• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Sekolah

Penelitian dilakukan di salah satu sekolah dasar negeri di Jakarta yang memiliki sistem pembelajaran akselerasi. Sekolah yang terpilih adalah Sekolah Dasar Islam Panglima Besar Sudirman yang terletak di Jalan Raya Bogor Km. 24 Cijantung, Jakarta Timur. Sekolah Dasar Islam PB Sudirman ini merupakan salah satu sekolah swasta di Jakarta yang memiliki akreditasi A. Sejak bulan September 2002, SD Islam PB Sudirman ditetapkan sebagai Sekolah Koalisi Regional SEAMEO (South East Asia Minister of Education Organisation), yang menjalin kerjasama pendidikan Negara Asia Tenggara dalam hal peningkatan Quality dan Equity. Selain itu, sejak Februari 2005 SD Islam PB Sudirman ditetapkan sebagai anggota APEC Future Education Consortium Implementation of ICT Model School Network yang beranggotakan 16 negara antara lain: Australia, Brunei, Canada, Chili, Cina, Taipei, Hongkong, Jepang, Korea, Malaysia, Mexico, Philiina, Singapura, Vietnam, dan Thailand.

Visi sekolah ini yaitu menjadikan pendidikan yang berkualitas berdasarkan iman dan taqwa, menguasai ilmu pengetahuan, teknologi, seni serta berwawasan global. Adapun misi dari sekolah ini adalah (1) menghasilkan lulusan yang berakhlak mulia, (2) berprestasi akademis dan non akademis di tingkat nasional maupun internasional, (3) melaksanakan kurikulum tingkat satuan pendidikan, serta internasional, (4) menghasilkan lulusan yang mampu berkomunikasi dengan bahasa asing, dan (5) menghasilkan lulusan yang menguasai TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi).

Jumlah siswa sekolah secara keseluruhan sebanyak 1741 siswa yang terdiri dari 934 siswa laki-laki dan 807 siswa perempuan. Fasilitas yang dimilki oleh sekolah antara lain laboratorium sains, laboratorium bahasa, laboratorium komputer, perpustakaan, poliklinik, masjid, studio musik, sarana pembelajaran bahasa Inggris, sarana olahraga, kantin/katering, mobil antar jemput, dan ruang ICT. Kegiatan ekstrakulikuler yang disediakan sekolah untuk diikuti oleh para siswa antara lain keaagamaan, drama bahasa inggris, drumband, olahraga, kepramukaan, angklung, marawis, karate, taekwondo, paduan suara, seni musik, seni lukis, seni tari, paskibra, dan qasidah.

Sistem percepatan belajar di Sekolah Dasar Islam PB Sudirman sudah memasuki tahun ke-8. Latar belakang terselenggaranya Sistem percepatan belajar (akselerasi) adalah untuk melayani siswa-siswi dengan kecerdasan

istimewa untuk dapat menyelesaikan sekolahnya dengan cepat. Sistem percepatan belajar ini mulai dibuka untuk kelas 3. Syarat siswa yang ingin mengikuti program akselerasi antara lain: mendapatkan rekomendasi dari guru kelas, melakukan tes akademik, melakukan psikotes, dan mendapatkan persetujuan orangtua. Siswa-siswi yang mendapatkan peringkat 1-10 di kelas 2 akan direkomendasikan oleh guru untuk mengikuti program akselerasi pada tingkat selanjutnya. Siswa-siswi tersebut akan melakukan uji psikotes untuk melihat kepribadian siswa, kemampuan dasar, dan task commitment. Nilai tes IQ minimal untuk dapat mengikuti program akselerasi adalah 130. Siswa-siswa yang lulus persyaratan untuk mengikuti program percepatan belajar, akan masuk kelas akselerasi pada tahun-tahun ajaran berikutnya.

Karakteristik Keluarga Pendidikan

Pendidikan berperan penting dalam mempengaruhi sikap dan perilaku seseorang. Pendidikan orang tua akan berpengaruh terhadap pendidikan/ perkembangan anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua, semakin besar pengetahuan orang tua akan pentingnya pendidikan bagi anak (Gunarsa & Gunarsa 2006). Orang tua dengan pendidikan formal yang tinggi akan memiliki partisipasi yang lebih besar pada segala sesuatu yang berhubungan dengan stimulasi dan pendidikan anak, dibandingkan dengan orang tua yang berpendidikan rendah (Csikezentnihalyi 1996 dalam Ginting 2005).

