PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI
FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL
PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN
KUALITAS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)
SKRIPSI
FHINKA NATALYA SIHOMBING 090306031
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI
FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN INTERVAL
PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN
KUALITAS RUMPUT GAJAH (Pennisetum purpureum)
SKRIPSI
FHINKA NATALYA SIHOMBING 090306031
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara
PROGRAM STUDI PETERNAKAN FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
Judul Skripsi : Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi (Urine dan Feses) dan Interval Pemotongan terhadap Produksi dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)
Nama : Fhinka Natalya Sihombing
NIM : 090306031
Program Studi : Peternakan
Disetujui oleh:
Komisi Pembimbing
(Dr. Nevy Diana Hanafi, S.Pt., M.Si) (Ir. Iskandar Sembiring, MM)
Ketua Anggota
Mengetahui,
(Dr.Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si) Ketua Program Studi Peternakan
ABSTRAK
FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: “PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN
INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN
KUALITAS PENNISETUM PURPUREUM. Dibimbing oleh NEVY
DIANA HANAFI dan ISKANDAR SEMBIRING.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kotoran
kelinci fermentasi (urine dan feses) terhadap produksi dan kandungan nutrisi
Pennisetum purpureum, melihat pengaruh interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum dan melihat interaksi antara interval pemotongan dan kotoran kelinci fermentasi terhadap produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum. Penelitian dilaksanakan di Lahan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design). Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu faktor I: Interval Pemotongan (A), yaitu dari A1= 4 minggu dan A2= 6 minggu. Faktor II: Dosis urine dan feses kelinci fermentasi (P), yaitu: P0 = 0 ml , P1: 50 ml (1 ton/ha), P2 = 100 ml (2 ton/ha) dan P3 = 150 ml (3 ton/ha). Parameter yang diteliti adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi segar, produksi bahan kering, protein kasar, serat kasar dan energi bruto.
Hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan produksi tertinggi dari anak petak terdapat pada perlakuan P3 yaitu pemberian dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml dengan hasil rataan tinggi tanaman (85,32 cm), jumlah anakan (14,47 rumpun), produksi segar (1212,8 kg/ha) dan produksi bahan kering (11588,8 kg/ha), faktor interval pemotongan sebagai petak utama diperoleh bahwa kandungan nutrisi Pennisetum purpureum yang paling baik adalah pada pemotongan 4 minggu, yaitu protein kasar (10,54%), serat kasar (26,25%) dan energi bruto (4,61 K.cal) dan terdapat interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum.
ABSTRACT
FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: "EFFECT OF RABBIT
DROPPINGS FERMENTATION (URINE AND FECES) AND CUTTING INTERVAL FOR PRODUCTION AND QUALITY OF PENNISETUM PURPUREUM ". Under supervised by NEVY DIANA HANAFI and
ISKANDAR SEMBIRING.
This study aimed to examine the effect of fermented rabbit droppings ( urine and feces ) on production and nutrient content of Pennisetum
purpureum , looking at the effect of cutting interval on production and nutrient content of Pennisetum purpureum and look at the interaction between cutting intervals and rabbit droppings fermentation on productivity and nutrient content of grass elephant . The experiment was conducted at the Agricultural Faculty, North Sumatera University in August to December 2013. The design used in the study is the design of Compartments Divided ( Split Plot Design ) . Treatment consisted of 2 factors, the first factor : Cutting Interval ( A ) , namely A1= 4 weeks and A2= 6 weeks. Factor II :
Dose rabbit droppings fermentation ( P ) , namely : P0 = 0 ml , P1 = 50 ml (1 t/ha), P2= 100 ml (2 t/ha) and P3 = 150 ml (3 t/ha) . The
parameters studied were plant height , number of tillers , fresh production , production of dry matter , crude protein , crude fiber and gross energy.
The results showed that the highest production of subplot that is contained in P3 treatment dose of 150 ml of fermented rabbit droppings
with the results of the average plant height ( 85.32 cm ) , number of tillers ( 14.47 clumps ) , fresh produce ( 1212.8 kg / ha ) , and production of dry
matter ( 11588.8 kg / ha ) , cutting interval factor as the main plot shows that the nutrient content of Pennisetum purpureum is best at cutting 4 weeks
is crude protein ( 10.54 % ) , crude fiber ( 26.25 % ) and gross energy ( 4.61 K.cal ) and there is interaction between the cutting and dosing
interval rabbit dung fermentation on production and nutrient content of Pennisetum purpureum.
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sidikalang pada tanggal 24 Desember 1989
dari Ayah Jonny Sihombing dan Ibu Bernawati Pasaribu. Penulis
merupakan Puteri pertama dari empat bersaudara.
Tahun 2008 penulis lulus dari SMA Negeri 1 Sidikalang dan pada
tahun 2009 masuk ke Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara melalui ujian tertulis Ujian Masuk Bersama
(UMB).
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif sebagai anggota Ikatan
Mahasiswa Peternakan (IMAPET), anggota Ikatan Mahasiswa Kristen
Peternakan (IMAKRIP) menjabat sebagai anggota bidang Pendidikan,
Pengembangan dan Pelatihan periode 2011-2012, anggota Ikatan
Mahasiswa Dairi (IMADA), pemenang juara 1 lomba BIG IDEA
COMPETITION SEC USU pada tahun 2011 dan penulis pernah menjadi
asisten praktikum Dasar Ternak Perah.
Penulis melaksanakan Praktek Kerja Lapangan (PKL) di Sipiso-piso
Desa Situnggaling, Kecamatan Merek, Kabupaten Karo bulan Juli sampai
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
yang telah memberikan rahmat serta karuniaNya sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pemberian Kotoran Kelinci
Fermentasi (Urine dan Feses) dan Interval Pemotongan terhadap Produksi
dan Kualitas Rumput Gajah (Pennisetum purpureum)”.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada orang tua atas doa,
semangat dan pengorbanan materil maupun moril yang telah diberikan
selama ini. Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada
Ibu Dr. Nevy Diana Hanafi. S.Pt, M.Si selaku ketua komisi pembimbing
dan Bapak Ir. Iskandar Sembiring, MM selaku anggota komisi pembimbing
yang telah memberikan arahan dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini.
Juga kepada Bapak Dr. Ir. Ma’ruf Tafsin, M.Si dan
Bapak Hamdan, S.Pt, M.Si selaku dosen penguji saya yang telah
memberikan berbagai masukan kepada penulis.
Akhir kata Penulis mengucapkan terima kasih kepada semua civitas
akademika di Program Studi Peternakan serta semua rekan mahasiswa yang
tidak dapat disebutkan satu per satu yang telah banyak membantu dalam
DAFTAR ISI
Deskripsi Tanaman Rumput Gajah ... 6
Kebutuhan Unsur Hara bagi Tanaman. ... 9
Pemupukan ... 11
Kotoran Kelinci (Urine dan Feses) ... 12
Fermentasi Urine... ... 13
Defoliasi dan Interval Pemotongan Rumput ... 15
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Parameter Penelitian ... 20
Pertumbuhan Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum ... 20
Jumlah Anakan tanaman Pennisetum purpureum ... 20
Produksi Segar Pennisetum purpureum ... 20
Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum ... 21
Kandungan Nutrisi Pennisetum purpureum ... 21
Pelaksanaan Penelitian ... 22
Fermentasi Kotoran Kelinci ... 23
Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi ... 23
Pemotongan Rumput Gajah ... 24
Pengambilan Data ... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 25
Produksi Segar Rumput Gajah (kg/ha) ... 25
Produksi Bahan Kering Rumput Gajah (kg/ha) ... 29
Tinggi Tanaman Rumput Gajah (cm) ... 33
Jumlah Anakan Rumput Gajah (Rumpun) ... 37
Protein Kasar Rumput Gajah (%) ... 40
Serat Kasar Rumput Kasar (%) ... 43
Energi Bruto Rumput Gajah (K.cal) ... 45
KESIMPULAN DAN SARAN ... 48
Kesimpulan ... 48
Saran ... 48
DAFTAR TABEL
No. ... Hal
1. Analisa Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar berbagai Jenis Hijauan
Makanan Ternak ... 7
2. Kandungan Zat Hara Beberapa Kotoran Ternak Padat dan Cair ... 13
3. Rataan Produksi Segar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (kg/ha) .... 25 4. Rataan Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum (kg/ha) ... 30 5. Rataan Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum Selama Penelitian (cm) ... 34 6. Rataan Jumlah Anakan Pennisetum purpureum Selama Penelitian (anakan) 37 7. Rataan Kandungan Protein Kasar Pennisetum purpureum (%) ... 41 8. Rataan Kandungan Serat Kasar Pennisetum purpureum Selama
Penelitian (%) ... 43
DAFTAR GAMBAR
No Hal.
1. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap
Produksi Segar Pennisetum purpureum ... 26 2. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Produksi Segar
Pennisetum purpureum ... 27 3. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap
Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum ... 30 4. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Produksi Bahan Kering
Pennisetum purpureum ... 32 5. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap
Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum ... 34 6. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Tinggi Tanaman
Pennisetum purpureum ... 36 7. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap
Jumlah Anakan Pennisetum purpureum ... 38 8. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Jumlah Anakan
Pennisetum purpureum ... 39 9. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Kandungan Protein
Kasar Pennisetum purpureum ... 42 10.Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Kandungan Serat Kasar
Pennisetum purpureum ... 44 11.Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan
Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi terhadap Energi Bruto
ABSTRAK
FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: “PENGARUH PEMBERIAN KOTORAN KELINCI FERMENTASI (URINE DAN FESES) DAN
INTERVAL PEMOTONGAN TERHADAP PRODUKSI DAN
KUALITAS PENNISETUM PURPUREUM. Dibimbing oleh NEVY
DIANA HANAFI dan ISKANDAR SEMBIRING.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian kotoran
kelinci fermentasi (urine dan feses) terhadap produksi dan kandungan nutrisi
Pennisetum purpureum, melihat pengaruh interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum dan melihat interaksi antara interval pemotongan dan kotoran kelinci fermentasi terhadap produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum. Penelitian dilaksanakan di Lahan Pertanian Fakultas Pertanian Universitas Sumatera Utara pada bulan Agustus sampai dengan Desember 2013. Rancangan yang dipakai dalam penelitian adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design). Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu faktor I: Interval Pemotongan (A), yaitu dari A1= 4 minggu dan A2= 6 minggu. Faktor II: Dosis urine dan feses kelinci fermentasi (P), yaitu: P0 = 0 ml , P1: 50 ml (1 ton/ha), P2 = 100 ml (2 ton/ha) dan P3 = 150 ml (3 ton/ha). Parameter yang diteliti adalah tinggi tanaman, jumlah anakan, produksi segar, produksi bahan kering, protein kasar, serat kasar dan energi bruto.
Hasil penelitian diperoleh bahwa perlakuan produksi tertinggi dari anak petak terdapat pada perlakuan P3 yaitu pemberian dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml dengan hasil rataan tinggi tanaman (85,32 cm), jumlah anakan (14,47 rumpun), produksi segar (1212,8 kg/ha) dan produksi bahan kering (11588,8 kg/ha), faktor interval pemotongan sebagai petak utama diperoleh bahwa kandungan nutrisi Pennisetum purpureum yang paling baik adalah pada pemotongan 4 minggu, yaitu protein kasar (10,54%), serat kasar (26,25%) dan energi bruto (4,61 K.cal) dan terdapat interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum.
ABSTRACT
FHINKA NATALYA SIHOMBING, 2014: "EFFECT OF RABBIT
DROPPINGS FERMENTATION (URINE AND FECES) AND CUTTING INTERVAL FOR PRODUCTION AND QUALITY OF PENNISETUM PURPUREUM ". Under supervised by NEVY DIANA HANAFI and
ISKANDAR SEMBIRING.
This study aimed to examine the effect of fermented rabbit droppings ( urine and feces ) on production and nutrient content of Pennisetum
purpureum , looking at the effect of cutting interval on production and nutrient content of Pennisetum purpureum and look at the interaction between cutting intervals and rabbit droppings fermentation on productivity and nutrient content of grass elephant . The experiment was conducted at the Agricultural Faculty, North Sumatera University in August to December 2013. The design used in the study is the design of Compartments Divided ( Split Plot Design ) . Treatment consisted of 2 factors, the first factor : Cutting Interval ( A ) , namely A1= 4 weeks and A2= 6 weeks. Factor II :
Dose rabbit droppings fermentation ( P ) , namely : P0 = 0 ml , P1 = 50 ml (1 t/ha), P2= 100 ml (2 t/ha) and P3 = 150 ml (3 t/ha) . The
parameters studied were plant height , number of tillers , fresh production , production of dry matter , crude protein , crude fiber and gross energy.
The results showed that the highest production of subplot that is contained in P3 treatment dose of 150 ml of fermented rabbit droppings
with the results of the average plant height ( 85.32 cm ) , number of tillers ( 14.47 clumps ) , fresh produce ( 1212.8 kg / ha ) , and production of dry
matter ( 11588.8 kg / ha ) , cutting interval factor as the main plot shows that the nutrient content of Pennisetum purpureum is best at cutting 4 weeks
is crude protein ( 10.54 % ) , crude fiber ( 26.25 % ) and gross energy ( 4.61 K.cal ) and there is interaction between the cutting and dosing
interval rabbit dung fermentation on production and nutrient content of Pennisetum purpureum.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Makanan yang cukup baik kuantitas maupun kualitasnya diperlukan
ternak untuk hidup, berproduksi dan berkembang biak. Kelangsungan
penyediaan hijauan makanan ternak sangat diperlukan bagi herbivora pada
umumnya dan ternak ruminansia khususnya. Hal-hal yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan spesies dan leguminosa untuk hijauan
makanan ternak adalah produktivitas, palatabilitas, nilai gizi dan daya
adaptasi tanaman terhadap keadaan tanah dan iklim.
Pemupukan yang efektif dapat dilihat dari jumlah dosis pupuk yang
diberikan dan unsur hara yang terkandung dalam pupuk. Pemupukan dapat
dilakukan dalam bentuk pupuk organik maupun anorganik. Pupuk kandang
merupakan salah satu bentuk pupuk organik yang dapat digunakan untuk
memperbaiki kesuburan tanah. Sebagai bahan organik dalam tanah, pupuk
kandang selain berperan sebagai unsur hara meskipun dalam jumlah sedikit,
juga memperbaiki sifat fisik tanah dan kimia tanah.
Pupuk organik terdiri atas pupuk organik padat yaitu kotoran padat
(feses) ternak dan pupuk organik cair yang berasal dari urine ternak
tersebut. Pemanfaatan urine ternak masih relatif kurang dalam
penggunaannya sebagai pupuk. Pupuk cair mudah disiapkan dan sangat
berguna untuk banyak hal, termasuk pembenihan, tumbuhan kecil, tanaman
buah - buahan dan tanaman -tanaman besar lainnya. Ini merupakan suatu
cara yang baik untuk membuat pupuk kaya akan unsur hara, dari pupuk
dapat dengan mudah disemprotkan pada lahan -lahan yang luas. Pupuk
dapat disimpan dan bertahan lama, dan bisa digunakan untuk areal yang
lebih luas. Pupuk cair dapat dibuat dalam wadah ukuran apapun, dari ember
hingga drum.
Salah satu jenis pupuk organik cair yang dapat dimanfaatkan adalah
urine kelinci. Satu ekor kelinci yang berusia dua bulan atau yang beratnya
sudah mencapai 1 kg akan menghasilkan 28,0 g kotoran lunak (urine dan
feses) per hari dan mengandung 3 g protein serta 0,35 g nitrogen. Di dalam
kotoran lunak kelinci yang berjumlah sedikit tersebut terdapat nilai unsur
hara Nitrogen, Posfor dan Kalium yang lebih baik dibandingkan dengan
kotoran ternak lainnya yaitu 2,72 % Nitrogen, 1,10 % Posfor dan 0,50 %
Kalium. Dengan jumlah yang sedikit akan tetapi dapat dimanfaatkan untuk
meningkatkan pertumbuhan dan produksi tanaman melalui pemanfaatan
nilai unsur hara NPK yang tinggi yang terkandung dalam urine kelinci
tersebut.
Pennisetum purpureum merupakan tanaman pakan ternak yang tepat untuk memenuhi kebutuhan hijauan pakan bagi ternak ruminansia. Rumput
tersebut termasuk tanaman berumur panjang, dapat beradaptasi pada semua
jenis tanah dan palatabilitasnya tinggi (disukai ternak). Salah satu aspek
pengelolaan tanaman Pennisetum purpureum adalah pengaturan interval pemotongan. Interval pemotongan berhubungan dengan produksi yang
dihasilkan dan nilai gizi tanaman dan kesanggupan untuk bertumbuh
kembali. Pemotongan yang terlalu berat dengan tidak memperhatikan
produksi yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang.
Sebaliknya pemotongan yang terlalu ringan menyebabkan pertumbuhan
tanaman didominasi oleh pucuk dan daun saja, sedangkan pertumbuhan
anakan berkurang (Ella, 2002).
Proses fermentasi urine dan feses merupakan pemecahan
senyawa-senyawa kompleks dan masih sulit diserap oleh tanaman yang terkandung di
dalam kotoran kelinci tersebut menjadi senyawa yang lebih sederhana yang
dapat diserap oleh tanaman dengan baik. Dengan demikian, proses
fermentasi akan memperkaya kandungan bahan kimia ataupun unsur hara
dalam urine tersebut yang berguna bagi tanaman dan bau kotoran kelinci
tersebut juga sudah tidak menyengat.
