Karakteristik Responden
Responden yang terlibat dalam penelitian berada di dua lokasi yaitu Desa Carang Pulang dan Desa Ciherang, Kecamatan Dramaga, Kabupaten Bogor. Responden yang tertarik dengan penelitian berjumlah 54 orang tetapi yang menandatangani informed consent berjumlah 40 orang. Responden terbagi menjadi tiga grup yaitu 15 orang untuk grup cinnulin, 14 orang untuk grup teh, dan 11 orang untuk grup kontrol. Hasil cleaning data, diperoleh 33 orang responden yang memiliki data lengkap untuk dianalisis karena dari grup cinnulin dan grup teh masing-masing tiga orang dan empat orang memiliki compliance rate kurang dari 80%. Berdasarkan jenis kelamin, responden terdiri dari 23 wanita dan 10 laki-laki. Responden terbagi menjadi dua kategori usia yaitu dewasa dan lansia menurut WHO. Hasil perhitungan indeks massa tubuh (IMT), responden dikategorikan menjadi kurang, normal dan lebih (Perkeni 2011). Karakteristik responden dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Karakteristik responden yang terlibat dalam penelitian Karakteristik Cinnulin (n=12) Teh (n=10) Kontrol (n=11) Jenis Kelamin (Pr/L) 9/3 7/3 7/4 Usia (tahun) a. Dewasa (<60 tahun) b. Lansia (≥60 tahun) 51,92 ± 5,40 11 1 53,20 ± 7,10 9 2 56,82 ± 11,63 7 4 IMT (kg/m2) a. Kurang (<18,5 kg/m2) b. Normal (18,5-22,9 kg/m2) c. Lebih (≥ β3 kg/m2) 22,26 ± 3,55 1 6 5 24,53 ± 4,43 0 5 5 25,46 ± 4,13 0 3 8 Denyut jantung (permenit) 98,55 ± 8,65 87,30 ± 8,72 88,09 ± 8,01 Sistol (mmHg) 152,27 ± 32,53 165,10 ± 29,63 159,64 ± 27,32 Diastol (mmHg) 91,55 ± 13,42 97,30 ± 15,06 92,27 ± 12,54 Glukosa puasa (mg/dL) 264,83 ± 13,20 184,30 ± 46,56 227,55 ± 82,68 Data disajikan dalam bentuk nilai rata-rata ± SD
Karakteristik responden tiap grup perlakuan secara umum tidak berbeda nyata untuk semua kategori. IMT responden tiap grup perlakuan walaupun memiliki kategori yang berbeda berdasarkan Perkeni (2011) namun hasil uji homogenitas menunjukkan bahwa ketiganya tidak berbeda nyata (anova, p = 0,191). Untuk karakterisitk denyut jantung, secara rata-rata tiap grup perlakuan masih memiliki denyut jantung yang normal, yaitu dibawah 100 denyut per menit. Hasil pengukuran karakteristik responden lainnya menunjukkan bahwa setiap grup perlakuan selain menderita DMT2 juga mengalami gangguan berupa penyakit hipertensi. Hal ini ditandai dengan nilai sistol dan diastol yang diatas nilai normal hasil pengukuran yaitu 110 – 120 mmHg untuk sistol dan 70-80 mmHg untuk
diastol. Hipertensi memang umum terjadi pada penderita DMT2. Hasil studi kohort di Amerika menyatakan bahwa penderita hipertensi memiliki risiko penyakit DMT2 2,5 kali lebih tinggi daripada orang dengan tekanan darah normal, dan 50 –
80% penderita DMT2 umumnya juga mengalami hipertensi (Cheung dan Li 2012). Glukosa darah puasa baseline tiap grup diatas nilai batas normal untuk identifikasi
penyakit DMTβ yaitu ≥1β6 mg/dL.
Penghambatan Aktivitas Enzim α-Glukosidase Produk
Enzim α-glukosidase merupakan salah satu enzim yang bekerja dalam metabolism karbohidrat. Enzim ini mengkatalisis pemecahan ikatan 1,4 α-glikosida pada ujung non pereduksi dari maltooligosakarida dengan melepas -D-glukosa. Enzim ini juga melanjutkan kerja enzim α-amilase karena mampu menghidrolisis secara lambat ikatan 1,6-α-D-glukosidik menjadi glukosa (Berdanier et al. 2006). Kedua produk minuman seperti yang terlihat pada Tabel 7, memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim α-glukosidase yang cukup tinggi yaitu sebesar 93,35% sampai 98,69%.
