• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Subjek

Karakteristik berdasar Usia, Status Perkawinan, Pendidikan Terakhir, Pekerjaan dan Suku

Berdasarkan hasil cleaning data, dari 34 total subjek diperoleh 31 orang subjek yang memiliki data lengkap, karena satu orang menjalani perawatan di rumah sakit saat intervensi, satu orang tidak hadir saat pengambilan darah akhir intervensi dan satu orang lainnya berdasarkan hasil uji normalitas memiliki data

outlier yang menyebabkan sebaran data tidak normal. Tabel 9 menunujukkan data karakteristik subjek yang meliputi usia, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan dan suku, serta data kesehatan subjek (Tabel 10) yaitu status gizi dan riwayat penyakit jantung dan stroke keluarga. Hasil uji homogenitas menunjukkan tidak terdapat perbedaan karakteristik yang nyata (p>0.05) antara setiap kelompok perlakuan, membuktikan bahwa data hasil penelitian memenuhi syarat dianalisis dengan sidik ragam.

Tabel 9 Karakteristik subjek berdasarkan usia, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, dan suku

Variabel Kelompok Pelakuan P value P00 P10 P01 P11 n % n % n % n % Usia (tahun) 61.7±7.6 56.2±4.9 59.7±7.7 60±9.8 0.164 45 – 59 4 50 7 77.8 3 42.9 4 57.1 60 - 74 4 50 2 22.2 4 57.1 3 42.9 Status perkawinan 0.260 Kawin 6 75 8 88.9 3 42.9 5 71.4 Cerai mati 2 25 1 11.1 4 57.1 2 28.6 Pendidikan terakhir 0.073

Tidak pernah dan tidak

tamat SD 6 75 5 55.6 2 28.6 1 14.3 Pendidikan dasar 1 12.5 4 44.4 2 28.6 4 57.1 Pendidikan tinggi 1 12.5 0 0 3 42.9 2 28.6 Pekerjaan 0.910 Tidak bekerja 6 75 6 66.7 5 71.4 4 57.2 Bekerja 2 25 3 71.4 2 28.6 3 42.9 Suku 0.468 Sunda 2 25 1 11.1 2 28.6 0 0 Betawi 4 50 8 88.9 4 57.1 5 71.4 Jawa 2 25 0 0 0 0 2 28.6 Minang 0 0 0 0 1 14.3 0 0

Ket: P00 = biskuit kontrol + krim kontrol; P10 = biskuit lele+ krim kontrol;

P01 = biskuit kontrol + krim probiotik; P11 = biskuit lele+ krim probiotik.

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi; Uji homogenitas (p>0.05)

Data usia diperoleh berdasarkan tanggal lahir yang tertera pada kartu identitas, kartu tanda penduduk (KTP) subjek. Pengelompokan usia yang

digunakan berdasarkan klasifikasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menggolongkan lanjut usia menjadi 4 yaitu usia pertengahan (middle age) 45 sampai 59 tahun, lanjut usia (elderly) 60 sampai 74 tahun, lanjut usia tua (old) 75 sampai 90 tahun, dan usia sangat tua (very old) diatas 90 tahun (Webb dan Copeman 1996). Rata-rata usia subjek adalah 59 tahun, usia terendah 46 tahun dan tertinggi 74 tahun, dengan persentase subjek terbesar ada pada kelompok usia 45 sampai 59 tahun (58.1%). Status perkawinan sebagian besar subjek adalah kawin (71%) sejalan dengan usia subjek yang sebagian besar masih berada dalam golongan middle age. Untuk wanita berusia lebih dari 60 tahun, berdasarkan hasil susenas tahun 2009 persentase yang paling tinggi dengan status cerai mati (Komnas lansia 2010).

Pendidikan terakhir sebagian besar subjek adalah tidak pernah sekolah ataupun tidak tamat sekolah dasar (45.2%), dan hanya sebagian kecil yang menyelesaikan pendidikan tingkat sekolah menengah atas ataupun perguruan tinggi (19.3%). Didukung oleh data Komnas Lansia (2010) menyebutkan bahwa pendidikan terakhir yang ditamatkan penduduk Indonesia lansia relatif rendah, yaitu tidak pernah sekolah dan tidak tamat SD, hanya (2.5%) yang tamat perguruan tinggi.

