• Tidak ada hasil yang ditemukan

Gambaran Umum Pakan Tepung Sari Buatan

Tepung sari buatan yang diberikan diolah sedemikian rupa agar memudahkan lebah pekerja mengambil dan mengkonsumsi tepung sari yang diberikan. Ketiga tepung sari buatan yang diberikan berbeda nilai nutrisi dan bentuk fisiknya. Kandungan nutrisi tepung sari pengganti dan tepung sari alami terlihat pada Tabel 5.

Tabel 5. Analisis Proksimat Tepung Tempe, Tepung Kedelai Rebus dan Tepung Kedelai Sangrai

Sampel Kandungan (%)

Air Abu Protein Lemak Tepung tempea

Tepung kedelai rebusa Tepung kedelai sangraia Tepung sari alamib

6,13 7,18 3,35 7 1,88 4,36 2,33 3 45,05 33,72 42,95 20 34,09 22,03 25,82 5

Sumber: (a)Lab. Kimia Pangan Dep. Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, 2006 (b) Krell, 1996

Kandungan protein ketiga tepung sari buatan lebih tinggi bila dibandingkan dengan tepung sari alami seperti yang terlihat pada Tabel 5 dan dari ketiga tepung sari buatan terlihat bahwa kandungan protein tepung kedelai rebus lebih rendah bila dibandingkan tepung tempe dan tepung kedelai sangrai. Rendahnya kandungan protein tepung kedelai rebus kemungkinan disebabkan kehilangan kandungan protein yang tinggi pada saat proses perebusan. Proses pencucian, perendaman, pengupasan kulit ari dan perebusan kedelai menyebabkan penurunan kandungan protein sekitar 12% (Shurleff dan Aoyagi, 1979).

Kandungan lemak tepung sari buatan juga lebih tinggi bila dibandingkan tepung sari alami namun kandungan air dari ketiga tepung sari buatan hampir menyamai kandungan tepung sari alami. Hanya kandungan air tepung kedelai sangrai yang terlihat lebih rendah. Begitu juga kandungan abu yang hampir sama pada masing-masing tepung sari, hanya kandungan abu tepung tempe yang lebih rendah.

Perbedaan kandungan nutrisi tersebut kemungkinan terjadi akibat perbedaan proses yang dialami oleh masing-masing pakan tersebut.

Akibat pemrosesan yang berbeda, kemungkinan juga menyebabkan terjadinya perbedaan bentuk fisik pada masing-masing tepung sari buatan. Tepung kedelai rebus dan tepung tempe memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih lembut bila dibandingkan dengan tepung kedelai sangrai. Perbedaan pada warna juga terjadi pada ketiga pakan tepung sari buatan yang diberikan. Tepung kedelai rebus berwarna lebih terang yaitu putih kekuningan, tepung kedelai sangrai berwarna lebih kuning dan tepung tempe berwarna kecoklatan dan berwarna paling gelap bila dibandingkan kedua tepung kedelai lainnya. Gambar 2 memperlihatkan pakan tepung sari pengganti yang diberikan dalam bentuk pasta dan siap diberikan pada koloni lebah madu.

.

Gambar 2. Tepung Sari Pengganti, Pakan Kedelai Fermentasi (PKF), Pakan Kedelai Rebus (PKR) dan Pakan Kedelai Sangrai (PKS)

Tepung sari buatan diberikan dalam bentuk adonan lembek menyerupai pasta yang merupakan campuran tepung kedelai dengan sirup gula. Pemberian dalam bentuk pasta bertujuan agar memudahkan lebah pekerja dalam mengkonsumsi tepung sari pengganti dan untuk memastikan pakan yang diberikan tidak tercecer. Pencampuran dengan sirup gula dilakukan untuk menarik minat lebah pekerja untuk

PKF PKR

mengambil tepung sari buatan tersebut karena lebah akan tertarik oleh rasa manis tepung sari buatan.

Komposisi campuran tepung kedelai dan sirup gula yang digunakan dalam penelitian ini merupakan hasil uji coba pendahuluan yang dilakukan. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan bentuk pasta yang tidak terlalu keras dan juga tidak terlalu lembek sehingga kemungkinan lebih mudah diambil oleh lebah pekerja.

