• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh data berupa kelangsungan hidup (%), laju pertumbuhan bobot harian (%), laju pertumbuhan panjang harian (%), serta data hasil pengamatan parameter fisika-kimia air selama pemeliharaan.

Kelangsungan Hidup

Tingkat kelangsungan hidup ikan lele yang dipelihara selama 42 hari berkisar 75,44% - 77,78%. Nilai tertinggi dicapai pada perlakuan P1 sebesar 81,75% dan nilai terendah pada perlakuan P3 75,44% dan P2 sebesar 77,78% atau untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4. Dari hasil analisis data (ANOVA) dan uji F, diperoleh hasil bahwa pada perlakuan 600 ekor/m³, 700 ekor/m³, dan 800 ekor/m³ tidak menunjukkan pengaruh nyata terhadap tingkat kelangsungan hidup ikan lele seperti pada Lampiran 4.

Gambar 3. Tingkat Kelangsungan Hidup Ikan Lele Pada Setiap Perlakuan dan Ulangan Selama Pengamatan.

81,75 77,78 75,44 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P1 P2 P3 T in gk at K el an gs u n gan Hi d u p ( % ) Perlakuan P1 P2 P3

Laju Pertumbuhan Bobot Harian

Laju pertumbuhan bobot harian atau laju pertumbuhan spesifik yang dii pelihara pada setiap tingkat kepadatan 600 ekor/m³, 700 ekor/m³, dan 800 ekor/m³ berturut-turut adalah 3,49%, 3,42% ,dan 3,25%. Laju pertumbuhan bobot harian pada perlakuan P1 menunjukkan nilai terbesar yaitu 3,49%. Sedangkan laju pertumbuhan bobot harian terendah terdapat pada perlakuan P3 yaitu 3,25% untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Laju Pertumbuhan Bobot Harian Ikan Lele Pada Setiap Perlakuan Selama Pengamatan.

Berdasarkan pengamatan dan sampling yang dilakukan setiap tujuh hari, peningkatan padat penebaran yang diberikan terhadap ikan lele mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan bobot harian ikan lele selama masa pemeliharaan 42 hari seperti Gambar 5 di bawah ini. Grafik menunjukkan pada setiap sampling dilakukan nilai bobot tertinggi diperoleh pada perlakuan 600 ekor/m³ kemudian diikuti perlakuan 700 ekor/m³ dan perlakuan 800 ekor/m³ yang memiliki bobot terendah. 3,49 3,42 3,25 0,00 0,50 1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 P1 P2 P3 L aj u P er tu m b u h an B ob ot Har ian ( % ) Perlakuan P1 P2 P3

Gambar 5. Pertumbuhan Bobot (gram) Ikan Lele yang dipelihara Pada Setiap Perlakuan Selama 42 Hari.

Dari hasil analisa data (ANOVA) dan uji F menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian atau pertumbuhan spesifik ikan lele dan berdasarkan uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) atau uji Tuckey dengan selang kepercayaan 95% untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Lampiran 5.

Laju Pertumbuhan Panjang Harian

Laju pertumbuhan panjang harian ikan lele yang dipelihara selama 42 hari pada setiap perlakuan 600 ekor/m³, 700 ekor/m³, 800 ekor/m³ berturut-turut adalah 1,21%, 1,18%, dan 1,10%. Laju pertumbuhan panjang harian tertinggi terdapat pada perlakuan 600 ekor/m³ yaitu sebesar 1,21% sedangkan laju pertumbuhan panjang harian terkecil terdapat pada perlakuan 800 ekor/m³ sebesar 1,10% seperti pada Gambar 6.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 0 7 14 21 28 35 42 B er a t ra ta -r a ta ( G ra m ) Hari P1 P2 P3

Gambar 6. Petumbuhan Panjang Harian Ikan Lele Pada Setiap Perlakuan Selama Pengamatan.

Berdasarkan pengamatan peningkatan padat penebaran yang diberikan terhadap ikan lele juga mengakibatkan penurunan laju pertumbuhan panjang harian ikan lele selama pemeliharaan 42 hari seperti pada Gambar 7. Grafik menunjukan pada setiap sampling dilakukan nilai panjang terbesar diperoleh pada perlakuan 600 ekor/m³ kemudian diikuti perlakuan 700 ekor/m³ dan perlakuan 800 ekor/m³ yang memiliki nilai panjang terendah.