Senyawa yang dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase diantaranya adalah naringenin, kaemferol, luteolin, apigenin, katekin, epikatekin, diadzein, dan epigalokatekin galat (Tadera et al. 2006). Katekin, epikatekin, dan epigalogkatekin galat merupakan senyawa polifenol yang terdapat di dalam teh yang menyebabkan teh memiliki kemampuan menghambat aktivitas enzim alfa glukosidase yang cukup tinggi. Kwon et al. (2006) melaporkan bahwa teh hitam dapat menghambat aktivitas enzim α-glukosidase sebesar 90%. Penambahan
cinnulin pada minuman instan menunjukkan kemampuan penghambatan yang lebih besar. Shihabudeen et al. (2011) melaporkan bahwa ekstrak metanol kayu manis memiliki kemampuan penghambatan aktivitas enzim α-glukosidase dengan nilai IC50 sebesar 5,8γ μg/ml. Senyawa yang terlibat dalam penghambatan tersebut adalah tanin, flavonoid, glikosida, terpenoid, koumarin, dan antrakuinon. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu dan volume air dalam proses penyeduhan minuman memberikan persen penghambatan yang berbeda nyata yang dapat dilihat pada Lampiran 2.
Tabel 7 Karakteristik produk minuman instan
Produk Perlakuan Parameter Volume air (mL) Suhu Air (oC) Total Fenol (mg/mL) DPPH (ppm AEAC) Inhibisi α -glukosidase (%) Cinnulin 200 70 0,52 2208,00 98,69 100 0,51 2188,00 96,39 300 70 0,32 1967,27 98,64 100 0,37 2035,82 98,14 Teh 200 70 0,14 956,36 95,96 100 0,21 943,36 95,68 300 70 0,12 902,00 94,39 100 0,14 918,64 93,35
Penghambatan Radikal Bebas Produk
Kemampuan suatu bahan dalam menghambat radikal bebas menunjukkan kapasitas antioksidan yang terkandung di dalam bahan tersebut. Hasil penghambatan radikal bebas produk dengan metode DPPH dapat dilihat pada Tabel 7. Minuman cinnulin memiliki kapasitas antioksidan yang jauh lebih besar daripada minuman teh, yaitu setara dengan 2000 ppm asam askorbat. Su et al. (2007) melaporkan bahwa kayu manis memiliki kemampuan mengikat radikal bebas paling baik dibandingkan beberapa rempah lainnya seperti lada hitam, pala, dan oregano. Konsentrasi ekstrak kayu manis sebesar 10 μg/mL mampu mengikat 50%
senyawa radikal DPPH. Senyawa polifenol yang banyak terdapat di teh maupun kayu manis merupakan senyawa antioksidan. Keberadaan senyawa polifenol inilah yang menyebabkan produk minuman memiliki kapasitas antioksidan yang cukup tinggi. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan suhu dan volume air seduhan mempengaruhi kapasitas antioksidan produk minuman seperti yang terlihat pada Lampiran 5.
Total Fenol
Fenol merupakan senyawa yang mengandung gugus hidroksil pada cincin fenil, sedangkan polifenol mengandung arti senyawa kimia yang memiliki banyak gugus fenol. Pengukuran total fenol diharapkan dapat memberikan gambaran kasar senyawa polifenol di dalam produk. Tabel 7 menunjukkan bahwa minuman
cinnulin memiliki kadar total fenol yang lebih tinggi dibandingkan minuman teh. Volume air seduhan berpengaruh terhadap kadar total fenol minuman dimana semakin banyak volume air seduhan yang digunakan maka kadar total fenol produk minuman akan semakin kecil. Hasil analisis ragam total fenol produk minuman instan dapat dilihat pada Lampiran 5. Su et al. (2011) melaporkan bahwa kayu manis mengandung kadar total fenol sebesar 186 mg GE/g. Sedangkan teh hitam mengandung senyawa fenolik sebesar 35 – 40 mg/g (Moraes de Souza et al. 2008). Oleh karena itu, minuman yang diperkaya cinnulin memiliki senyawa fenolik yang lebih tinggi daripada minuman teh. Produk minuman teh mengandung 28,75–41,86 mg senyawa fenolik dalam setiap kemasan, sedangkan minuman kayu manis mengandung 95,72 – 110,06 mg senyawa fenolik dalam setiap kemasan.
