• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsumsi Ransum

Konsumsi ransum adalah jumlah yang dikonsumsi oleh ternak dalam jangka waktu tertentu. Konsumsi ransum terus meningkat seiring dengan pertambahan kebutuhan zat - zat nutrisi oleh kebutuhan hidup pokok dan pertumbuhan. Rataan konsumsi ransum dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan konsumsi ransum ayam pedaging selama penelitian (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 5 R0 454.51 463.77 503.84 483.06 421.46 2326.63 465.33 R1 483.32 344.87 473.33 462.30 449.34 2213.17 442.63 R2 379.42 414.91 348.23 431.46 456.79 2030.82 406.16 Total 1317.25 1223.55 1325.40 1376.83 1327.59 6570.62 Rataan 439.08 407.85 441.80 458.94 442.53 438.04

Rataan konsumsi ransum ayam pedaging yang dilihat pada Tabel 7 adalah 438.04 g/ekor/minggu dengan rataan konsumsi ransum tertinggi terdapat pada perlakuan R0 (ransum tanpa BIS termodifikasi) yaitu sebesar 465.33 g/ekor/minggu dan rataan konsumsi ransum terendah terdapat pada perlakuan R2 (BIS termodifikasi yang direndam dengan larutan 4% enzim hemicell® selama 3 hari) yaitu sebesar 406.16 g/ekor/minggu.

Level penggunaan bungkil inti sawit termodifikasi yang semakin tinggi memberikan dampak yang negatif terhadap tingkat konsumsi ransum ayam pedaging. Dengan kata lain, semakin tinggi level penggunaan bungkil inti sawit termodifikasi

dalam ransum maka tingkat konsumsi ransum ayam pedaging semakin rendah. Dalam penelitian ini level tertinggi penggunaan bungkil inti sawit termodifikasi sebesar 4%.

Pemberian bungkil inti sawit termodifikasi yang di uji tantang E. coli

terhadap konsumsi ransum ayam pedaging dapat dilihat pengaruhnya dengan melakukan analisis keragaman seperti yang tertera pada Tabel 8.

Tabel 8. Analisis keragaman konsumsi ransum ayam pedaging selama penelitian

SK DB JK KT Fhitung Ftabel 0.05 0.01 Perlakuan 2 8908.79 4454.40 2.25tn 3.88 6.93 Galat 12 23780.51 1981.71 Total 14 32689.31 Ket: KK = 10.16%

Ket: tn = tidak berbeda nyata

Hasil analisis keragaman pada Tabel 8 menunjukkan bahwa pemberian bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim hemicell® dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konsumsi ransum ayam pedaging.

Secara statistik, analisis keragaman konsumsi ransum ayam pedaging menunjukan tingkat konsumsi ransum yang relatif sama atau tidak ada perbedaan yang mencolok dari semua perlakuan. Peneliti berasumsi bahwa hasil yang tidak berbeda nyata ini disebabkan karena faktor cuaca yang terlalu ekstrim, yakni cuaca yang terlalu panas pada siang hari yang mencapai suhu 34 - 360C dan suhu udara yang terlalu rendah/dingin disertai dengan tingginya tingkat kelembapan di dalam kandang yang terlalu tinggi pada malam hari. Kondisi yang demikian menyebabkan ternak sangat rentan menjadi stres. Hal ini sesuai dengan pernyataan Gellispie (1987)

yang menyatakan bahwa temperatur tinggi berpengaruh besar terhaadap konsumsi ransum harian. Konsumsi rendah apabila temperatur tinggi dan meningkat bila temperatur rendah.

Pertambahan Bobot Badan

Pertambahan bobot badan dihitung setiap minggu berdasarkan bobot badan akhir dikurangi bobot badan minggu sebelumnya dalam satuan gram/ekor/minggu. Rataan pertambahan bobot badan ayam pedaging yang diperoleh selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Rataan pertambahan bobot badan ayam pedaging selama penelitian (g/ekor/minggu)

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 5 R0 253.66 254.33 283.84 285.99 250.05 1327.87 265.57 R1 267.38 249.16 272.19 281.36 256.36 1326.45 265.29 R2 245.87 241.05 207.63 253.22 235.92 1183.69 236.74 Total 766.90 744.54 763.66 820.57 742.34 3838.02 Rataan 255.63 248.18 254.55 273.52 247.45 255.87

Tabel 9 menunjukan hasil rataan pertambahan bobot badan ayam pedaging selama penelitian adalah 255.87 g/ekor/minggu. Rataan pertambahan bobot badan tertinggi terdapat pada perlakuan R0 (ransum tanpa BIS termodifikasi) yaitu sebesar 265.57 g/ekor/minggu, sedangkan rataan pertambahan bobot badan terendah terdapat pada perlakuan R1 (BIS termodifikasi yang direndam dengan larutan 2% enzim hemicell® selama 3 hari) yaitu sebesar 236.74 g/ekor/minggu.

Pengaruh pemberian bungkil inti sawit termodifikasi yang di uji tantang E. coli terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging dapat diketahui dengan melakukan analisis keragaman seperti yang tertera pada Tabel 10.