Gambar 7. Pertumbuhan Panjang (cm) Ikan Lele yang dipelihara dengan

1,21 1,18 1,10 0,00 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 P1 P2 P3 L aj u P er tu m b u h an P an jan g Har ian (% ) Perlakuan P1 P2 P3 0 2 4 6 8 10 12 14 16 0 14 28 42 P a n ja n g r a ta -r a ta (c m) Hari P1 P2 P3

Dari hasil analisa data (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan panjang harian. Hasil dari uji lanjut Beda Nyata Terkecil (BNT) atau uji Tuckey pada selang kepercayaan 95% dapat dilihat pada Lampiran 6.

Kualitas Air

Terjadi penurunan beberapa parameter kualitas air seperti kandungan pH, amoniak, dan oksigen terlarut karena meningkatnya padat penebaran ikan lele dalam wadah pemeliharaan. Namun pada parameter kualitas air pH, suhu dan kadar amoniak adalah sama pada setiap perlakuan seperti Data kualitas air selama penelitian. Hal tersebut diatasi dengan menggunakan cara intensif, yang dilakukan dengan wadah indoor, kualitas air akan lebih mudah terkontrol, baik parameter fisika, biologi maupun kimia.

Data Kualitas Air Selama Penelitian

PERLAKUAN ULANGAN

PARAMETER KUALITAS AIR SUHU (0C) DO (mg/l) PH AMONIAK (mg/l) P1 1 25-30 5,08 6,6-7,4 0 – 0,03 2 25-30 5,08 6,6-7,4 0 - 0,03 3 25-30 5,08 6,6-7,4 0 - 0,03 P2 1 25-30 4,67 6,5-7,4 0 - 0,03 2 25-30 4,67 6,5-7,4 0 - 0,03 3 25-30 4,67 6,5-7,4 0 - 0,03 P3 1 25-30 4,26 6,4-7,4 0 – 0,06 2 25-30 4,26 6,4-7,4 0 – 0,06 3 25-30 4,26 6,4-7,4 0 – 0,06

Pembahasan

Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu (Effendie, 2002). Berdasarkan hasil analisi sidik ragam (ANOVA) diperoleh bahwa padat tebar ikan lele 600 ekor/m³, 700 ekor/m³, dan 800 ekor/m³ yang dipelihara selama 42 hari memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian, serta memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan lele. Dengan demikian, adanya peningkatan padat tebar tinggi hingga perlakuan 800 ekor/m³ telah menurunkan laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian ikan lele. Hal ini terjadi karena perlakuan pada padat tebar tertinggi telah melampaui daya dukung perairan. Menurut Solehudin (2006) daya dukung

carrying capacity merupakan kemampuan suatu perairan untuk dapat mendukung kehidupan biota dalam perairan tersebut tanpa menambah atau mengurangi biomassanya.

Hal ini di karenakan pertumbuhan panjang berhubungan dengan pertumbuhan tulang. Diduga pengaruh terhadap panjang sudah terjadi pada awal pemeliharaan karena adanya perbedaan kepadatan. Ruang gerak ikan yang semakin sempit dalam suatu wadah dapat menyebabkan pertumbuhan ikan menjadi terganggu (Effendi, 1997).

Semakin tinggi kepadatan pada setiap perlakuan mengakibatkan semakin rendahnya pertumbuhan panjang individu benih ikan lele. Pada minggu pertama pemeliharaan, padat tebar tinggi tidak diimbangi dengan pertumbuhan daging. Hal ini diduga karena ikan belum mampu memanfaatkan pakan dengan baik. Pertambahan berat selama 7 hari pemeliharaan pada padat tebar tertinggi (800

ekor/m³) hanya mencapai 0,7 gram dari berat rata-rata penebaran awal 1,2 gram, sedangkan pada padat tebar terendah (600 ekor/m³) menghasilkan pertambahan berat mencapai 1gram. Pada periode selanjutnya, pertambahan bobot ikan meningkat karena adanya kematian pada fase tersebut sehingga pertumbuhan daging pada ikan dapat memperbaiki pertumbuhan berat secara keseluruhan yang pada akhirnya tidak terjadi pertumbuhan panjang. Biomassa ikan semakin meningkat dengan meningkatnya padat penebaran dengan sistem padat tebar tinggi sehingga jumlah buangan metabolit ikan pada kepadatan tinggi juga semakin meningkat. Namun peningkatan biomassa tidak mengakibatkan penurunan kualitas air.