Pencampuran tepung kedelai dengan sirup gula dilakukan setiap seminggu sekali saat akan dilakukan penggantian pakan pengganti. Hal ini bertujuan untuk tetep menjaga kesegaran pakan yang diberikan.

Konsumsi Pakan

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pengolahan kedelai sebagai tepung sari pengganti sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap tingkat konsumsi lebah. Jumlah konsumsi pakan tepung kedelai selama penelitian tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Jumlah Konsumsi Tepung Sari Pengganti Selama Lima Minggu

Pakan Minggu ke- (gr/koloni) Rataan KK 1 2 3 4 5

PKF 134,114 162,517 136,760 153,447 151,618 147,691A 0,07 PKR 149,807 129,517 149,315 140,158 133,955 140,550A 0,06 PKS 104,928 71,384 69,176 73,087 87,736 81,262B 0,17

Keterangan: PKF : Pakan kedelai fermentasi KK : Koefisien keragaman

PKR : Pakan kedelai rebus Tanda superskrip yang berbeda menyatakan PKS : Pakan kedelai sangrai perbedaan nyata (P<0,05) antar perlakuan

Tabel 6 memperlihatkan bahwa rataan konsumsi tertinggi terdapat pada perlakuan PKF dan PKR masing-masing sebesar 147,69 dan 140,55 gr/koloni/minggu, berbeda sangat nyata dengan konsumsi terendah pada PKS yaitu 81,26 gr/koloni/minggu.

Dilihat dari kandungan nutrisi antara ketiga pakan buatan yang diberikan, kandungan protein pakan kedelai sangrai lebih tinggi dibandingkan pakan kedelai rebus seperti yang terlihat pada Tabel 5, namun jumlah konsumsi PKS lebih rendah bila dibandingkan PKR dan PKF. Hal ini berarti bahwa kandungan nutrisi tidak mempengaruhi jumlah konsumsi tepung sari oleh lebah madu.

162,5 153,4 151,6 149,8 149,3 73 136,7 134,1 129,5 140,1 133,9 87,7 69,1 71,3 104,9 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 1 2 3 4 5

Waktu pengamatan (minggu ke-)

Ju m la h ko ns u m si p aka n (g r/ m ing gu /k ol o n i)

Pakan Kedelai Fermentasi (PKF) Pakan Kedelai Rebus (PKR)

Pakan Kedelai Sangrai (PKS)

Perbedaan konsumsi kemungkinan dipengaruhi oleh faktor eksternal dari pakan tepung sari buatan tersebut misalnya tekstur dari pakan buatan yang diberikan. Kemungkinan, PKF dan PKR memiliki tekstur yang lebih halus dan lembut karena telah melalui proses perebusan dan fermentasi. Menurut Winston (1987), lebah pekerja memilih tepung sari untuk diambil tidak berdasarkan nilai nutrisi, umur atau warna tetapi berdasarkan bau dan bentuk fisik dari butiran tepung sari.

Jumlah konsumsi PKF, PKR dan PKS cenderung konstan pada tiap minggu dinyatakan oleh KK yang hanya berkisar antara 0,06%-0,17% seperti terlihat pada Tabel 6 dan diperjelas pada Gambar 3.

Gambar 3. Konsumsi Pakan Tepung Sari Pengganti

Gambar 3 menunjukkan bahwa konsumsi PKS pada tiap minggu selama lima minggu pengamatan selalu lebih rendah bila dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa PKR dan PKF lebih dapat diterima dan disukai oleh lebah madu dibandingkan PKS. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan kulit ari kedelai yang terdapat didalam tepung kedelai sangrai. Menurut Liu (1997), kulit ari kedelai mengandung serat kasar berbentuk lignin yang sulit dihancurkan sehingga tekstur tepungnya kasar dan tidak menyerap air. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan sulitnya lebah madu mengambil dan mengkonsumsi pakan kedelai sangrai. Konsumsi PKS yang rendah didukung pula oleh hasil penelitian Krisnawati Keterangan:

(2003) yang memberi perlakuan pakan tepung sari buatan dengan menggunakan formula pakan seperti yang tertera pada Tabel 7.

