• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden

Karakteristik responden berisi mengenai gambaran umum identitas responden. Adapun objek penelitian yang ditetapkan adalah usaha mikro dan kecil pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor yang merupakan anggota KOPTI Kabupaten Bogor. Pengumpulan data dilakukan dengan wawancara secara tatap muka kepada 65 responden yang terdiri dari 32 orang pelaku usaha pembuatan tempe dan 33 orang pelaku usaha pembuatan tahu. Berdasarkan 65 kuesioner yang terkumpul, dapat dilihat identitas responden berdasarkan wilayah, jenis kelamin, usia, dan pendidikan.

Sebaran Responden Berdasarkan Wilayah

Penyajian sebaran responden dibagi menjadi 14 kategori berdasarkan wilayah pelayanan (kecamatan) di Kabupaten Bogor yang terdapat usaha pembuatan tempe dan tahu. Berdasarkan frame sampling dari KOPTI Kabupaten Bogor 2012, responden untuk pelaku usaha pembuatan tempe adalah 32 orang, sedangkan untuk pelaku usaha pembuatan tahu berjumlah 33 orang yang tersebar di 14 wilayah pelayanan (kecamatan) dengan proporsi yang berbeda. Proporsi tersebut didasarkan pada jumlah pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu di setiap wilayah pelayanan (kecamatan) dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu.

Jumlah keseluruhan pelaku usaha pembuatan tempe adalah 588 orang, sedangkan untuk pelaku usaha pembuatan tahu adalah 327 orang. Adapun jumlah responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor setiap wilayah pelayanan (kecamatan) dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan wilayah pelayanan (kecamatan) di Kabupaten Bogor

Daerah

Pelaku usaha pembuatan tempe

Pelaku usaha pembuatan tahu Jumlah (orang) Presentase (%) Jumlah (orang) Presentase (%) Ciseeng 1 3.00 7 22.00 Parung 5 16.00 1 3.00 Cibinong 3 10.00 4 12.00 Citeureup 10 31.00 1 3.00 Bojonggede 2 6.00 1 3.00 Sukaraja 1 3.00 2 6.00 Ciawi Megamendung 1 3.00 2 6.00 Caringin Cijeruk 1 3.00 4 12.00 Tamansari 1 3.00 4 12.00 Leuwiliang 2 6.00 1 3.00 Ciampea 3 10.00 1 3.00 Cibungbulang 0 0.00 3 9.00 Jasinga 1 3.00 1 3.00 Dramaga 1 3.00 1 3.00 Total 32 100.00 33 100.00

Berdasarkan tabel jumlah responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor, dapat dilihat sebaran jumlah responden setiap wilayah pelayanan (kecamatan) yang dibandingkan dengan jumlah keseluruhan pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor. Hal tersebut dilakukan agar sebaran respondennya merata, karena di setiap wilayah pelayanan memiliki jumlah pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu yang berbeda-beda.

Jumlah responden pelaku usaha tempe terbanyak diambil dari wilayah pelayanan (kecamatan) Citeureup yaitu sejumlah sepuluh orang, karena jumlah pelaku usaha pembuatan tempe di wilayah tersebut memiliki jumlah terbanyak secara keseluruhan dibandingkan wilayah pelayanan lainnya. Cibungbulang merupakan wilayah pelayanan (kecamatan) yang tidak terdapat pelaku usaha pembuatan tempe karena pada wilayah pelayanan (kecamatan) tersebut hanya terdapat pelaku usaha pembuatan tahu saja. Jumlah responden pelaku usaha pembuatan tahu terbanyak diambil dari wilayah pelayanan (kecamatan) Ciseeng yaitu sejumlah tujuh orang. Rata-rata jumlah responden yang diambil setiap wilayah pelayanan (kecamatan) sekitar 1-5 orang untuk responden pelaku usaha pembuatan tempe dan 1-4 orang untuk responden pelaku usaha pembuatan tahu. Jenis Kelamin