Selama masa pemeliharaan, berat dan panjang benih ikan lele menunjukkan peningkatan untuk setiap kepadatan (Gambar 4 dan Gambar 6). Pada saat penebaran berat rata-rata benih adalah 1,2 gram, setelah mengalami pemeliharaan selama 42 hari bertambah menjadi 39 gram – 41,86 gram. Demikian pula panjang mengalami peningkatan, pada saat penebaran 5 cm setelah 42 hari menjadi 13,14 – 14,50 cm.

Laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian tertinggi terdapat pada perlakuan 600 ekor/m³ yaitu berturut-turut 3,49% dan 1,21%. Sedangkan laju pertumbuhan bobot harian dan laju pertumbuhan panjang harian terendah terdapat pada perlakuan 800 ekor/m³ yaitu berturut-turut 3,25% dan 1,10%. Berdasarkan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) atau uji Tuckey pada selang kepercayaan 95% menunjukkan bahwa perlakuan 600 ekor/m³ berbeda nyata dengan perlakuan 800 ekor/m³. Pertambahan bobot ikan lele diringi

dengan pertambahan panjang ikan tersebut atau laju pertumbuhan bobot harian berbanding lurus dengan laju pertumbuhan panjang harian ikan lele.

Penurunan laju pertumbuhan bobot harian dan pertumbuhan panjang terjadi akibat terganggunya proses fisiologi ikan akibat ruang gerak yang tidak mendukung terhadap pertumbuhan ikan lele. Berdasarkan pengamatan selama pemeliharaan, ikan lele adalah ikan yang yang terus bergerak aktif di dalam wadah pemeliharaan. Diduga ruang gerak yang terbatas mengakibatkan ikan menjadi lebih mudah stres sehingga energi yang dihasilkan dari proses metabolisme yang digunakan untuk pertumbuhan digunakan untuk mempertahankan diri dari dari stres. Hal tersebut sesuai pendapat Cholik, dkk (1990) dalam Nurlaela, dkk (2010) yang menyatakan bahwa padat penebaran tinggi akan mempengaruhi kompetisi ruang gerak dan kondisi lingkungan yang kemudian akan mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup menciri pada produksi.

Ikan tumbuh karena keberhasilan dalam mendapatkan makanan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa pertumbuhan ikan dipengaruhi oleh dua faktor yaitu faktor dalam dan faktor luar. Faktor dalam umumnya adalah faktor yang sukar dikontrol seperti sifat genetik, umur dan jenis kelamin, sedangkan faktor luar adalah makanan dan kualitas perairan. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Effendi (1997). Jumlah pakan yang diberikan pada setiap perlakuan adalah sama atau homogen yaitu 5% dari bobot tubuh ikan lele setiap harinya. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Liviawaty dan Afrianto (1990) yang menyatakan bahwa jumlah pakan yang umum diberikan bagi ikan lele 3-5% dari bobot tubuh. Pertumbuhan akan semakin cepat jika makanan yang diberikan sesuai dengan

kebutuhan ikan, sedangkan jika pakan diberikan secara berlebihan kedalam wadah pemeliharaan akan mengakibatkan penurunan kualitas air.

Sehingga upaya pemanfaatan pakan yang diberikan juga harus optimal dan benih ikan lele juga mengalami peningkatan pertumbuhan. Akan tetapi, perbedaan padat penebaran ikan ternyata tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap laju pertumbuhan pada masing-masing tingkat kepadatan. Tidak adanya perbedaan yang spesifik memperlihatkan bahwa selama pemeliharaan kebutuhan ikan akan pakan dan lingkungan terpenuhi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Hepher (1978) yang menyatakan bahwa intensifikasi budidaya dapat berhasil tanpa menurunkan laju pertumbuhan apabila dilakukan pengawasan terhadap tiga faktor lingkungan yaitu suhu,pakan dan suplai oksigen.

Kandungan gizi dalam pakan juga akan mempengaruhi pertumbuhan ikan. Pakan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pakan buatan yang biasanya digunakan oleh pembudidaya bagi pakan ikan lele. Pakan yang diberikan adalah pakan dari jenis dan merk dagang yang sama pada setiap perlakuan.

