin (TDZ) dan Auksin (IAA dan NAA) Terhadap Multiplikasi Nenas (Ananas comosus (L) Merr.) cv. Queen dalam Perbanyakan Kultur Jaringan. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian. Fakultas Petanian. IPB.

Dodds, J. H. dan L. W. Roberts.1999. Experiments in Plant Tissue Culture. Ed.3. Cambridge University press. British. 256 p.

Ernawati, A., A. Purwito dan K. Suketi. 1994. Studi Perbanyakan Cepat Pisang Raja bulu, Pisang Ambon Kuning dan Pisang Barangan dengan teknik kultur jaringan (laporan penelitian ). Fakultas Pertanian . IPB. Bogor

(44)

Gamborg, O. L. Dan J. P. Shylux. 1981. Nutrition media, and characteristic of plant cell and tissue culture, p.21-24. In:Trevor A. Thorpe, (ed.).Plant Tissue Culture and Aplication in Agriculture. Academic Press Inc. New York.

Gunawan, L. W. 1988. Teknik Kultur Jaringan Tumbuhan. PAU (Pusat Antar Universitas). IPB. Bogor. 304 hal.

Harjadi, S. S. 1996. Pengantar agronomi. Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama. 197 hal.

Hutami, S. dan R. Purnamaningsih. 2003.Perbanyakan Klonal Temu Mangga (Curcuma mangga) melalui Kultur In vitro. Bul. Plasma Nutfah. 9(1):39-44.

Kasutjianingati. 2004. Pembiakan Mikro berbagai Genotipe Pisang (Musa spp) dan Potensi Bakteri Endofitik Terhadap Layu Fusarium (Fusarium oxysporum f. sp. cubense). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.

Khalafalla, M. M.and K. Hattori.2000.Ethylene inhibitors enhance in vitro root formation on faba bean shoots regenerated on medium containing thiadiazuron. Plant growth regulation 32 : 59-63

Mattjik, A. A. dan I. M. Sumertajaya. 2002. Perancangan Percobaan. IPB Press.

Mattjik, N. A. 2005. Peran kultur Jaringan dalam Perbaikan Tanaman. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.102 hal.

Pasaribu, J. M. 1996. Perbanyakan Tunas In vitro Pisang Raja Bulu (Musa AAB Group) dengan Eksplan yang Berasal dari Sucker (Anakan) dan Jantung. Skripsi. Jurusan Budidaya Pertanian. Institut Pertanian Bogor.

Nursandi, F. 2006. Studi Perbanyakan In vitro Tanaman Nenas (Ananas comosus (L.) Merr.) dan Analisa Kestabilan Genetik Berdasarkan Karakter Morfologi, Isoenzim dan RAPD. Disertasi. Sekolah Pasca Sarjana. InstitutPertanian Bogor. Bogor. 148 hal.

Onamu, R., S. D. Obukosia, N. Musembi and M.J. Hutchinson. 2003. Efficacy of Thiadiazuron In vitro Propagation of Carnation Shoot Tips : Influence of dose and duration of explosure. African Crop Science Journal 11(2) : 125-132.

PAU, Tim Kultur Jaringan Tanaman. 1991. Bioteknologi Tanaman. IPB Press. 455 hal.

Gambar

Gambar 1. Histogram Jumlah Eksplan Hidup dan Mati Pisang Rajabulu Polytani
Tabel 2. Rata-rata Jumlah Daun Pisang Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada
Tabel 3. Rata-rata Jumlah Akar Pisang Rajabulu Juara yang Baru Terbentuk pada
Tabel 5. Rata-rata Jumlah Tunas Pisang Rajabulu Cianjur yang Baru Terbentuk
+7

Referensi

Dokumen terkait

KETIGA : Segala biaya yang timbul berkaitan dengan pelaksanaan keputusan ini dibebankan pada Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Sekolah (RAPBS)

Perubahan massa pada setiap variasi campuran briket pada proses pembakaran hingga menjadi abu dapat dijelaskan bahawa setelah briket kulit kayu gelam dan cangkang

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka pertanyaan penelitian ini adalah bagaimana profil keterampilan berpikir kreatif siswa bertipe

Dari hasil wawancara terkait dengan penggunaan Strategi PAKEM dalam pembelajaran Tematik yang telah peneliti lakukan selama satu bulan serta melihat bukti yang

Di kampung ini juga pernah tinggal seorang wartawan pejuang Liem Koen Hian dan dari Kapasan yang mendirikan Partai Tionghoa Indonesia (PTI) di sekitar tahun 1929-1930, partai

Hasil penelitian menunjukkan bahwa model Team Assisted Individualization (TAI) dilengkapi dengan kartu soal pada materi hukum dasar dan konsep mol kelas X MIA 3 SMA

Dalam penelitian ini akan difokuskan pada model pembelajaran Realistic Mathematics Education (RME) dan Student Teams Achievement Division (STAD) diharapkan akan menjadi

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, menunjukkan hasil pengujian kualitas air baku pada proses produksi memiliki kapabilitas 89,65% yang akan menghasilkan kegagalan