Jenis pekerjaan subjek sejalan dengan pendidikan terakhirnya, yaitu lebih dari separuh yang tidak bekerja, hanya mengurus rumah tangga, menjaga cucu ataupun merupakan pensiunan pegawai (67.7%), sedangkan sebagian kecil lainnya bekerja, dengan jenis pekerjaan seperti menjaga warung, menjual makanan atau menjahit. Didukung pula oleh data profil lansia Indonesia 2009, bahwa sebagian besar penduduk wanita lansia di Indonesia (45.8%) yang mengurus rumah tangga (Komnas Lansia 2010). Dari segi budaya, sebagian besar subjek bersuku Betawi (67.7%), hal ini karena sebagian besar merupakan penduduk asil kota Depok, Jawa Barat. Diketahui bahwa suku Betawi merupakan suku asli kota Jakarta yang penyebarannya dari seluruh kota Jakarta hingga area pinggiran Jakarta termasuk wilayah Depok.

Karakteristik berdasar Indeks Massa Tubuh dan Riwayat Penyakit Jantung dan Stroke Keluarga

Data indeks massa tubuh (IMT) diperoleh berdasarkan hasil perhitungan berat badan (kg) dibagi tinggi badan (m2). Pengkategorian IMT yang digunakan berdasarkan batas ambang IMT untuk Indonesia oleh Departemen Kesehatan (2011) yang mengkategorikan menjadi kekurangan berat badan tingkat berat < 17.0 kg/m2, kekurangan berat badan tingkat ringan 17.0 – 18.4 kg/m2, normal 18.5 – 25.0, kelebihan berat badan tingkat ringan 25.1 – 27.0 kg/m2 dan kelebihan berat badan tingkat berat > 27.0 kg/m2.

Rata-rata berat badan subjek adalah 57.6 kg, dengan berat badan terendah 35.2 kg dan tertinggi 79.0 kg. Rata-rata tinggi badan subjek adalah 150.9 cm, dengan tinggi badan terendah 139.5 cm, dan tertinggi 167 cm. Rata-rata indeks massa tubuh subjek adalah 25.29 kg/m2, IMT terendah 14.39 kg/m2 tergolong dalam kategori kekurangan berat badan tingkat berat, dan tertinggi 32.66 kg/m2 dalam kategori kelebihan berat badan tingkat berat. Pada Tabel 10, secara keseluruhan sebagian besar IMT subjek berada dalam kategori gemuk (51.6%). Untuk persentase kelebihan berat badan tingkat berat (IMT >27 kg/m2) dan

kelebihan berat badan tingkat ringan (IMT 25.1-27.0 kg/m2) masing masing sebesar 25.8%.

Tabel 10 Karakteristik subjek berdasarkan indeks massa tubuh dan riwayat penyakit jantung dan stroke keluarga

Variabel Kelompok Pelakuan p- va lue P00 P10 P01 P11 n % n % n % N %

Status gizi berdasarkan IMT 27.2±4.7 23.4±4.2 26.3±2.7 24.4±1.5 0.138

Kurus 0 0 1 11.1 0 0 0 0

Normal 3 37.5 5 55.6 2 28.6 4 57.1

Gemuk 5 62.5 3 33.3 5 71.4 3 42.9

Riwayat penyakit jantung dan stroke dalam keluarga 0.468

Ada 2 25 1 11.1 2 28.6 1 14.3

Tidak ada 6 75 8 88.9 5 71.4 6 85.7

Ket : P00 = biskuit kontrol + krim kontrol; P10 = biskuit lele+ krim kontrol;

P01 = biskuit kontrol + krim probiotik ; P11 = biskuit lele+ krim probiotik.

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi, Tes homogenitas (p > 0.05)

Rata-rata berat badan subjek adalah 57.6 kg, dengan berat badan terendah 35.2 kg dan tertinggi 79.0 kg. Rata-rata tinggi badan subjek adalah 150.9 cm, dengan tinggi badan terendah 139.5 cm, dan tertinggi 167 cm. Rata-rata indeks massa tubuh subjek adalah 25.29 kg/m2, IMT terendah 14.39 kg/m2 tergolong dalam kategori kekurangan berat badan tingkat berat, dan tertinggi 32.66 kg/m2 dalam kategori kelebihan berat badan tingkat berat. Pada Tabel 10, secara keseluruhan sebagian besar IMT subjek berada dalam kategori gemuk (51.6%). Untuk persentase kelebihan berat badan tingkat berat (IMT >27 kg/m2) dan kelebihan berat badan tingkat ringan (IMT 25.1-27.0 kg/m2) masing masing sebesar 25.8%.

