• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi segar Pennisetum purpureum (Lampiran 8). Hasil rataan produksi segar Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 3. Rataan Produksi Segar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (kg/ha) Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg) P0 135.60 186.70 322.30 161.15a 36.13 P1 374.50 593.30 967.80 483.90b 154.71 P2 586.70 993.30 1580.00 790.00c 287.51 P3 1012.22 1413.30 2425.52 1212.76d 283.61 Total 2109.02 3186.60 5295.62 - Rataan 527.26a 796.65b - 661.95 190.49

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan produksi segar

Pennisetum purpureum. Hal ini dapat dilihat dari kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi segar Pennisetum purpureum

Gambar 1. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)

Pada kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh terhadap produksi segar dengan mengikuti kurva linear yaitu semakin tinggi dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka hasil produksi segar Pennisetum purpureum juga akan semakin tinggi.hal ini dapat dilihat dari gambar 4 bahwa titik optimum produksi segar semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya dosis kotoran kelinci fermentasi.

Hasil statistik diperoleh hasil rataan produksi segar Pennisetum purpureum pada perlakuan P3 berbeda sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 dengan nilai rataan terbaik yaitu 1212,76 kg/ha, sedangkan nilai rataan produksi Pennisetum purpureum terendah terdapat pada P0 yaitu 161,15 kg/ha. Sementara itu, perlakuan interval pemotongan rumput diperoleh bahwa rataan produksi segar pada interval pemotongan 6 minggu (A2) dengan rataan 796,65 kg/ha berbeda sangat nyata dengan

rataan produksi segar pada interval pemotongan 4 minggu (A1) dengan rataan 527,26 kg/ha.

Untuk mengetahui interaksi perlakuan interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi segar Pennisetum purpureum dapat dilihat pada gambar berikut ini.

Gambar 2. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar (kg/ha)

Dari gambar di atas terlihat bahwa interaksi perlakuan yang sangat nyata adaah pada kombinasi perlakuan A2P3 yaitu kombinasi perlakuan interval pemotongan 6 minggu dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml. Hal ini terlihat dari niai rataan produksi segar pada A2P3 tersebut memiliki

rataan tertinggi yaitu 1413,3 kg/ha. Sementara itu rataan produksi segar

Pennisetum purpureum yang paling rendah adalah pada kombinasi perlakuan A1P3 yaitu 1012,2 kg/ha. Produksi rumput dipengaruhi oleh unsur hara yang terdapat di dalam tanah sebagai cadangan makanan bagi tanaman, sehingga pada tanah yang tidak memiliki unsur hara yang cukup tidak dapat menyediakan cadangan makanan untuk tanaman sehingga

mempengaruhi tingkat produksinya. Oleh karena itu pemupukan dengan menggunakan pupuk organik dapat mempengaruhi mutu tanah dan meningkatkan produksi rumput atau mempercepat pertumbuhan vegetatif tanaman dan akhirnya mempercepat produksi segar hijauan tersebut. Sesuai dengan pernyataan Sarief (1990) bahwa pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan hasil mutu tanaman. Dalam penelitian Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga Fungsional Pertanian (2004) dengan menggunakan pupuk kandang domba diperoleh bahwa hasil rataan produksi segar rumput adalah 1061,7 kg/ha. Hal ini menggambarkan bahwa nilai kandungan unsur hara dalam kotoran kelinci masih lebih baik untuk mendorong produksi rumput sebagai hijauan makanan ternak.