Berdasarkan uraian di atas, maka penulis tertarik untuk melakukan
penelitian tentang pengaruh pemberian urine kelinci fermentasi dan interval
pemotongan terhadap produksi dan kualitas Pennisetum purpureum.
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pengaruh interval pemotongan terhadap produksi dan
kandungan nutrisi Pennisetum purpureum
2. Mengetahui pengaruh pemberian kotoran kelinci fermentasi (urine dan
feses) terhadap produksi dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum 3. Mengetahui pengaruh interaksi antara pemberian kotoran kelinci
fermentasi dan interval pemotongan terhadap produksi dan kandungan
Kegunaan Penelitian
Memberikan pengetahuan bagi masyarakat dan peneliti tentang
budidaya hijauan makanan ternak dan kualitas hijauan dengan pemberian
kotoran kelinci fermentasi sebagai pupuk dasar dengan perbedaaan interval
pemotongan rumput. Penelitian diharapkan sebagai rujukan dalam upaya
peningkatan ketersediaan hijauan makanan ternak serta dapat digunakan
sebagai bahan penulisan skripsi yang merupakan salah satu syarat untuk
memperoleh gelar sarjana di Program Studi Peternakan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara.
Hipotesis Penelitian
1. Interval Pemotongan meningkatkan produktivitas dan kandungan nutrisi
Pennisetum purpureum
2. Pemberian kotoran kelnici fermentasi (urine dan feses) meningkatkan
produktivitas dan kandungan nutrisi Pennisetum purpureum
3. Interaksi pemberian kotoran kelinci fermentasi dan interval pemotongan
TINJAUAN PUSTAKA
Hijauan Makanan Ternak
Pakan hijauan adalah semua bahan pakan yang berasal dari tanaman
ataupun tumbuhan berupa daun - daunan, terkadang termasuk batang,
ranting dan bunga (Sugeng, 1998). Hal yang sama juga dikemukakan oleh
Nasution (1986) yang menyatakan makanan hijauan adalah semua bahan
makanan yang berasal dari tanaman dalam bentuk daun - daunan. Kelompok
makanan hijauan ini biasanya disebut makanan kasar. Hijauan sebagai
bahan makanan ternak bisa diberikan dalam dua macam bentuk, yakni
hijauan segar dan kering. Hijauan sebagai makanan ternak, hijauan
memegang peranan sangat penting, sebab hijauan :
- Mengandung hampir semua zat yang diperlukan hewan
- Khususnya di Indonesia, bahan makanan hijauan memegang peranan
istimewa,
karena bahan tersebut diberikan dalam jumlah yang besar.
- Sebagian besar pakan ruminansia adalah bahan pakan yang berserat tinggi
dengan kecernaan rendah, oleh karena itu harus diusahakan agar ternak
sebanyak mungkin mengkonsumsi makanan untuk mencukupi
kebutuhannya akan zat - zat makanan (Mc Donald et. al., 1995).
Hijauan memegang peranan penting pada produksi ternak
ruminansia, termasuk Indonesia karena pakan yang dikonsumsi oleh sapi,
kerbau, kambing, dan domba sebagian besar dalam bentuk hijauan, tetapi
ketersediaannya baik kualitas, kuantitas, maupun kontinuitasnya masih
Deskripsi Tanaman Pennisetum purpureum
Pennisetum purpureum mempunyai sistematika sebagai berikut, yaitu Phylum: Spermatophyta; Sub phylum: Angiospermae; Class:
Monocotyledoneae; Ordo: Glumifora; Family: Gramineae; Sub Family:
Panicurdeae; Genus: Pennisetum; Spesies: Pennisetum purpureum.
Pennisetum purpureum secara umum merupakan tanaman tahunan yang berdiri tegak, berakar dalam, dan tinggi dengan rimpang yang pendek.
Tinggi batang dapat mencapai 2 - 4 meter (bahkan mencapai 6 - 7 meter),
dengan diameter batang dapat mencapai lebih dari 3 cm dan terdiri sampai
20 ruas per buku. Rumput diperbanyak dengan potogan - potongan batang
atau rhizoma yang mengandung 3 sampai 4 buku batang (Reksohadiprodjo,
1985).
Pennisetum purpureum disukai ternak, tahan kering, berproduksi tinggi, bernilai gizi tinggi dan merupakan rumput yang sangat baik untuk
silase. Pennisetum purpureum (Pennisetum purpureum), sebagai bahan pakan ternak yang merupakan hijauan unggul, dari aspek tingkat
pertumbuhan, produktifitas dan nilai gizinya. Produksi Pennisetum purpureum dapat mencapai 20 – 30 ton/ha/tahun (Ella, 2002).
Pennisetum purpureum merupakan tumbuhan yang memerlukan hari dengan waktu siang yang pendek, dengan foto periode kritis antara 13 - 12
jam. Kandungan nutrisi Pennisetum purpureum terdiri atas: 19, 9% bahan kering (BK), 10, 2% protein kasar (PK), 1, 6% lemak, 34, 2% serat kasar,
11, 7% abu dan 42, 3% bahan ekstrak tanpa nitrogen (BETN)
Kadar protein akan menurun sesuai dengan meningkatnya umur
tanaman tetapi selain serat kasarnya semakin tinggi, maka pemotongan
hijauan segar sangat erat hubungannya dengan daya cerna serta jumlah
konsumsi oleh ternak yang memakannya. Mutu hijauan ditentukan oleh kadar
proteinnya. Di daerah tropis, seperti Indonesia dengan curah hujan dan
intensitas sinar matahari yang tinggi mengakibatkan pertumbuhan hijauan
relatif cepat daripada di daerah subtropis. Rumput yang lebih cepat menua yang diakibatkan oleh tingginya intensitas sinar matahari akan memiliki nilai gizi
yang rendah. Mutu hijauan erat kaitannya dengan zat gizi yang dikandungnya.
Tabel 1. Analisa Kadar Protein Kasar dan Serat Kasar berbagai Jenis Hijauan Makanan Ternak
Berdasarkan penelitian Adrianton (2010) bahwa hasil analisis nilai
gizi tanaman rumput pada gajah bahwa perlakuan interval pemotongan 4
minggu dianggap lebih baik, dengan menghasilkan komposisi kadar air dan
kadar protein kasar yang lebih tinggi sebesar (82,79 %) dan (8,86 %) serta lemak kasar dan serat kasar yang lebih rendah sebesar (4,46 %) dan (33,20 %).
Sedangkan interval pemotongan 8 minggu dan 10 minggu dianggap tanaman
tersebut agak terlalu tua dalam hubungannya dengan analisis nilai gizi. Hal ini sesuai pendapat Lubis (1992), bahwa nilai gizi tanaman Pennisetum purpureum
protein kasar sebesar (85,50 %) dan (11,50 %) serta lemak kasar dan serat kasar sebesar (3,20 %) dan (29,3 %).
Berdasarkan penelitian Manurung et.al (1975) yang melakukan pengamatan penggunaan pupuk kandang sapi (urine dan feses) untuk
produksi hijauan Pennisetum purpureum, dilaporkan bahwa penggunaan pupuk kandang secara tunggal sebanyak 10 ton/ha/tahun memberikan
respons yang sangat baik terhadap produksi hijauan Pennisetum purpureum, jika dibandingkan dengan penggunaan pupuk anorganik ataupun kombinasi
pupuk kandang dengan pupuk anorganik. Respon produksi hijauan
Pennisetum purpureum dua kali (184 ton/ha/tahun) lebih tinggi jika dibandingkan dengan produksi Pennisetum purpureum yang tidak mendapat perlakuan pemupukan (kontrol). Pemberian pupuk anorganik N, P dan K
baik secara terpisah maupun gabungan dari ketiga unsur tersebut tidak
memberikan respon sebaik pemberian pupuk kandang. Pemberian pupuk
kandang bersama - sama dengan pupuk buatan (N, P dan K) tidak
memberikan respon sebaik pupuk kandang secara tunggal. Bahkan
dilaporkan kombinasi pupuk kandang dengan unsur anorganik menunjukkan
penurunan produksi hijauan Pennisetum purpureum segar, walaupun perbedaan tersebut secara statistik tidak berbeda nyata.
Pemotongan Pennisetum purpureum dilakukan bila rumput sudah setinggi 1 - 1,5 meter. Apabila lebih tinggi atau lebih tua, proporsi batang
sedemikian besarnya sehingga kadar serat kasarnya menjadi tinggi dan nilai
cm dengan interval pemotongan 6 – 8 minggu (paling baik 6 minggu)
(Reksohadiprojo, 1994).