Sejalan dengan penelitian Patriasih et al. (2013) bahwa gizi lebih (overweight) banyak terjadi daripada gizi kurang (deficient) pada lansia dan prevalensi obesitas sentral lebih tinggi daripada indeks massa tubuh (IMT) yang normal. Menurut Brown (2011), peningkatan berat badan terjadi bersamaan dengan penurunan massa tubuh tanpa lemak dan peningkatan lemak tubuh. Secara keseluruhan perubahan berat badan dan komposisi tubuh disebabkan oleh aktivitas fisik. Lansia dengan tingkat aktivitas fisik yang sedang atau tinggi (dibandingkan dengan yang kurang aktif) terjadi peningkatan massa tubuh tanpa lemak dan penurunan jumlah serta persentase lemak tubuh bersamaan meningkatnya usia. Oleh karena itu, kurangnya aktivitas fisik lansia menyebabkan terjadinya peningkatan berat badan.

Pada Tabel 10, sebagian besar subjek (80.6%) tidak memiliki riwayat penyakit jantung maupun stroke keluarga. Riwayat penyakit jantung koroner keluarga atau genetik merupakan salah satu faktor penentu terhadap pembentukan kadar kolesterol di dalam darah (NCEP 2001). Sebagian kecil subjek (19.4%) yang memiliki riwayat penyakit jantung maupun stroke keluarga mengaku dari orang tua dan saudara kandung, meskipun demikian berdasarkan hasil penyaringan awal dan sesuai dengan kriteria eksklusi tidak terdapat subjek yang memiliki riwayat atau sedang mengalami penyakit jantung berdasarkan hasil diagnosis oleh medis sebelum penelitian.

Kepatuhan Konsumsi Biskuit Tingkat Kepatuhan Konsumsi Biskuit

Tingkat kepatuhan dihitung dengan cara menjumlahkan semua biskuit yang dikonsumsi subjek selama 60 hari intervensi dibagi dengan jumlah biskuit yang seharusnya dikonsumsi oleh subjek selama 60 hari intervensi, yaitu 3000 g (50 g/hari x 60 hari) dikalikan 100(%). Pada Tabel 11 dapat dilihat bahwa selama 60 hari intervensi, tingkat kepatuhan konsumsi biskuit cukup tinggi pada semua kelompok yaitu berkisar antara 79.77 % hingga 100% dengan rata-rata tingkat kepatuhan 97.27%. Tingkat kepatuhan tertinggi pada kelompok perlakuan P00 (98.47±1.9) dan terendah pada kelompok P10 (95.60±7.1).

Tabel 11 Tingkat kepatuhan konsumsi biskuit intervensi Kelompok Perlakuan Tingkat kepatuhan (%)

P00 98.47 ± 1.9

P10 95.60 ± 7.1

P01 98.08 ± 2.1

P11 97.25 ± 3.0

Ket: P00 = biskuit kontrol + krim kontrol; P10 = biskuit lele+ krim kontrol;

P01 = biskuit kontrol + krim probiotik; P11 = biskuit lele+ krim probiotik.

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi, tidak ada perbedaan yang signifikan antar kelompok (p > 0.05).

Tingkat kepatuhan konsumsi biskuit yang dicapai cukup tinggi, hal ini berkaitan dengan alasan pemilihan lokasi penelitian, yaitu Poslansia Dahlia Senja Limo Kota Depok dari berbagai informasi bahkan dari media diketahui sangat aktif baik dalam kegiatan internal maupun kegiatan yang dilaksanakan oleh pemerintah atau pihak swasta, sehingga anggota poslansia yang menjadi subjek penelitian dapat lebih kooperatif.

Pada Gambar 4, tingkat kepatuhan konsumsi biskuit intervensi antar waktu pemantauan minggu ke-2 hingga minggu ke-10.