Tabel 10. Analisis keragaman pertambahan bobot badan ayam pedaging selama penelitian SK DB JK KT Fhitung Ftabel 0.05 0.01 Perlakuan 2 2744.77 1372.39 5.26* 3.88 6.93 Galat 12 3131.25 260.94 Total 14 5876.02 Ket: KK = 6.31% Ket: * = berbeda nyata

Hasil analisis keragaman pada Tabel 10 menunjukkan bahwa pemberian bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim hemicell dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang berbeda nyata (P<0,05) terhadap pertambahan bobot badan ayam pedaging selama 5 minggu.

Setelah didapat hasil dari analisis keragaman yang menunjukan pengaruh yang nyata maka dilanjutkan dengan uji beda nyata terkecil (BNT).

Tabel 11. Uji BNT 5% pertambahan bobot badan

Perlakuan Rataan Notasi 5%

R0 265.57 a

R1 265.29 a

R2 236.74 b

Penggunaan BIS termodifikasi pada tingkat 4% (R2) cenderung menurunkan penampilan umum ayam pedaging, sedangkan pada tingkat 2% (R1) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dibandingkan perlakuan kontrol (R0).

Konversi Ransum

Konversi ransum dihitung berdasarkan perbandingan konsumsi ransum dengan pertambahan bobot badan yang dihasilkan. Dari hasil penelitian diperoleh rataan konversi ransum ayam pedaging seperti tertera pada Tabel 12.

Tabel 12. Rataan konversi ransum ayam pedaging selama penelitian

Perlakuan Ulangan Total Rataan

1 2 3 4 5 R0 1.79 1.82 1.78 1.69 1.69 8.76 1.75 R1 1.81 1.38 1.74 1.64 1.75 8.33 1.67 R2 1.54 1.72 1.68 1.70 1.94 8.58 1.72 Total 5.14 4.93 5.19 5.04 5.37 25.67 Rataan 1.71 1.64 1.73 1.68 1.79 1.71

Berdasarkan rataan kopnversi pakan pada Tabel 12 dapat dilihat bahwa rataan konversi ransum ayam pedaging selama penelitian adalah 1.71. Rataan konversi ransum tertinggi terdapat pada perlakuan R0 (ransum tanpa BIS termodifikasi) yaitu sebesar 1.75, sedangkan rataan konversi ransum terendah terdapat pada perlakuan R1 (BIS termodifikasi yang direndam dengan larutan 2% enzim hemicell® selama 3 hari) yaitu sebesar 1.67.

Untuk mengetahui pengaruh pemberian bungkil inti sawit termodifikasi yang di uji tantang E. coli terhadap konversi ransum ayam pedaging, maka dilakukan analisis keragaman seperti yang tertera pada Tabel 13.

Tabel 13. Analisis keragaman konversi ransum ayam pedaging selama penelitian SK DB JK KT Fhitung Ftabel 0.05 0.01 Perlakuan 2 0.02 0.01 0.57tn 3.88 6.93 Galat 12 0.21 0.0175 Total 14 0.23 Ket: KK = 7.73%

Ket: tn = tidak berbeda nyata

Setelah dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 13 maka didapat hasil bahwa pemberian bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim hemicell® dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap konversi ransum ayam pedaging.

Nilai konversi ransum terkait dengan efisiensi penggunaan makanan dalam tubuh. Penggunaan BIS termodifikasi sampai level 4 % ternyata tidak mempengaruhi efisiensi penggunaan makanan pada ayam pedaging. Tidak adanya perbedaan yang nyata dari nilai konversi ransum ini dihasilkan dari tingkat konsumsi ransum dan pertambahan bobot badan yang tidak berbeda nyata pula.

Rekapitulasi Hasil Penelitian

Setelah diperoleh hasil penelitian maka dapat dibuat hasil rekapitulasi penelitian seperti tertera pada Tabel 14.

Tabel 14. Rekapitulasi konsumsi ransum, pertambahan bobot badan dan konversi iransum ayam pedaging selama penelitian

Perlakuan Konsumsi Ransum (g/ekor/minggu) Pertambahan Bobot Badan (g/ekor/minggu) Konversi Ransum R0 465.33a 265.57a 1.75 a R1 442.63a 265.29a 1.67 a R2 406.16a 236.74b 1.72 a

Tabel 14 menunjukkan bahwa pemberian bungkil inti sawit (BIS) termodifikasi oleh enzim hemicell® dalam ransum ayam pedaging memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata terhadap konsumsi ransum, pertambahan bobot badandan konversi ransum ayam pedaging yang dihasilkan.

Kendatipun tingkat konsumsi dari perlakuan R0 jauh lebih tinggi dari pada perlakuan R1 dan R2, namun dilihat dari nilai konversi ransum yang dihasilkan tidak seefisien dari perlakuan R1 dan R2. Dimana nilai konversi ransum yang paling efisien dihasilkan dari perlakuan R1. Tingkat kematian ternak yang tinggi dari R0 dan R2 merupakan salah satu faktor penyebab semakin tingginya nilai konversi ransum.

Dokumen terkait