Tingkat pendidikan orang tua siswa akselerasi dan siswa regular cukup bervariasi. Pendidikan minimal ayah siswa akselerasi adalah diploma/akademi, sedangkan pendidikan minimal ayah siswa reguler adalah SMA/sederajat. Pendidikan minimal ibu siswa akselerasi adalah SMA/sederajat, sedangkan pendidikan minimal ibu siswa reguler adalah SD/sederajat. Persentase terbesar pendidikan ayah pada kelompok siswa akselerasi adalah S2/S3 (47.37%), sedangkan pada kelompok reguler adalah S1 (52.54%). Persentase terbesar pendidikan ibu pada kelompok siswa akselerasi adalah S1 (36.84%), sedangkan pada kelompok reguler adalah SMA (37.5%). Secara umum, tingkat pendidikan ayah dan ibu siswa adalah sarjana. Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test, diperoleh bahwa tingkat pendidikan ibu dan ayah pada kedua kelompok berbeda nyata (p<0.05).

Tabel 5 Sebaran siswa berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu Akselerasi Reguler Total

Variabel n % n % n % Pendidikan Ayah SD/sederajat 0 0.00 0 0 0 0.00 SMP/sederajat 0 0.00 0 0 0 0.00 SMA/sederajat 0 0.00 7 17.5 7 11.86 Diploma/Akademi 4 21.05 3 7.5 7 11.86 Sarjana 6 31.58 25 62.5 31 52.54 S2/S3 9 47.37 5 12.5 14 23.73 Total 19 100.00 40 100 59 100.00 Uji beda p=0.021 Pendidikan Ibu SD/sederajat 0 0.00 1 2.5 1 1.69 SMP/sederajat 0 0.00 0 0 0 0.00 SMA/sederajat 1 5.26 15 37.5 16 27.12 Diploma/Akademi 5 26.32 10 25 15 25.42 Sarjana 7 36.84 11 27.5 18 30.51 S2/S3 6 31.58 3 7.5 9 15.25 Total 19 100.00 40 100 59 100.00 Uji beda p=0.001

Tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan prestasi belajar anak. Semakin tinggi pendidikan orang tua, maka akan semakin banyak pula pengetahuan orang tua yang diberikan kepada anaknya (Nasution dan Nasution 1986 dalam widayati 2009). Oleh karena itu, diduga prestasi belajar siswa akselerasi relatif lebih baik bila dibandingkan siswa reguler.

Pekerjaan

Pekerjaan orang tua siswa kedua kelompok cukup bervariasi mulai dari pegawai negeri sipil, pegawai swasta, BUMN, TNI/Polri, wiraswasta, ibu rumah tangga, dan lain sebagainya. Berdasarkan data yang diperoleh, sebagian besar ayah siswa bekerja sebagai pegawai swasta (54.24%), sedangkan proporsi terbesar pekerjaan ibu siswa adalah sebagai ibu rumah tangga (38.98%).

Tabel 6 menggambarkan sebaran pekerjaan ayah dan ibu siswa. Berdasarkan data pada tabel tersebut, dapat diketahui bahwa proporsi terbesar pekerjaan ayah dan ibu pada kelas akselerasi dan reguler masing-masing adalah pegawai swasta dan ibu rumah tangga. Kategori lainnya dalam pekerjaan ayah dan ibu yang dipilih orang tua siswa, antara lain: guru dan advokat. Hasil analisis korelasi spearman menunjukkan adanya hubungan negatif antara pendidikan

ibu dengan pekerjaan ibu (r=-0.448; p=0.00). Hal ini diduga dikarenakan banyak ibu dengan pendidikan tinggi namun tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga.