Tingkat kelangsungan hidup, hasil analisis sidik ragam (ANOVA) menunjukkan bahwa perlakuan padat tebar ikan lele hingga kepadatan 800 ekor/m³ tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup ikan lele. Tingkat kelangsungan hidup ikan lele selama masa pemeliharaan berkisar antara 81,75%, 77,78% dan 75,44%. Hal ini diduga akibat kualitas air media pemeliharaan masih dalam kategori yang layak untuk menunjang pemeliharaan ikan lele. Menurut Stickney (1993) , konsentrasi oksigen yang baik untuk ikan lele tidak boleh kurang dari 3mg/l. Oksigen yang rendah umumnya diikuti dengan meningkatnya amonia dan karbondioksida di air yang menyebabkan proses

nitrifikasi menajdi terhambat sehingga menganggu kelangsungan hidup ikan. Peningkatan kepadatan berpengaruh nyata terhadap kelangsungan hidup.

Selama penelitian pemeliharaan ikan lele telah terjadi kematian pada beberapa ekor ikan pada hampir seluruh perlakuan yang mengakibatkan terjadinya penurunan tingkat kelangsungan hidup benih ikan lele pada masing-masing tingkat kepadatan. Rata-rata tingkat kelangsungan hidup paling tinggi dicapai pada padat penebaran 600 ekor/m³ yang mencapai 81,75%. Setiap peningkatan padat penebaran mengalami penurunan tingkat kelangsungan hidup yaitu pada padat penebaran 700 ekor/m³ sebesar 77,78% dan padat tebar 800 ekor/m³ sebesar 75,44% (Gambar 4). Serupa dengan penelitian yang dilakukan oleh Allen (1974) bahwa penigkatan kepadatan ikan akan menyebabkan menurunya kelangsungan hidup ikan. Tingkat kematian yang tinggi umumnya terjadi pada minggu kedua dan ketiga pemeliharaan.

Tingkat kelangsungan hidup ikan lele selama penelitian sangat berkaitan dengan tingkat kualitas air, dimana dapat kita lihat dari data pengukuran kualitas air menunjukkan tingkat amoniak diperairan pada Tabel 1 tertinggi pada perlakuan 800 ekor/m³ antara 0 – 0.06 mg/l , pada 600 ekor/m³ dan 700 ekor/m³ antara 0 – 0.03 mg/l. Dari hasil tingkat amoniak diperairan dapat juga dilihat tingkat kelangsungan hidup diamana pada 800 ekor/m³ dengan tingkat amoniak yang tinggi menunjukkan tingkat kelangsungan hidup sebesar 75,44% dan merupakan nilai yang terkecil jika dibandingkan dengan perlakuan 600 ekor/m³ dan 700 ekor/m³.

Kualitas air selama penelitian menunjukkan pengaruh yang sangat besar terhadap laju pertumbuhan dan kelangsungan hidup pada ikan mulai dari awal

penelitian sampai dengan selesai. Pengaruh tersebut nampak pada pengukuran minggu ke 2 atau hari ke 14 di mana penambahan bobot ikan sudah nampak berbeda antara perlakauan 600 ekor/m³ dengan 800 ekor/m³ tetapi pada perlakuan 700 ekor/m³ tidak berbeda dengan 600 ekor/m³.

Dalam pertumbuhan ikan selama penelitan dapat dilihat pengaruh nampak nyata yang dimulai pada minggu ke 2 sampai dengan minggu ke 5 dengan nilai p<0.05 dalam pertambahan bobot ikan. Sedangkan pada pertambahan panjang pertumbuhan mulai nampak berbeda pada minggu 4 dan pada minggu berikutnya tidak ada perbedaan. Pertumbuahan ikan selama penelitan sangat dipengaruhi oleh faktor dalam dan faktor luar. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2002) menyatakan Pertumbuhan adalah pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi adalah pertambahan jumlah..

Laju pertumbuhan bobot ikan pada 600 ekor/m³, 700 ekor/m³, dan 800 ekor/m³ nampak berbeda pada minggu ke 3 dimana pertambahan bobot yang paling terlihat meningkat pada perlakuan 700 ekor/m³ dengan berat rata-rata 15.85 gram. Sedangkan pada 600 ekor/m³ dan 800 ekor/m³ pertambahan bobot sebesar 13.13 gram dan 12.5 gram. Pertambahan ukuran panjang ikan yang diukur selama 2 minggu sekali terlihat 600 ekor/m³, 700 ekor/m³ dan 800 ekor/m³ relatif sama dan tidak nampak berbeda dengan ukuran panjang ikan.

