• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis data dan statistik menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap parameter persentase daya kecambah, tinggi tanaman, jumlah tangkai daun, berat kering tajuk, berat basah akar dan berat kering akar, akan tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap berat basah tajuk.

Persentase Daya Kecambah (%)

Hasil pengamatan dan sidik ragam pada lampiran 1 sampai 6 dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap persentase daya kecambah 8, 9, 10 hari setelah tanam (HST).

Data persentase daya kecambah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Rataan persentase daya kecambah pada perlakuan pematahan dormansi 8, 9, 10 hari setelah tanam (HST)

Perlakuan Persentase daya kecambah (%) pada umur (HST)

8 9 10

A0 5,00c 16,33c 18,33c

A1 13,33bc 21,67c 31,33c

A2 42,00a 64,33a 74,33a

A3 30,00ab 39,33b 57,00ab

BNJ 23,95 16,68 25,41

Keterangan: Data yang diikuti notasi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata

jujur (BNJ) α = 0,05 (atau 5 %)

Dari Tabel 1 dapat dilihat bahwa persentase daya kecambah tertinggi pada pengamatan 10 hari setelah tanam (HST) pada perlakuan pematahan dormansi terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit biji) yaitu 74,33% dan persentase daya kecambah terendah pada perlakuan A0 (Kontrol) yaitu 18,33%.

0.00 10.00 20.00 30.00 40.00 50.00 60.00 70.00 80.00 8 HST 9 HST 10 HST P e rs en ta se D aya K eca m b a h (% ) A0 A1 A2 A3

Histogram persentase daya kecambah terhadap perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 1.

Gambar 1. Perbedaan persentase daya kecambah terhadap pengaruh pematahan dormansi

Panjang Sulur (cm)

Hasil pengamatan dan sidik ragam dapat dilihat pada lampiran 7 sampai 26, dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap parameter tinggi tanaman 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 minggu setelah tanam (MST), tetapi berpengaruh tidak nyata pada pengamatan 10 MST.

Data panjang sulur pada perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan panjang sulur pada perlakuan pematahan dormansi 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 minggu setelah tanam (MST)

Perlakuan Panjang sulur (cm) Minggu setelah tanam (MST)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 A0 1,65b 2,29c 3,76c 5,58c 6,58d 7,66d 8,62d 8,34cd 10,82d 14,37 A1 1,59b 3,18bc 4,65c 6,63c 9,59c 12,96c 15,89c 19,22bc 20,24c 26,51 A2 2,78a 5,88a 8,83a 12,60a 16,08a 19,05a 32,76a 45,84a 60,17a 76,96 A3 1,88b 4,17b 6,54b 9,47b 13,02b 16,14b 22,37b 28,78b 34,81b 44,39 BNJ 0,77 1,45 1,44 1,34 1,49 2,56 4,95 12,39 1,53 23,34

Dari Tabel 2 dapat dilihat bahwa panjang sulur tertinggi dari empat perlakuan pematahan dormansi pada pengamatan 10 MST terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit biji) yaitu 76,96 cm dan panjang sulur terendah pada perlakuan A0 (Kontrol) yaitu 14,34 cm.

Histogram panjang sulur karena pengaruh pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Perbedaan panjang sulur M. bracteata terhadap perlakuan pematahan dormansi

Jumlah Tangkai Daun (Tangkai)

Hasil pengamatan dan sidik ragam jumlah tangkai daun dapat dilihat pada lampiran 27 sampai 44, dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap jumlah tangkai daun 2, 3, 4, 5, 7, 8 dan 10 mingu setelah tanam (MST) tetapi berpengaruh tidak nyata pada pengamatan 6 dan 9 minggu setelah tanam (MST).

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 2 MST 3 MST 4 MST 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST 9 MST 10 MST Ju m lah T a n g kai D a u n (T an g kai ) A0 A1 A2 A3

Data jumlah tangkai daun pada perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan jumlah tangkai daun pada perlakuan pematahan dormansi Perlakuan Jumlah tangkai daun (Tangkai)

Minggu setelah tanam (MST)

2 3 4 5 6 7 8 9 10

A0 1,00d 1,83ab 2,00c 2,17c 2,75 2,58b 2,67b 1,94 4,25c A1 1,33c 1,33c 2,50c 3,33a 3,33 3,17ab 3,00ab 2,01 4,17cd A2 2,00a 2,00a 2,17c 2,75abc 3,08 4,42a 4,67a 2,20 6,50a A3 1,58b 2,00a 2,75ab 3,25ab 3,25 3,83ab 3,92ab 2,05 6,25b BNJ 0,24 0,31 0,54 1,07 1,23 1,64 2,03 0,56 0,36