Salah satu aspek pengelolaan tanaman Pennisetum purpureum adalah
pengaturan interval pemotongan. Interval pemotongan berhubungan dengan
produksi yang dihasilkan dan nilai gizi tanaman dan kesanggupan untuk bertumbuh kembali. Pemotongan yang terlalu berat dengan tidak
memperhatikan kondisi tanaman akan menghambat pertumbuhan tunas yang
baru sehingga produksi yang dihasilkan dan perkembangan anakan menjadi berkurang. Sebaliknya pemotongan yang terlalu ringan menyebabkan
pertumbuhan tanaman didominasi oleh pucuk dan daun saja, sedangkan
pertumbuhan anakan berkurang (Ella, 2002).
Dengan melakukan pemotongan, berarti menghilangkan meristem
apikal di bagian pucuk tanaman sebagai penghasil auxin sehingga daya aktif
auxin akan mengalami gangguan, sehingga akan merangsang perkembangan
tunas-tunas lateral (Prawiranata, 1981). Pemotongan dapat mendorong
pembentukan tunas-tunas baru, jadi tanaman yang lebih sering mengalami
pemotongan akan membentuk tunas yang lebih banyak (Sanchez, 1993).
Salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan kembali adalah
adanya persediaan makanan berupa karbohidrat di dalam akar tanaman yang
ditinggal setelah pemotongan. Semakin tinggi interval pemotongan,
produksi segar juga meningkat. Oleh karena itu dapat diketahui bahwa
semakin sering rumput dipotong semakin sedikit produksi segar yang
diperoleh, hal ini dapat terjadi karena pada rumput yang sering dipotong
terjadi pengurasan terus menerus terhadap karbohidrat dalam akar
Kebutuhan Unsur Hara bagi Tanaman
Setiap tanaman memerlukan paling sedikit 16 unsur hara untuk
pertumbuhan normalnya yang diperoleh dari udara, air, tanah dan garam -
garam mineral atau bahan organik. Unsur yang diperoleh dari udara ada 3
jenis, yaitu unsur Carbon (C), Hidrogen (H) dan Oksigen(O), sedangkan 13
unsur lainnya seperti Nitrogen (N), Fosfor (P), Kalium (K), Calsium (Ca),
Magnesium (Mg), Sulfur (S), Besi (Fe), Mangan (Mn), Seng (Zn), Tembaga
(Cu), Boron (B), Molibdenum (Mo) dan Klorin (Cl) diperoleh tanaman dari
dalam tanah. Tetapi dari antara 13 unsur hara tersebut, hanya 6 unsur yang
amat dibutuhkan dalam porsi yang cukup banyak, yaitu N, P, K, S, Ca dan
Mg. Namun dari 6 unsur ini hanya 3 yang mutlak harus ada bagi tanaman
yaitu N, P, K (Rosmarkam, 2002).
Nitrogen (N) merupakan unsur hara utama bagi pertumbuhan
tanaman yang pada umumnya sangat diperlukan untuk pembentukan dan
pertumbuhan bagian - bagian vegetatif tanaman, seperti daun, batang dan
akar. Fosfor (P) terdapat dalam bentuk phitin, nuklein dan fosfatide;
sedangkan kalium bukanlah elemen yang langsung pembentuk bahan
organik. Fungsi N bagi tanaman antara lain : meningkatkan pertumbuhan
tanaman, menyehatkan pertumbuhan daun, meningkatkan kadar protein
dalam tubuh tanaman, meningkatkan kualitas tanaman penghasil daun -
daunan, meningkatkan mikroorganisme di dalam tanah. Fungsi P bagi
tanaman adalah mempercepat pertumbuhan akar semai, mempercepat serta
memperkuat pertumbuhan tanaman muda menjadi tanaman dewasa pada
meningkatkan produksi biji - bijian, sedangkan kalium berperan membantu :
pembentukan protein dan karbohidrat, mengeraskan batang dan bagian kayu
dari tanaman, meningkatkan resistensi tanaman terhadap penyakit,
meningkatkan kualitas biji/buah. Kebutuhan unsur hara untuk daerah tropis
adalah unsur hara makro adalah unsur hara yang diperlukan dalam jumlah
banyak (konsentrasi 1000 mg/kg bahan kering). Unsur hara mikro adalah
unsur hara yang diperlukan dalam jumlah sedikit (konsentrasi kurang dari
atau sama dengan 100 mg/kg bahan kering). Unsur hara makro dibutuhkan
tanaman dan terdapat dalam jumlah yang lebih besar, dibandingkan dengan
unsur hara mikro bahwa batas perbedaan unsur hara makro dan mikro
adalah 0,02 % per mg bahan kering (Sutedjo, 2002).
Pemupukan
Pupuk adalah setiap bahan yang diberikan ke dalam tanah atau
disemprotkan pada tanaman dengan maksud menambah unsur hara yang
diperlukan oleh tanaman. Pemupukan adalah setiap usaha pemberian pupuk
yang bertujuan menambah persediaan unsur hara yang dibutuhkan oleh
tanaman untuk meningkatkan produksi dan hasil mutu tanaman (Sarief,
1990).
Hardjowigeno (1993) mengemukakan bahwa hal - hal yang perlu
diperhatikan pada setiap usaha pemupukan adalah tanaman yang akan
dipupuk, jenis tanah, jenis pupuk, dosis, waktu pemupukan dan cara
pemupukan yang tepat agar sebagian besar dari pupuk yang diberikan dapat
Pemupukan dapat dilakukan dalam bentuk pupuk organik maupun
anorganik. Pupuk kandang merupakan salah satu bentuk pupuk organik
yang dapat digunakan untuk memperbaiki kesuburan tanah. Pupuk kandang
adalah kotoran padat dan cair dari hewan yang tercampur dengan sisa - sisa
pakan dan alas kandang. Nilai pupuk kandang tidak saja ditentukan oleh
kandungan nitrogen, asam fosfat, dan kalium saja, tetapi karena
mengandung hampir semua unsur hara makro (unsur hara makro seperti
Nitrogen (N), Fospat (P2O5), Kalium (K2O) dan Air (H2O) dan mikro
(Kalsium (Ca), Magnesium (Mg), Tembaga (Cu), Mangan (Mn), dan Boron
(Bo) yang dibutuhkan tanaman serta berperan dalam memelihara
keseimbangan hara dalam tanah (Sarno, 2008).
Pupuk kandang adalah pupuk yang berasal dari kandang ternak, baik
berupa kotoran padat (feses) yang bercampur sisa makanan maupun air kencing (urine), sehingga kualitas pupuk kandang beragam tergantung pada
jenis, umur serta kesehatan ternak, jenis dan kadar serta jumlah pakan yang
dikonsumsi, jenis pekerjaan dan lamanya ternak bekerja, lama dan kondisi
penyimpanan, jumlah serta kandungan haranya (Soepardi, 1983). Pupuk
kandang (termasuk urine) biasanya terdiri atas campuran 0,5% N; 0,25%
P2O5 dan 0,5% K2O (Tisdale and Nelson, 1965).
Kotoran Kelinci (Urine dan Feses)
Satu ekor kelinci yang berusia dua bulan lebih, atau yang beratnya
sudah mencapai 1 kg akan menghasilkan 28,0 g kotoran lunak per hari dan
mengandung 3 g protein serta 0,35 g nitrogen dari bakteri atau setara
urine juga mengandung 8 unsur mikro lain, seperti Ca, Mg, K, Na, Cu, Zn,
Mn, dan Fe. Hasil penelitian dari Balai Penelitian Ternak Bogor (2005)
menyimpulkan bahwa pupuk kandang dari kotoran kelinci berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan maupun produksi rumput P.maximum dan
leguminosa S.hamata setelah 6 kali panen (umur 258 hari). Sedangkan
dengan penambahan probiotik pada pupuk kelinci interaksinya telah
memberikan pengaruh nyata pada tanaman pakan dan meningkatkan
produksi hijauan sebesar 34,8 - 38,0% (Rahardjo, 2008).
Telah banyak diketahui bahwa bahan organik seperti limbah
tanaman, pupuk hijau dan kotoran ternak dalam sistem tanah - tanaman
dapat memperbaiki struktur tanah dan membantu perkembangan
mikroorganisme tanah. Kondisi ini sebagai awal proses transformasi N
secara biologis dalam tanah dan, menghasilkan konversi bentuk N organik
menjadi bentuk anorganik yang tersedia bagi tanaman. Pupuk kandang
(termasuk urine) biasanya terdiri atas campuran 0,5% N; 0,25% P2O5 dan
Tabel 2. Kandungan zat hara beberapa kotoran ternak padat dan cair
Novizan (2002) menyatakan bahwa urine ternak umumnya memiliki
kandungan hara yang lebih tinggi dibandingkan kotoran padat, sehingga
pada aplikasinya tidak sebanyak penggunaan pupuk organik padat.