Gambar 4 Tingkat kepatuhan konsumsi biskuit fungsional per dua minggu selama intervensi. P00 = biskuit kontrol + krim kontrol; P10 = biskuit lele + krim kontrol; P01 = biskuit kontrol + krim probiotik ; P11 = biskuit lele+ krim probiotik.

98.25 100 99.65 94.81 94.85 93.67 96.09 100 93.39 97.17 100 95.55 99.57 95.71 97.60 80 85 90 95 100 105

Minggu 2 Minggu 4 Minggu 6 Minggu 8 Minggu 10

T in g k at k ep atu h an ( %) P00 P10 P01 P11

Pada Gambar 4 menunjukkan tidak adanya perubahan, hasil uji-t berpasangan menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan (p>0.05), baik dalam kelompok kontrol maupun dalam semua kelompok perlakuan. Sama halnya dengan hasil sidik ragam menunjukkan tidak ada perbedaan tingkat kepatuhan yang signifikan antar kelompok (p>0.05). Kepatuhan konsumsi biskuit yang paling tinggi dicapai hingga 100% pada beberapa minggu. Berdasarkan hasil wawancara alasan subjek mengonsumsi biskuit karena suka dengan biskuit, terbiasa dengan makanan cemilan, dan merasakan manfaat bagi kesehatannya seperti buang air besar yang lancar. Konsumsi biskuit yang mengandung probiotik secara efektif membantu memulihkan dysbiosis pada lansia yaitu ketidakseimbangan mikroorganisme pada saluran pencernaan (Rampelli et al.

2013). Pada beberapa minggu, tingkat kepatuhan konsumsi biskuit tidak mencapai 100% disebabkan oleh faktor kebosanan, lupa, sedang berpuasa, tidak sempat karena bepergian atau dalam keadaan sakit sehingga kurang nafsu makan.

Kontribusi Biskuit terhadap Asupan Subjek

Jumlah biskuit intervensi yang diberikan kepada subjek yang dianjurkan untuk habis adalah berkisar 50 g biskuit dan 6 g krim (3 sandwich/bungkus) per hari. Berdasarkan observasi dan wawancara langsung pada subjek mengenai cara atau waktu mengonsumsi biskuit, menunjukkan hasil yang bervariasi, yaitu biskuit dikonsumsi sekaligus 3 sandwich dipagi hari sebelum sarapan, biskuit dikonsumsi 1 sandwich setelah setiap tiga kali makan utama, dan biskuit dikonsumsi 1 sandwich setiap diatara waktu makan utama. Sebagian subjek menjadikan biskuit bernilai portable yaitu selalu membawa biskuit kemanapun mereka pergi seperti pada saat pengajian atau senam agar tidak terlewat waktu mengonsumsi biskuit. Namun, beberapa subjek mengonsumsi biskuit tidak bergantung pada waktu tetapi tergantung keinginan mereka.

Berdasarkan data pada Tabel 12, rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian sekitar 48.6 g pada semua kelompok perlakuan, dengan rata-rata tertinggi pada kelompok perlakuan biskuit kontrol dan krim kontrol (P00) sebesar 49.25 g dan rata-rata terendah pada kelompok perlakuan biskuit lele dan krim kontrol (P10) sebesar 47.81 g. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05), yang berarti jumlah total biskuit yang dikonsumsi harian atau selama 60 hari intervensi oleh subjek pada semua kelompok, baik kontrol maupun perlakuan relatif sama atau tidak terdapat perbedaan jumlah yang berarti.

Tabel 12 Rata-rata jumlah biskuit yang dikonsumsi harian selama intervensi Rata-rata biskuit yang dikonsumsi Kelompok Perlakuan p- va lue P00 P10 P01 P11 Berat (gram) Per hari 49.25 ± 0.97 47.81 ± 3.56 49.09 ± 1.07 48.64 ± 1.48 0.549 Per 60 hari 2954.13 ± 58.82 2868 ± 213.22 2942.57 ± 64.67 2917.71 ± 90.03 0.548

Ket: P00 = biskuit kontrol + krim kontrol; P10 = biskuit lele+ krim kontrol;

P01 = biskuit kontrol + krim probiotik; P11 = biskuit lele+ krim probiotik.