Tabel 6 Sebaran siswa berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu

Akselerasi Reguler Total

Variabel n % n % n % Pekerjaan Ayah PNS 1 5.26 7 17.5 8 13.56 Pegawai Swasta 13 68.42 19 47.5 32 54.24 Bekerja di BUMN 1 5.26 1 2.5 2 3.39 TNI/Polri 2 10.53 4 10 6 10.17 Wiraswasta 1 5.26 6 15 7 11.86 Lainnya 0 0.00 2 5 2 3.39 Wafat 1 5.26 1 2.5 2 3.39 Total 19 100 40 100 59 100 Pekerjaan Ibu PNS 1 5.26 4 10 5 8.47 Pegawai Swasta 6 31.58 10 25 16 27.12 Bekerja di BUMN 3 15.79 1 2.5 4 6.78 TNI/Polri 0 0 2 5 2 3.39 Wiraswasta 2 10.53 5 12.5 7 11.86 Ibu RT 7 36.84 16 40 23 38.98 Lainnya 0 0 2 5 2 3.39 Wafat 0 0 0 0 0 0 Total 19 100 40 100 59 100

Menurut Kartasapoetra dan Marsetyo (2003), jenis pekerjaan orang tua merupakan salah satu indikator besarnya penghasilan keluarga. Diharapkan dengan semakin besarnya penghasilan orangtua, maka konsumsi keluarga pun menjadi semakin baik dalam hal gizi makanan yang dikonsumsi, baik secara kualitas maupun kuantitasnya.

Pendapatan

Pendapatan merupakan faktor yang paling menentukan kuantitas dan kualitas makanan. Tingkatan pendapatan juga menentukan pola makanan apa yang dibeli dengan uang tambahan tersebut (Berg 1986). Menurut Suhardjo (1989), keluarga yang penghasilannya rendah, mempergunakan sebagian besar dari keuangannya untuk membeli makanan dan bahan makanan, dan semakin tinggi penghasilan tersebut, semakin menurun bagian penghasilan yang dipakai untuk membeli makanan.

Makanan, pakaian, dan tempat tinggal adalah kebutuhan primer setiap individu manusia untuk dapat hidup dan bersosialisasi. Selain makanan, pakaian, dan tempat tinggal, kebutuhan primer manusia di era globalisasi saat ini yang harus terpenuhi adalah pendidikan. Kebutuhan-kebutuhan tersebut dapat terpenuhi jika seseorang mempunyai penghasilan yang cukup.

Tabel 7 Sebaran siswa berdasarkan pendapatan orangtua Akselerasi Reguler Total Variabel n % n % n % Pendapatan Ayah < Rp 1.118.009 0 0 0 0 0 0 Rp 1.118.009-Rp 2.000.000 0 0 2 5 2 3.39 Rp 2.000.000-Rp 2.499.000 0 0 1 2.5 1 1.69 Rp 2.500.000-Rp 2.999.000 0 0 1 2.5 1 1.69 Rp 3.000.000-Rp 3.499.000 0 0 4 10 4 6.78 Rp 3.500.000-Rp 3.999.000 1 5.26 7 17.5 8 13.56 > Rp 4.000.000 17 89.47 24 60 41 69.49 Rp 0. 1 5.26 1 2.5 2 3.39 Total 19 100 40 100 59 100 Uji beda p=0.230 Pendapatan Ibu < Rp 1.118.009 1 5.26 3 7.5 4 6.78 Rp 1.118.009-Rp 2.000.000 0 0 4 10 4 6.78 Rp 2.000.000-Rp 2.499.000 0 0 0 0 0 0 Rp 2.500.000-Rp 2.999.000 0 0 0 0 0 0 Rp 3.000.000-Rp 3.499.000 0 0 2 5 2 3.39 Rp 3.500.000-Rp 3.999.000 2 10.53 5 12.5 7 11.86 > Rp 4.000.000 9 47.37 10 25 19 32.20 Rp 0. 7 36.84 16 40 23 38.98 Total 19 100 40 100 59 100 Uji beda p=0.299

Pendapatan orangtua siswa kedua kelompok dapat dilihat pada tabel 7. Sebagian besar pendapat ayah siswa adalah > Rp 4.000.000 (69.49%). Proporsi pendapatan ayah > Rp 4.000.000 pada kelas akselerasi lebih besar dibandingkan dengan kelas reguler. Sebagian besar pendapatan ibu siswa adalah Rp 0 atau dengan kata lain tidak berpenghasilan. Hal ini dikarenakan rata-rata pekerjaan ibu siswa adalah ibu rumah tangga (tabel 6). Akan tetapi, proporsi terbesar pendapatan ibu siswa pada kedua kelompok berbeda. Proporsi terbesar pendapatan ibu siswa kelas akselerasi adalah > Rp 4.000.000, sedangkan pada kelas reguler adalah Rp 0. Hal ini dikarenakan sebanyak 63.18% ibu contoh kelas akselerasi bekerja dan memperoleh penghasilan.

Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test, diketahui bahwa pendapatan orangtua kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05). Tingkat pendapatan orangtua diduga akan mempengaruhi kelengkapan fasilitas belajar anak dalam mendukung kegiatan belajar dan prestasi belajar anak.

Besar Keluarga

Besar keluarga adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengeloloaan sumberdaya yang sama (Sukandar 2007). Besar keluarga contoh dikategorikan dalam 3 kelompok, yaitu kategori kecil, apabila jumlah anggota keluarga ≤ 4 orang; kategori menengah/sedang, apabila jumlah anggota keluarga 5-7 orang; dan kategori besar, apabila jumlah anggota keluarga > 7 orang (BKKBN 2008).

Secara umum, besar keluarga contoh kedua kelompok sebagian besar termasuk dalam kategori sedang (61.02%), dengan rata-rata 4.9 ± 0.92. Besar keluarga minimum contoh adalah 3 orang, sedangkan besar keluarga maksimal contoh adalah 7 orang. Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test antara kedua kelompok, diperoleh bahwa besar keluarga kedua kelompok tidak berbeda (p>0.05).

Tabel 8 Sebaran siswa berdasarkan kategori besar keluarga Akselerasi Reguler Total Besar Keluarga n % n % n % Kecil (≤ 4 orang) 8 42.11 15 37.5 23 38.98 Menengah (5-7 orang) 11 57.89 25 62.5 36 61.02 Besar (> 7 orang) 0 0.00 0 0 0 0.00 Total 19 100.00 40 100 59 100.00 Rata-rata±SD 4.84 ± 1.07 4.92 ± 0.86 4.9 ± 0.92 Min-max 3-7 4-7 3-7 Uji beda p=0.744

Menurut Sanjur (1982), jumlah anggota keluarga akan berpengaruh terhadap belanja pangan. Semakin tingginya besar jumlah anggota dalam keluarga, maka akan menyebabkan menurunnya pendapatan per kapita dan belanja pangan. Adanya kepadatan dalam keluarga akan mengganggu pola dan corak hubungan antar anggota keluarga sehingga jaringan komunikasi antara anggota keluarga tidak berjalan sebagaimana mestinya (Gunarsa & Gunarsa 2004).

Karakteristik Individu Usia Masuk Sekolah

Umur menjadi salah satu syarat untuk masuk sekolah karena diduga dapat mempengaruhi tingkat kematangan dan penerimaan belajar siswa. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1990 Bab VIII pasal 15 ayat 1 menyatakan bahwa untuk dapat diterima sebagai siswa sekolah dasar dan sederajat, seseorang harus berusia sekurang-kurangnya 6 tahun. Tabel 9 menunjukkan bahwa sebagian besar siswa mulai masuk sekolah pada usia <6 tahun (55.93%), dengan presentase siswa akselerasi (68.42%) lebih banyak daripada siswa reguler (50%). Hasil uji beda independent sample T-test menunjukkan bahwa usia masuk sekolah kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05).

Tabel 9 Sebaran siswa berdasarkan usia masuk sekolah Akselerasi Reguler Total Usia Masuk Sekolah

n % n % N % <6 tahun 13 68.42 20 50 33 55.93 ≥6 tahun 6 31.58 20 50 26 44.07 Total 19 100 40 100 59 100 Uji beda p=0.183 Umur

Umur akan mempengaruhi tingkat kematangan berpikir seseorang. Berdasarkan data yang diperoleh, umur siswa berkisar pada 9 sampai 11 tahun. Rata-rata umur siswa akselerasi adalah 9.4 ± 0.5 tahun, sedangkan siswa reguler rata-rata berumur 10.35 ± 0.5 tahun). Umur minimum siswa adalah 9 tahun, sedangkan umur maksimal siswa adalah 11 tahun. Pada kelas akselerasi sebagian siswa laki-laki dan perempuan berumur 9 tahun, sedangkan pada kelas reguler sebagian siswa laki-laki dan perempuan berumur 10 tahun. Sebaran umur siswa akselerasi dan siswa reguler dapat dilihat pada tabel 10.