Profil Glukosa Post Prandial
Glukosa post prandial (glukosa pp) menggambarkan kondisi glukosa di dalam darah setelah makan. Tabel 8 memperlihatkan komposisi gizi makanan yang diberikan ke responden selama pengukuran glukosa pp. Makanan terdiri dari ubi kuning kukus, pisang rebus, kacang tanah rebus, dan sari kedelai hitam yang setara dengan 50 g karbohidrat dengan kalori sebesar 371,5 kkal. Keempat bahan pangan tersebut dipilih karena memiliki indeks glisemik yang rendah (IG < 50) dimana kacang tanah rebus memiliki nilai IG sebesar 13, ubi jalar kukus 44, pisang rebus 38, dan kedelai hitam 15 (University of Sidney, 2016). Tabel 9 menggambarkan rata-rata nilai iAUC dari tiap perlakuan selama pengukuran glukosa pp. Perlakuan
minuman cinnulin maupun teh belum dapat memperbaiki profil glukosa pp responden. Hal ini terlihat dari meningkatnya nilai iAUC setelah intervensi oleh produk. Penurunan nilai iAUC hanya terjadi pada perlakuan minuman cinnulin
pada menit ke 0 – 30 walaupun penurunan tersebut tidak berbeda nyata. Hal ini menandakan minuman cinnulin memperlambat pencernaan karbohidrat menjadi glukosa selama 30 menit, tetapi setelah itu perubahan karbohidrat menjadi glukosa terjadi lebih cepat. Grup kontrol sebaliknya, selalu mengalami penurunan kadar glukosa pp di setiap menit pengukuran sehingga nilai iAUC juga mengalami penurunan namun penurunan tersebut tidak berbesa secara nyata.
Tabel 8 Komposisi makanan tersandar yang diberikan ke responden (TKPI 2009) Jenis makanan Porsi
(g) E (kkal) KH (g) P (g) L (g) Air (g) Abu (g) Serat (g) Kc. tanah rebus 50 110,00 4,00 5,30 9,00 31,05 0,65 0,50 Ubi kuning kukus 50 50,00 11,90 0,35 0,15 36,60 0,50 0,50 Pisang kukus 75 116,25 27,82 0,82 0,15 43,05 0,60 2,55 Kedelai hitam 25 95,25 6,23 10,03 4,18 3,18 1,38 0,80 Total 371,50 49,95 16,50 13,48 113,88 3,13 4,35
Umumnya, kayu manis menurunkan profil glukosa pp seperti yang diperoleh Hlebowizc et al. (2007 dan 2009) dan Bernardo et al. (2015) tetapi pada penelitian ini, minuman cinnulin tidak mengubah pola glukosa pp bahkan pola mengalami sedikit peningkatan. Grup minuman cinnulin mengalami peningkatan nilai iAUC yang signifikan pada menit ke 60 – 90 dan menit ke 90 – 120. Magistrelli dan Chezem (2012) menyatakan bahwa responden yang diberi sereal dengan tambahan 6 gram kayu manis cenderung memiliki kadar glukosa darah yang lebih tinggi pada menit ke 90 dan 120 dengan peningkatan yang signifikan pada menit ke 120 dan diduga disebabkan oleh variasi dan metode pengolahan makanan yang diberikan. Hal lain yang diduga sebagai penyebab perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah metode dalam menentukan waktu pengukuran. Umumnya analisis glukosa pp dilakukan sesaat setelah responden diberi produk uji (minuman cinnulin dan teh) sedangkan pada penelitian ini pengukuran glukosa pp dilakukan sebelum dan sesudah intervensi dilakukan tanpa pemberian produk minuman saat pengukuran dilakukan.