Pada hasil penelitian diperoleh bahwa kenaikan produksi segar rumput seiring dengan meningkatnya interval pemotongan. Hal ini disebabkan oleh cadangan makanan semakin tersedia untuk pertumbuhan dan perkembangan akar tanaman sehingga penyerapan hara mineral semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasution (1991) yang menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kembali adalah adanya persediaan makanan berupa karbohidrat di dalam akar tanaman yang ditinggal setelah pemotongan. Semakin tinggi interval pemotongan, produksi segar juga meningkat. Oleh karena itu dapat

diketahui bahwa semakin sering rumput dipotong semakin sedikit produksi segar yang diperoleh, hal ini dapat terjadi karena pada rumput yang sering dipotong terjadi pengurasan terus menerus terhadap karbohidrat dalam akar. Semakin singkat interval pemangkasan mengakibatkan semakin singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan cadangan makanan dalam aktifitas pertumbuhan. Interval pemangkasan 8 minggu memungkinkan tanaman membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang cukup yang merupakan hasil reduksi CO2 pada proses fotosintesis. Harjadi (2000) menyatakan fase vegetatif menggunakan sebagian besar karbohidrat, apabila karbohidrat berkurang maka pembelahan sel berjalan lambat sehingga perkembangan vegetatif terhambat. Interval pemangkasan yang lebih singkat (4 dan 6 minggu) diduga menyebabkan pengurangan cadangan makanan akibat pemangkasan yang lebih intensif, sehingga tanaman hanya memiliki waktu singkat untuk membentuk cadangan makanan. Sesuai dengan pernyataan Primandini (2007) bahwa pemangkasan (defoliasi) berat mengakibatkan terhambatnya pembentukan tunas baru dan terkurasnya cadangan makanan.

Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum (kg/ha)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum. Sedangkan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap produksi bahan kering.

Pennisetum purpureum (Lampiran 11). Data produksi bahan kering

Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel 4.

Tabel 4. Rataan produksi bahan kering Pennisetum purpureum selama penelitian (kg/ha) Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg) P0 123.40 172.90 296.30 148.15a 35.00 P1 345.50 558.20 903.70 451.85b 150.40 P2 539.10 878.50 1417.60 708.80c 583.07 P3 960.50 1357.10 2317.60 1158.80d 891.70 Total 1968.50 2966.70 4935.20 - - Rataan 492.13a 741.68b - 508.84 415.04

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan produksi bahan kering Pennisetum purpureum. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum dapat dilihat dari Gambar 3.

Gambar 3. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)

Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kotoran

kelinci fermentasi memberikan pengaruh terhadap produksi bahan kering

Pennisetum purpureum dengan mengikuti kurva yaitu semakin tinggi dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka hasil produksi bahan kering

Pennisetum purpureum juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 3 bahwa titik optimum produksi bahan kering Pennisetum purpureum semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya dosis kotoran kelinci fermentasi.

Hasil statistik data diperoleh bahwa produksi bahan kering

Pennisetum purpureum pada P3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P0 dengan nilai rataan tertinggi yaitu 1158,8 kg/ha, sedangkan rataan terendah terdapat pada P0 yaitu 148,15 kg/ha. Pada perlakuan perlakuan interval pemotongan diperoleh bahwa pemotongan A2 memberikan pengaruh yang sangat nyata pada P0 terhadap produksi bahan kering rumput yaitu 741,7 kg/ha, sedangkan pada perlakuan pemotongan A1 memiliki nilai rataan yaitu 492,13 kg/ha. Apabila dibandingkan dengan penelitian Riky et. al

(2013) bahwa hasil produksi bahan kering Pennisetum purpureum dengan perlakuan pemberian pupuk organik cair berupa urine sapi bunting menghasilkan produksi segar 1212,8 kg/ha, disebabkan karena level kandungan unsur hara memiliki jumlah yang cukup sesuai dengan kebutuhan dan perkembangan Pennisetum purpureum. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan Dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Fermentasi Terhadap Produksi Bahan Kering Pennisetum purureum (kg/ha)