Tingkat mortalitas atau kematian pada ikan selama penelitian disebabkan oleh kualitas air, tingkat stres pada ikan dan terjadi kanibalisme pada ikan itu sendiri. Sehingga dapat dilihat diakhir penelitian ikan yang bertahan hidup merupakan ikan yang dapat bertahan pada kondisi lingkungan yang memiliki

kadar amoniak sebesar 0 – 0,06 mg/l, dengan kadar oksigen terlarut rata-rata 4,2 – 7,0 mg/l.

Parameter DO, pH, dan amoniak terjadi penurunan disetiap perlakuan padat penebaran atau dapat dilihat pada data kualitas air. Berdasarkan pengukuran kualitas air media pemeliharaan, nilai DO selama pemeliharaan berkisar antara 4,26 - 7,0 mg/l,nilai pH berkisar antara 6,4 - 7,4 dan nilai amoniak berkisar 0,03 – 0,06 mg/l. Nilai DO pada perlakuan 600 ekor/m³ 5.08 mg/l, 700 ekor/m³ 4,67 mg/l dan 800 ekor/m³ 4,26 mg/l. Nilai DO terendah yaitu 4,26 mg/l terdapat pada perlakuan P3 dan terjadi pada minggu terakhir pengamatan. Demikian halnya terhadap nilai pH, nilai tertinggi 7,4 hanya terdapat pada awal penelitian kemudian turun hingga 6,4. Hasil pengukuran nilai pH pada setiap perlakuan adalah sama. Hal ini disebabkan kondisi ruangan dan air di akuarium sebagai wadah pemeliharaan tidak adanya pergantian air dan alat bantu selama penelitian berlangsung antara satu dengan yang lain yang mengakibatkan memungkinkan air sebagai media pemeliharaan dari setiap perlakuan sama dengan lainnya. .

Pada parameter amoniak terjadi peningkatan nilai. Nilai terendah hanya terdapat pada awal penelitian kemudian terus meningkat hingga 0,06 mg/l dan terjadi pada perlakuan 800 ekor/m³ sedangkan pada 600 ekor/m³ dan 700 ekor/m³ nilai amoniak sebesar 0,03 mg/l pada akhir pemeliharaan. Hasil pengukuran parameter amoniak juga menunjukkan kadar amoniak dari setiap perlakuan selama pemeliharaan adalah berbeda dimana perlakuan 800 ekor/m³ lebih tinggi dibandingkan dengan 600 ekor/m³ dan 800 ekor/m³ yang memiliki nilai amoniak yang sama dapat dilihat pada Lampiran 7.

Hasil pengukuran suhu selama pemeliharaan pada kisaran 25 OC - 30OC. Pada parameter suhu mengalami fluktuasi yang berubah-ubah sesuai dengan kondisi lingkungan dan cuaca. Namun tidak ada perubahan suhu secara drastis selama pemeliharaan. Hal tersebut disebabkan pemeliharaan dilakukan dalam ruangan tertutup atau pada lingkungan yang terkontrol. Hasil pengukuran suhu juga menunjukkan nilai suhu setiap perlakuan adalah sama. Suhu juga merupakan salah satu parameter yang mentukan keberhasilan budidaya ikan lele, hal ini disebakan karena ikan merupakan hewan berdarah dingin. Yang dimaksud dengan hewan berdarah dingin adalah hewan yang suhu tubuhnya dipengaruhi oleh suhu lingkungan. Suhu yang tinggi juga dapat menyebabkan meningkatnya proses metabolisme ikan lele yang meningkatkan intensitas pembuangan kotoran sehingga kandungan oksigen menurun.

Kotoran dari ikan lele akan diuraikan oleh bakteri nitrosomonas menjadi nitrit, dimana prosesnya membutuhkan oksigen sehingga dapat menurunkan kadar okisigen terlarut (DO) di dalam air media pemeliharaan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Liviawaty dan Afrianto (1990) yang menyatakan pencemaran air dari hasil eksresi (proses pengeluaran zat yang tidak digunakan oleh tubuh) dapat menurunkan kualitas air. Hal serupa juga dikatakan oleh Sitanggang dan Iskandar (2003) yang menyatakan bahwa menurunnya kandungan oksigen di dalam air bisa disebabkan meningkatnya amoniak yang terdekomposisi menjadi nitrit.

