• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA KONSENTRASI BAP DAN NAA TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PUCUKJERUK KANCI (Citrus sp) SECARA IN VITRO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA KONSENTRASI BAP DAN NAA TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PUCUKJERUK KANCI (Citrus sp) SECARA IN VITRO"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN BEBERAPA KONSENTRASI BAP DAN NAA

TERHADAP MULTIPLIKASI TUNAS PUCUKJERUK KANCI

(

Citrus sp

) SECARA

IN VITRO

(Application of NAA and BAP on In Vitro Shoot Multiplication

of

Orange Kanci

(Citrus

sp.)

)

Ilvi Rahmi, Irfan Suliansyah,Tamsil Bustamam

Jurusan Budidaya Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Andalas

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the effect of NAA, BAP and interaction both in shoot multiplication Kanci orange shoots in vitro. The design used was factorial in Complete Randomized Design (CRD) consisting of 2 factors with 3 replications. Factor A is the BAP, with 4 levels of concentration (0.0, 2.5, 5.0, and 7.5 mg/l). While the factor B is the concentration of NAA, with 4 levels (0.0, 0.5, 1.0, 1.5 mg/l). Data obtained were statistically tested using F test at 5% significance level. The conclusions of this study are as follows: a) giving different BAP concentrations, giving a different effect on the percentage of explants that had emerged during multiplication and shoot, b) treatment of BAP at a concentration of 2.5 mg/l is the best treatment on the percentage of explants that had emerged during multiplication and shoot, c) interaction of BAP-NAA showed no significant effect on the ability of explants multiplied, d) provision of various concentrations of NAA did not show significant effect on the percentage of explants which have multiplication, percentage of live explants, the percentage of explants forming shoots and current shoots appear, e) iInteraction of BAP 2.5 mg/l with NAA at concentrations of 0.5 and 1.0 mg/l was the best interaction on the percentage of explants which formed callus.

Keyword : BAP, NAA, shoot multiplication, Kanci orange

PENDAHULUAN

eruk merupakan salah satu komoditas buah-buahan yang mempunyai peranan penting di pasaran dalam negeri maupun luar negeri, baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan sehingga pengelolaan jeruk sekarang ini berorientasi pada pola pengembangan komprehensif (Djomaeijah et al, 1999). Walaupun populasi tanaman mengalami peningkatan yang tajam, namun sampai saat ini buah jeruk belum memenuhi harapan, karena adanya serangan penyakit Citrus Vein Phloem Degeration (CVPD)

sehingga banyak tanaman jeruk menjadi musnah (Aksi Agraris Kanisius, 1994).

Dalam upaya pengembangan tanaman jeruk, pengadaan bibit unggul dan bermutu memegang peranan penting, apalagi mengingat tanaman ini bersifat tahunan. Mutu bibit tanaman jeruk selain ditentukan oleh batang

atas, juga ditentukan oleh batang bawahnya. Kombinasi antara batang atas yang berproduksi tinggi dan berkualitas baik, dengan batang bawah yang memiliki adaptasi luas terhadap tanah dan lingkungan tumbuhnya; tahan terhadap hama dan penyakit akar; serta sesuai dengan batang atas yang digunakan; akan menghasilkan bibit jeruk yang bermutu tinggi (Rahayu, 1993).

Jeruk kanci merupakan kelompok batang bawah indegeneous Muara Sijunjung yang mempunyai efek cebol (rendah) terhadap batang atas terutama untuk jeruk keprok siam, toleran terhadap kekeringan, tanah lempung dan toleran terhadap Tristeza (Purnomo et al, 2000). Sekarang ini jeruk kanci cukup sulit untuk didapatkan. Harga jual yang tidak mendukung dan kurangnya pengetahuan masyarakat akan kegunaan tanaman ini menyebabkan kurangnya minat masyarakat untuk membudidayakannya secara khusus.

J

(2)

Selain itu kerusakan lingkungan dewasa ini, ikut andil dalam mengurangi jumlah jeruk kanci.

Untuk masalah diatas perlu usaha penyediaan bibit sebagai upaya konservasi plasma nutfah jeruk kanci. Konservasi perlu

dilakukan untuk mempertahankan

keanekaragaman hayati, karena dengan berkurangnya keanekaragaman hayati akan sangat merugikan bagi pemulia tanaman dalam merakit varietas-varietas baru.

Konservasi dapat dilakukan secara konvensional, yaitu secara in situ dan ex situ, konservasi secara ex situ dapat dilakukan secara

in vitro. Menurut Soetikno (1985), banyak keuntungan yang dapat diperoleh dari

pengawetan plasma nutfah dengan

menggunakan teknik kultur jaringan, baik dari segi biaya maupun sarana. Dalam perplasmanutfahan kultur in vitro berperan sebagai alat penyimpanan dan penggandaan tanaman.

Multiplikasi merupakan salah satu tahapan yang perlu dilakukan dalam kultur jaringan selain inisiasi dan aklimatisasi. Salah satu faktor pendukung laju multiplikasi adalah kombinasi zat pengatur tumbuh. Menurut Wattimena et al (1992), pengaruh zat pengatur tumbuh untuk suatu proses morfogenesis atau pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan kerja sama dari dua atau lebih zat pengatur tumbuh. Pemilihan zat pengatur tumbuh dikaitkan dengan urutan tingkat pekerjaan kultur jaringan. Zat pengatur tumbuh yang banyak digunakan adalah auksin dan sitokinin.