Tabel 10 Sebaran siswa berdasarkan umur

Akselerasi Reguler Total

Umur n % n % n % 9 tahun 13 68.4 0 0 13 22.03 10 tahun 6 31.6 26 65 32 54.24 11 tahun 0 0.0 14 35 14 23.73 Total 19 100 40 100 59 100

Berdasarkan teori Piaget, anak pada umur 7 sampai 11 tahun memasuki taraf perkembangan kognitif yang disebut taraf operasional konkret. Anak pada tahap ini mulai mempunyai kemampuan menggunakan pemikiran logis dalam

berhadapan dengan persoalan-persoalan konkret sehingga mulai mampu menyelesaikan persoalan-persoalan konkret dan sistematis (Suparno 2002 ). Mereka sudah dapat mengambil kesimpulan dari suatu pertanyaan (Hurlock 1997 dalam Widayati 2009). Monks (1992) dalam Widayati (2009) melakukan pembagian perkembangan remaja adalah pra remaja (10-12 tahun), remaja awal atau pubertas (12-15 tahun), remaja pertengahan usia (15-18 tahun), dan remaja akhir usia (18-21 tahun). Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa siswa dalam penelitian ini berada dalam fase anak-anak hingga pra remaja. Hasil uji beda independent sample t-test, diketahui bahwa umur kedua kelompok berbeda nyata (p=0.000).

Jenis Kelamin

Pada tabel 11 dapat dilihat bahwa sebagian besar jenis kelamin siswa akselerasi adalah laki-laki (63.16%). Sebaliknya pada siswa reguler, sebagian besar siswa berjenis kelamin perempuan (55%).

Tabel 11 Sebaran siswa berdasarkan jenis kelamin

Akselerasi Reguler Total

Jenis Kelamin n % n % n % Laki-laki 12 63.16 18 45 30 50.85 Perempuan 7 36.84 22 55 29 49.15 Total 19 100 40 100 59 100 Uang Saku

Besar uang saku siswa berkisar antara Rp 1000 hingga Rp 30000 per hari, dengan rata-rata Rp 10559.32 ± 5688.07. Sebagian besar siswa (74.58%) pada kedua kelompok memiliki uang saku antara Rp 5000 hingga Rp 10000 per hari dengan persentase 78.95% pada siswa akselerasi dan 72.5% pada siswa reguler.

Tabel 12 Sebaran siswa berdasarkan kategori uang saku

Akselerasi Reguler Total

Uang Saku (Rp/hari) n % n % N % <5000 1 5.26 1 2.5 2 3.39 5000-10000 15 78.95 29 72.5 44 74.58 >10000 3 15.79 10 25 13 22.03 Total 19 100.00 40 100 59 100.00 Rata-rata ± SD 9526.3 ± 6801.7 11050 ± 5098.8 10559.32 ± 5688.1 Min-Max 4000-30000 1000-30000 1000-30000 Uji beda p=0.393

Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test, diketahui bahwa besar uang saku kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05). Hasil uji korelasi

spearman menunjukkan tidak terdapat hubungan yang nyata antara uang saku dengan umur siswa (r=0.197; p=0.134). Sebaran uang saku siswa dapat dilihat pada tabel 12.

Khomsan (2002) menyarankan kepada orangtua untuk membekali anak dengan uang saku bila berangkat ke sekolah, karena jajan bagi anak sekolah merupakan upaya untuk memenuhi kebutuhan energi karena aktivitas sekolah yang tinggi (terutama bagi anak yang tidak sarapan pagi).

Fasilitas Belajar

Orang tua bertugas untuk memenuhi kebutuhan perkembangan intelektual atau pendidikan anak (Opit 1996). Fasilitas belajar merupakan salah satu kebutuhan dalam pendidikan untuk menunjang keberhasilan anak dalam belajar. Salah satu kegiatan yang dapat dilakukan untuk meningkatkan prestasi belajar anak adalah dengan menyediakan fasilitas belajar seperti: alat tulis, buku pelajaran, dan sarana belajar (Nio 1985 dalam Rukoyah 2003).