Pada gambar 4 terlihat bahwa interaksi perlakuan A2P3 memiliki rataan tertinggi yaitu 1357,1 kg/ha, sedangkan pada kombinasi perlakuan A1P3 memiliki rataan produksi 960,5 kg/ha. Hal ini disebabkan oleh karena total cadangan makanan dalam tanaman rendah dimana merupakan gambaran rendahnya unsur hara yang terdapat dalam tanah. Sedikitnya persediaan karbohidrat dalam akar pada tanaman akan mengakibatkan terganggunya proses vegetatif tanaman. Cadangan karbohidrat ini sangat diperlukan untuk energi bagi pertumbuhan kembali setelah pemotongan. Hal ini sesuai dengan pernyataan Setyamidjaja (1986) yang menyatakan bahwa unsur hara dalam tanah berfungsi memacu pertumbuhan akar dan sistem perakaran yang baik terutama pada tanaman muda, yang biasanya terdapat pada bahan organik. Apabila unsur hara yang tersedia terbatas, maka

terutama karbohidrat yang sangat mempengaruhi bahan kering.

Semakin sering hijauan dipotong maka produksi bahan keringnya semakin rendah, sedangkan pada interval pemotongan yang panjang maka produksi bahan kering semakin tinggi. Hasil berat kering ini berbanding lurus dengan rataan produksi segar yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mc Illroy (1976) bahwa interval pemotongan yang pendek terutama pada fase-fase awal pertumbuhannya disamping menurunkan produksi bahan kering hijauan, juga akan mengurangi ketegaran tanaman dan melemahkan akar. Dilanjut dengan pernyataan Wijaya (2008) menyatakan bahwa produksi bahan kering yang tinggi diikuti dengan bertambahnya panjang interval pemotongan dan cenderung menurun dengan semakin singkatnya interval pemotongan. Hal ini disebakan karena adanya perbedaan kapasitas fotosintesis, kemampuan tanaman untuk menyerap zat-zat hara dan persediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali.

Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum (Pennisetum purpureum)

Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor interval pemotongan dan pemberian urine kelinci yang difermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Interaksi antara interval pemotongan dan tinggi tanaman juga memberikan pengaruh yang sangat nyata pada pertambahan tinggi tanaman (Lampiran 2) . Data tinggi tanaman selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Tinggi Tanaman Selama Penelitian (cm) Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg) P0 43.51 51.48 94.99 47.50a 5.64 P1 56.90 59.81 116.71 58.36b 2.06 P2 71.37 72.65 144.02 72.01c 0.91 P3 81.63 89.02 170.65 85.33d 5.23 Total 253.41 272.96 526.37 - - Rataan 63.35a 68.24b - 65.80 3.46

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi tanaman. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi tanaman dapat dilihat dari Gambar 5.

Gambar 5. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum(cm)

Pada kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi menunjukkan bahwa pemberian kotoran kelinci fermentasi akan memberikan respon positif terhadap pertambahan tinggi tanaman. Hal ini dapat dilihat dari gambar 5 yang menunjukkan bahwa tinggi tanaman

Pennisetum purpureum akan selalu meningkat jika dilakukan penambahan dosis pemberian kotoran kelinci fermentasi atau dengan kata lain bahwa dengan dosis kotoran kelinci fermentasi lebih dari 150 ml juga akan memberikan hasil yang optimal terhadap tinggi tanaman Pennisetum purpureum.

Analisa data statistik diperoleh bahwa tinggi tanaman Pennisetum purpureum pada perlakuan P3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan P0 dengan nilai rataan tertinggi yaitu 85,33 cm. Perlakuan interval pemotongan, interval pemotongan A1 (4 minggu) berbeda sangat nyata dengan interval pemotongan A2 (6 minggu) dengan nilai rataan pada A1 adalah 63,35 cm dan pada A2 yaitu 68,24 cm. Interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi tanaman Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 6.

Gambar 6. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan

dan Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum (cm)

Gambar 6 diperoleh bahwa kombinasi perlakuan A2P3 menghasilkan rataan tanaman tertinggi yaitu 89,02 cm, dimana perlakuan

tersebut berbeda sangat nyata dengan perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi fermentasi 150 ml (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik yang disebabkan oleh interval pemotongan tanaman yang lebih lama dan volume pupuk organik cair (urine dan feses kelinci) yang lebih banyak yang dibutuhkan oleh tanah untuk pertumbuhan tanaman. Sementara itu hasil interaksi yang paing rendah adalah kombinasi perlakuan A1P0 yaitu rataan tinggi rumput 43,51 cm. Adanya perbedaan tinggi Pennisetum purpureum

yang sangat nyata karena tanaman yang diberi pupuk otomatis pertumbuhannya akan lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman tanpa pemberian pupuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Madjid et. al (2011) yang menyatakan bahwa pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik maupun anorganik bila ditambahkan ke dalam tanah atau ke tanaman dapat memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat meningkatkan pertumbuhan tanaman.