Golongan auksin dan sitokinin akan mempengaruhi respon eksplan yang dikulturkan. Proporsi yang relatif tinggi dari auksin terhadap sitokinin menyebabkan diferensiasi mengarah pada pertumbuhan akar dan jika sitokinin lebih tinggi dari auksin maka jaringan akan terdiferensiasi kearah pertumbuhan tunas, dalam percobaan kultur jaringan pada umumnya jenis auksin dan sitokinin yang digunakan adalah NAA dan BAP karena kedua zat pengatur tumbuh tersebut relatif tahan terhadap degradasi, sedangkan media yang banyak dipakai adalah media MS (George and Sherrington, 1984).

Grinblat (1972) cit Rahayu (1993), menggunakan potongan kotiledon yang berasal dari kultur in vitro sebagai eksplan pada media dasar MS. Kalus terbentuk cukup banyak pada penambahan BA 0,1 – 1 mg/l dengan

kombinasi 0,1 mg/l NAA, namun persentase tunas yang muncul adalah paling kecil. Sedangkan kalus lebih sedikit muncul pada penambahan 10 mg/l BA dan 1,0 mg/l NAA, tapi inisiasi tunas adalah maksimum. Penelitian Rahayu (1993), menyatakan bahwa perlakuan BA 0,5 mg/l dan NAA 0,1 mg/l memberikan jumlah tunas total terbanyak pada media MS dengan eksplan yang berasal dari epikotil jeruk

Troyer Citrange yang dikecambahkan secara in vitro.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian NAA, BAP dan interaksi keduanya dalam multiplikasi tunas pucuk jeruk kanci secara in vitro.

.

BAHAN DAN METODE

Tempat dan Waktu

Penelitian ini telah dilaksanakan di Laboratorium Kultur Jaringan Tumbuhan Jurusan Budidaya Pertanian Universitas Andalas Padang. Penelitian dilakukan dari bulan Juli 2004 sampai Januari 2005.

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam percobaan ini adalah eksplan yang berasal dari biji jeruk kanci yang dikecambahkan secara in vitro. Zat kimia penyusun media MS, NAA, BAP, NaOH 0,1 N, HCl 0,1 N, alkohol 70%, alkohol 96%, bayclin, sukrosa, aquadest, bubuk agar-agar, plastic wrap, selotip bening, detergen, karet gelang, kertas label, tissue, dan formalin. Adapun alat-alat yang digunakan adalah autoklaf, timbangan analitik, laminar air flow cabinet (LAFC), lemari es, oven, pH meter, botol kultur, kompor gas, hand sprayer, scalpel, pinset, bunsen,, cawan petri dan rak kultur yang dilengkapi dengan lampu neon 20 watt sebagai sumber penyinaran dan alat tulis. Rancangan

Rancangan yang digunakan adalah faktorial dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) yang terdiri dari 2 faktor dengan 3 ulangan. Faktor A adalah BAP dengan 4 taraf konsentrasi yaitu :

A1 = 0,0 mg/l BAP A2 = 2,5 mg/l BAP A3 = 5,0 mg/l BAP A4 = 7,5 mg/l BAP

Sedangkan faktor B adalah NAA dengan 4 taraf konsentrasi yaitu :

(3)

B1 = 0,0 mg/l NAA B2 = 0,5 mg/l NAA B3 = 1,0 mg/l NAA B4 = 1,5 mg/l NAA

Percobaan terdiri dari 16 kombinasi perlakuan, tiap kombinasi perlakuan ada 3 ulangan, dan pada masing-masing ulangan terdiri dari 3 botol kultur, sehingga jumlah satuan unit percobaan adalah 48, dengan 144 botol kultur dimana semua populasi dijadikan sampel. Denah percobaan dapat dilihat pada Lampiran 3. Data yang diperoleh diuji secara statistik dengan menggunakan uji F pada taraf nyata 5 %. Apabila berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji lanjutan Duncans Multiple Range Test (DNMRT) pada taraf nyata 5 % dan disajikan dalam bentuk Tabel.

Pelaksanaan Sterilisasi Alat

Alat-alat yang akan digunakan disterilkan terlebih dahulu, seperti botol kultur dicuci dengan detergen dan dibilas hingga bersih, setelah itu direndam dengan bayclin 5 ml/l air selama 1 malam. Alat-alat penanaman seperti pinset, pisau scalpel dan cawan petri terlebih dahulu dibungkus dengan kertas lalu disterilisasi bersama-sama botol kultur dalam autoklaf pada tekanan 15 psi dengan suhu 1210 C selama 30 menit. Setelah disterilisasi, alat-alat tersebut diovenkan pada suhu 750 C sampai saat digunakan. LAFC dan rak kultur disemprot dahulu dengan alkohol 70 % setiap akan digunakan. Ruangan inkubasi juga disterilkan dengan formalin sebelum digunakan.