Keterangan: Data yang diikuti notasi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata

jujur (BNJ) α = 0,05 (atau 5 %)

Dari Tabel 3 dapat dilihat bahwa dari empat perlakuan pematahan dormansi parameter jumlah tangkai daun tertinggi pada pengamatan 10 MST terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit biji) yaitu 6,50 dan jumlah tangkai daun terendah pada perlakuan A1 (Perendaman air panas) yaitu 4,17.

Histogram jumlah tangkai daun karena pengaruh pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 5.

Gambar 5. Perbedaan jumlah tangkai daun M. bracteata terhadap perlakuan pematahan dormansi

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00

Kontrol Perendaman Air

panas Pengguntingan Kulit Biji Perendaman Asam Sulfat Perlakuan Berat Bas a h T a ju k ( g )

Berat Basah Tajuk (g)

Hasil pengamatan dan sidik ragam berat basah tajuk dapat dilihat lampiran 45 sampai 46, dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh tidak nyata terhadap berat basah tajuk.

Data berat basah tajuk pada perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan berat basah tajuk pada perlakuan pematahan dormansi

Perlakuan

Berat basah tajuk (g)

Rataan Blok 1 2 3 A0 3,68 3,53 3,90 3,70 A1 7,03 7,20 7,58 7,27 A2 10,98 10,63 12,43 11,35 A3 8,83 9,18 9,50 9,17

Histogram berat basah tajuk terhadap pengaruh pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 7.

Berat Kering Tajuk (g)

Hasil pengamatan dan sidik ragam berat kering tajuk dapat dilihat pada lampiran 47 sampai 48, dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap berat kering tajuk.

0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00

Kontrol Perendaman Air panas Pengguntingan Kulit Biji Perendaman Asam Sulfat Perlakuan Be ra t Ke ri ng Ta ju k ( g )

Data berat kering tajuk pada perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Berat kering tajuk pada perlakuan pematahan dormansi

Perlakuan

Berat kering tajuk (g)

Rataan Blok 1 2 3 A0 2,25 2,20 2,35 2,27d A1 5,00 4,70 5,00 4,90c A2 7,68 7,85 9,53 8,35a A3 5,43 5,90 6,23 5,85b BNJ 0.21

Keterangan: Data yang diikuti notasi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata

jujur (BNJ) α = 0,05 (atau 5 %)

Dari Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi pada parameter berat kering tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit biji) yaitu 8,35 g dan berat kering tajuk terendah pada perlakuan A0 (Kontrol) yaitu 2,27 g.

Histogram berat kering tajuk terhadap pengaruh pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 7.

Gambar 7. Perbedaan berat kering tajuk M. bracteata pada perlakuan pematahan dormansi

Berat Basah Akar (g)

Hasil pengamatan dan sidik ragam berat basah akar dapat dilihat pada lampiran 49 sampai 50, dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap berat basah akar.

Data berat basah akar pada perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada Tabel 6.

Tabel 6. Rataan berat basah akar pada perlakuan pematahan dormansi

Perlakuan

Berat basah akar (g)

Rataan Blok 1 2 3 A0 0,88 0,73 0,70 0,77c A1 1,78 0,90 0,90 1,19bc A2 3,73 1,85 3,20 2,93a A3 1,73 3,20 2,03 2,32b BNJ 0,62

Keterangan: Data yang diikuti notasi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata

jujur (BNJ) α = 0,05 (atau 5 %)

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi pada parameter berat basah akar tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit biji) yaitu 2,93 g dan berat basah akar terendah pada perlakuan A0 (Kontrol) yaitu 0,77 g.

0.00 0.50 1.00 1.50 2.00 2.50 3.00 3.50

Kontrol Perendaman Air

panas Pengguntingan Kulit Biji Perendaman Asam Sulf at Perlakuan B er at B asa h A kar ( g )

Histogram berat basah akar terhadap pengaruh pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 8.

Gambar 8. Perbedaan berat basah akar M. bracteata pada perlakuan pematahan dormansi

Berat Kering Akar (g)

Hasil pengamatan dan sidik ragam berat kering akar dapat dilihat pada lampiran 51 sampai 52, dari sidik ragam dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap berat kering akar.