Dari tabel 13 dapat dilihat kategori kepunyaan fasilitas belajar siswa seperti meja belajar, laptop/komputer, akses internet, peralatan tulis, dan mengikuti les/kursus. Berdasarkan data pada tabel 13, diketahui bahwa proporsi terbesar kepunyaan fasilitas belajar pada kedua kelompok adalah kepunyaan peralatan tulis pribadi (96.6%). Berdasarkan hasil uji beda independent sample t-test, tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kedua kelompok mengenai fasilitas belajar yang dimiliki (p>0.05).

Tabel 13 Sebaran siswa berdasarkan fasilitas belajar yang dimilki Akselerasi Reguler Total No Kategori

n % n % n %

1 Memiliki Meja Belajar 15 78.9 36 90 51 86.4 2 Memiliki Laptop/komputer 18 94.7 36 90 54 91.5 3 Memiliki akses internet 15 78.9 30 75 45 76.3 4 Memiliki peralatan tulis pribadi 18 94.7 39 97.5 57 96.6 5 Mengikuti les/kursus 9 47.4 11 27.5 20 33.9

Rata-rata total kepunyaan 4 78.95 3.8 76 Uji beda p=0.613

Menurut Hamalik (1980) dalam Maftukhah (2007), syarat-syarat belajar yang perlu diperhatikan agar dapat belajar dengan baik yaitu faktor jasmani, rohani yang sehat, lingkungan yang tenang, tempat belajar yang nyaman, tersedia cukup bahan dan alat-alat yang diperlukan. Syarat-syarat belajar yang terpenuhi akan dapat memotivasi anak untuk belajar sehingga anak dapat meningkatkan prestasi belajarnya. Dari 5 macam fasilitas yang ditanyakan, rata-rata siswa

kedua kelompok telah memiliki 4 fasilitas tersebut. Hal ini menandakan bahwa syarat belajar untuk dapat belajar dengan baik telah terpenuhi.

Hasil uji korelasi spearman menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dengan fasilitas belajar anak (r=0.270; p=0.038). Hal ini bermakna bahwa semakin tinggi pendidikan seorang ibu, maka fasilitas belajar yang dimiliki anak semakin baik. Menurut Nasution dan Nasution (1986), tingkat pendidikan orang tua dapat mempengaruhi usaha meningkatkan prestasi belajar anak. Usaha meningkatkan prestasi belajar anak dapat dilakukan dengan membimbing anak dalam belajar dan menyediakan fasilitas belajar (alat tulis, buku-buku pelajaran, dan tempat untuk belajar) (Nio 1985 dalam Hanum 1993).

Tingkat Kecukupan Energi dan Zat Gizi

Kecukupan gizi yang dianjurkan adalah banyaknya masing-masing zat gizi yang harus terpenuhi dari makanan (Karyadi & Muhilal 1996). Kecukupan konsumsi makanan dapat ditentukan dengan menganalisis kandungan zat gizinya kemudian dibandingkan dengan standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) yang dianjurkan untuk mencapai suatu tingkat gizi dan kesehatan yang optimal (Suhardjo 1989). Konsumsi pangan siswa diukur dengan menggunakan metode recall 2x24 jam pada hari sekolah dan hari libur. Recall pada hari sekolah diasumsikan dapat mewakili konsumsi pangan sehari-hari ketika sekolah, sedangkan recall pada hari libur diasumsikan dapat mewakili konsumsi pangan sehari-hari siswa ketika dirumah. Tabel 14 menunjukkan rata-rata konsumsi, kecukupan, dan tingkat konsumsi siswa pada dua kelompok.

Energi dibutuhkan tubuh untuk mempertahankan hidup, menunjang pertumbuhan, dan melakukan aktivitas fisik (Almatsier 2005). Berdasarkan data pada tabel 14, dapat diketahui bahwa rata-rata konsumsi energi siswa akselerasi adalah 1841 Kal, dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 91.56%. Pada siswa reguler, rata-rata konsumsi energi adalah 1762 Kal dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 88.93%. Hasil uji beda independent sample t-test menyebutkan bahwa tidak ada perbedaan nyata (p>0.05) antara tingkat kecukupan energi siswa akselerasi dan reguler.