Semakin seringnya tanaman dipotong, maka pertumbuhan tanaman ke atas akan tertekan. Hal ini disebabkan semakin panjang interval pemotongan maka pertumbuhan tinggi tanaman semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasution (1997) bahwa semakin sering dipotong pertumbuhan kembali tanaman tersebut akan semakin lambat karena persediaan energi (karbohidrat) dan pati yang ditinggalkan pada batang semakin sedikit. Pendeknya interval pemotongan menyebabkan pertumbuhan tanaman lambat dan kesempatan untuk tumbuh juga singkat, sedangkan pada pemotongan lebih lama kesempatan tumbuh lama sehingga tanaman dapat tumbuh optimal. Dalam penelitian Juli (2011), hasil rataan

tinggi Pennisetum purpureum pada interval pemotongan 40 hari adalah 79,54 cm dengan menggunakan pupuk organik cair yaitu urine sapi fermentasi. Adanya perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman Pennisetum purpureum menunjukkan bahwa kandungan unsur hara dalam urine kelinci

lebih baik dibandingkan dengan urine sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kartadisastra (2001) bahwa urine sapi memiliki nilai N, P dan K yait 1%,

0,5% dan 1,5%, sedangkan kandungan unsur hara dalam kotoran kelinci (urine dan feses) adalah 2,72% N, 1,10% P dan 0,5% K.

Jumlah Anakan Pennisetum purpureum

Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor interval pemotongan berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum. Sedangkan dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi berpengaruh sangat nyata terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum (Lampiran 5). Rataan jumlah anakan Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 6. Rataan Jumlah Anakan Pennisetum purpureum Selama Penelitian Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg) P0 2.89 1.83 4.72 2.36a 0.75 P1 4.89 6.50 11.39 5.70b 1.14 P2 7.33 9.33 16.66 8.33c 1.41 P3 17.11 11.83 28.94 14.47d 3.73 Total 32.22 29.49 61.71 - - Rataan 8.06b 7.37a - 7.71 0.48

Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi

tanaman. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi tanaman dapat dilihat dari Gambar 7.

Gambar 7. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Jumlah anakan Pennisetum purpureum

Dari Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa pemberian kotoran kelinci fermentasi akan memberikan respon positif terhadap pertambahan jumlah anakan Pennisetum purpureum. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka jumlah anakan Pennisetum purpureum juga akan semakin meningkat yaitu terlihat dari titik pada kurva selalu meningkat seiring dengan meningkatnya penambahan dosis kotoran kelinci fermentasi.

Analisa statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa jumlah anakan pada perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi P3 memberikan perbedaan yang sangat nyata pada perlakuan P0, yaitu dengan nilai rataan tertinggi 14,47 rumpun. Perlakuan interval pemotongan diperoleh hasil bahwa jumlah anakan pada pemotongan 4 minggu (A1) nilai rataan 8,06, sedangkan pada pemotongan 6 minggu memiliki jumlah anakan sebanyak

7,37 anakan. Interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 8.