Minuman teh secara in vitro menghambat aktivitas enzim α-glukosidase sehingga diharapkan dapat menurunkan kadar glukosa darah setelah makan. Hasil pengukuran glukosa pp menunjukkan bahwa tidak ada perubahan pola glukosa pp pada grup minuman teh walaupun terjadi peningkatan kadar glukosa darah dari setiap menit pengukuran. Josic et al. (2010) juga menyatakan bahwa responden yang diberi sarapan roti yang setara dengan 50 g karbohidrat dengan 300 ml minuman teh memiliki pola glukosa pp yang cenderung lebih tinggi daripada responden dengan minuman air putih dan peningkatan tersebut secara signifikan terjadi pada menit ke 120. Grup kontrol juga tidak mengalami perubahan pola glukosa pp secara signifikan walaupun terjadi penurunan kadar glukosa darah dan nilai iAUC dari setiap menit pengukuran. Gambar 9 memperlihatkan perubahan glukosa darah pada setiap menit pengukuran dari tiap grup perlakuan.
Tabel 9 Nilai incremental area under curve (iAUC) tiap perlakuan Waktu
(menit) Fase Cinnulin (n=12) Teh (n=10) Kontrol (n=6) p-value 0 – 30 Sebelum 2348,5±3624,5 706,5±823,3 2197,5±1314,5 0,027 Sesudah 1748,8±1896,0 2650,5±2524,6 842,5±395,1 0,255 Perubahan -599,7 1944,0 -1355,0 0,080 p-value 0,505 0,074 0,085 30 – 60 Sebelum 2376,3±1351,7 1707,0±1031,9 3040,0±867,5 0,097 Sesudah 2691,3±1815,2 4150,5±2660,2 2130,0±822,1 0,125 Perubahan 315,0 2443,5 -910,0 0,044* p-value 0,630 0,131 0,211 60 – 90 Sebelum 2325,0±1045,8 2316,0±900,5 3472,5±957,2 0,055 Sesudah 3332,5±1571,3 4354,5±2729,0 2430,0±968,4 0,167 Perubahan 1007,5 2038,5 -1042,5 0,060 p-value 0,010* 0,074 0,177 90 – 120 Sebelum 1648,8±1212,4 1797,0±844,8 3182,5±836,5 0,016* Sesudah 3156,3±1721,5 3726,0±2954,4 2027,5±1251,0 0,311 Perubahan 1507,5 1929,0 -1155,0 0,042* p-value 0,036* 0,059 0,118 120 – 150 Sebelum 1520,0±1556,4 1468,5±761,4 2472,5±1038,9 0,240 Sesudah 2361,3±1699,3 3012,0±2924,5 1392,5±1214,6 0,388 Perubahan 841,3 1543,5 -1080,0 0,127 p-value 0,296 0,241 0,130 Total Sebelum 10218,5±8015,3 7995,0±3753,3 14365,0±3736,2 0,023* Sesudah 13290,1±7871,6 17893,5±16600,3 8822,5±4305,7 0,177 Perubahan 3071,5 9898,5 -4882,5 0,065 p-value 0,480 0,059 0,120
Data disajikan dalam bentuk nilai rata-rata ± SD
Nilai p-value yang dicetak tebal dianalisis menggunakan uji non parametrik Wilcoxon untuk pengaruh perlakuan dalam grup (sebelum dan sesudah) dan uji Kruskal Wallis untuk antar grup perlakuan.
Hasil analisis sidik ragam terhadap ketiga perlakuan di setiap menit pengukuran menunjukkan bahwa perubahan pola glukosa pp berbeda secara nyata pada menit ke 30 – 60 dan menit ke 90 – 120 dimana perubahan kadar glukosa darah grup kontrol berbeda dengan grup minuman teh tetapi tidak berbeda dengan grup minuman cinnulin pada menit ke 30 – 60. Pada menit ke 90 – 120, grup
cinnulin berbeda dengan kontrol tetapi tidak berbeda dengan grup minuman teh. Hasil analisis statistik glukosa pp dapat dilihat pada lampiran 7 dan 9. Secara total, perubahan yang terjadi selama pengukuran glukosa pp tidak berbeda secara nyata antar grup perlakuan.