Persiapan Eksplan

Buah jeruk dicuci dengan detergen sampai kulit luarnya benar-benar bersih, kemudian rendam dalam bayclin 5 ml/l air selama lebih kurang 30 menit. Buah yang telah direndam bayclin dibawa keruang transfer (tanam) kemudian masukkan kedalam alkohol 96 % yang berada dalam LAFC selama 5 menit. Buah diambil dengan pinset dan dikupas kulitnya, dalam mengupas usahakan agar scalpel tidak membelah bijinya, kemudian biji dimasukkan dalam aquadest steril, dan dilewatkan ke api setelah itu masukkan dalam media yang telah disediakan. Biji dikecambahkan dalam botol kultur yang telah berisi media MS tanpa zat pengatur tumbuh selama 3 minggu, setelah membentuk kecambah, bibit dipindahkan ke media MS yang telah ditambah NAA dan BAP

dengan konsentrasi 1 dan 1 ppm.1. Hal ini dilakukan agar eksplan yang akan digunakan seragam dan jumlahnya mencukupi. Setelah 1 bulan eksplan diambil tunas pucuknya, tunas pucuk yang diambil mempunyai 2 buah buku ditiap tunasnya.

Pembuatan Media

Pada percobaan ini media yang digunakan adalah media MS (Komposisi media lihat Lampiran 2) sesuai dengan kebutuhan, ditambah dengan NAA dan BAP sesuai perlakuan. Sukrosa diberikan sebanyak 30 g/l media, setelah itu dilakukan pengukuran pH yaitu 5,8. Bahan pemadat yang digunakan adalah bubuk agar-agar sebanyak 7,5 g/l media. Selanjutnya media dimasak sampai mendidih dan dimasukkan kedalam masing-masing botol sebanyak 20 ml/botol dan ditutup dengan penutupnya. Media disterilisasi di dalam autoklaf pada tekanan 15 psi suhu 1210 C selama 20 menit. Kemudian pindahkan dan disimpan dalam ruang inkubasi selama 1 minggu untuk melihat kontaminasi, bila ada kontaminasi akan dikeluarkan dari ruangan inkubasi.

Penanaman

Media dalam botol kultur yang telah disterilkan dibiarkan (diinkubasi) selama lebih kurang 1 minggu. Media yang tidak terkontaminasi siap dipakai untuk penanaman eksplan. Sebelum dilakukan penanaman, LAFC

dibersihkan dahulu dengan menyemprotkan alkohol 70 %. Sebelum dimasukkan ke dalam

LAFC, alat-alat dan botol-botol media yang telah disiapkan disemprot dengan alkohol 70 % dahulu. Pada saat penanaman, tangan yang masuk kedalam LAFC juga harus disemprot dengan alkohol 70 % untuk menjaga agar tetap steril. Eksplan ditanam pada masing-masing media, agar seragam tiap-tiap eksplan yang ditanam mempunyai 2 buah buku yang dihitung dari titik tumbuh, eksplan dalam posisi tegak, kemudian ditutup kembali dan dibalut dengan plastik wrap. Botol yang telah berisi eksplan dipindahkan keruang penyimpanan dan disusun pada rak kultur. Pemeliharaan

Pemeliharaan meliputi menjaga kebersihan ruang kultur, pemisahan eksplan atau media yang terkontaminasi oleh

1 Komunikasi pribadi dengan ibuk Karsinah di Balitbu

(4)

mikroorganisme dari ruang kultur. Penyemprotan ruangan dan botol-botol eksplan setiap hari dengan menggunakan alkohol 70 % serta penyinaran dengan cahaya lampu neon 20 watt pada tiap-tiap rak kultur.

Pengamatan

Pengamatan dilakukan sampai eksplan berumur 10 minggu setelah tanam atau 70 hari setelah tanam (hst), pengamatan dilakukan terhadap :

a. Persentase eksplan yang hidup (%) Eksplan hidup ditandai dengan warna yang masih hijau, tidak terkontaminasi, dan masih segar. Dihitung dengan menggunakan rumus :

%eksplan yang hidup =

hidup eksplan Jumlah hidup yang eksplan Jumlah x 100%

b. Saat muncul tunas (hst)

Pengamatan ini ditandai dengan munculnya tunas yang biasanya berwarna putih atau putih kehijauan. Dinyatakan telah muncul apabila pada salah satu populasi sampel telah muncul atau tumbuh tunas dan dicatat waktunya. Pengamatan dilakukan pada saat muncul tunas pertama.

c. Persentase eksplan yang membentuk tunas (%) Pengamatan dilakukan bila sudah muncul tunas sampai umur 70 hst , dihitung dengan menggunakan rumus : %tunas = hidup eksplan Jumlah tunas membentuk yang eksplan Jumlah x 100%

d. Persentase eksplan yang mengalami multiplikasi (%)

Eksplan yang mengalami multiplikasi adalah bila terdapat 2 atau lebih tunas pada

tiap eksplan yang ditumbuhkan. Diamati sampai tanaman berumur 70 hst, dihitung dengan rumus : % multiplikasi = hidup eksplan Jumlah si multiplika mengalami yang eksplan Jumlah x 100%

e. Persentase eksplan yang membentuk akar (%) Eksplan yang membentuk akar ditandai dengan telah munculnya akar yang panjangnya besar atau sama dengan 0,2 cm. Pengamatan dilaksanakan sampai umur 70 hst, dihitung dengan menggunakan rumus :