Terdapat perbedaan yang cukup besar antara responden yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan. Jumlah responden untuk pelaku usaha pembuatan tempe di Kabupaten Bogor didominasi oleh laki-laki sisanya sebesar 19% adalah perempuan. Pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor

sebagian besar juga didominasi oleh laki-laki. Hal ini menunjukkan bahwa usaha pembuatan tempe dan tahu banyak dimiliki oleh pelaku usaha berjenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan. Jumlah responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan jenis kelamin

Jenis

Kelamin Pelaku usaha pembuatan tempe Pelaku usaha pembuatan tahu Jumlah (orang) Presentase (%) Jumlah (orang) Presentase (%) Laki-laki 26 81.00 27 82.00 Perempuan 6 19.00 6 18.00 Total 32 100.00 33 100.00

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Zimmerer dalam Alma Buchori (2009), laki-laki memiliki sekitar 2/3 dari semua bentuk usaha di Amerika. Hal tersebut memiliki kesamaan dengan hasil penelitian di lapang bahwa lebih dari 2/3 usaha pengolahan kedelai menjadi tempe dan tahu dimiliki oleh pelaku usaha laki-laki. Maka dari itu dapat diindikasikan bahwa pelaku usaha laki-laki lebih memiliki modernitas sikap kewirausahaan dalam menjalankan suatu usaha dibandingkan dengan perempuan.

Usia Responden

Berdasarkan hasil penelitian, dapat diketahui bahwa responden memiliki usia yang beragam. Sebanyak setengah dari jumlah keseluruhan pelaku usaha pembuatan tempe berada pada kisaran umur 41-50 tahun. Hanya sebagian kecil usaha tempe dimiliki oleh responden pada kisaran umur 20-30 tahun dan 51-60 tahun. Hal ini mengindikasikan bahwa usaha pembuatan tempe banyak dimiliki oleh pelaku usaha pada kisaran umur 41-50 tahun.

Pelaku usaha pembuatan tahu di Kabupaten Bogor memiliki umur yang beragam. Berbeda pada usaha pembuatan tempe, pelaku usaha pembuatan tahu sebagian besar memiliki umur 31-40 tahun dan 41-50 tahun. Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu dapat dilihat pada Tabel 11.

Menurut Parker dalam Casson et al. (2008) usia merupakan salah faktor yang mempengaruhi seseorang menjadi wirausaha. Hasil penelitiannya mengindikasikan bahwa seseorang memiliki sikap kewirausahaan dan cenderung menjadi wirausaha pada kisaran umur 30 tahun. Selain itu, menurut Alma Buchari (2008) sebagian besar wirausahawan berumur antara 22 sampai 55 tahun. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian di lapang, bahwa usaha pembuatan tempe dan tahu banyak dimiliki oleh pelaku usaha pada kisaran umur 31-40 dan 41-50. Maka dapat diindikasikan bahwa modernitas sikap kewirausahaan banyak dimiliki oleh pelaku usaha tempe dan tahu pada kisaran umur tersebut.

Tabel 11 Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan usia responden

Usia Pelaku usaha pembuatan tempe Pelaku usaha pembuatan tahu Jumlah (orang) Presentase (%) Jumlah (orang) Presentase (%)

20-30 2 6.00 4.00 12.00 31-40 12 38.00 9.00 28.00 41-50 16 50.00 9.00 28.00 51-60 2 6.00 7.00 21.00 61-70 0 0.00 3.00 9.00 71-80 0 0.00 1.00 2.00 Total 32 100.00 33 100 Pendidikan

Pendidikan yang pernah ditempuh oleh pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor diklasifikasikan menjadi tiga jenjang pendidikan yaitu SD, SMP, dan SMA. Berdasarkan penelitian di lapang, pelaku usaha pembuatan tempe hanya sebagian kecil berpendidikan lulusan SMA. Hal tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar pelaku usaha pembuatan tempe berpendidikan lulusan SD dan SMP.