Gambar 8 Perubahan glukosa darah pada setiap waktu pengukuran. Warna biru: cinnulin, merah: teh, hijau: kontrol.
Kadar SGOT SGPT Plasma
SGOT (serum glutamic-oxaloacetic transaminase) dan SGPT (serumglutamic-pyruvic transaminase) merupakan parameter yang umum digunakan untuk melihat tingkat kerusakan hati dimana semakin tinggi nilai keduanya menunjukkan semakin banyak sel hati yang mengalami kerusakan. Hati merupakan organ tubuh yang penting dan memiliki fungsi yang kompleks yaitu berperan dalam metabolisme karbohidrat, lemak, protein, dan sebagai tempat penyimpanan vitamin dan besi. Beberapa faktor yang dapat menyebabkan kerusakan hati adalah kekurangan zat gizi (sistein, tokoferol, dan vitamin B kompleks), kekurangan oksigen, konsumsi alkohol berlebih, virus, obat-obatan, senyawa radikal, dan aflatoksin (Guyton & Hall 2008). Sebanyak 20% penderita DMT2 dilaporkan mengalami disfungsi hati akibat terjadi perlemakan hati yang dipicu dari tingginya kadar glukosa darah. Kategori penentuan nilai SGOT dan SGPT adalah sebagai berikut : SGOT dikatakan normal jika memiliki rentang nilai 0 – 37 U/L untuk laki-laki dan 0 – 32 U/L untuk perempuan. Sedangkan untuk nilai normal SGPT berada pada kisaran 0 – 42 U/L untuk laki-laki dan 0 – 32 U/L untuk perempuan.
Tabel 8 Hasil analisis nilai SGOT dan SGPT tiap grup perlakuan Parameter Fase Kayu Manis
(n=12) Teh (n=10) p-value SGOT (U/L) Sebelum 16,33±7,84 21,60±11,82 0,228 Sesudah 14,25±6,48 22,80±13,59 0,043* p-value 0,048* 0,575 SGPT (U/L) Sebelum 23,92±17,02 36,90±24,10 0,036* Sesudah 20,58±07,98 32,60±22,29 0,314 p-value 0,624 0,185
Data disajikan dalam bentuk nilai rata-rata ± SD -3 8 23 54 41 29 34 82 66 53 50 43 -41 -36 -33 -44 -33 -40 -60 -40 -20 0 20 40 60 80 100 M 0 M 30 M 60 M 90 M 120 M 150 P er ub ah an G luko sa D ar ah (m g/ dL )
Hasil analisis laboratorium tentang nilai SGOT dan SGPT responden dapat dilihat pada Tabel 8 dan perubahannya dapat dilihat pada Gambar 9. Analisis nilai SGOT dan SGPT hanya dilakukan pada responden grup cinnulin dan teh. Rata-rata responden memiliki fungsi hati yang masih normal. Fungsi hati responden semakin membaik akibat konsumsi minuman cinnulin karena mengalami penurunan nilai SGOT secara nyata sebesar -12,74% sedangkan grup minuman teh tidak mengalami perubahan secara nyata walau meningkat sebesar 5,88% (npar Wilcoxon, p = 0,048 untuk cinnulin dan p = 0,575 untuk teh). Hasil uji t antar grup perlakuan menunjukkan bahwa perubahan nilai SGOT penderita DMT2 akibat konsumsi kedua produk minuman tidak berbeda secara nyata (p = 0,101).