Fermentasi Urine
Fermentasi adalah segala macam proses metabolis dengan bantuan
dari enzim mikrobia (jasad renik) untuk melakukan oksidasi, reduksi,
hidrolisa dan reaksi kimia lainnya, sehingga terjadi perubahan kimia pada
suatu substrat organik dengan menghasilkan produk tertentu. Fermentasi
merupakan proses biokimia yang dapat menyebabkan perubahan sifat bahan
pangan sebagai akibat dari pemecahan kandungan bahan tersebut (Winarno
et al. ,1990).
Selama proses fermentasi terjadi, bermacam - macam perubahan
komposisi kimia. Kandungan asam amino, karbohidrat, pH, kelembaban,
protein dan penurunan serat kasar. Semuanya mengalami perubahan akibat
aktivitas dan perkembangbiakan mikroorganisme selama fermentasi.
Melalui fermentasi terjadi pemecahan substrat oleh enzim – enzim tertentu
terhadap bahan yang tidak dapat dicerna, misalnya selulosa dan
hemiselulosa menjadi gula sederhana (Sembiring, 2006).
Fermentasi urine yang telah dilakukan adalah fermentasi terhadap
urine sapi. Fermentasi urine sapi mempunyai sifat menolak hama atau
penyakit pada tanaman. Hama atau penyakit bisa saja datang, tetapi
langsung pergi, bukan musnah tetapi hanya meyingkir dari tanaman.
Pemupukan dengan menggunakan urine sapi yang telah difermentasikan ± 1
bulan dapat meningkatkan produksi tanaman (Phrimantoro, 2002).
Fermentasi urine sapi yang diaplikasi pada tanaman sangat
menguntungkan petani karena dari segi biaya murah dan produksi
meningkat dibandingkan dengan pupuk kimia. Fermentasi urine sapi dapat
diaplikasikan melalui daun (Naswir, 2003) .
Urine dalam pembuatan pupuk cair membutuhkan bakteri pengurai.
Bakteri pengurai yang umum digunakan adalah berupa produk EM4 ataupun
botani dan molasses sebagai energi yang digunakan oleh bakteri. EM4 merupakan Effective Microorganism 4 yang berguna untuk mempercepat proses pengomposan ataupun pada pembuatan pupuk cair. EM4
mengandung sekitar 80 macam genus mikroorganisme, tetapi hanya ada
bantuan EM4 ini, yaitu sekitar empat sampai tujuh hari. Proses pengolahan
yang baik dan benar akan menghasilkan pupuk cair yang tidak panas, tidak
berbau busuk, tidak mengandung hama dan penyakit, serta tidak
membahayakan pertumbuhan ataupun produksi tanaman (Indriani, 2004).
Secara kimiawi kandungan zat dalam urine kelinci diantaranya
adalah sampah nitrogen (ureum, kreatinin dan asam urat), asam hipurat zat
sisa pencernaan sayuran dan buah, badan keton zat sisa metabolisme lemak,
ion - ion elektrolit (Na, Cl, K, Amonium, sulfat, Ca dan Mg), hormon, zat
toksin (obat, vitamin dan zat kimia asing), zat abnormal (protein, glukosa,
sel darah Kristal kapur). Zat - zat yang terdapat dalam urine tersebut masih
bersifat kompleks yang sulit diserap oleh tanaman, misalnya seperti Na, Cl
dan asam urat yang terdapat dalam urine kelinci tersebut. Dengan adanya
fermentasi, maka zat - zat kompleks dalam urine tersebut akan dipecah oleh
mikroorganisme akan mengalami perubahan bentuk senyawa yang lebih
sederhana atau dengan kata lain proses fermentasi akan mengubah senyawa
kimia ke substrat organik. Perubahan sifat senyawa dalam urine tersebut
akan memperkaya kandungan bahan kimia yang berguna bagi tanaman
sehingga lebih mudah dicerna oleh tanaman
Defoliasi dan Interval Pemotongan
Defoliasi adalah pemotongan atau pengambilan bagian tanaman
yang ada di atas permukaan tanah, baik oleh manusia ataupun renggutan
kembali (regrowth) yang optimal, sehat dan kandungan gizi tinggi, defoliasi harus dilakukan pada periode tertentu (Nasution, 1997).
Interval pemotongan berpengaruh terhadap produksi hijauan, nilai
nutrisi, kemampuan untuk tumbuh kembali, komposisi botani dan ketahanan
spesies. Frekuensi pemotongan berlaku pada batas tertentu, frekuensi yang
semakin rendah akan mengakibatkan produksi kumulatif bahan kering
semakin tinggi dibandingkan produksi kumulatif oleh pemotongan yang
lebih sering (Crowder and Cheda, 1982).
Pada saat tanaman rumput dipotong, bagian yang ditinggalkan tidak
boleh terlalu pendek ataupun terlalu tinggi. Sebab semakin pendek bagian
tanaman yang ditinggalkan dan semakin sering dipotong pertumbuhan
kembali tanaman tersebut akan semakin lambat karena persediaan energi
(karbohidrat) dan pati yang ditinggalkan pada batang semakin sedikit
(Nasution, 1997).
Produksi bahan kering yang tinggi diikuti dengan bertambahnya
panjang interval pemotongan dan cenderung menurun dengan semakin
singkatnya interval pemotongan. Hal ini disebakan karena adanya perbedaan
kapasitas fotosintesis, kemampuan tanaman untuk menyerap zat-zat hara
dan persediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali (Wijaya,
1991). Hal yang sama juga dikemukakan oleh Susetyo (1980) mengatakan
bahwa pemotongan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap
produksi bahan segar, bahan kering, jumlah anakan, nilai gizi, daya cerna
Semakin lama umur pemotongan pada tanaman akan meningkatkan
kandungan serat kasarnya. Kandungan serat kasar erat hubungannya dengan
umur tanaman. Semakin tua umur tanaman semakin meningkat kandungan
serat kasarnya (Erwanto, 1984).
Pada musim penghujan secara umum Pennisetum purpureum sudah dapat dipanen pada usia 40-45 hari. Sedangkan pada musim kemarau
berkisar 50-55 hari. Lebih dari waktu tersebut, kandungan nutrisi semakin
turun dan batang semakin keras sehingga bahan yang terbuang (tidak
dimakan oleh ternak) semakin banyak. Sedangkan mengenai panen pertama
setelah tanam, menurut pengalaman kami dapat dilakukan setelah rumput
berumur minimal 60 hari. Apabila terlalu awal, tunas yang tumbuh
BAHAN DAN METODE PENELITIAN
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan di Lahan Fakultas Pertanian
Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini berlangsung selama 4 bulan akan
dilaksanakan pada bulan Agustus 2013 sampai dengan bulan November
2013.
Bahan dan Alat Penelitian Bahan
Bahan yang digunakan yaitu bibit Pennisetum purpureum dalam bentuk stek batang sebanyak 60 tanaman. Polybag terdiri dari 24 buah
sebagai media tempat penanaman rumput, tanah sebagai media tanam dan
urine dan feses kelinci sebagai pupuk cair terhadap Pennisetum purpureum. Starter EM4 dan larutan molasses sebagai bahan fermentasi urine kelinci.
Alat
Alat yang digunakan adalah gembor untuk menyiram tanaman,
timbangan untuk menimbang berat basah dan berat kering rumput, alat ukur
untuk mengukur tinggi tanaman, parang, dan gunting untuk memotong
rumput, oven untuk mengeringkan hijauan segar, alat tulis untuk mencatat
data penelitian dan amplop sebagai tempat rumput setelah pemotongan.
Metode Penelitian
Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan petak
Faktor pertama (petak utama) adalah:
A1 = Interval pemotongan 4 minggu (3 kali pemotongan)
A2 = Interval pemotongan 6 minggu (2 kali pemotongan)
Faktor kedua (anak petakan) adalah:
P = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 0 ml
P1 = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 50 ml/polybag (1
ton/ha)
P2 = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 100 ml/polybag (2
ton/ha)
P3 = kotoran kelinci fermentasi (urine dan feses) 150 ml/polybag (3
ton/ha)
Maka kombinasi yang diperoleh adalah:
A1 A2
Model linear yang akan digunakan adalah Rancangan Petak Terbagi (Split Plot Design) dengan model rancangan sebagai berikut:
Yijk =
μ
+Kk+ Ai +α
ik +Bj + (AB)ij +∑
ijkDimana:
Yijk = nilai pengamatan (respons) pada kelompok ke-k yang memperoleh
taraf ke- I dari faktor A dan taraf ke- j dari faktor B
µ = nilai rata-rata yang sesungguhnya P0 P1
P2 P3
P0 P1
Kk = pengaruh aditif dari kelompok ke-k
Ai = pengaruh aditif dari taraf ke-I faktor A
α
ij = pengaruh galat yang muncul pada taraf ke- I dari faktor A dalamkelompok ke- K
Bj = pengaruh aditif dari taraf ke- j faktor B
(AB)ij = pengaruh interaksitaraf ke- I faktor A dan taraf ke- j faktor B
∑ijk = pengaruh galat percobaan pada kelompok ke-k yang memperoleh
taraf ke- i faktor A dan taraf ke- j faktor B
Data hasil pengamatan dianalisis dengan uji F (analisis ragam). Jika
perlakuan berpengaruh nyata, dilakukan uji lanjut dengan Uji Wilayah
Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5%.