Adanya bakteri nitrosomonas di dalam air mengubah amoniak menjadi nitrit (NO2). Selain disebabkan oleh amoniak penurunan kadar oksigen juga disebabkan oleh proses repirasi dari ikan lele tersebut. Perlakuan padat tebar yang berbeda juga mengakibatkan kebutuhan oksigen di setiap wadah pemeliharaan

berbeda-beda pula. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Irliyandi (2008) yang menyatakan pada kepadatan tinggi kandungan oksigen akan berkurang karena meningkatnya proses respirasi dan oksidasi bahan organik. Padat penebaran yang tinggi mengakibatkan tingkat respirasi yang tinggi dan menghasilkan CO2.

Kualitas air media budidaya dipengaruhi oleh kandungan amoniak di dalamnya. Penurunan kualitas air hingga berada dibawah batas layak bagi budidaya ikan lele, akan menyebabkan ikan lele stres yang kemudian dapat menggangu laju pertumbuhan ikan lele. Penurunan kualitas air juga dapat diakibatkan karena jumlah pakan yang diberikan berlebih kedalam wadah budidaya sehingga mengakibatkan pakan tersisa dan tidak termakan oleh ikan.

Sumpeno (2005) meningkatnya konsentrasi amoniak selain disebabkan oleh semakin tingginya padat penebaran, juga dipengaruhi oleh waktu (masa) pemeliharaan sampai dengan periode tertentu. Sedangkan menurut Barus (2004) keseimbangan ammonium dan amoniak di dalam air dipengaruhi oleh nilai pH air. Semakin tinggi nilai pH akan menyebabkan meningkatnya konsentrasi amoniak yang bersifat toksik bagi perairan.

Dalam menentukan padat tebar ikan lele dapat terlihat bahwa perlakuan padat tebar 600 ekor/m3 merupakan yang paling baik sebesar 81.75% jika dibandingkan dengan perlakuan 700 ekor/m³ dan 800 ekor/m³. Dari padat tebar dapat juga terliahat ukuran yang dihasilkan dimana pada perlakuan 600 ekor/m³ memilki ukuran yang paling tinggi, sehingga perlakuan P1 yang paling bagus.

Menurut Wedemeyer (1996), padat penebaran yang sangat tinggi bahkan melebihi batas toleransi dapat berpengaruh buruk terhadap kesehatan dan fisiologi ikan. Oleh karena itu, agar hal tersebut tidak terjadi maka peningkatan padat

penebaran terutama pada budidaya intensif, harus diimbangi dengan pemberian pakan berkualitas dengan kuantitas yang cukup dan fisika-kimia air yang terkontrol.

Padat tebar tinggi juga berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan mortalitas serta tingkah laku fisiologi ikan dimana dengan ukuran atau jumlah air dalam akuarium menentukan berapa ekor/m3 ikan dapat diletakkan. Dalam penelitian ini jumlah ikan yang dapat diletakkan di akuarium pada sebanyak 600 ekor/m3, P2 sebanyak 700 ekor/m3 dan P3 sebanyak 800 ekor/m3. P1 merupakan ukuran yang paling bagus dikarnakan tingkat mortalitas yang kecil dan pertumbuhan yang meningkat.

Menurut Bardach dkk (1972) tingkat padat penebaran akan mempengaruhi keagresifan ikan. Ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang rendah akan lebih agresif, sedang ikan yang dipelihara dalam kepadatan yang tinggi akan lambat pertumbuhannya karena tingginya tingkat kompetisi dan banyaknya sisa-sisa metabolisme yang terakumulasi dalam media air.

Sesuai dengan penelitian Suresh dan Lin (1992) bahwa kualitas air menurun seiring peningkatan padat tebar yang diikuti dengan penurunan tingkat pertumbuhan. Namun jika kondisi lingkungan dapat dipertahankan dengan baik dan pemberian pakan yang cukup, kepadatan ikan yang tinggi akan meningkatkan produksi. Padat penebaran tinggi sangat mempengaruhi pertumbuhan, kelangsungan hidup, dan efisiensi pakan.

Dokumen terkait