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi,

Biskuit yang diberikan merupakan makanan selingan, disebut makanan selingan karena disarankan untuk dikonsumsi diantara dua waktu makan utama yaitu makan pagi dan makan siang atau makan siang dan makan malam dan pada malam hari sebelum tidur, bukan untuk menggantikan makanan utama. Tarwotjo (1998) menyebutkan bahwa makanan selingan berfungsi sebagai makanan yang dapat mempertahankan kondisi tubuh agar tidak menurunkan daya kerja dan agar tubuh tidak kekurangan kalori sampai waktu makanan utama tiba.

Rata-rata kontribusi energi dari biskuit intervensi adalah 226.13 kkal atau 12.6% dari kecukupan energi. Angka tersebut sudah mencapai sumbangan energi dari makanan selingan yaitu 10-15% kebutuhan wanita lansia atau 190-285 kkal. Angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan untuk wanita lansia adalah 2150 kkal untuk usia 45-49 tahun, 1900 kkal untuk usia 50-64 tahun dan 1550 kkal untuk usia 65-75 tahun (Hardinsyah et al. 2012). Pada Tabel 13, kontribusi terhadap asupan energi yang tertinggi pada kelompok P00 sebesar 230.38 kkal per hari atau 13.46% dari kecukupan energi, sedangkan yang terendah pada kelompok P10 sebesar 220.89 kkal per hari atau 11.87% dari kecukupan energi. Hasil sidik ragam menunjukkan tidak terdapat perbedaan kontribusi energi dari biskuit yang signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05).

Tabel 13 Rata-rata kontribusi energi dan protein harian biskuit intervensi terhadap kecukupan gizi

Kontribusi Kelompok Perlakuan p- va lue P00 P10 P01 P11 Energi E (kkal) 230.38 ± 4.65 220.89±16.49 229.57±5.02 224.57± 6.97 0.214 AKE (%) 13.46 ± 1.86 11.87 ± 1.31 12.58 ± 1.78 12.62 ± 1.17 0.248 Protein P (g) 2.17 ± 0.04a 8.32 ± 0.63b 2.15 ± 0.05a 8.47 ± 0.24b 0.000 AKP (%) 3.92 ± 0.46a 15.11±1.60b 3.77 ± 0.13a 14.92 ± 0.46b 0.000

Ket: AKE = Angka kecukupan energi; AKP= Angka Kecukupan Protein;

P00= biskuit kontrol + krim kontrol; P10= biskuit lele+ krim kontrol;

P01= biskuit kontrol + krim probiotik; P11 = biskuit lele+ krim probiotik.

Data disajikan dengan mean ± standar deviasi. ab

Hasil sidik ragam terdapat perbedaan nyata (p < 0.01).

Kontribusi energi dari makanan selingan ini lebih rendah dibandingkan dengan hasil survei lansia di Malaysia dan Amerika, yaitu kontribusi energi dari makanan selingan pada lansia di Malaysia mencapai 14.3% dari total asupan energi (Zalilah et al. 2008). Sebagian besar lansia di Amerika menyempatkan dua kali waktu makan selingan perhari dengan rata-rata kontribusi energi 150 kkal setiap makan selingan atau 300 kkal per hari (Zizza et al. 2007).

Pada Tabel 13 juga dapat dilihat rata-rata kontribusi protein biskuit terhadap asupan harian adalah 2.16 g atau 3.86% angka kecukupan protein pada kelompok yang diberikan biskuit kontrol (P00 dan P01), dan 8.38 g atau 15.04% AKP pada kelompok perlakuan yang diberikan biskuit lele (P10 dan P11). Kontribusi protein dari biskuit lele sebagai makanan selingan sejalan dengan hasil survei oleh Zizza et al. (2007) yaitu makanan selingan berkontribusi 14% untuk

asupan protein harian lansia di Amerika. Hasil sidik ragam menunjukkan terdapat perbedaan kontribusi protein biskuit yang sangat nyata antar kelompok perlakuan (p<0.001). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan terdapat perbedaan antara kelompok P00 dan P01 terhadap kelompok P10 dan P11. Hal ini dipengaruhi oleh kandungan protein pada biskuit, berdasarkan hasil analisis zat gizi (Tabel 4), kandungan protein lebih tinggi pada biskuit lele yang diberikan pada kelompok P10 dan P11 yaitu 9.02 g protein per 50 g biskuit dibandingkan dengan biskuit kontrol yang diberikan pada kelompok P00 dan P01 yaitu 2.28 g protein per 50 g biskuit.