Gambar 8. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Jumlah Anakan Pennisetum purpureum

Pada gambar di atas diperoleh hasil bahwa kombinasi perlakuan A1P3 memiliki nilai interaksi yang berpengaruh sangat nyata. Hal ini menunjukkan bahwa perlakuan interval pemotongan 4 minggu (A1) dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik karena memiliki nilai rataan jumlah anakan 17,11 anakan, sementara itu pada kombinasi perlakuan A2P3 memperoleh hasil jumlah anakan 11,83 anakan. Tanah yang memiliki nilai kebutuhan hara yang cukup akan menghasilkan nilai produksi yang baik pula terhadap Pennisetum purpureum atau dapat menekan pertumbuhan tunas-tunas Pennisetum purpureum. Salah satu jenis pupuk yang cukup baik, agar sifat fisik tanah dapat dipertahankan adalah pupuk organik (dapat menggunakan kompos

atau pupuk kandang). Pupuk ini dapat terbentuk dari daun-daunan, jerami atau kotoran hewan yang sudah lapuk/hancur dan berubah menjadi bagian tanah (Murbandono, 1999).

. Pada hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin sering tanaman dipotong maka semakin meningkat jumlah anakannya. Hal ini disebabkan bahwa dengan pemotongan pada rumput akan merangsang berkembangnya tunas-tunas baru. Menurut Kristanto dan Karno (1991) bahwa tinggi pemotongan memberi pengaruh pada laju pertumbuhan kembali karena cadangan karbohidrat cukup untuk mendukung pemunculan dan pertumbuhan tunas baru yang terbentuk. Dilanjut dengan pernyataan Sanchez (1993) bahwa pemotongan dapat mendorong pembentukan tunas-tunas baru. Hal ini akan menggambarkan tanaman yang lebih sering mengalami pemotongan akan membentuk tunas yang lebih banyak. Dalam penelitian Adrianton (2010) bahwa interval pemotongan 4 minggu menghasilkan rataan jumlah anakan Pennisetum purpureum yang paling yaitu 0,46 pols/hari, dimana dalam penelitian ini interval pemotongan 4 minggu juga menghasilkan rataan jumlah anakan paling baik. Hal ini menggambarkan bahwa interval pemotongan 4 minggu memungkinkan tanaman dapat membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang cukup.

Protein Kasar Pennisetum purpureum (%)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata

terhadap kandungan protein kasar Pennisetum purpureum (Lampiran 14). Hasil rataan kandungan protein kasar dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7. Rataan Protein Kasar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (%)

Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg) P0 9.79 8.07 17.86 8.93a 1.22 P1 10.55 8.75 19.29 9.65a 1.27 P2 10.25 8.05 18.30 9.15a 1.56 P3 11.55 8.56 20.11 10.06ab 2.12 Total 42.14 33.42 75.56 - - Rataan 10.54b 8.36a - 9.45 1.54

Hasil statistik yang dilakukan diperoleh bahwa diperoleh hasil bahwa perlakuan P3 memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap protein kasar Pennisetum purpureum, dengan nilai rataan yang paling baik yaitu 10,06% dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 dengan nilai rataan 8,93%, 9,65% dan 9,15%, sedangkan pada perlakuan interval pemotongan A1 memberikan kadar protein tertinggi yaitu 10,54%, sedangkan A2 memiliki nilai protein 8,36%. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap kadar protein kasar Pennisetum purpureum adalah pada Gambar 9.

Gambar 9. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Dosis kotoran kelinci fermentasi Fermentasi Terhadap Protein Kasar Pennisetum purpureum (%)

Pada gambar di atas terlihat bahwa interaksi yang sangat nyata terhadap kandungan protein kasar adalah kombinasi perlakuan A1P3 atau interaksi dari kombinasi perlakuan interval pemotongan 4 minggu dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml. Nilai kandungan protein kasar pada A1P3 yaitu 11,55% lebih baik dibandingkan dengan kombinasi perlakuan A2P3 yaitu 8,56%. Hal ini disebabkan karena pada interval 4 minggu umur tanaman Pennisetum purpureum masih dalam fase pertumbuhan dan menghasilkan kandungan protein kasar yang tinggi dan serat kasar yang rendah. Selain itu, kandungan protein yang tinggi pada P3 dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 didukung oleh adanya kebutuhan unsur hara yang cukup bagi akar tanaman sebagai cadangan makanan yang diperoleh dari urine kelinci yang telah difermentasi. Interval pemotongan 4 minggu tanaman masih dalam fase-fase awal pertumbuhan sehingga