Data berat kering akar pada perlakuan pematahan dormansi dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan berat kering akar pada perlakuan pematahan dormansi

Perlakuan

Berat kering akar (g)

Rataan Blok 1 2 3 A0 0,20 0,38 0,30 0,29c A1 0,38 0,35 0,40 0,38c A2 1,10 1,38 1,45 1,31a A3 0,58 0,90 0,68 0,72b BNJ 0,11

Keterangan: Data yang diikuti notasi yang sama tidak berbeda nyata berdasarkan uji beda nyata α

0.000 0.200 0.400 0.600 0.800 1.000 1.200 1.400 Kontrol Perendaman Air panas Pengguntingan Kulit Biji Perendaman Asam Sulfat Perlakuan Ber a t Ke ri n g Ak a r ( g )

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan pematahan dormansi pada parameter berat kering akar tertinggi terdapat pada perlakuan A2 (Pengguntingan kulit biji) yaitu 1,31 g dan berat kering akar terendah pada perlakuan A0 (Kontrol) yaitu 0,29 g.

Histogram berat kering akar terhadap pengaruh pematahan dormansi dapat dilihat pada gambar 9.

Gambar 8. Perbedaan berat basah akar M. bracteata pada perlakuan pematahan dormansi

Pembahasan

Hasil analisis data menunjukkan bahwa perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap parameter persentase daya kecambah, panjang sulur, jumlah tangkai daun, berat kering tajuk, berat basah akar dan berat kering akar, tetapi berpengaruh tidak nyata terhadap berat basah tajuk.

Pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap persentase daya kecambah hal ini dikarenakan perlakuan pematahan dormansi dapat meningkatkan perkecambahan biji. Persentase perkecambahan tertinggi pada pengamatan 10 hari setelah tanam terdapat pada perlakuan pemotongan kulit biji (A2) yaitu 74,33%. Hal ini sesuai dengan Kartasapoetra (2003) bahwa dormansi dapat diatasi dengan perlakuan pemarutan atau penggoresan (skarifikasi) yaitu dengan cara menghaluskan kulit benih ataupun menggores kulit benih agar dapat menyerap air dan udara. Hal ini juga sesuai dengan Harahap dan Subronto (2004) bahwa dalam perbanyakan Mucuna bracteata secara generatif hampir tidak menyesuaikan waktu tanam, untuk itu perbanyakan secara generatif atau biji dapat dilakukan hanya saja perlu dilakukan tindakan perlakuan pada biji antara lain dengan mempercepat masa dormansi biji. Perlakuan pematahan dormansi dapat dilakukan dengan mekanis (skarifikasi atau pengguntingan kulit) dan kimiawi dengan cara penggunaan larutan asam sulfat pekat H2SO4 dengan konsentrasi 85%.

Hasil analisis data diperoleh persentase daya kecambah tergolong rendah pada pengamatan 10 hari setelah tanam pada perlakuan kontrol (A0) yaitu 18,33%.

adanya proses imbibisi air yang disebabkan oleh struktur benih (kulit benih) yang keras, sehingga mempersulit keluar masuknya air ke dalam benih dan tidak terjadinya respirasi yang tertukar, karena adanya membran atau pericarp dalam kulit benih yang terlalu keras, sehingga pertukaran udara dalam benih menjadi terhambat dan menyebabkan rendahnya proses metabolisme dan mobilisasi cadangan makanan dalam benih. Hal ini sesuai dengan Wirawan dan Wahyuni (2002) bahwa kulit benih yang keras menjadi penghalang masuknya air atau gas ke dalam benih dalam proses perkecambahan sehingga proses perkecambahan tidak terjadi. Selain itu, kulit benih juga menjadi penghalang munculnya kecambah pada proses perkecambahan. Hal ini sesuai dengan Sutopo (2002) bahwa tahap pertama suatu perkecambahan benih dimulai dengan proses penyerapan air, melunaknya kulit benih dan hidrasi dari protoplasma.