Protein memainkan peran yang sangat besar dalam membentuk sel-sel dan jaringan tubuh. Protein berfungsi dalam pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan serta menggantikan sel-sel yang mati (Sediaoetama 2006). Secara keseluruhan, rata-rata konsumsi protein siswa adalah 48 gram dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 98.12%. pada siswa akselerasi, rata-rata konsumsi protein

adalah 49.17 gram, dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 99.64%, sedangkan pada siswa reguler, rata-rata konsumsi protein adalah 47.08 gram dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 97.79%. Hasil uji beda menyebutkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata (p>0.05) antara tingkat kecukupan protein siswa akselerasi dan reguler.

Tabel 14 Sebaran rata-rata konsumsi, kecukupan, dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi siswa

Variabel Akselerasi Reguler Total Uji beda (p) Energi Konsumsi 1841 1762 1787 Kecukupan 2119 2047 2075 Tk konsumsi (%) 91.56 88.93 89.45 0.712 Protein Konsumsi 49.17 47.08 48 Kecukupan 52.56 50 51 Tk konsumsi (%) 99.64 97.79 98.12 0.844 Fe Konsumsi 10.16 11.62 11.15 Kecukupan 12.58 16.78 15.65 Tk konsumsi (%) 84.83 74.77 77.31 0.191 Vitamin A Konsumsi 1036.97 765.07 852.63 Kecukupan 531.58 599.17 578.80 Tk konsumsi (%) 195.60 129.50 150.16 0.003 Vitamin C Konsumsi 29.85 26.87 27.83 Kecukupan 46.58 49.93 48.97 Tk konsumsi (%) 63.87 54.18 57.07 0.607

Besi sangat penting bagi sel darah merah untuk memelihara seluruh sel tubuh, agar ia dapat melaksanakan tugas dan fungsinya dengan aktif. Menurut As-sayyid (2006), Kekurangan zat besi (kekurangan darah) dapat mengakibatkan idiot, malas, dan lemah, serta kehilangan semangat, sulit menyerap informasi, terganggu pertumbuhan, dan mudah terserang penyakit. Dari tabel 14 diketahui bahwa rata-rata konsumsi zat besi siswa adalah 11.15 gram, dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 77.31%. Pada siswa akselerasi, rata-rata konsumsi zat besi siswa adalah 10.16 gram dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 84.83%. Pada siswa reguler, rata-rata tingkat konsumsi zat besi siswa adalah 11.62 gram, dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 74.77%. Hasil uji beda independent sample t-test menunjukkan bahwa tingkat kecukupan konsumsi zat besi siswa kedua kelompok tidak berbeda nyata (p>0.05).

Vitaimin A sangat dibutuhkan tubuh untuk membangun dan memelihara jaringan agar tetap baik dan sehat, agar masing-masing jaringan itu dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, khususnya mata, kulit, tulang, jaringan pernapasan dan pencernaan, serta fungsi kekebalan (imunitas) tubuh. Selain itu, vitamin A juga sangat penting untuk menjaga vitalitas tubuh disetiap fase yang dilaluinya. Kekurangan vitamin dapat menyebabkan lemah penglihatan pada malam hari (rabun ayam) (As-Sayyid 2006). Lemah penglihatan ini diduga dapat mengganggu anak dalam beraktivitas di malam hari, mengganggu anak dalam kegiatan belajar sehari-hari yang akan mempengaruhi tingkat keberhasilan belajar anak.

Secara keseluruhan, rata-rata konsumsi vitamin A siswa akselerasi lebih tinggi dibandingkan siswa reguler (tabel 14). Rata-rata konsumsi vitamin A siswa akselerasi adalah 1036.97 Re, dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 195.6%, sedangkan rata-rata konsumsi vitamin A siswa reguler adalah 765.07 Re, dengan tingkat kecukupan konsumsi vitamin A sebesar 129.5%. Konsumsi vitamin A yang tinggi pada siswa akselerasi diduga dapat meningkatkan sistem imunitas siswa, sehingga siswa dapat terhindar dari penyakit. Hal tersebut diduga akan berkaitan dengan prestasi siswa, karena siswa dengan keadaan tubuh yang sehat dapat menerima pelajaran di sekolah dengan baik. Hasil uji beda menunjukkan bahwa tingkat kecukupan konsumsi vitamin A siswa kedua kelompok berbeda nyata (p<0.05).