Nilai SGPT kedua grup memberikan penurunan masing-masing sebesar -13,92% untuk cinnulin dan -11,77% untuk teh, tetapi penurunan tersebut tidak berbeda secara nyata (npar Wilcoxon, p = 0,624 dan 0,185 ). Hasil uji Mann Whitney pada kedua grup menunjukkan bahwa persentasi penurunan nilai SGPT responden DMT2 akibat konsumsi kedua minuman instan tidak berbeda secara nyata (p = 0,391). Secara individu, terdapat 3 responden teh yang mengalami gangguan hati. Hal ini ditandai dengan kadar SGOT dan SGPT keduanya yang melebihi batas normal, tetapi konsumsi minuman instan teh selama 35 hari membantu menurunkan kadar SGPT ketiga responden tersebut,
Gambar 9 Perubahan kadar SGOT dan SGPT responden
Penurunan nilai SGOT dan SGPT responden dengan perlakuan kayu manis diduga sebagai akibat dari konsumsi senyawa cinnulin (ekstrak larut air kayu manis) yang mempunyai sifat sebagai antioksidan. Hal ini serupa dengan nilai SGOT penderita DMT2 dengan perlakuan kombinasi ekstrak bawang putih dan kunyit yang mengalami penurunan signifikan sebagai akibat adanya aktivitas antioksidan ekstrak tersebut (Yuniarni et al 2012). Hasil Ziegenfuss et al (2006) dan Lu et al (2011) juga menunjukkan adanya penurunan nilai SGOT dan SGPT pada penderita DMT2 yang diberi ekstrak kayu manis walaupun perubahan tersebut tidak berbeda secara nyata. Penurunan nilai SGOT dan SGPT responden DMT2 akibat konsumsi kayu manis diharapakan mampu memperbaiki fungsi hati sehingga mengurangi resiko terjadinya penyakit komplikasi pada penderita DMT2.
-12.76 -13.94 5.56 -11.65 -15.00 -10.00 -5.00 0.00 5.00 10.00 SGOT SGPT P er ub ah an S GO T S GPT ( % ) Parameter Cinnulin Teh
Kadar MDA Plasma
Malondialdehid (MDA) merupakan produk dari peroksidasi lipid tetapi dapat juga terbentuk selama biosintesis prostaglandin dalam sel (Jetawattana 2005). Secara biologis, MDA dapat dihasilkan dari berbagai reaksi antara lain kebocoran sistem mitokondria, oksidasi lipid, dekomposisi asam amino dan komponen karbohidrat, serta reaksi yang melibatkan radikal bebas (Esterbauer et al. 1991). Sumber utama MDA dalam sistem biologis adalah peroksidasi dari asam lemak tidak jenuh ganda terutama asam arakidonat (20:4) atau asam lemak tidak jenuh dengan ikatan rangkap yang lebih banyak secara enzimatis maupun non enzimatis. Nilai MDA yang tinggi menyatakan tingkat stres oksidatif yang tinggi pula (Ayala
et al. 2014). Nilai MDA pada populasi normal di Turki untuk usia 57,4 ± 10 tahun adalah 2,94 nmol/mL (Ates et al. 2004). Di Indonesia, nilai MDA plasma mahasiswa berusia 21 – 25 tahun yang dinyatakan sehat secara medis sebesar 2,36 nmol/mL (Zakaria et al. 2000). Tangvarasittichai et al. (2015) menyatakan bahwa nilai plasma MDA yang normal adalah <3,5 nmol/mL. Kadar rata-rata MDA plasma tiap grup perlakuan umumnya berada diatas nilai standar normal seperti yang terlihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Kadar MDA plasma tiap grup perlakuan
Nilai rata-rata MDA setiap grup tidak mengalami perubahan secara nyata sesudah intervensi walaupun terjadi peningkatan (2,07% untuk grup cinnulin; 10,75% untuk grup teh; dan 7,69% untuk grup kontrol). Minuman cinnulin menahan peningkatan kadar MDA paling baik karena mengalami peningkatan paling kecil. Produk minuman dapat menjadi tambahan asupan antioksidan karena mengandung total fenol yang cukup tinggi (Tabel 7) dan diharapkan dapat meningkatkan aktivitas antioksidan di dalam tubuh sehingga dapat menurunkan produksi MDA. Pada penelitian ini, tambahan asupan antioksidan dari produk minuman belum berhasil menurunkan produksi MDA pada plasma.
Roussel et al. (2009) menyatakan bahwa kadar MDA plasma responden penderita pre DMT2 di Amerika Serikat mengalami penurunan secara nyata sebesar -14,50% setelah konsumsi 500 mg cinnulin selama 12 minggu.