Hasil analisis data diperoleh persentase daya kecambah tertinggi pada pengamatan 10 hari setelah tanam pada perlakuan perendaman air panas (A1) masih tergolong rendah yaitu 31,33%. Hal ini diduga karena faktor pemberian air panas kurang efektif sehingga kulit luar belum cukup lunak untuk dapat ditembus oleh air, Kulit biji yang impermeabel menyebabkan air dan oksigen tidak dapat masuk ke dalam biji dan merangsang embrio untuk tumbuh. Hal ini sesuai dengan

Wirawan dan Wahyuni (2002) bahwa kulit benih yang keras menjadi penghalang masuknya air atau gas kedalam benih dalam proses perkecambahan sehingga proses perkecambahan tidak terjadi. Selain itu, kulit benih juga menjadi penghalang munculnya kecambah pada proses perkecambahan. Hal ini didukung Cavanagh (1987) bahwa efektivitas penggunaan air panas untuk memecahkan dormansi biji berkulit keras tidaklah sama untuk semua species tanaman, untuk

kelompok biji yang berbeda pada spesies tanaman yang sama. Perbedaan ketebalan, struktur anatomi dan morfologi kulit biji serta kualitas biji tampaknya merupakan faktor yang bertanggung jawab terhadap variasi ini.

Hasil analisis data menunjukkan bahwa 68,77% benih pada perlakuan perendaman dengan air panas tidak berkecambah hal ini diduga perendaman dengan air biasa dalam hal ini aquadest tidak tumbuh diduga disebabkan oleh keadaan anatomi biji yang kurang baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sutopo, (2004) bahwa Rendahnya proses perkecambahan pada benih dapat disebabkan oleh beberapa hal antara lain faktor genetis dan fisiologis benih, Keadaan fisiologis dari benih yang dapat menyebabkan rendahnya perkecambahan benih adalah “immaturity” atau kekurangmasakan benih pada saat panen dan kemunduran benih selama penyimpanan.

Hasil analisis data diperoleh persentase daya kecambah pada pengamatan 10 hari setelah tanam pada perlakuan perendaman dengan asam sulfat (H2SO4) tergolong sedang yaitu 57,00%. Hal ini diduga pada perlakuan perendaman asam sulfat mampu melunakkan lapisan kulit biji yang keras. Lapisan kulit biji yang keras yang mencegah absorbsi air akan dilarutkan dan akhirnya membentuk substansi warna hitam yang ditandai dengan terbentuknya larutan pekat berwarna hitam pada media perendaman, sehingga proses imbibisi dapat terjadi. Hal ini sesuai dengan Siregar (2005) bahwa Mucuna bracteata merupakan salah satu tanaman yang memiliki biji yang keras. Upaya yang dilakukan untuk mempercepat perkecambahan adalah dengan menghilangkan kulit biji yang keras dengan bahan kimia atau perendaman biji dalam larutan asam sulfat (H2SO4)

mencegah absorbsi air akan dilarutkan dan akhirnya membentuk substansi warna hitam, Sehingga proses penyerapan air oleh biji dapat terjadi. Hal ini juga sesuai

dengan Harahap dan Subronto (2004) bahwa dalam perbanyakan

Mucuna bracteata secara generatif hampir tidak menyesuaikan waktu tanam, untuk itu perbanyakan secara generatif atau biji dapat dilakukan hanya saja perlu dilakukan tindakan perlakuan pada biji antara lain dengan mempercepat masa dormansi biji. Perlakuan pematahan dormansi dapat dilakukan dengan kimiawi, dengan cara penggunaan larutan asam sulfat pekat H2SO4 dengan konsentrasi 85%. Hasil penelitian ini juga sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan Nadampadom Rubber Estate (2004) penggunaan asam sulfat (H2SO4) dapat meningkatkan persentase perkecambahan pada biji Mucuna bracteata dengan hasil terbaik 50 – 70%. Penggunaan perlakuan asam sulfat pada perlakuan pematahan dormansi menyebabkan beberapa benih tidak megalami proses perkecambahan karena biji yang berada dalam kondisi asam akan mematikan pertumbuhan kotiledon sehingga benih tidak dapat melakukan proses perkecambahan. Diduga Asam sulfat pekat dapat mempengaruhi kandungan air dalam benih sehingga benih dalam kandungan hipertonik tinggi dapat menyebabkan terjadinya plasmolisis pada benih sehingga menyebabkan benih menjadi keriput dan mati.