Dari tabel 14 diketahui bahwa rata-rata konsumsi vitamin C siswa akselerasi adalah 29.85 gram dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 63.87%. Pada siswa reguler, rata-rata tingkat konsumsi vitamin C siswa adalah 26.87 gram, dengan tingkat kecukupan konsumsi sebesar 54.18%. Rendahnya konsumsi vitamin C siswa disebabkan oleh konsumsi sayuran dan buah-buahan yang rendah. Menurut As-sayyid (2006), sumber vitamin C banyak terdapat pada buah-buahan dan sayur-sayuran.

Tabel 15 Sebaran siswa berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan energi Akselerasi Reguler Total Klasifikasi tingkat

kecukupan energy n % n % n %

Defisit Tingkat Berat 3 15.79 9 22.5 12 20.34 Defisit Tingkat Sedang 2 10.53 8 20 10 16.95 Defisit Tingkat Ringan 3 15.79 5 12.5 8 13.56 Normal 10 52.63 15 37.5 25 42.37 Berlebih 1 5.26 3 7.5 4 6.78

Rata-rata ± SD 91.56 ± 22.91 88.93 ± 24.74 89.45 ± 23.59 Pada tabel 15 dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi termasuk pada kategori normal (siswa akselerasi) dan defisit tingkat ringan (siswa reguler), sehingga secara keseluruhan rata-rata tingkat kecukupan energi siswa termasuk pada kategori defisit tingkat ringan (89.45 ± 23.59). Hal ini sudah dapat dikatakan cukup baik karena persentase tingkat kecukupan energi siswa sudah mendekati normal.

Tabel 16 Sebaran siswa berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan protein Akselerasi Reguler Total Klasifikasi Tingkat Kecukupan

Protein n % n % n %

Defisit Tingkat Berat 4 21.05 5 12.5 9 15.25 Defisit Tingkat Sedang 0 0.00 7 17.5 7 11.86 Defisit Tingkat Ringan 3 15.79 6 15 9 15.25 Normal 8 42.11 14 35 22 37.29 Berlebih 4 21.05 8 20 12 20.34

Total 19 100 40 100 59 100

Rata-rata ± SD 99.64 ± 34.17 97.79 ± 30.57 98.12 ± 31.36 Pada tabel 16 dapat diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan protein siswa akselerasi dan reguler termasuk pada kategori normal. Secara keseluruhan rata-rata tingkat kecukupan protein siswa kedua kelompok termasuk pada kategori normal (98.12 ± 31.36), sehingga dapat disimpulkan bahwa konsumsi protein siswa kedua kelompok termasuk baik.

Tabel 17 Sebaran siswa berdasarkan klasifikasi tingkat kecukupan zat besi Akselerasi Reguler Total Klasifikasi Tingkat

Kecukupan Zat Besi n % n % n %

Kurang 7 36.84 25 62.5 32 54.24 Cukup 12 63.16 15 37.5 27 45.76

Total 19 100 40 100 59 100

Rata-rata ± SD 84.83 ± 21.45 74.78 ± 36.71 77.31 ± 33.99 Tabel 17 menunjukkan klasifikasi tingkat kecukupan zat besi. Penilaian untuk tingkat konsumsi vitamin dan mineral seperti vitamin A (RE), vitamin C, dan zat besi berdasarkan penggolongan menurut Gibson (2005). Berdasarkan data pada tabel 17, rata-rata tingkat kecukupan zat besi siswa pada kelas akselerasi termasuk pada kategori cukup (84.83 ± 21.45), sedangkan pada kelas reguler termasuk pada kategori kurang (74.78 ± 36.71). Namun, rata-rata tingkat kecukupan zat besi siswa secara keseluruhan termasuk dalam kategori cukup (77.31 ± 33.99). Hal tersebut sudah tergolong baik karena rata-rata konsumsi zat besi siswa berada pada kategori normal. Meskipun begitu, perlu

Dokumen terkait