Terdapat perbedaan dengan usaha pembuatan tempe, pelaku usaha pembuatan tahu sebagian besar berpendidikan SMP. Dibandingkan dengan pelaku usaha pembuatan tempe, pelaku usaha pembuatan tahu memiliki pendidikan lulusan SMP lebih banyak. Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan pendidikan dapat dilihat pada Tabel 12.

Tabel 12 Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan pendidikan

Pendidikan Pelaku usaha pembuatan tempe Pelaku usaha pembuatan tahu Jumlah (orang) Presentase (%) Jumlah (orang) Presentase (%)

SD 14 44.00 14 42.00

SMP 14 44.00 15 46.00

SMA 4 12.00 4 12.00

Total 32 100.00 33 100.00

Kim dalam Riyanti (2003) menyatakan bahwa pendidikan merupakan hal yang menyumbang pada keberhasilan usaha. Pelaku usaha yang memiliki pendidikan tinggi maka pelaku usaha tersebut memiliki sikap kewirausahaan yang akan berdampak pada keberhasilan dalam usaha. Responden pada penelitian ini memiliki tingkat pendidikan yang masih rendah. Pelaku usaha tempe dan tahu yang berpendidikan SMP diindikasikan lebih memiliki modernitas sikap kewirausahaan dibandingkan dengan pelaku usaha yang berpendidikan SD.

Karakteristik Usaha

Karakteristik usaha berisi mengenai gambaran umum tentang bisnis yang menjadi sampel dalam penelitian ini. Adapun karakteristik yang dibahas yaitu lama menjalankan usaha, jumlah tenaga kerja, dan bentuk usaha dari usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor.

Lama Menjalankan Usaha

Berdasarkan hasil penelitian, lama menjalankan usaha dari pelaku usaha pembuatan tempe didominasi oleh pelaku usaha yang telah menjalankan usahanya selama 10-20 tahun. Sebesar 31% responden telah menjalankan usahanya selama 21-30 tahun. Tidak ada responden yang menjalankan usaha pembuatan tempe lebih dari 40 tahun.

Lama menjalankan usaha dari pelaku usaha pembuatan tahu didapatkan hasil yang lebih beragam dibandingkan usaha dari pelaku usaha pembuatan tempe. Sebagian besar pelaku usaha pembuatan tahu menjalankan usahanya selama 10-20 tahun. Lama menjalankan usaha dari pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu memiliki kisaran waktu yang sama. Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu dapat dilihat pada Tabel 13.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Staw dalam Riyanti (2003), bertambahnya entrepreneurial age maka semakin banyak pengalaman di bidang usahanya yang didapatkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari setengah jumlah keseluruhan responden telah menjalankan usahanya selama 10-20 tahun. Hal tersebut mengindikasikan bahwa responden yang menjalankan usahanya selama 10-20 tahun lebih memiliki modernitas sikap kewirausahaan dibandingkan dengan responden yang telah menjalankan usahanya selama < 10 tahun.

Tabel 13 Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan lama menjalankan usaha

Lama menjalankan usaha (tahun)

Pelaku usaha pembuatan tempe

Pelaku usaha pembuatan tahu Jumlah (orang) Presentase (%) Jumlah (orang) Presentas e (%) <10 3 10.00 7 21.00 10-20 18 56.00 19 58.00 21-30 10 31.00 3 9.00 31-40 1 3.00 3 9.00 >40 0 0.00 1 3.00 Total 32 100.00 33 100.00

Jumlah Tenaga Kerja

Usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor pada umumnya memiliki minimal satu orang tenaga kerja. Pelaku usaha yang merupakan pemilik

usaha tersebut ikut serta dalam melakukan kegiatan usaha mulai dari produksi sampai dengan pemasaran.

Jumlah pekerja yang dipekerjakan oleh lebih dari setengah para pelaku usaha pembuatan tempe adalah 1-3 orang dan hanya sebagian kecil yang mempekerjakan 4-6 orang. Jumlah pekerja yang dipekerjakan pada usaha pembuatan tempe sedikit, karena proses pembuatan tempe tidak terlalu rumit dan membutuhkan banyak pekerja.