Tabel 7. Konsumsi Pakan Tepung Sari Buatan dengan Formula yang Berbeda

Formula pakan tepung sari buatan Jumlah konsumsi (gr/koloni/minggu) Tepung biji randu + tepung sari alami + ragi + sirup gula

Tepung kedelai + tepung sari alami + ragi + sirup gula Tepung bekatul + tepung sari alami + ragi + sirup gula

46,79 38,08 38,71

Sumber : Krisnawati (2003)

Tabel 7 memperlihatkan bahwa jumlah konsumsi tepung sari buatan dengan bahan dasar kedelai sangrai lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Tepung kedelai yang diberikan dalam penelitian ini adalah dengan proses penyangraian. Sehingga terlihat bahwa pemberian tepung sari alami dengan bahan dasar kedelai sangrai kurang disukai oleh lebah.

Mortalitas Anakan

Anakan lebah madu terdiri dari tiga fase yaitu telur, larva dan pupa. Mortalitas anakan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pemeliharaan ternak lebah madu. Rataan tingkat kematian anakan lebah madu selama penelitian disajikan pada Tabel 8.

Tabel 8. Rataan Mortalitas Telur, Larva dan Pupa Anakan Lebah Madu Apis mellifera yang Mendapat Perlakuan PKF, PKR, PKS, K+ dan K- Pakan

Mortalitas

Rataan Telur Larva Pupa Rataan KK Rataan KK Rataan KK

PKF 11,00 87 12,33 85 1,00 173 8,10 PKR 31,00 99 6,66 56 1,33 114 12,99 PKS 10,33 95 44,00 55 1,73 173 17,46 Rataan 17,44 93,66 20,99 65,33 1,35 153,33 K+ 20,66 40 23,66 74 0 0 14,77 K- 15,66 151 60,00 33 0 0 25,22

Keterangan: PKF = pakan kedelai fermentasi PKR = pakan kedelai rebus PKS = pakan kedelai sangrai

Secara umum terlihat pada Tabel 8 bahwa rataan koefisien keragaman pada semua perlakuan pemberian tepung sari buatan yang didapat selama penelitian sangat tinggi yakni 153,3% saat fase pupa, 65,3% saat fase larva dan mencapai 93,6% saat fase telur. Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak faktor luar yang berpengaruh dan tidak dapat dikendalikan pada saat penelitian, diantaranya faktor variasi individu masing-masing lebah, ratu dan pejantan. Selain itu, faktor tingkah laku lebah madu yang selalu berupaya mempertahankan tepungsari yang dibawa di dalam keranjang polen saat melewati pollen trap, sehingga masih terdapat tepung sari alami di dalam sel sarangnya meskipun telah dipasang perangkap polen. Menurut Keller et al. (2005), efisiensi penggunaan perangkap tepung sari untuk mencegah masuknya tepung sari alam kedalam kotak hanya sebesar 15-43%.

Menurut Winston (1987), tingkat kematian telur yang tinggi dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya kesehatan koloni dan inbreeding. Telur-telur calon lebah betina hasil perkawinan ratu dengan saudaranya (inbreeding) akan mengalami rataan kematian yang tinggi pada saat anakan yaitu mencapai 50%. Telur-telur calon lebah betina maupun jantan yang menunjukkan posisi perkembangan yang menyimpang sebelum atau sesudah terjadi oviposisi juga akan mengalami kegagalan dalam penetasan.

Rataan kematian anakan lebah madu selama penelitian berkisar antara 8,10-25,22% dengan kematian tertinggi terjadi pada K-. Rataan kematian tertinggi yang dialami oleh K- wajar terjadi karena koloni tersebut tidak memiliki asupan makanan yang cukup meskipun tepung sari alami tetap dibawa masuk oleh lebah pekerja ke dalam sarang, namun jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan anakan lebah madu.

Kematian terendah terjadi pada koloni dengan perlakuan PKF yaitu sebesar 8,10%. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kandungan protein yang tinggi dan mudah dicerna pada tempe. Kedelai mengalami berbagai perubahan komposisi selama proses pembuatan tempe baik oleh proses fisik maupun proses enzimatik akibat aktivitas mikroorganisme terutama pada saat perendaman oleh bakteri-bakteri pembentuk asam, dan proses fermentasi oleh kapang. Akibat dari perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih mudah dicerna (Pawiroharsono, 1995). Menurut Liu (1997), tempe merupakan makanan yang bergizi dan mudah dicerna

dan beberapa laporan menyebutkan bahwa fermentasi pada tempe meningkatkan nilai nutrisi yang ditunjukkan oleh kenaikan rata-rata berat badan harian pada tikus. Tempe mengandung agen penghasil antibakteri oleh Rhizopus oligosporus dan memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Muchtadi (1993) nilai PER (protein efisiensi rasio) tempe lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedelai. Hal ini terutama disebabkan oleh peningkatan daya cerna protein dan ketersediaan asam amino esensial. Jumlah asam amino bebas meningkat dengan cepat selama proses fermentasi.