4.6146 4.5661 4.8138 4.7100 4.9648 5.1842 4.0000 4.2000 4.4000 4.6000 4.8000 5.0000 5.2000 5.4000
Cinnulin Teh Kontrol
K a d a r MD A pl a sm a ( m m o l/ m L ) Grup Perlakuan Sebelum Sesudah
Tangvarasittichai et al. (2015) juga menyatakan bahwa konsumsi ekstrak kayu manis 1500 mg perhari selama 60 hari berhasil menurunkan kadar MDA plasma dari 3,65 nmol/mL menjadi 3,22 nmol/mL. Spadiene et al. (2014) menyatakan hal serupa untuk penggunaan ekstrak teh hijau pada penderita DMT2 dimana MDA plasma responden mengalami penurunan sebesar -16,57% setelah konsumsi 400 mg ekstrak teh hijau selama 9 bulan. Perbedaan hasil ini diduga karena responden mengonsumsi lemak melebihi nilai anjuran konsumsi selama masa intervensi. Hasil pengukuran konsumsi harian pangan responden setiap minggu (Lampiran 16) menunjukkan bahwa rata-rata responden memiliki asupan lemak diatas 30% sedangkan anjuran umum konsumsi lemak harian adalah 20-25% (Perkeni 2011). Konsumsi sayur dan buah responden tiap grup relatif sedikit dan belum memenuhi saran konsumsi menurut Pedoman Umum Gizi Seimbang (PUGS) yaitu sebesar 2-3 porsi untuk buah dan 2-3-5 porsi untuk sayur. Kelebihan konsumsi lemak dan dibarengi dengan kurangnya konsumsi sayur dan buah diduga menjadi penyebab naiknya kadar MDA plasma karena prekursor MDA adalah asam lemak terutama PUFA. Selain itu, senyawa fenolik pada produk dapat menjadi prooksidan jika dikonsumsi dalam jumlah yang berlebih. Park et al. (2014) mennyatakan bahwa senyawa polifenol dapat menginduksi pembentukan ROS di dalam tubuh jika
konsentrasi di darah melebihi 10 μM. Peningkatan ROS akan menyebabkan
peroksidasi lipid meningkat sehingga pembentukan MDA juga akan mengalami peningkatan.
HbA1C Plasma
Hemoglobin terglikasi (HbA1C) merupakan salah satu indikator penyakit diabetes dan dapat dijadikan kontrol glukosa darah. Pasien dikatakan menderita diabetes jika memiliki kadar HbA1C diatas 6,5%. HbA1C menggambarkan kondisi glukosa dalam plasma selama 8 – 12 minggu sebelumnya (WHO 2011) dan analisisnya relatif lebih mudah dilakukan karena tidak memerlukan persiapan seperti puasa. HbA1C merupakan tahap awal glikasi hemoglobin yang terjadi akibat glukosa yang berikatan dengan N-terminal gugus amino valin dan lisin dari rantai -globin secara non enzimatik. HbA1C akan terus terbentuk selama 1 siklus sel darah merah (120 hari) selama terjadi paparan kadar glukosa darah yang tinggi. Oleh karena itu, HbA1C dipengaruhi oleh kadar rata-rata glukosa darah 120 hari sebelum pengujian, namun kadar glukosa darah 3-4 minggu sebelumnya berkontribusi sebesar hampir 50% dari hasil akhir dan hanya sekitar 10% yang dipengaruhi oleh kadar glukosa darah 90 – 120 hari sebelumnya (Rohlfing et al. 2002)
Gambar 11 memperlihatkan nilai HbA1C masing-masing perlakuan. Analisis yang dilakukan berupa analisis semi kuantitatif berdasarkan nilai absorbansi plasma responden. Grup cinnulin tidak mengalami perubahan kadar HbA1C secara nyata walaupun secara umum mengalami sedikit penurunan sebesar -1,81% (p = 0,814). Grup teh juga tidak mengalami perubahan kadar HbA1C secara nyata walaupun mengalami peningkatan sebesar 12,39% (p = 0,074). Grup kontrol mengalami penurunan nilai HbA1C setelah proses intervensi secara nyata yaitu sebesar -42,49% (p = 0,003). Hal ini menandakan glukosa darah responden kontrol lebih terjaga selama masa intervensi. Hasil analisis antar grup perlakuan (Npar Kruskal Wallis, p= 0,000) menunjukkan bahwa perubahan kadar HbA1C grup
cinnulin berbeda nyata dengan grup kontrol tetapi tidak berbeda dengan grup teh seperti yang terlihat pada Lampiran 12
Gambar 11 Nilai OD HbA1C plasma tiap grup perlakuan
Penelitian sebelumnya mengenai perubahan kadar HbA1C akibat konsumsi kayu manis menunjukkan adanya variasi hasil. Beberapa penelitian terbaru menyatakan adanya penurunan yang nyata sebagai akibat konsumsi kayu manis baik dalam bentuk bubuk (Crawford 2009 dan Akilen et al. 2010) maupun ekstrak kayu manis (Lu et al. 2011). Sedangkan Mang et al. (2006), Vanschoonbeek et al.