% akar = hidup eksplan Jumlah akar membentuk yang eksplan Jumlah x 100%

f. Persentase eksplan yang membentuk kalus (%)

Kalus merupakan sekumpulan sel yang belum terdiferensiasi, berwarna putih kompak atau putih kekuningan yang terbentuk pada salah satu sisi atau seluruh permukaan eksplan, diamati sampai umur 70 hst. Dihitung dengan rumus : % eksplan berkalus = hidup eksplan Jumlah berkalus eksplan Jumlah x100%

HASIL DAN PEMBAHASAN

Persentase Eksplan Hidup

Hasil analisis ragam persentase eksplan hidup dapat dilihat pada Lampiran 4a. Analisis ragam menunjukkan bahwa tidak terdapat interaksi yang nyata antara konsentrasi NAA dengan konsentrasi BAP yang diberikan terhadap eksplan hidup, begitu juga dengan pengaruh utama masing-masing zat pengatur tumbuh yang diberikan. Hasil uji F pada taraf 5% terhadap persentase eksplan hidup dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Persentase eksplan hidup pada media MS dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP dan NAA pada umur 70 hst

Konsentrasi BAP (mg/l)

Konsentrasi NAA (mg/l) Pengaruh

Utama BAP 0 0,5 1 1,5 (%) 0,0 77,78 88,89 77,78 88,89 83,33 2,5 88,89 88,89 100,00 100,00 94,44 5,0 100,00 88,89 100,00 100,00 97,22 7,5 88,89 100,00 88,89 88,89 91,67

Pengaruh utama NAA 88,89 91,67 91,67 94,44

(5)

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa tanpa pemberian NAA, pada konsentrasi NAA 0,5 mg/l, 1,0 mg/l dan 1,5 mg/l tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase eksplan yang hidup. Hal ini juga terjadi pada tanpa pemberian BAP, pada konsentrasi BAP 2,5 mg/l, 5,0 mg/l, dan 7,5 mg/l.

Pemberian BAP sampai konsentrasi 5,0 mg/l cenderung meningkatkan persentase eksplan yang hidup, namun pada konsentrasi 7,5 mg/l persentasenya turun, tetapi lebih tinggi dibandingkan tanpa pemberian BAP. Peningkatan persentase eksplan hidup juga terjadi pada pemberian NAA pada konsentrasi 0,5, mg/l dan 1,5 mg/l.

Tidak adanya pengaruh yang nyata dari pemberian beberapa konsentrasi NAA dan BAP terhadap eksplan hidup kemungkinan

disebabkan karena sudah adanya

keseimbangan antara zat pengatur tumbuh eksogen dengan hormon endogen dari eksplan. Sumardi (1996), menyatakan bahwa auksin dan sitokinin bekerja bersama-sama dalam menciptakan kondisi optimum untuk pertumbuhan eksplan. Interaksi antara hormon endogen dan zat pengatur tumbuh yang

diberikan akan mampu mendukung

kelangsungan hidup eksplan.

Tingginya persentase eksplan hidup juga disebabkan karena komposisi zat dalam media telah cocok untuk menyokong kehidupan

eksplan. Gunawan (1987) menyatakan bahwa pertumbuhan dan perkembangan eksplan juga dipengaruhi oleh media yang digunakan. Media MS merupakan media yang cocok untuk pertumbuhan dan perkembangan hampir semua jenis tanaman. Wattimena et al (1992) juga menyatakan bahwa faktor-faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dan

morfogenesis tanaman adalah genotipe dari eksplan yang digunakan, media yang mencakup komponen penyusun media dan zat pengatur tumbuh yang ditambahkan, lingkungan tumbuh, keadaan fisik tempat kultur ditumbuhkan dan fisiologi jaringan eksplan yang digunakan.

Persentase Eksplan Yang Mengalami Multiplikasi Hasil analisis ragam dari persentase eksplan yang mengalami multiplikasi dapat dilihat pada Lampiran 4b. Analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi BAP dan NAA tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap persentase eksplan yang mengalami multiplikasi, hal ini juga terjadi pada pemberian berbagai konsentrasi NAA. Pemberian BAP pada berbagai konsentrasi memberikan pengaruh yang nyata terhadap eksplan yang mengalami multiplikasi. Hasil uji DNMRT pada taraf 5% terhadap persentase eksplan yang mengalami multiplikasi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Persentase eksplan yang mengalami multiplikasi pada media MS dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP dan NAA pada umur 70 hst

Konsentrasi BAP (mg/l) Konsentrasi NAA (mg/l) Pengaruh Utama BAP 0,0 0,5 1,0 1,5 (%) 0,0 44,44 44,44 11,11 44,44 36,11 b 2,5 77,78 88,89 100,00 88,89 88,89 a 5,0 77,78 77,78 66,67 66,67 72,22 a 7,5 11,11 0,00 22,22 22,22 13,89 c

Pengaruh utama NAA 52,78 52,78 50,00 55,56

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 2 dapat dilihat bahwa pemberian BAP pada konsentrasi 2,5 mg/l dapat meningkatkan persentase eksplan mengalami multiplikasi yang merupakan persentase tertinggi. Tetapi pada konsentrasi BAP 5,0 mg/l terjadi penurunan walaupun tidak nyata. Pada pemberian BAP dengan konsentrasi 7,5 mg/l terjadi penurunan yang sangat nyata. Adanya penurunan persentase ini

diduga karena pemberian BAP pada konsentrasi tinggi diduga dapat menghambat jumlah tunas yang terbentuk yang ditandai dengan rendahnya persentase eksplan yang mengalami multiplikasi.