pembentukan serat masih rendah dan belum maksimal. Kandungan protein kasar tanaman Pennisetum purpureum yang menurun seiring dengan meningkatnya umur. Hal ini sesuai dengan pernyataan Djajanegara (1998) bahwa umur tanaman pada saat pemotongan sangat berpengaruh terhadap kandungan gizinya. Umumnya, makin tua umur tanaman pada saat pemotongan, makin berkurang kadar proteinnya dan serat kasarnya makin tinggi. Demikian dengan pendapat Susetyo (1994), bahwa tanaman pada umur muda kualitas lebih baik karena serat kasar lebih rendah, sedangkan kadar proteinnya lebih tinggi. Apabila dibandingkan dengan penelitian Pangihutan (2005) menunjkkan hasil bahwa interval pemotongan 30 hari menunnjukkan nilai protein kasar sebesar 14,20%. Hal ini disebabkan karena pada interval pemotongan 30 hari tanaman masih pada fase-fase awal pertumbuhannya sehingga produksi protein masih rendah.

Serat Kasar Pennisetum purpureum (%)

Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara kedua perlakuan memberikan pengaruh yang sangat nyata terhadap kadar serat kasar Pennisetum purpureum (%) (Lampiran 17). Rataan kadar protein kasar Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 8. Rataan Kadar Serat Kasar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (%) Dosis Kotoran Kelinci Interval Pemotongan Total Rataan SD A1 (4 mg) A2 (6 mg) P0 26.72 28.62 55.34 27.67ab 1.35 P1 26.02 27.11 53.12 26.56ab 0.77 P2 26.07 25.86 51.93 25.97a 0.15 P3 26.20 25.86 52.06 26.03a 0.24

Total 105.01 107.45 212.46 - -

Rataan 26.25a 26.86b - 26.56 0.43

Hasil uji statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa pada perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi diperoleh bahwa perlakuan P0 tidak berbeda nyata dengan P1, akan tetapi memiliki perbedaan yang nyata pada P2 dan P3. Pada perlakuan interval pemotongan, interval pemotongan 6 minggu (A2) memiliki rataan kandungan serat kasar paling tinggi yaitu 27,28% dibandingkan dengan interval pemotongan 4 minggu (A1) yaitu 26,25%. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi dapat dilihat pada gambar 10.

Gambar 10. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan Dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Fermentasi Terhadap Serat Kasar Pennisetum purpureum (%)

Pada gambar diperoleh bahwa interaksi yang memiliki serat kasar paling tinggi adalah terlihat pada kombinasi perlakuan A2P0 yaitu 28,68%, sedangkan pada kombinasi perlakuan A2P3 yaitu 25,86%. Hal ini disebabkan semakin lamanya interval pemotongan dan volume pupuk organik atau pupuk kandang yang semakin sedikit akan mempengaruhi

tingkat kandungan serat kasar Pennisetum purpureum yakni semakin lama pemotongan maka semakin tinggi serat kasar tanaman tersebut. Demikian juga dengan dosis pupuk kandang, jika sedikit unsur hara yang masuk ke dalam tanah maka cadangan karbohidrat untuk akar tanaman semakin sedikit sehingga lignin pada tanaman akan semakin tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan Crowder and Chedda (1982), bahwa peningkatan umur tanaman akan diikuti peningkatan bobot total dinding sel dan akan terjadi penurunan terhadap bobot isi sel.

Perbedaan kandungan serat kasar dapat terjadi karena perbedaan umur pemotongan. Umur pemotongan yang lebih lama akan mempengaruhi kandungan serat kasar (semakin tinggi), sedangkan umur pemotongan yang lebih pendek akan terjadi sebaliknya. Menurut Erwanto (1984) bahwa semakin lama umur pemotongan pada tanaman akan meningkatkan kandungan serat kasarnya. Kandungan serat kasar erat hubungannya dengan

Dokumen terkait