(2006), dan Blevins et al. (2007) menyatakan sebaliknya. Hasil pada penelitian ini sejalan dengan Mang et al. (2006) yang menyatakan bahwa kadar HbA1C plasma penderita DMT2 yang mengonsumsi ekstrak larut air kayu manis sebanyak 336 mg setiap hari selama 4 bulan tidak mengalami perubahan secara nyata dan hanya mengalami sedikit penurunan (-0,4%). Hasil itu diduga sebagai akibat adanya kontrol glukosa darah yang baik oleh penderita selama masa intervensi. Faktor lain yang diduga mempengaruhi perbedaan hasil adalah karakteristik responden dimana perbedaan ras, jumlah responden, dan kadar glukosa puasa awal responden menjadi faktor pembeda (Kirkham et al. 2009). Selain itu, aktivitas fisik dan pola makan juga diduga sebagai faktor pembeda karena aktivitas cukup dan diet yang baik (tinggi serat dan indeks glisemik rendah) akan membantu menjaga kadar glukosa darah selain terapi obat-obatan.
Insulin Plasma
Insulin merupakan hormon yang disekresikan oleh sel -pankreas yang berfungsi menjaga kadar glukosa darah tetap normal dengan cara memfasilitasi
uptake glukosa, meregulasi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, serta membantu pembelahan dan pertumbuhan sel (Wilcox 2005). Umumnya kadar insulin akan meningkat seiring dengan pertambahan jumlah glukosa di dalam darah. Pada penderita DMT2, jumlah insulin yang tersedia tidak sebanding dengan jumlah glukosa di darah menyebabkan respon insulin terhadap glukosa akan semakin turun dengan semakin tingginya jumlah glukosa darah (DeFronzo 2004). Ekstrak kayu manis terutama polifenolnya meningkatkan terjadinya autofosforilasi reseptor
0.221 0.236 0.395 0.217 0.265 0.227 0.000 0.100 0.200 0.300 0.400 0.500
Cinnulin Teh Kontrol
N il a i O D H bA 1C Grup perlakuan Sebelum Sesudah
insulin, juga meningkatkan jumlah insulin reseptor (IR)- , IR substrate-1 (IRS1) dan GLUT4 yang meningkatkan uptake glukosa ke dalam sel (Rafehi et al. 2012).
Kadar insulin plasma penderita DMT2 yang diberi perlakuan minuman
cinnulin menunjukkan peningkatan yang signifikan sebesar 28,29% (paired t-test, p = 0,007) seperti yang terlihat pada Gambar 12. Blevins et al. (2007) menyatakan bahwa 1g kayu manis selama 3 bulan tidak mempengaruhi kadar insulin plasma walaupun terjadi peningkatan sebesar 12,4% dan uptake glukosa ke dalam sel juga tidak mengalami perubahan yang ditandai dengan tidak berubahnya kadar glukosa darah puasa. Roussel et al. (2009) menyatakan bahwa kadar insulin penderita prediabetes mengalami peningkatan sebesar 24,78% setelah konsumsi 500mg
Cinnulin PF selama 12 minggu dibarengi dengan penurunan kadar glukosa darah puasa secara nyata sebesar -10,53%. Pada penelitian ini, kadar insulin grup kayu manis mengalami peningkatan yang signifikan tetapi tidak mengalami perubahan