Moore (1979) dan Wattimena (1988) menyatakan bahwa pemberian zat pengatur tumbuh dengan konsentrasi tinggi bukanlah bersifat mendorong pertumbuhan akan tetapi

(6)

menghambat perkembangan eksplan, karena keseimbangan tidak dapat terjadi sehingga dapat menghambat proses pembelahan sel. Namun hal ini juga tergantung dari

kemampuan masing-masing eksplan

menerima tambahan dari luar, karena pada

percobaan Enjoni (2004) pada tanaman jeruk

Crifta-01, pemberian BAP pada konsentrasi 8 mg/l memberikan jumlah tunas terbanyak, ini menandakan bahwa persentase eksplan yang mengalami multiplikasi juga cukup tinggi.

BAP 2,5 mg/l + NAA 1,5 mg/l BAP 7,5 mg/l + NAA 1,5 mg/l Wareing and Philips,1981 cit Thaib (1997)

menyatakan bahwa tanggap tanaman terhadap hormon dan zat pengatur tumbuh sangatlah bervariasi tergantung pada kepekaan organ tersebut. Bekerjanya hormon dan zat pengatur tumbuh yang diberikan pada jaringan tanaman yang tanggap, akan membawa perubahan yang akibatnya dapat diukur pada pengaruh fisiologis dan morfologis tanaman.

Persentase Eksplan Yang Membentuk Kalus Hasil analisis ragam dari persentase eksplan yang membentuk kalus dapat dilihat pada Lampiran 4c. Sidik ragam menunjukkan bahwa pemberian beberapa konsentrasi NAA, dan pada berbagai konsentrasi BAP serta interaksi keduanya berpengaruh nyata terhadap eksplan yang membentuk kalus. Hasil uji DNMRT pada taraf 5% terhadap persentase eksplan membentuk kalus dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Persentase eksplan yang membentuk kalus pada media MS dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP dan NAA pada umur 70 hst

Konsentrasi BAP (mg/l)

Konsentrasi NAA (mg/l) Pengaruh

Utama BAP 0,0 0,5 1,0 1,5 (%) 0,0 0,00 b B 66,67 a B 87,50 a A 87,50 a A 60,42 2,5 44,44 b A 100,00 a A 100,00 a A 77,78 a B 80,55 5,0 33,33 a A 11,11 ab C 0,00 b B 33,33 a C 19,44 7,5 0,00 a B 0,00 a C 22,22 a B 0 ,00 a D 5,50 Pengaruh utama NAA 19,44 44,44 50,00 47,22

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf besar yang sama dan angka-angka pada baris ang sama diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Pemberian NAA pada konsentrasi 0,5 mg/l dan 1,0 mg/l memberikan persentase eksplan membentuk kalus tertinggi jika dikombinasikan dengan BAP 2,5 mg/l. Ini berarti bahwa interaksi auksin dengan konsentrasi 0.5 mg/l dan 1,0 mg/l dengan sitokinin 2,5 mg/l telah memberikan perbandingan yang seimbang terhadap eksplan yang membentuk kalus. Widiastoety (1985), menyatakan bahwa pembentukan kalus

biasanya terjadi jika perbandingan antara konsentrasi auksin dan sitokinin seimbang.

Sumardi (1996) menyatakan, bahwa pertumbuhan kalus dipengaruhi oleh beberapa faktor terutama yang berhubungan langsung dengan eksplan seperti ketersediaan energi, tempat eksplan tumbuh dan kehadiran zat pengatur tumbuh terutama auksin dan sitokinin dalam media kultur dengan keseimbangan tertentu.

(7)

BAP 2,5 mg/l + NAA 1,0 mg/l BAP 2,5 mg/l + NAA 1,0 mg/l Pemberian BAP pada konsentrasi 7,5 mg/l

dengan berbagai interaksinya dengan NAA memberikan pengaruh yang tidak nyata. Perlakuan BAP pada konsentrasi 7,5 mg/l dengan berbagai taraf konsentrasi NAA menyebabkan tidak terbentuknya kalus, kecuali bila dikombinasikan dengan NAA pada konsentrasi 1,0 walaupun memberikan nilai yang tidak nyata. Hal ini diduga karena pemberian BAP yang terlalu tinggi tidak seimbang dengan konsentrasi NAA dalam pembentukan kalus. Hal ini terjadi tidak hanya pada persentase eksplan yang membentuk kalus, tetapi juga pada eksplan yang mengalami multiplikasi. Kalus yang terbentuk pada perlakuan BAP dengan konsentrasi 2,5 mg/l

dengan berbagai taraf konsentrasi NAA merupakan multiplikasi secara tidak langsung, yang menghasilkan bahan tanam yang bagus untuk diregenerasikan membentuk planlet. Persentase Eksplan Membentuk Tunas