Hampir setengah dari jumlah keseluruhan pelaku usaha pembuatan tahu mempekerjakan tenaga kerja berjumlah 1-3 orang, jumlah tersebut lebih sedikit dibandingkan dengan yang dipekerjakan oleh pelaku usaha tempe. Jumlah tenaga kerja pada usaha pembuatan tahu lebih beragam. Berdasarkan hasil penelitian, jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan oleh pelaku usaha pembuatan tahu lebih banyak dibandingkan dengan pelaku usaha pembuatan tempe karena proses pembuatan tahu terdiri dari tahapan yang lebih banyak, sehingga membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak juga. Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tempe dan tahu berdasarkan jumlah tenaga kerja dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran responden pelaku usaha pembuatan tahu berdasarkan jumlah tenaga kerja

Jumlah Tenaga Kerja (orang)

Pelaku usaha pembuatan tempe

Pelaku usaha pembuatan tahu Jumlah (orang) Presentase (%) Jumlah (orang) Presentase (%) 1-3 23 72.00 15 46.00 4-6 9 28.00 14 39.00 7-9 0 0.00 4 12.00 10-12 0 0.00 1 3.00 Total 32 100.00 33 100.00

Berdasarkan hasil sebaran tersebut, mengindikasikan bahwa jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan mempengaruhi modernitas sikap kewirausahaan yang dimiliki oleh pelaku usaha tersebut. Jumlah tenaga kerja yang semakin banyak membutuhkan kemampuan kewirausahaan dalam mengelola yang lebih besar. Hasil penelitian mengiindikasikan semakin banyaknya jumlah tenaga kerja yang dipekerjakan maka pelaku usaha tersebut semakin dapat menerapkan modernitas sikap kewirausahaan. Modernitas sikap kewirausahaan dari pelaku usaha pembuatan tahu diduga lebih terlihat dibandingkan pada pelaku usaha pembuatan tempe.

Bentuk Usaha

Bentuk usaha yang dimiliki oleh pelaku usaha tempe maupun tahu di Kabupaten Bogor yang dijadikan sebagai responden penelitian ini adalah usaha perseorangan. Usaha perseorangan ini dimiliki oleh satu sampai dengan dua orang dalam satu usaha. Akan tetapi pada kondisi kenyataannya usaha pembuatan tempe dan tahu dimiliki oleh satu orang saja sebagai pemilik. Pelaku usaha tersebut juga ikut dalam melakukan kegiatan usaha mulai dari kegiatan produksi sampai dengan

pemasaran walaupun pelaku usaha tersebut memiliki tenaga kerja yang dipekerjakan.

Usaha pembuatan tempe dan tahu di Kabupaten Bogor pada umumnya tidak terlalu besar, hanya berskala usaha mikro dan kecil. Maka dari itu bentuk usahanya adalah usaha perseorangan karena pelaku usaha tersebut beranggapan lebih mudah dalam mengelolaannya. Berdasarkan hal tersebut, modernitas sikap kewirausahaan secara keseluruhan belum dapat terlihat pada diri pelaku usaha tempe dan tahu melihat bentuk usaha yang dijalankan merupakan bentuk usaha yang masih sederhana yaitu perseorangan.

Uji Validitas dan Reliabilitas Model

Model PLS yang digunakan dalam penelitian ini adalah model reflektif. Pengujian validitas dan reliabilitas dalam model reflektif dilakukan dalam tiga pengujian yaitu convergent validity, discriminant validity, composite reliability.

Convergent validity dari model pengukuran reflektif, indikator dinilai berdasarkan

item score atau component score dengan construct score yang dihitung dengan

PLS. Ukuran reflektif dikatakan tinggi apabila berkorelasi lebih dari 0.7 dengan konstruk yang ingin diukur. Namun untuk penelitian tahap awal dari pengembangan skala pengukuran outer loading 0.5 sampai dengan 0.6 dianggap cukup menurut Chin dalam Latan dan Ghozali (2012). Penelitian ini menggunakan ukuran reflektif 0.5 karena termasuk penelitian tahap awal.