Koloni lebah madu yang diberi pakan PKF dan PKR mengalami kematian yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kematian yang dialami oleh koloni pada perlakuan K+ dan K-, terkecuali perlakuan PKS yang rataan kematian anakannya lebih tinggi bila dibandingkan perlakuan K+.

Bila dilihat dari kandungan air pada PKR, PKF dan tepung sari alami tidak berbeda jauh namun berbeda dengan PKS yang memiliki kandungan air lebih rendah seperti terlihat pada Tabel 5. Menurut Rackis (1966), kandungan penghambat tripsin didalam kedelai berkisar antara 31-42 mg/g bahan dan semakin tinggi kadar air awal dalam pemrosesan kedelai, maka makin tinggi pula tingkat dekstrusi bahan penghambat tripsin dalam kedelai. Hal ini disebabkan pada kedelai dengan kadar air yang tinggi, konduktivitas panas juga akan semakin tinggi. Kemungkinan hal ini yang menyebabkan kematian anakan pada koloni dengan perlakuan PKS lebih tinggi bila dibandingkan perlakuan PKF, PKR dan K+.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kematian larva baik pada perlakuan pemberian tepung sari buatan maupun pada kontrol lebih tinggi bila dibandingkan rataan kematian saat fase telur atau pupa seperti yang terlihat pada Tabel 8, namun nilai koefisien keragaman yang didapat justru lebih rendah bila dibandingkan pada fase telur dan pupa. Hasil ini menunjukkan bahwa pakan berpengaruh besar terhadap kematian anakan terutama pada saat fase larva. Menurut Winston (1987), larva lebah didisain seperti mesin pemakan karena fase ini adalah saat larva mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang sangat besar untuk menunjang laju pertumbuhannya. Hasil penelitian Kuntadi (1996) menyatakan, bahwa rataan mortalitas pada tahap telur adalah sebesar 5,9%, larva 7,2% dan pupa

11 31 10,33 20,66 15,66 0 5 10 15 20 25 30 35 M o rta lita s ( % ) PKF PKR PKS K+ K-Perlakuan

3,5%. Hasil ini menunjukkan bahwa kematian saat fase larva lebih tinggi dibandingkan saat fase telur maupun fase pupa.

Mortalitas Telur

Tingkat kematian anakan saat fase telur berbeda-beda pada tiap perlakuan seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Tingkat Kematian pada Tahap Telur

Gambar 4 menunjukkan bahwa dari ketiga pakan tepung sari buatan yang diberikan, mortalitas telur tertinggi terjadi pada perlakuan PKR yaitu sebesar 31,00%. Koloni yang mendapat perlakuan pemberian tepung tempe (PKF) memiliki tingkat kematian sebesar 11,00% dan kematian terendah terjadi pada koloni yang mendapat perlakuan pemberian pakan kedelai sangrai (PKS) yaitu sebesar 10,33%.

Mortalitas terendah terjadi pada koloni yang mendapat perlakuan pemberian pakan kedelai sangrai meskipun jumlah konsumsinya paling rendah dibandingkan jenis pakan lainnya. Sementara kematian tertinggi terjadi pada koloni yang mendapat perlakuan pemberian pakan kedelai rebus walupun jumlah konsumsi pakannya lebih tinggi daripada kedelai sangrai. Hasil analisis proksimat pada ketiga macam tepung kedelai yang digunakan menunjukkan bahwa kandungan protein tepung kedelai

Keterangan: PKF = Pakan kedelai fermentasi PKR = Pakan kedelai rebus PKS = Pakan kedelai sangrai K+ = Kontrol positif K- = Kontrol negatif

sangrai lebih tinggi yaitu 42,95% bila dibandingkan kandungan protein tepung kedelai rebus yang hanya sebesar 33,72% seperti yang tertera pada Tabel 5.