Hasil analisis ragam eksplan yang membentuk tunas dapat dilihat pada Lampiran 4d. Analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian BAP dan NAA pada berbagai konsentrasi terhadap eksplan yang membentuk tunas memberikan pengaruh yang tidak nyata, begitu juga dengan interaksi BAP dan NAA. Hasil uji F pada taraf 5% terhadap persentase eksplan membentuk tunas disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Persentase eksplan membentuk tunas pada media MS dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP dan NAA pada umur 70 hst

Konsentrasi BAP (mg/l) Konsentrasi NAA mg/l Pengaruh Utama BAP 0,0 0,5 1,0 1,5 (%) 0,0 77,78 66,67 77,78 66,67 72,22 2,5 100,00 77,78 100,00 88,89 91,67 5,0 88,89 77,78 100,00 88,89 91,32 7,5 88,89 100,00 88,89 88,89 91,67

Pengaruh utama NAA 88,89 80,55 91,67 83,33

Angka-angka pada kolom dan baris yang sama berbeda tidak nyata menurut uji F pada taraf 5%

Eksogen dengan hormon endogen dari Tabel 4 memperlihatkan bahwa persentase eksplan membentuk tunas memberikan pengaruh yang tidak nyata, tapi jika dilihat dari angka-angkanya, terlihat bahwa pemberian BAP pada konsentrasi 2,5 mg/l dan 7,5 mg/l cenderung memberikan persentase eksplan membentuk tunas yang sama tinggi. Pemberian BAP dengan konsentrasi 5,0 mg/l lebih tinggi dibandingkan dengan yang tanpa pemberian BAP. Ini membuktikan bahwa pada eksplan masih perlu tambahan zat pengatur tumbuh.

Kemampuan eksplan membentuk tunas tertinggi didapat pada pemberian NAA dengan konsentrasi 1,0 mg/l, namun dapat dilihat

bahwa penambahan tidak memberikan pengaruh karena pada pemberian 0,0 mg/l NAA persentase eksplan membentuk tunas lebih tinggi dari pemberian NAA 0,5 mg/l. Wattimena (1992) menyatakan bahwa proliferasi tunas hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi yang tinggi tanpa auksin atau dengan auksin dalam konsentrasi yang rendah sekali. Zat pengatur tumbuh pada eksplan tergantung dari zat pengatur tumbuh endogen dan zat pengatur tumbuh eksogen yang diserap dari media tumbuh. Zat pengatur tumbuh eksogen ini tidak selalu sama dengan zat pengatur tumbuh endogen. Tetapi kebanyakan zat pengatur tumbuh eksogen

(8)

mempunyai peran yang sama dengan zat pengatur tumbuh endogen. Pada beberapa jenis tanaman atau pada tingkat selular kebutuhan akan zat pengatur tumbuh eksogen itu akan spesifik.

Gunawan (1988) menyatakan bahwa interaksi dan perimbangan antara zat pengatur tumbuh yang diberikan dalam media dan yang diproduksi oleh sel secara endogen, menentu-kan arah perkembangan suatu kultur, penam-bahan auksin atau sitokinin eksogen mengubah level zat pengatur tumbuh endogen sel.

Saat Muncul Tunas

Hasil analisis ragam saat muncul tunas dapat dilihat pada Lampiran 4e. Pemberian beberapa konsentrasi BAP menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap saat muncul tunas. Pada perlakuan NAA dengan berbagai taraf konsentrasi tidak memberikan pengaruh terhadap saat muncul tunas, begitu juga dengan interaksi keduanya. Saat muncul tunas setelah diuji dengan uji DNMRT pada taraf 5% dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Saat muncul tunas dengan pemberian berbagai konsentrasi NAA dan BAP dalam media MS. Konsentrasi BAP (mg/l) Konsentrasi NAA(mg/l) Pengaruh Utama BAP 0,0 0,5 1,0 1,5 (hst) 0,0 29,44 21,06 25,44 34,50 27,61 a 2,5 19,67 18,50 14,57 14,44 16,79 b 5,0 8,11 18,56 14,78 21,22 15,67 b 7,5 16,55 15,22 20,06 20,00 17,96 c

Pengaruh utama NAA 18,44 18,33 18,71 22,51

Angka-angka pada kolom yang sama diikuti huruf kecil yang sama berbeda tidak nyata menurut uji DNMRT pada taraf 5%.

Pada Tabel 5 terlihat bahwa peningkatan konsentrasi BAP dari tanpa pemberian BAP sampai 7,5 mg/l mampu mempercepat saat muncul tunas. Sedangkan peningkatan konsentrasi BAP menjadi 7,5 mg/l justru memperlambat saat muncul tunas jika dibandingkan dengan pemberian 2,5 mg/l dan 5,0 mg/l. Saat muncul tunas tercepat terdapat pada pemberian konsentrasi BAP 5,0 mg/l, yang tidak berbeda nyata dengan pemberian BAP 2,5 mg/l. Saat muncul tunas terlambat pada tanpa pemberian BAP, hal ini dapat terjadi karena sitokinin sangat dibutuhkan dalam proses pembelahan sel dan merangsang inisiasi tunas.