Pada penelitian ini dibedakan antara modernitas kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tempe dengan pelaku usaha pembuatan tahu tetapi dengan indikator yang sama. Model pengukuran untuk pelaku usaha pembuatan tempe dapat dilihat pada Gambar 5.

Gambar 5 menunjukkan bahwa nilai outer loading yang dibawah 0.5 masih banyak. Maka untuk memenuhi convergent validity, nilai outer loading yang masih di bawah 0.5 dihilangkan. Outer loading untuk atribut modernitas sikap kewirausahaan dan keberhasilan usaha yang dihilangkan adalah X1 sebesar 0.220, X2 sebesar 0.075, X5 sebesar 0.374, dan X6 sebesar 0.000. Sedangkan

untuk atribut keberhasilan usaha yang memiliki nilai outer loading di bawah 0.5 adalah Y1 sebesar -0.319 maka atribut tersebut harus dihilangkan. Nilai outer

loading dari atribut modernitas sikap kewirausahaan dan keberhasilan usaha untuk

pelaku usaha pembuatan tempe dapat dilihat pada Lampiran 2.

Pelaku usaha pembuatan tahu memiliki model pengukuran yang dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6 Hasil model awal Smart PLS pelaku usaha pembuatan tahu Gambar 6 menunjukkan bahwa nilai outer loading masih ada yang dibawah 0.5. Maka untuk memenuhi convergent validity, nilai outer loading yang masih di bawah 0.5 dihilangkan. Outer loading untuk atribut modernitas sikap kewirausahaan dan keberhasilan usaha yang dihilangkan adalah X1 sebesar 0.475, X2 sebesar 0.002. Sedangkan untuk atribut keberhasilan usaha yang memiliki nilai

outer loading di bawah 0.5 adalah Y1 sebesar 0.278 maka atribut tersebut harus

dihilangkan. Nilai outer loading dari atribut modernitas sikap kewirausahaan dan keberhasilan usaha untuk pelaku usaha pembuatan tahu dapat dilihat pada Lampiran 2.

Goodness of Fit model tercapai setelah hasil outer loading di atas 0.5.

Model akhir pengukuran untuk pelaku usaha pembuatan tempe dapat dilihat pada Gambar 7. Model akhir pengukuran untuk pelaku usaha pembuatan tahu dapat dilihat pada Gambar 8

Syarat convergent validity telah terpenuhi, dilihat dari nilai outer loading di atas 0.5. Setelah itu, dilakukan pengujian discriminant validity yangdilihat dari nilai Average Varian Extracted (AVE) setiap variabel laten dengan korelasi antar variabel laten. Jika nilai akar kuadarat AVE setiap variabel laten lebih besar dibandingkan nilai korelasi antar variabel laten, maka dapat dikatakan nilai

discriminat validity baik (Fornell dan LarckerdalamLatan dan Ghozali 2012).

Model akhir pengukuran untuk pelaku usaha pembuatan tempe menghasilkan nilai akar AVE dari modernitas sikap kewirausahan dan keberhasilan usaha yang lebih besar dibandingkan nilai korelasi antara modernitas sikap kewirausahaan dengan keberhasilan usaha. Nilai akar AVE untuk modernitas sikap kewirausahaan 0.671 > 0.495, sedangkan untuk keberhasilan usaha yaitu 0.836 > 0.495. Maka dikatakan memenuhi discrimant validity (Lampiran 2). Sedangkan untuk model akhir pengukuran untuk pelaku usaha pembuatan tahu menghasilkan nilai akar AVE untuk modernitas sikap kewirausahaan 0.655 > 0.582 sedangkan untuk keberhasilan usaha yaitu 0.892 > 0.582, maka dikatakan memenuhi discrimant validity (Lampiran 2).

Uji reliabilitas konstruk dalam PLS dilihat dari nilai composite reliability di atas 0.7. Nilai yang didapatkan untuk pelaku usaha pembuatan tempe adalah 0.822 untuk modernitas sikap kewirausahaan dan 0.761 untuk keberhasilan usaha. Sedangkan nilai yang didapatkan untuk pelaku usaha pembuatan tahu adalah 0.812 untuk modernitas sikap kewirausahaan dan 0.817 untuk keberhasilan usaha (Lampiran 2).