Konsumsi Pangan Asupan Gizi dan Tingkat Kecukupan Zat Gizi

Metode pengukuran asupan gizi yang digunakan adalah metode recall 24 jam. Metode ini merupakan salah satu pengukuran konsumsi pangan tingkat individu yang umumnya dilakukan pada masyarakat rentan gizi salah satunya adalah lansia. Tujuannya adalah untuk mendapatkan informasi tentang makanan yang sebenarnya dimakan 24 jam yang lalu baik berupa makanan utama dan makanan selingan maupun minuman yang nyata dikonsumsi 24 jam yang lalu. Tujuan lainnya adalah untuk mengetahui tingkat konsumsi energi dan zat-zat gizi yang umum diketahui yang dapat menggambarkan kuantitas dan kualitas makanan seperti energi (kkal), protein (g), lemak (g) dan karbohidrat (Kusharto dan Supariasa 2014).

Pengambilan data asupan gizi dilakukan sebelum dan selama intervensi masing-masing 2 x 24 jam yaitu pada saat hari biasa dan pada saat hari libur. Hasil sidik ragam menunjukkan, selisih rata-rata asupan pada hari biasa dan hari libur baik sebelum maupun selama intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05). Oleh karena itu, data yang disajikan dalam penelitian ini adalah rata-rata asupan hari biasa dan hari libur. Berdasarkan hasil sidik ragam (Lampiran 4), asupan zat gizi subjek pada saat hari biasa cenderung bervariasi atau terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan (p<0.05), sedangkan asupan gizi pada hari libur menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok perlakuan (p>0.05). Berdasarkan hasil wawancara diduga meskipun subjek tidak bekerja saat hari biasa, dihari libur subjek memiliki aktivitas sosial yang sama karena berada dalam satu lingkungan dibawah asuhan Poslansia Dahlia Senja Depok. Beberapa kegiatan poslansia pada hari libur meliputi senam, pengajian, atau arisan keluarga yang merupakan kegiatan rutin subjek diakhir pekan. Sehingga subjek mengonsumsi jenis pangan yang sama diakhir pekan.

Hasil analisis asupan zat gizi subjek yang diperoleh dari hasil recall 2x24 jam sebelum dan selama intervensi disajikan pada Tabel 14 berikut. Pada table, dapat dilihat bahwa secara keseluruhan rata-rata asupan zat gizi subjek sebelum intervensi adalah 1312 kkal energi, 40.6 g protein, 49.6 g lemak, 180.1 g karbohidrat, dan 13.9 g serat. Selama intervensi terjadi peningkatan rata-rata asupan energi, protein, lemak, dan karhodirat masing-masing menjadi 1699 kkal energi, 47.7 g protein, 63.6 g lemak dan 235.4 g karbohidrat, dan penurunan rata- rata asupan serat menjadi 13.1 g.

Tabel 14 Rata-rata asupan zat gizi sebelum dan selama intervensi Zat gizi / Fase Kelompok Perlakuan Total p- value P00 P10 P01 P11 E Sebelum 1405.2±367.9 1293.1±287.9 1135.4±175.6 1410.5±566.3 1312.9±368.7 0.470 Selama 1715.0±234.7 1695.2±177.99 1589.2±426.8 1798.7±391.2 1699.7±305.8 0.666 Selisih 309.7±170.7* 402.1±344.4* 453.8±394.6* 388.1±433.3 386.8±331.4* 0.877 p- value 0.001 0.008 0.023 0.056 0.000 P Sebelum 40.1±12.3 39.3±11.0 40.2±11.82 43.2±23.5 40.6±14.4 0.961 Selama 46.5±8.9 50.1±6.0 40.3±12.0 53.5±14.8 47.7±11.1 0.136 Selisih 6.3±8.0 10.8±16.3 0.1±9.0 10.2±18.8 7.1±13.8 0.445 p- value 0.060 0.083 0.958 0.200 0.007 L Sebelum 46.8±15.0 45.5±23.1 36.5±11.3 71.0±41.4 49.4±26.8 0.081 Selama 61.7±9.7 62.0±9.3 57.8±21.2 73.8±27.2 63.6±17.8 0.376 Selisih 14.9±14.7* 16.7±18.4* 21.5±25.6 2.8±21.5 14.2±20.2* 0.365 p- value 0.024 0.026 0.068 0.750 0.000 KH Sebelum 207.6±64.7 184.8±32.4 163.7±29.5 158.5±37.4 180.0±45.7 0.140 Selama 241.1±43.9 234.6±48.7 230.1±55.9 235.1±39.4 235.4±45.1 0.976 Selisih 33.5±38.0* 49.8±50.1* 66.4±50.2* 76.6±62.8* 55.4±50.7* 0.385 p- value 0.041 0.017 0.013 0.018 0.000 S Sebelum 13.5±5.9 13.7±7.6 12.9±5.2 15.6±5.8 13.9±6.0 0.867 Selama 13.2±3.7 13.8±6.4 10.1±2.6 15.0±5.0 13.1±4.9 0.278 Selisih -0.31±4.9 0.18±10.3 -2.84±5.2 -0.61±4.6 -0.81±6.7 0.844 p- value 0.859 0.958 0.203 0.735 0.580