Wattimena et al (1992) menyatakan bahwa peran fisiologis sitokinin adalah mendorong pembelahan sel, morfogenesis, pertunasan, pembentukan kloroplas, pemecah dormansi, pembukaan stomata, pembungaan dan pembentukan buah partenokarpi. Abidin (1985) menyatakan sitokinin yang ditambahkan secara eksogen akan berpengaruh pada peningkatan sintesis DNA, RNA, dan sintesis protein. Adenin merupakan salah satu basa organik penyusun asam nukleat yang merupakan

bahan penyusun kromosom. Setiap

pembelahan sel diikuti dengan duplikasi DNA, tanpa adenin DNA tidak akan terbentuk. Pembelahan mitosis tidak akan terjadi tanpa

sitokinin. Sitokinin berperan dalam pembentukan benang gelendong pada metafase.

Pemberian berbagai konsentrasi NAA tidak terlalu mempengaruhi saat muncul tunas, namun dilihat dari pengaruh utama berbagai konsentrasi NAA, pada konsentrasi NAA 0,5 mg/l memperlihatkan saat tumbuh tunas tercepat, dan yang terlambat pada konsetrasi NAA 1,5 mg/l.

Hal ini sejalan pernyataan George and Sherrington (1984) yang menyatakan bahwa pada inisiasi tunas hanya memerlukan sitokinin dalam konsentrasi optimum tanpa auksin atau auksin dalam konsentrasi yang rendah. Penambahan sitokinin dalam media kultur dapat memacu pertumbuhan tunas aksilar dan mereduksi tunas apikal dari pucuk utama pada kultur tanaman dikotil, walaupun masih banyak faktor-faktor lain yang membatasinya seperti kemampuan sifat multiplikasinya yang rendah sehingga sangat sulit untuk menginduksi inisiasi tunas, terutama pada spesies tanaman berkayu.

Zat pengatur tumbuh yang diberikan pada

media akan berpengaruh terhadap

pertumbuhan eksplan pada kultur in vitro. Besarnya konsentrasi sitokinin yang ditambahkan berkaitan erat dengan kandungan

(9)

hormon yang ada di dalam jaringan eksplan (Locy 1984 cit Enjoni 2004)

Persentase Eksplan Membentuk Akar

Pada percobaan ini tidak terdapat eksplan yang membentuk akar, hal ini diduga karena nisbah auksin-sitokinin yang rendah. George dan Sherrington (1984), menyatakan bahwa auksin dalam konsentrasi tinggi tanpa atau dengan sitokinin rendah akan menginduksi perakaran. Penelitian Rahayu (1993) yang menggunakan kombinasi NAA 2,1 mg/l dengan IBA 0,5 mg/l mampu memberikan jumlah akar terbanyak pada jeruk Troyer Citrange secara in vitro.

KESIMPULAN

Adapun kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

- Pemberian konsentrasi BAP yang berbeda, memberikan pengaruh yang berbeda terhadap persentase eksplan yang mengalami multiplikasi dan saat muncul tunas.

- Perlakuan BAP pada konsentrasi 2,5 mg/l merupakan perlakuan terbaik terhadap persentase eksplan yang mengalami multiplikasi dan saat muncul tunas.

- Interaksi BAP-NAA tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap kemampuan eksplan bermultiplikasi. - Pemberian berbagai konsentrasi NAA tidak

memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap persentase eksplan yang mengalami multiplikasi, persentase eksplan yang hidup, persentase eksplan membentuk tunas dan saat muncul tunas. - Interaksi BAP 2,5 mg/l dengan NAA pada

konsentrasi 0,5 dan 1,0 mg/l merupakan interaksi terbaik terhadap persentase eksplan yang membentuk kalus.

DAFTAR PUSTAKA

Aksi Agraris Kanisius. 1994. Budidaya tanaman jeruk. Kanisius. Yogyakarta. 220 hal. Abidin, Z. 1985. Dasar-dasar pengetahuan

tentang zat pengatur tumbuh. Angkasa Bandung. 85 hal.

Allen, M. 2002. Pengaruh zat pengatur tumbuh terhadap induksi kalus dan organogenesis nuselus jeruk kanci

(Citrus sp) secara in vitro. Skripsi S1 Fakultas Pertanian Universitas Andalas. Padang. 41 hal.

Dixon, R.A and Gonzales. 1994. Plant cell culture. A Practical Approach. Second Edition. Oxford University Press. Oxford New York. Tokio. 230 pp. Djoemaijah, D. P. Saraswati., R. Hardianto.,

M.C.Mahfud., N. Rangarso., Setiono., dan Handoko. 1999. Penerapan teknologi produksi tanaman jeruk pulung menggunakan bibit bebas penyakit di daerah endermis CVPD di Ponorogo Jawa Timur. Dalam Prosiding Seminar Nasional Hortikultura. 106-113 hal.

Enjoni. 2004. Respon eksplan pucuk tanaman jeruk (Citrus sp) terhadap konsentrasi NAA dan BAP pada inisiasi dan ploriferasi tunas secara in vitro. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang. 61 hal.

Ferita, I., Sutoyo., H. Yanti. 2003. Pertumbuhan dan perkembangan tunas pucuk melinjo (Gnetum gnemon.L) secara in vitro. 15-17 hal.

George, L. E ., and P.D Sherrington. 1984. Plant propagation by tissue culture. Hand Book and Directory of Commersial Laboratory Exegetics Ltd. Eversly, Basingtoke. England. 341 pp.