Atribut Modernitas Sikap Kewirausahaan

Atribut modernitas sikap kewirausahaan merupakan atribut yang mencerminkan sikap kewirausahaan yang memiliki kesamaan konsep dengan ciri- ciri manusia modern. Atribut yang diukur adalah mengetahui prioritas utama, bersedia menanggung risiko, keinovatifan, kerja keras, menghargai waktu, motivasi berprestasi, percaya diri, dan tanggung jawab individual.

Atribut Modernitas Sikap Kewirausahaan Pelaku Usaha Pembuatan Tempe Penelitian ini menganalisis atribut modernitas sikap kewirausahaan yang terlihat pada para pelaku usaha pembuatan tempe di Kabupaten Bogor. Berdasarkan hasil olah data menggunakan PLS, dengan melihat nilai outer

loading didapatkan hasil bahwa atribut modernitas sikap kewirausahaan yang

terlihat pada pelaku usaha pembuatan tempe adalah keinovatifan, kerja keras, menghargai waktu, dan tanggung jawab individual. Sedangkan untuk atribut modernitas sikap kewirausahaan yang tidak terlihat pada diri pelaku usaha pembuatan tempe adalah mengetahui prioritas utama, bersedia menanggung risiko, motivasi berprestasi, dan percaya diri.

Atribut mengetahui prioritas utama tidak terlihat pada diri pelaku usaha tempe diduga karena responden memiliki kecenderungan sering mengalami kebingungan dalam menentukan keputusan dalam menjalankan usahanya. Sebagian besar pelaku berpendapat setuju akan menggunakan dana pinjaman untuk mengembangkan usahanya. Akan tetapi hal tersebut terkadang menjadi sebuah kebingungan karena pelaku usaha tempe juga ingin menggunakan dana pinjaman tersebut untuk membangun usaha baru.

Atribut bersedia menanggung risiko tidak terlihat pada diri pelaku usaha pembuatan tempe diduga karena kecenderungan responden untuk tidak mau mengambil risiko karena takut mengalami kerugian. Berdasarkan hasil penelitian, beberapa pelaku usaha pembuatan tempe berpendapat bahwa tidak akan mengambil risiko sama sekali karena hal tersebut merupakan jalan terbaik untuk melanjutkan usaha. Kesibukan pekerjaan pelaku usaha pembuatan tempe diindikasikan mendorong sikap responden untuk tidak mengambil risiko karena takut mengalami kerugian.

Atribut motivasi berprestasi pada pelaku usaha pembuatan tempe tidak terlihat diindikasikan karena responden tidak terlalu memiliki ambisi dalam menjalankan usahanya. Selain itu, hal tersebut diduga karena kurang adanya

reward yang diberikan kepada pelaku usaha pembuatan tempe apabila mencapai

suatu prestasi atau keberhasilan dari pemerintah. Maka dari itu motivasi berprestasi tidak terlihat pada diri pelaku usaha pembuatan tempe.

Atribut percaya diri tidak terlihat pada pelaku usaha pembuatan tempe. Berdasarkan penelitian di lapang, hal tersebut diindikasikan karena kecenderungan responden kurang memiliki keoptimisan ketika diberikan suatu kesempatan oleh orang lain untuk menjalankan usaha baru. Selain itu, percaya diri tidak terlihat pada pelaku usaha pembuatan tempe karena kecenderungan kurang memahami mengenai makna percaya diri yang diterapkan dalam menjalankan usaha. Beberapa pelaku usaha pembuatan tempe beranggapan bahwa terlalu percaya diri membuat individu bersifat sombong. Atribut modernitas sikap kewirausahaan yang terlihat pada diri pelaku usaha pembuatan tempe adalah sebagai berikut:

1) Keinovatifan

Atribut keinovatifan dari pelaku usaha tempe terlihat dari sikap responden yang terbuka dengan hal-hal yang baru, berusaha mencari tahu mengenai hal yang dianggap baru misalnya informasi termasuk isu-isu terkini dan teknologi. Sebesar 81.25% pelaku usaha pembuatan tempe rajin mencari informasi akan hal-hal baru khususnya yang berhubungan dengan usahanya. Informasi tersebut antara lain mengenai inovasi jenis produk tempe, kemasan tempe, dan cara pembuatan tempe.