Parameter Penelitian
1. Pertumbuhan tinggi tanaman Pennisetum purpureum
Tinggi tanaman diukur dari permukaan tanah sampai ujung daun
tertinggi dengan cara menegakkan seluruh daun ke atas sampai tegak lurus,
kemudian dilakukan pengukuran secara vertikal pada bagian tanaman yang
paling tinggi dari permukaan tanah. Tinggi tanaman diukur setiap 1 minggu
sekali.
2. Jumlah anakan tanaman Pennisetum purpureum
Anakan Pennisetum purpureum yang dihitung adalah anakan yang muncul dari dalam tanah atau tumbuh pada rhizoma batang, bukan yang
tumbuh ke samping pada buku - buku batang yang tidak terpotong. Pada
daun telah membuka dengan sempurna. Jumlah anakan diukur setiap 4
minggu sekali.
3. Produksi segar Pennisetum purpureum
Produksi segar Pennisetum purpureum diperoleh dengan melakukan penimbangan daun Pennisetum purpureum dalam keadaan segar atau tanpa dilakukan pengeringan pada hasil pemotongan yang dilakukan setiap
perlakuan. Penimbangan produksi segar Pennisetum purpureum dilakukan setiap 4 minggu sekali dan 6 minggu sekali.
4. Produksi bahan kering Pennisetum purpureum
Produksi bahan kering diperoleh dari sampel yang diambil sebanyak
250 gram dari setiap perlakuan hasil penimbangan berat segar, kemudian
dijemur atau dikering anginkan. Selanjutnya dioven pada suhu 600C selama
48 jam, kemudian ditimbang berat kering rumput tersebut. Produksi berat
segar dikonversikan ke dalam berat kering untuk mengetahui produksi berat
kering.
5. Kandungan nutrisi Pennisetum purpureum
Kandungan nutrisi Pennisetum purpureum yang akan diteliti adalah serat kasar, protein kasar dan energi yang terkandung dalam Pennisetum purpureum tersebut. Analisa kandungan nutrisi dilakukan dengan cara analisis proksimat dari hasil pemotongan Pennisetum purpureum.
Persentase protein kasar dapat digunakan rumus sebagai berikut:
% PK = volume titrsi- volume blanko x 4.37812
Keterangan:
Titrasi dengan HCl 0,01 N
N = Nomalitas Hcl
Volume blanko diperoleh dengan mendestruksi, mendestilasi dan mentitrasi
bahan- bahan tanpa menggunakan sample.
Persentase serat kasar dapat dihitung dengan rumus:
% SK = ( berat C + S setelah oven) – ( berat C + S setelah tanur) x
100%
Berat sample
Keterangan:
SK = Serat kasar
C = Cawan porselin
S = Sample bahan
Energi bruto (EB)
Energi bruto yaitu suatu bahan makanan dapat ditentukan dengan
membakar sejumlah bahan tersebut sehingga diperoleh hasil- hasil oksidasi
Pelaksanaan Penelitian
Persiapan Media Pertanaman
Dalam penelitian ini menggunakan areal seluas 10 m2 sebagai areal
tempat media tanaman dengan menggunakan polybag. Polybag yang
digunakan sebanyak 24 buah polybag yang berukuran 5 kg. Sebelum
penanaman, dilakukan analisa tanah dengan mengambil tanah dari suatu
lahan sebagai sampel untuk dianalisa di laboratorium. Bibit yang ditanam
dalam bentuk pols berjumlah 60 batang dan dalam satu rumpun
menggunakan 2 batang anakan. Kemudian diadakan pengacakan blok dan
kombinasi perlakuan pada polybag yang tersedia, setelah itu dilakukan
penanaman. Pada saat umur tanaman 21 hari, dilakukan pemotongan
pertama (trimming) dengan tujuan untuk menyeragamkan pertumbuhan tanaman. Kemudian dilakukan pemotongan sesuai dengan perlakuan yang
telah ditentukan. Pemotongan dilakukan 10 cm di atas permukaan tanah.
Fermentasi Kotoran Kelinci
Pembuatan fermentasi kotoran kelinci menggunakan bahan urine
kelinci, starter bakteri EM4 dan larutan molasses. Sedangkan alat yang
Dimasukkan kotoran kelinci ke dalam jerigen sebanyak 10 liter
Dimasukkan starter bakteri EM4 sebanyak 50 mL
Dimasukkan molasses sebanyak 100 mL
Diaduk hingga semua bahan tercampur
Ditutup dengan plastik dan dibiarkan selama 14 hari
Kotoran kelinci fermentasi siap digunakan
Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi
Setelah media tanam selesai dan kotoran kelinci yang telah
difermentasi juga dapat digunakan, dilakukan pemberian kotoran kelinci
yang difermentasi masing-masing polybag sesuai dengan perlakuan yaitu
dengan dosis 0 ml, 50 ml, 100 ml dan 150 ml.
Pemotongan Pennisetum purpureum
Pemotongan Pennisetum purpureum dilakukan dengan interval pemotongan yang telah ditentukan pada perlakuan. Pemotongan dilakukan 3
kali setiap 4 minggu umur tanaman dan 2 kali setiap 6 minggu umur
Pengambilan Data
1. Jumlah anakan Pennisetum purpureum yang tumbuh setiap 4 minggu dan 6 minggu sekali yang dihitung sesuai dengan interval pemotongan.
2. Pertumbuhan tinggi tanaman dilakukan setiap 4 minggu dan 6 minggu
sekali sesuai dengan perlakuan.
3. Produksi segar Pennisetum purpureum setiap 4 minggu dan 6 minggu sekali dan setelah pemotongan dilakuan penimbangan.
4. Produksi bahan kering Pennisetum purpureum setiap 4 minggu dan 6 minggu sekali, dengan mencacah batang dan daun tanaman. Lalu diambil
250 gram sebagai sampel untuk dioven selama 48 jam pada suhu 600C
5. Kandunga nutrisi rumput berupa serat kasar, protein kasar dan energi
dilakukan dengan menggunakan analisis proksimat setelah pemotongan
HASIL DAN PEMBAHASAN
Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)
Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran
kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis
kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap produksi segar Pennisetum purpureum (Lampiran 8). Hasil rataan produksi segar Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 3. Rataan Produksi Segar Pennisetum purpureum Selama Penelitian (kg/ha)
Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi
memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan produksi segar
Pennisetum purpureum. Hal ini dapat dilihat dari kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi segar Pennisetum purpureum
Gambar 1. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar Pennisetum purpureum (kg/ha)
Pada kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi
menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kotoran kelinci fermentasi
memberikan pengaruh terhadap produksi segar dengan mengikuti kurva
linear yaitu semakin tinggi dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan
maka hasil produksi segar Pennisetum purpureum juga akan semakin tinggi.hal ini dapat dilihat dari gambar 4 bahwa titik optimum produksi
segar semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya dosis kotoran
kelinci fermentasi.
Hasil statistik diperoleh hasil rataan produksi segar Pennisetum purpureum pada perlakuan P3 berbeda sangat nyata dibandingkan dengan perlakuan P0, P1 dan P2 dengan nilai rataan terbaik yaitu 1212,76 kg/ha,
sedangkan nilai rataan produksi Pennisetum purpureum terendah terdapat pada P0 yaitu 161,15 kg/ha. Sementara itu, perlakuan interval pemotongan
rumput diperoleh bahwa rataan produksi segar pada interval pemotongan 6
rataan produksi segar pada interval pemotongan 4 minggu (A1) dengan
rataan 527,26 kg/ha.
Untuk mengetahui interaksi perlakuan interval pemotongan dan
dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi segar Pennisetum purpureum dapat dilihat pada gambar berikut ini.
Gambar 2. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Produksi Segar (kg/ha)
Dari gambar di atas terlihat bahwa interaksi perlakuan yang sangat
nyata adaah pada kombinasi perlakuan A2P3 yaitu kombinasi perlakuan
interval pemotongan 6 minggu dan dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml.