Gunawan, L.W. 1988. Teknik kultur jaringan tumbuhan. Pusat Antar Universitas. Bioteknologi IPB Bogor. 120 hal. Gunawan, L. W. 1987. Teknik kultur in vitro

dalam hortikultura. Penebar Swadaya Anggota IKAPI. Jakarta. 115 hal. Mariska, I. 1987. Konsepsi pelestraian plasma

nutfah dengan biakan in vitro. Edisi Khusus LITTRO 3(1). 22-27 hal.

Moore, T. C. 1979. Biochemistry and physiology of plant hormones. Springger-Verlag. New York. 174 pp.

Prahardini, P. E. R; T. Sudaryono dan Purnomo. 1993. Komposisi media dan eksplan untuk inisiasi dan proliferasi salak secara in vitro. Penelitian Hortikultura.

(10)

Vol. 5 no. 2 tahun 1993. Balai Penelitian Hortikultura Solok. 15-27 hal.

Purnomo., Sukarmin., Karsinah., D. Djatmiadi., S, Handjani., Nurhadi., Sunyoto., dan Sudjijo. 2000. Varietas unggul batang bawah jeruk. Balai Penelitian Tanaman Buah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian. Solok. 15-16 hal.

Rahayu, M.S. 1993. Pengaruh media, auksin, dan sitokinin terhadap perbanyakan, perbanyakan tunas jeruk Troyer Citrange secara in vitro. Dalam Seminar Program Pascasarjana IPB. Bogor. 74 hal

Soetikno, P.R. 1985. Prospek kultur jaringan untuk pelestarian tanaman langka.

Trubus: “Pekan tanaman

langka”.(Jakarta : 1984). 38-39 hal. Soetisna, U. dan A.T. Soenarto. 1984. Tanaman

langka di Indonesia. LBN Bogor. (tidak diterbitkan)

Sumardi. 1996. Penggunaan arang aktif pada beberapa komposisi NAA dan BAP dalam kultur durian (Durio zibethinus

Murr.) secara in vitro. Tesis S2. Program Pascasarjana Universitas Andalas. Padang 76 hal.

Thaib, R. 1997. Perbanyakan enau (Arenga pinnata (Wumrb) Murr.) secara in vitro. Tesis. Program Pasca Sarjana Universitas Andalas. Padang. 98 hal. Wattimena, G. A. 1988. Zat pengatur tumbuh

tanaman. PAU. IPB Bogor bekerjasama dengan Lembaga Sumberdaya Inform IPB. 145 hal.

Wattimena, G. A; L.W. Gunawan, N.A. Mattjik, E. Syamsudin, N. M. A. Wiendi, A. Ernawati. 1992. Bioteknologi tanaman. Pusat Antar Universitas Bioteknologi IPB. Bogor. 309 hal.

Widiastoety, D. 1987. Penggunaan teknik kultur in vitro untuk perbanyakan tanaman. Bahan latihan dan diskusi penelitian Buah-buahan Malang. Pusat penelitian dan pengembangan Hortikultura. Balai Penelitian Hortikultura. Lembang. 1-28 hal.

Gambar

Tabel 1.  Persentase eksplan hidup pada media MS dengan pemberian berbagai konsentrasi BAP  dan NAA pada umur 70 hst
Tabel 2.  Persentase  eksplan  yang  mengalami  multiplikasi    pada  media  MS  dengan  pemberian  berbagai konsentrasi BAP dan NAA pada umur 70 hst
Tabel 3.   Persentase eksplan yang membentuk kalus pada media MS dengan pemberian berbagai  konsentrasi BAP dan NAA  pada umur 70 hst
Tabel 4.  Persentase  eksplan  membentuk  tunas  pada  media  MS  dengan  pemberian  berbagai  konsentrasi BAP dan NAA pada umur  70 hst
+2

Referensi

Dokumen terkait

Tinggi rendahnya lama penyalaan sampai menjadi abu disebabkan karena ukuran partikel dari serbuk limbah arang serbuk gergajian kayu yang lebih halus sehingga

Faktor lain yang berperan dalam kegagalan praktik pemberian ASI ekskluisf pada penelitian ini dikarenakan subyek dengan pengetahuan rendah terkait dengan kandungan dan

692 Isu-Isu Kontemporer Sains, Lingkungan, dan Inovasi Pembelajarannya Selain pengangkutan, dapat dijelaskan juga proses fisika dari prinsip dasar pengeboran batuan dengan

Adanya Manajemen Berbasis Sekolah adalah model manajemen yang memberikan otonomi kepada sekolah dan menekankan keputusan bersama dari semua warga sekolah dan masyarakat

mental hampir sama, pada informan SW pengasuhan yang di terapkan yaitu dengan melihat adanya kelainan pada perkembangan anak, menyadari arti kelainan anak, sikap

m en gu kir harapaanya.. keku rangarL* cleh.. kemu dian herubah. khu su snya dalam.. sperma dan ovum.) dengan... tanggu ng .iav/aban

yang semakin meningkat yang mana kebutuhan tersebut dapat dipenuhi dengan menerapkan teknologi informasi secara baik dan benar. Pada sektor perkantoran, kehadiran teknologi

Persentase penambahan tepung labu kuning dalam formula pembuatan produk cookies memberikan pengaruh terhadap kesukaan warna dari produk cookies yang dihasilkan.. Produk