Ketika pelaku usaha pembuatan tempe mendapatkan kesempatan dan bantuan dari stakeholder seperti pemerintah dan Dinas UMKM, pelaku usaha pembuatan tempe ingin memiliki brand dari produk tempe yang dijual. Sebesar 68.75% pelaku usaha pembuatan tempe ingin mengembangkan usaha tempenya dengan membuat kemasan yang disertai brand akan produk tempenya. Sehingga dengan adanya brand tersebut dapat meningkatkan nilai jual dari tempe. Selain itu, ketika pelaku usaha pembuatan tempe ingin memulai usaha dari awal, responden akan mencari informasi terlebih dahulu mengenai keuntungan dan kerugian dari usaha yang akan dijalankannya. Seluruh responden yaitu 100% pelaku usaha pembuatan tempe akan melakukan pencarian informasi terlebih dahulu sebelum memulai usahanya dengan menanyakan pada orang lain yang telah menjalankan usaha pembuatan tempe terlebih dahulu.

Berdasarkan penelitian di lapang, pada awalnya tempe yang dihasilkan dikemas dengan menggunakan daun pisang. Seiring berjalannya waktu, bentuk kemasan dari tempe berubah menggunakan plastik. Data di lapang menunjukkan bahwa sebanyak 29 orang pelaku usaha tempe sudah menggunakan plastik sebagai kemasan untuk tempe dan 3 orang masih mempertahankan menggunakan daun sebagai kemasan karena disesuaikan dengan permintaan konsumen. Perubahan bentuk kemasan tempe dari tempe dengan kemasan daun menjadi tempe dengan kemasan plastik merupakan salah satu bentuk inovasi yang terlihat pada diri pelaku usaha pembuatan tempe di Kabupaten Bogor.

Gambar 9 Tempe daun

Gambar 10 Tempe plastik

Variasi atau perubahan yang lain dilihat dari jenis tempe yang dihasilkan. Pada awalanya tempe yang dihasilkan adalah tempe putih, kemudian berkembang dan menciptakan variasi baru yaitu tempe kuning yang pada prosesnya ditambahkan kunyit. Hal tersebut merupakan salah satu bentuk inovasi yang dilakukan oleh pelaku usaha pembuatan tempe di Kabupaten Bogor.

Gambar 11 Tempe putih

Gambar 12 Tempe kuning

Berdasarkan hasil output PLS, nilai outer loading dari atribut keinovatifan sebesar 0.695 dengan t-value 6.918 dimana t-value lebih besar dari t-table (1.960). Artinya peningkatan modernitas sikap kewirausahaan pelaku usaha pembuatan tempe, menyebabkan atribut keinovatifan semakin meningkat dan terlihat karena korelasi yang didapatkan bernilai positif dilihat dari nilai outer loading.

2) Kerja Keras

Kerja keras merupakan atribut modernitas sikap kewirausahaan yang terlihat pada pelaku usaha pembuatan tempe. Hal tersebut terlihat ketika responden berpendapat bahwa dalam mencapai suatu tujuan dibutuhkan usaha yang keras tidak hanya mengandalkan keberuntungan dan nasib saja. Berdasarkan penelitian di lapang, sebesar 96.88% pelaku usaha pembuatan tempe beranggapan bahwa untuk mencapai keberhasilan usaha, yang diperlukan adalah kerja keras. Sebesar 93.75% pelaku usaha pembuatan tempe beranggapan bahwa apabila usaha responden suatu saat mengalami keterpurukan, maka yang dilakukan

Dokumen terkait