Ket : E= energi; P= protein; L=lemak; KH=karbohidrat; S= serat; P00 = biskuit kontrol + krim kontrol; P10 = biskuit lele+ krim kontrol; P01 = biskuit kontrol + krim probiotik ; P11 = biskuit lele+ krim probiotik; Data disajikan dengan mean ± standar deviasi. *) Hasil uji-t berpasangan, terdapat perbedaan yang signifikan sebelum dan selama intervensi dalam kelompok (p < 0.05).

Hasil sidik ragam menunjukkan asupan energi dan zat gizi lainnya sebelum dan selama intervensi, serta selisih sebelum dan selama intervensi menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang signifikan antar kelompok perlakuan (p>0.05). Hasil uji-t berpasangan menunjukkan secara keseluruhan terdapat perbedaan asupan energi, lemak, dan karbohidrat subjek sebelum dan selama intervensi (p<0.05).

Angka kecukupan energi (AKE) yang dianjurkan untuk wanita lansia yaitu 2250 kkal untuk usia 45-49 tahun, 1900 kkal untuk usia 50-64 tahun dan 1550 kkal untuk usia 65-75 tahun (Hardinsyah et al. 2012). Tingkat kecukupan zat gizi dinilai dengan membandingkan asupan energi dan zat gizi lainnya yang diperoleh dari perhitungan recall makanan dengan angka kecukupan gizi (AKG) yang telah dikoreksi dengan berat badan subjek. Berdasarkan angka kecukupan tersebut, diperoleh rata-rata persentase tingkat kecukupan energi (TKE) subjek sebelum intervensi adalah 73.48% dan berdasarkan klasifikasi Depkes (1996) tergolong defisit sedang. Selama intervensi, TKE meningkat menjadi 94.8% sehingga tergolong normal. Gambar 5 menunjukkan adanya peningkatan tingkat kecukupan energi selama intervensi pada semua kelompok perlakuan. Namun berdasarkan data pada Lampiran 4, hasil sidik ragam menunjukkan selisih TKE selama dan sebelum intervensi antar kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Untuk hasil uji-t berpasangan menunjukkan terdapat perbedaan TKE sebelum dan selama intervensi yang signifikan pada kelompok P00, P10, dan P10 (p<0.05).

Gambar 5 Tingkat kecukupan energi (TKE) sebelum dan selama intervensi. P00= biskuit kontrol dan krim kontrol; P10= biskuit lele dan krim kontrol; P01= biskuit kontrol dan krim probiotik; P11= biskuit lele dan krim probiotik

Selama pemberian biskuit sebagai makanan selingan, terjadi peningkatan persentase tingkat kecukupan energi dari yang defisit sedang menjadi normal. Hal ini karena adanya kontribusi energi dari biskuit sebesar 10.7 sampai 15.9% (Tabel 11). Tercapainya angka kecukupan energi pada penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan Pratiwi et al. (2013) pada lansia disalah satu panti werdha Kota Bogor dimana AKE juga tergolong cukup (100-119% AKE).