Hal ini terlihat dari niai rataan produksi segar pada A2P3 tersebut memiliki
rataan tertinggi yaitu 1413,3 kg/ha. Sementara itu rataan produksi segar
Pennisetum purpureum yang paling rendah adalah pada kombinasi perlakuan A1P3 yaitu 1012,2 kg/ha. Produksi rumput dipengaruhi oleh
unsur hara yang terdapat di dalam tanah sebagai cadangan makanan bagi
tanaman, sehingga pada tanah yang tidak memiliki unsur hara yang cukup
mempengaruhi tingkat produksinya. Oleh karena itu pemupukan dengan
menggunakan pupuk organik dapat mempengaruhi mutu tanah dan
meningkatkan produksi rumput atau mempercepat pertumbuhan vegetatif
tanaman dan akhirnya mempercepat produksi segar hijauan tersebut. Sesuai
dengan pernyataan Sarief (1990) bahwa pupuk adalah setiap bahan yang
diberikan ke dalam tanah atau disemprotkan pada tanaman dengan maksud
menambah unsur hara yang diperlukan oleh tanaman. Pemupukan adalah
setiap usaha pemberian pupuk yang bertujuan menambah persediaan unsur
hara yang dibutuhkan oleh tanaman untuk meningkatkan produksi dan hasil
mutu tanaman. Dalam penelitian Prosiding Temu Teknis Nasional Tenaga
Fungsional Pertanian (2004) dengan menggunakan pupuk kandang domba
diperoleh bahwa hasil rataan produksi segar rumput adalah 1061,7 kg/ha.
Hal ini menggambarkan bahwa nilai kandungan unsur hara dalam kotoran
kelinci masih lebih baik untuk mendorong produksi rumput sebagai hijauan
makanan ternak.
Pada hasil penelitian diperoleh bahwa kenaikan produksi segar
rumput seiring dengan meningkatnya interval pemotongan. Hal ini
disebabkan oleh cadangan makanan semakin tersedia untuk pertumbuhan
dan perkembangan akar tanaman sehingga penyerapan hara mineral
semakin baik. Hal ini sesuai dengan pernyataan Nasution (1991) yang
menyatakan bahwa salah satu faktor yang mempengaruhi pertumbuhan
kembali adalah adanya persediaan makanan berupa karbohidrat di dalam
akar tanaman yang ditinggal setelah pemotongan. Semakin tinggi interval
diketahui bahwa semakin sering rumput dipotong semakin sedikit produksi
segar yang diperoleh, hal ini dapat terjadi karena pada rumput yang sering
dipotong terjadi pengurasan terus menerus terhadap karbohidrat dalam akar.
Semakin singkat interval pemangkasan mengakibatkan semakin
singkat pula waktu yang dibutuhkan untuk mengumpulkan cadangan
makanan dalam aktifitas pertumbuhan. Interval pemangkasan 8 minggu
memungkinkan tanaman membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang
cukup yang merupakan hasil reduksi CO2 pada proses fotosintesis. Harjadi
(2000) menyatakan fase vegetatif menggunakan sebagian besar karbohidrat,
apabila karbohidrat berkurang maka pembelahan sel berjalan lambat
sehingga perkembangan vegetatif terhambat. Interval pemangkasan yang
lebih singkat (4 dan 6 minggu) diduga menyebabkan pengurangan cadangan
makanan akibat pemangkasan yang lebih intensif, sehingga tanaman hanya
memiliki waktu singkat untuk membentuk cadangan makanan. Sesuai
dengan pernyataan Primandini (2007) bahwa pemangkasan (defoliasi) berat mengakibatkan terhambatnya pembentukan tunas baru dan terkurasnya
cadangan makanan.
Produksi Bahan Kering Pennisetum purpureum (kg/ha)
Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan dan dosis
kotoran kelinci fermentasi memberikan pengaruh yang sangat nyata
terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum. Sedangkan interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi
Pennisetum purpureum (Lampiran 11). Data produksi bahan kering
Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel 4.
Tabel 4. Rataan produksi bahan kering Pennisetum purpureum selama penelitian (kg/ha)
Dosis Kotoran Kelinci
Interval Pemotongan
Total Rataan SD
A1 (4 mg) A2 (6 mg)
P0 123.40 172.90 296.30 148.15a 35.00
P1 345.50 558.20 903.70 451.85b 150.40
P2 539.10 878.50 1417.60 708.80c 583.07
P3 960.50 1357.10 2317.60 1158.80d 891.70
Total 1968.50 2966.70 4935.20 - -
Rataan 492.13a 741.68b - 508.84 415.04
Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi
memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan produksi bahan
kering Pennisetum purpureum. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap produksi bahan kering Pennisetum purpureum dapat dilihat dari Gambar 3.
Pada Gambar 3 menunjukkan bahwa perlakuan pemberian kotoran
kelinci fermentasi memberikan pengaruh terhadap produksi bahan kering
Pennisetum purpureum dengan mengikuti kurva yaitu semakin tinggi dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka hasil produksi bahan kering
Pennisetum purpureum juga akan semakin tinggi. Hal ini dapat dilihat dari Gambar 3 bahwa titik optimum produksi bahan kering Pennisetum purpureum semakin meningkat seiring dengan semakin tingginya dosis kotoran kelinci fermentasi.
Hasil statistik data diperoleh bahwa produksi bahan kering
Pennisetum purpureum pada P3 berbeda sangat nyata dengan perlakuan P0 dengan nilai rataan tertinggi yaitu 1158,8 kg/ha, sedangkan rataan terendah
terdapat pada P0 yaitu 148,15 kg/ha. Pada perlakuan perlakuan interval
pemotongan diperoleh bahwa pemotongan A2 memberikan pengaruh yang
sangat nyata pada P0 terhadap produksi bahan kering rumput yaitu 741,7
kg/ha, sedangkan pada perlakuan pemotongan A1 memiliki nilai rataan
yaitu 492,13 kg/ha. Apabila dibandingkan dengan penelitian Riky et. al
(2013) bahwa hasil produksi bahan kering Pennisetum purpureum dengan perlakuan pemberian pupuk organik cair berupa urine sapi bunting
menghasilkan produksi segar 1212,8 kg/ha, disebabkan karena level
kandungan unsur hara memiliki jumlah yang cukup sesuai dengan
kebutuhan dan perkembangan Pennisetum purpureum. Untuk mengetahui interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi
Gambar 4. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan Dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Fermentasi Terhadap Produksi Bahan Kering Pennisetum purureum (kg/ha)
Pada gambar 4 terlihat bahwa interaksi perlakuan A2P3 memiliki
rataan tertinggi yaitu 1357,1 kg/ha, sedangkan pada kombinasi perlakuan
A1P3 memiliki rataan produksi 960,5 kg/ha. Hal ini disebabkan oleh karena
total cadangan makanan dalam tanaman rendah dimana merupakan
gambaran rendahnya unsur hara yang terdapat dalam tanah. Sedikitnya
persediaan karbohidrat dalam akar pada tanaman akan mengakibatkan
terganggunya proses vegetatif tanaman. Cadangan karbohidrat ini sangat
diperlukan untuk energi bagi pertumbuhan kembali setelah pemotongan. Hal
ini sesuai dengan pernyataan Setyamidjaja (1986) yang menyatakan bahwa
unsur hara dalam tanah berfungsi memacu pertumbuhan akar dan sistem
perakaran yang baik terutama pada tanaman muda, yang biasanya terdapat
terutama karbohidrat yang sangat mempengaruhi bahan kering.
Semakin sering hijauan dipotong maka produksi bahan keringnya
semakin rendah, sedangkan pada interval pemotongan yang panjang maka
produksi bahan kering semakin tinggi. Hasil berat kering ini berbanding
lurus dengan rataan produksi segar yang diperoleh. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Mc Illroy (1976) bahwa interval pemotongan yang pendek
terutama pada fase-fase awal pertumbuhannya disamping menurunkan
produksi bahan kering hijauan, juga akan mengurangi ketegaran tanaman
dan melemahkan akar. Dilanjut dengan pernyataan Wijaya (2008)
menyatakan bahwa produksi bahan kering yang tinggi diikuti dengan
bertambahnya panjang interval pemotongan dan cenderung menurun dengan
semakin singkatnya interval pemotongan. Hal ini disebakan karena adanya
perbedaan kapasitas fotosintesis, kemampuan tanaman untuk menyerap
zat-zat hara dan persediaan cadangan energi untuk pertumbuhan kembali.
Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum (Pennisetum purpureum)
Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor interval pemotongan dan
pemberian urine kelinci yang difermentasi memberikan pengaruh yang
sangat nyata terhadap pertambahan tinggi tanaman. Interaksi antara interval
pemotongan dan tinggi tanaman juga memberikan pengaruh yang sangat
nyata pada pertambahan tinggi tanaman (Lampiran 2) . Data tinggi tanaman
Tabel 5. Rataan Tinggi Tanaman Selama Penelitian (cm)
Dosis Kotoran Kelinci
Interval Pemotongan
Total Rataan SD
A1 (4 mg) A2 (6 mg)
P0 43.51 51.48 94.99 47.50a 5.64
P1 56.90 59.81 116.71 58.36b 2.06
P2 71.37 72.65 144.02 72.01c 0.91
P3 81.63 89.02 170.65 85.33d 5.23
Total 253.41 272.96 526.37 - -
Rataan 63.35a 68.24b - 65.80 3.46
Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi
memberikan pengaruh yang sangat nyata meningkatkan pertumbuhan tinggi
tanaman. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap
tinggi tanaman dapat dilihat dari Gambar 5.