Pematahan dormansi juga berpengaruh nyata terhadap panjang sulur. Panjang sulur tertinggi pada pengamatan 10 minggu setelah tanam terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (A2) yaitu 76,96 cm. Hal ini terjadi karena skarifikasi dapat merangsang pertumbuhan biji yang dorman dan membentuk pertumbuhan tanaman yang seragam. Hal ini sesuai dengan Elisa (2008) bahwa

Pretreatment atau perawatan awal pada benih yaitu merupakan salah satu upaya yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya perkecambahan biji yang seragam. Mucuna bracteta juga memiliki keunggulan antara lain pertumbuhan yang cepat. Hal ini sesuai dengan Sebayang et al. (2002) bahwa dari hasil pengamatan pertumbuhan Mucuna bractaeta di pembibitan, pada minggu kelima setelah tanam pertambahan panjang sulur Mucuna bracteata dapat mencapai 20 cm. Pertumbuhan di lapangan sedikit terhambat diduga faktor lingkungan menjadi salah satu faktor penghambat pertumbuhan antara lain curah hujan. Curah hujan yang sedikit selama pertumbuhan di lapangan memnyebabkan pertumbuhan Mucuna bracteata sedikit terhambat hal ini sesuai dengan Harahap dan Subronto (2004) bahwa pertumbuhan Mucuna bracteata yang baik memerlukan curah hujan yang cukup tinggi yaitu 1000 – 2500 mm/tahun. Curah hujan yang tinggi dapat mempengaruhi pertumbuhan Mucuna bracteata di lapangan

Hasil pengamatan pada 7 MST dan 8 MST pada parameter panjang sulur dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rata-rata panjang sulur pada perlakuan A0

(Kontrol) hal ini disebabkan pada 8 MST pertumbuhan panjang sulur terhenti karena mengalami kekeringan sehingga pertambahan panjang sulur menjadi berkurang.

Perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap jumlah tangkai daun. Dimana jumlah tangkai daun tertinggi pada pengamatan 10 minggu setelah tanam terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (A2) yaitu 6,50. Perlakuan skarifikasi berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman yang

terbentuk. Hal ini sesuai dengan Schmidt (2000) bahwa Skarifikasi merupakan salah satu upaya pretreatment atau perawatan awal pada benih, yang ditujukan untuk mematahkan dormansi, serta mempercepat terjadinya perkecambahan biji

dan pertumbuhan yang seragam. Selain itu pertumbuhan tangkai

Mucuna bracteata juga relatif lebih cepat hal ini sesuai dengan pernyataan Sebayang et al. (2002) bahwa pertumbuhan jumlah helai daun Mucuna bracteta

pada minggu kelima dapat mencapai 14 helai daun.

Hasil pengamatan pada 7 MST, 8 MST dan 9 MST pada parameter jumlah tankai daun dapat dilihat bahwa terjadi penurunan rata-rata jumlah daun pada semua perlakuan hal ini disebabkan pertumbuhan tangkai daun terhenti karena mengalami kekeringan sehingga pertambahan tangkai daun menjadi berkurang menjadi berkurang.

Perlakuan pematahan dormansi berpengaruh nyata terhadap berat basah akar, Berat kering akar dan berat kering tajuk di mana pada Tabel pengamatan berat basah akar tetinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (A2) yaitu 2,93 g, berat kering akar tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit biji (A2 ) yaitu 1,31 g dan berat kering tajuk tertinggi terdapat pada perlakuan pengguntingan kulit (A2) yaitu 8,35 g. Perlakuan pengguntingan kulit (skarifikasi) mempercepat perkecambahan dan pertumbuhan tanaman, sehingga pada tanaman yang telah tumbuh dewasa telah dapat melakukan reaksi-reaksi fotosintesis. Hasil-hasil fotosintesis dapat meningkatkan berat padatan yang terkandung pada jaringan tanaman sehingga dapat meningkatkan berat tanaman. Pertumbuhan tanaman yang cepat juga mempengaruhi perkembangan jaringan tanaman sehingga dapat mempengaruhi berat tanaman. Tanaman Mucuna bracteata

memiliki keunggulan lainnya dibandingkan LCC lainnya antara lain adalah

pertumbuhan dan perkembangan yang cepat. Hal ini sesuai dengan Sebayang et al. (2002) bahwa Mucuna bracteata memiliki keunggulan lainnya

dibandingkan dengan LCC konvensional lainnya di antaranya adalah pertumbuhan yang cepat dan menghasilkan biomassa yang tinggi. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan Harahap dan Subronto (2004) bahwa Mucuna bracteata

memiliki laju pertumbuhan akar yang relatif cepat, pada umur di atas tiga tahun panjang akar utama tanaman Mucuna bracteata dapat mencapai 3 m kedalam tanah.

Dokumen terkait