Protein mempunyai fungsi utama untuk pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan, pembentukan ikatan-ikatan esensial tubuh, mengatur keseimbangan air, memelihara netralitas tubuh, pembentukan antibodi, mengatur zat-zat gizi, dan sebagai sumber energi (Almatsier 2009). Angka kecukupan protein (AKP) yang dianjurkan untuk wanita lansia yaitu 57 g untuk usia 45 sampai 64 tahun dan 57 g untuk usia 65 sampai 75 tahun (Hardinsyah et al. 2012). Berdasarkan AKP tersebut dan telah dikoreksi dengan berat badan, diperoleh rata-rata persentase tingkat kecukupan protein (TKP) subjek sebelum intervensi adalah 72.65% tergolong defisit sedang. Selama pemberian produk intervensi, secara keseluruhan terjadi peningkatan TKP sebesar 85.28% dan tergolong dalam defisit ringan. Gambar 6 menunjukkan terjadi peningkatan TKP pada semua kelompok.

Peningkatan terbesar pada subjek yang diberikan perlakuan biskuit lele yaitu 18.83% pada kelompok P10 dan 17.51% pada kelompok P11. Sehingga TKP pada kelompok yang diberikan biskuit lele telah mencapai angka kecukupan gizi yang normal (90-120% AKG) yaitu 91.13% pada kelompok biskuit lele dengan krim kontrol (P10), dan 93.92% pada kelompok biskuit lele dengan krim probiotik (P11). Untuk kelompok kontrol peningkatannya hanya 12.16%, dari 71.90% menjadi 84.06% dan pada kelompok biskuit kontrol dengan krim probiotik peningkatannya sebesar 0.31%, dari 70.21% menjadi 70.52%, belum

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 P00 P10 P01 P11 81.5 70.55 62.57 79 99.37 91.44 87.42 101.28 T ing la t K ec u k u p an E n er g i (%) Kelompok Perlakuan Sebelum Selama

memenuhi angka kecukupan protein yang normal. Tingkat kecukupan protein pada kelompok P10 dan P11 lebih tinggi peningkatannya dari kelompok kontrol dan P01 karena biskuit lele sebagai makanan selingan menyumbang protein yang lebih tinggi yaitu 15.04% AKP dibandingkan kelompok kontrol yang hanya 3.86% AKP (Tabel 11). Protein pada biskuit diperoleh dari kandungan protein yang berasal dari bahan baku yang digunakan yaitu tepung kepala dan badan ikan lele serta isolat protein kedelai, sehingga biskuit lele tersebut berpotensi untuk meningkatkan asupan protein.

Gambar 6 Tingkat kecukupan protein (TKP) sebelum dan selama intervensi. P00= biskuit kontrol dan krim kontrol; P10= biskuit lele dan krim kontrol; P01= biskuit kontrol dan krim probiotik; P11= biskuit lele dan krim probiotik

Hasil sidik ragam menunjukkan selisih TKP selama dan sebelum intervensi antar kelompok perlakuan tidak terdapat perbedaan yang signifikan (p>0.05). Sama halnya dengan hasil uji-t berpasangan, menunjukkan tidak terdapat perbedaan TKP yang signifikan sebelum dan selama intervensi dalam kelompok perlakuan (p>0.05). Tingkat kecukupan protein yang dicapai dalam penelitian ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan hasil penelitian Patriasih et al. (2013) yaitu rata-rata TKP lansia yang tinggal bersama keluarga di Bandung masih tergolong defisit ringan (72.4%). Berbeda dengan hasil penelitian Rusilanti (2006), yaitu rata-rata TKP lansia di masyarakat sekitar Bogor relatif normal (97.48%).

Untuk angka kecukupan zat gizi lemak yang dianjurkan untuk wanita lansia adalah 60 g untuk usia 45 sampai 49 tahun, 53 g untuk usia 50 sampai 64 tahun, dan 43 g untuk usia 65 sampai 75 tahun (Hardinsyah et al. 2012). Berdasarkan angka tersebut, diperoleh total rata-rata persentase tingkat kecukupan lemak (TKL) subjek sebelum intervensi adalah 99.51% tergolong dalam kategori cukup (90-120% AKL). Selama intervensi, terjadi peningkatan rata-rata TKL

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 P00 P01 P10 P11 71.9 72.3 70.21 76.41 84.6 91.13 70.52 93.92 T in g k at Kec u k u p an P ro tein ( %) Kelompok Perlakuan Sebelum Selama

Dokumen terkait