Gambar 5. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum(cm)
Pada kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi
menunjukkan bahwa pemberian kotoran kelinci fermentasi akan
memberikan respon positif terhadap pertambahan tinggi tanaman. Hal ini
Pennisetum purpureum akan selalu meningkat jika dilakukan penambahan dosis pemberian kotoran kelinci fermentasi atau dengan kata lain bahwa
dengan dosis kotoran kelinci fermentasi lebih dari 150 ml juga akan
memberikan hasil yang optimal terhadap tinggi tanaman Pennisetum purpureum.
Analisa data statistik diperoleh bahwa tinggi tanaman Pennisetum purpureum pada perlakuan P3 sangat berbeda nyata dengan perlakuan P0 dengan nilai rataan tertinggi yaitu 85,33 cm. Perlakuan interval
pemotongan, interval pemotongan A1 (4 minggu) berbeda sangat nyata
dengan interval pemotongan A2 (6 minggu) dengan nilai rataan pada A1
adalah 63,35 cm dan pada A2 yaitu 68,24 cm. Interaksi antara
interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi terhadap tinggi
tanaman Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan
dan Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Tinggi Tanaman Pennisetum purpureum (cm)
Gambar 6 diperoleh bahwa kombinasi perlakuan A2P3
tersebut berbeda sangat nyata dengan perlakuan dosis kotoran kelinci
fermentasi fermentasi 150 ml (P3) menunjukkan hasil yang lebih baik yang
disebabkan oleh interval pemotongan tanaman yang lebih lama dan volume
pupuk organik cair (urine dan feses kelinci) yang lebih banyak yang
dibutuhkan oleh tanah untuk pertumbuhan tanaman. Sementara itu hasil
interaksi yang paing rendah adalah kombinasi perlakuan A1P0 yaitu rataan
tinggi rumput 43,51 cm. Adanya perbedaan tinggi Pennisetum purpureum
yang sangat nyata karena tanaman yang diberi pupuk otomatis
pertumbuhannya akan lebih baik jika dibandingkan dengan tanaman tanpa
pemberian pupuk. Hal ini sesuai dengan pernyataan Madjid et. al (2011) yang menyatakan bahwa pupuk adalah suatu bahan yang bersifat organik
maupun anorganik bila ditambahkan ke dalam tanah atau ke tanaman dapat
memperbaiki sifat fisik, kimia, biologi tanah dan dapat meningkatkan
pertumbuhan tanaman.
Semakin seringnya tanaman dipotong, maka pertumbuhan tanaman
ke atas akan tertekan. Hal ini disebabkan semakin panjang interval
pemotongan maka pertumbuhan tinggi tanaman semakin baik. Hal ini sesuai
dengan pernyataan Nasution (1997) bahwa semakin sering dipotong
pertumbuhan kembali tanaman tersebut akan semakin lambat karena
persediaan energi (karbohidrat) dan pati yang ditinggalkan pada batang
semakin sedikit. Pendeknya interval pemotongan menyebabkan
pertumbuhan tanaman lambat dan kesempatan untuk tumbuh juga singkat,
sedangkan pada pemotongan lebih lama kesempatan tumbuh lama sehingga
tinggi Pennisetum purpureum pada interval pemotongan 40 hari adalah 79,54 cm dengan menggunakan pupuk organik cair yaitu urine sapi
fermentasi. Adanya perbedaan pertumbuhan tinggi tanaman Pennisetum purpureum menunjukkan bahwa kandungan unsur hara dalam urine kelinci
lebih baik dibandingkan dengan urine sapi. Hal ini sesuai dengan pernyataan
Kartadisastra (2001) bahwa urine sapi memiliki nilai N, P dan K yait 1%,
0,5% dan 1,5%, sedangkan kandungan unsur hara dalam kotoran kelinci
(urine dan feses) adalah 2,72% N, 1,10% P dan 0,5% K.
Jumlah Anakan Pennisetum purpureum
Hasil penelitian diperoleh bahwa faktor interval pemotongan
berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum. Sedangkan dosis kotoran kelinci fermentasi dan interaksi antara interval
pemotongan dan dosis kotoran kelinci fermentasi berpengaruh sangat nyata
terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum (Lampiran 5). Rataan jumlah anakan Pennisetum purpureum selama penelitian dapat dilihat pada tabel berikut ini.
Tabel 6. Rataan Jumlah Anakan Pennisetum purpureum Selama Penelitian Dosis Kotoran
Pemberian pupuk organik cair berupa kotoran kelinci fermentasi
tanaman. Kurva respon pemberian kotoran kelinci fermentasi terhadap
tinggi tanaman dapat dilihat dari Gambar 7.
Gambar 7. Kurva Respon Pemberian Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Jumlah anakan Pennisetum purpureum
Dari Gambar 7 di atas menunjukkan bahwa pemberian kotoran
kelinci fermentasi akan memberikan respon positif terhadap pertambahan
jumlah anakan Pennisetum purpureum. Hal ini menunjukkan bahwa semakin banyak dosis kotoran kelinci fermentasi yang diberikan maka
jumlah anakan Pennisetum purpureum juga akan semakin meningkat yaitu terlihat dari titik pada kurva selalu meningkat seiring dengan meningkatnya
penambahan dosis kotoran kelinci fermentasi.
Analisa statistik yang dilakukan diperoleh hasil bahwa jumlah
anakan pada perlakuan dosis kotoran kelinci fermentasi P3 memberikan
perbedaan yang sangat nyata pada perlakuan P0, yaitu dengan nilai rataan
tertinggi 14,47 rumpun. Perlakuan interval pemotongan diperoleh hasil
bahwa jumlah anakan pada pemotongan 4 minggu (A1) nilai rataan 8,06,
7,37 anakan. Interaksi antara interval pemotongan dan dosis kotoran kelinci
fermentasi terhadap jumlah anakan Pennisetum purpureum dapat dilihat pada Gambar 8.
Gambar 8. Diagram Interaksi Kombinasi Perlakuan Interval Pemotongan dan Dosis Kotoran Kelinci Fermentasi Terhadap Jumlah Anakan Pennisetum purpureum
Pada gambar di atas diperoleh hasil bahwa kombinasi perlakuan
A1P3 memiliki nilai interaksi yang berpengaruh sangat nyata. Hal ini
menunjukkan bahwa perlakuan interval pemotongan 4 minggu (A1) dan
dosis kotoran kelinci fermentasi 150 ml (P3) menunjukkan hasil yang lebih
baik karena memiliki nilai rataan jumlah anakan 17,11 anakan, sementara
itu pada kombinasi perlakuan A2P3 memperoleh hasil jumlah anakan 11,83
anakan. Tanah yang memiliki nilai kebutuhan hara yang cukup akan
atau pupuk kandang). Pupuk ini dapat terbentuk dari daun-daunan, jerami
atau kotoran hewan yang sudah lapuk/hancur dan berubah menjadi bagian
tanah (Murbandono, 1999).
. Pada hasil penelitian dapat dilihat bahwa semakin sering tanaman
dipotong maka semakin meningkat jumlah anakannya. Hal ini disebabkan
bahwa dengan pemotongan pada rumput akan merangsang berkembangnya
tunas-tunas baru. Menurut Kristanto dan Karno (1991) bahwa tinggi
pemotongan memberi pengaruh pada laju pertumbuhan kembali karena
cadangan karbohidrat cukup untuk mendukung pemunculan dan
pertumbuhan tunas baru yang terbentuk. Dilanjut dengan pernyataan
Sanchez (1993) bahwa pemotongan dapat mendorong pembentukan
tunas-tunas baru. Hal ini akan menggambarkan tanaman yang lebih sering
mengalami pemotongan akan membentuk tunas yang lebih banyak. Dalam
penelitian Adrianton (2010) bahwa interval pemotongan 4 minggu
menghasilkan rataan jumlah anakan Pennisetum purpureum yang paling yaitu 0,46 pols/hari, dimana dalam penelitian ini interval pemotongan 4
minggu juga menghasilkan rataan jumlah anakan paling baik. Hal ini
menggambarkan bahwa interval pemotongan 4 minggu memungkinkan
tanaman dapat membentuk dan mengakumulasi karbohidrat yang cukup.
Protein Kasar Pennisetum purpureum (%)
Hasil penelitian diperoleh bahwa interval pemotongan, dosis kotoran
kelinci fermentasi dan interaksi antara interval pemotongan dan dosis