Dilihat pada Tabel 8, bahwa rataan mortalitas telur pada perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan lebih rendah bila dibandingkan K+ masing-masing sebesar 17,44 dan 20,66%. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa rataan mortalitas K- lebih rendah dibandingkan rataan mortalitas perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan maupun dengan K+ yaitu sebesar 15,66%. Hal ini tidak sewajarnya terjadi mengingat koloni dengan perlakuan K- tidak mendapat pakan baik berupa tepung sari buatan maupun tepung sari alami sehingga seharusnya rataan mortalitas K- lebih tinggi bila dibandingkan rataan mortalitas dengan perlakuan pemberian tepung sari buatan maupun alami. Kondisi ini terjadi kemungkinan disebabkan tepung sari alami yang masuk kedalam kotak yang dibawa oleh lebah pekerja dan hal ini terlihat pada nilai KK pada K- yang paling tinggi diantara perlakuan pemberian tepung sari buatan dan K+ yakni mencapai 151%.

Pada kenyataannya, telur-telur yang diamati selama penelitian tidak langsung mendapat pengaruh dari pakan yang diberikan akan tetapi ratu lebah yang mengkonsumsi tepungsari buatan yang diberikan tersebut setelah terlebih dahulu diubah menjadi royal jelly oleh lebah pekerja. Kelenjar hypopharing lebah pekerja mensekresikan bahan nutrisi kaya protein yang berasal dari tepungsari yakni royal jelly sebagai makanan ratu dan larva lebah madu (Gojmerac, 1980). Menurut Zaytoon et al.(1988), produktivitas ratu merupakan indikator sebuah koloni lebah madu karena merefleksikan produksi total royal jelly sebuah koloni lebah madu yang juga mengindikasikan kapasitas pekerja maupun anakan lebah madu.

Keterangan diatas menunjukkan bahwa kematian telur-telur lebah madu kemungkinan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor pakan tetapi banyak faktor lain yang mempengaruhi kematian tersebut. .

Motalitas Larva

. Dari ketiga fase yang diamati dalam penelitian ini, fase larva adalah fase yang paling mendapat pengaruh oleh pemberian tepung sari buatan yang diberikan. Berbeda dari mortalitas telur yang menunjukkan rataan kematian tertinggi terjadi pada perlakuan PKR dibandingkan pada perlakuan PKF ataupun PKS, pada stadium larva, angka kematian tertinggi justru terjadi pada perlakuan PKS yakni sebesar

12,33 6,66 44 23,66 60 0 10 20 30 40 50 60 M o rt a li ta s (% ) PKF PKR PKS K+ K-Perlakuan

44,0%, pada perlakuan PKF (12,33%) dan PKR (6,66%). Kematian yang tinggi pada perlakuan PKS kemungkinan disebabkan oleh rendahnya jumlah konsumsi pakan yang diberikan dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 5). Jumlah konsumsi yang rendah dapat menyebabkan penurunan populasi koloni dan ini akan berdampak pada perkembangan kehidupan anakan. Menurut Winston (1987), kondisi lingkungan yang tidak mendukung akan mempengaruhi tingkat kematian anakan. Selain itu, kekurangan jumlah lebah pekerja, khususnya lebah perawat anakan, sangat berpengaruh terhadap perkembangan anakan karena mereka berfungsi memelihara anakan. Menurut Gojmerac (1980), kelenjar hypopharyng lebah pekerja mensekresikan bahan nutrisi kaya protein yang berasal dari tepung sari yakni royal jelly sebagai makanan larva dan lebah ratu.

Kematian yang tinggi pada perlakuan PKS kemungkinan juga dipengaruhi oleh kandungan kulit ari pada tepung kedelai sangrai. Menurut Liu (1997), kulit ari kedelai mengandung 85,7% karbohidrat dan komponen utama karbohidrat tersebut adalah lignin, selulosa dan hemiselulosa. Kemungkinan kandungan ini menyebabkan terjadinya kesulitan mencerna pakan yang diberikan.

Kematian terendah terjadi pada perlakuan PKR kemungkinan disebabkan oleh jumlah konsumsi PKR yang cukup tinggi (Tabel 6) juga kemungkinan karena tepung kedelai rebus yang diberikan telah melalui proses perebusan dan menyebabkan banyaknya kehilangan zat anti nutrisi yang terdapat didalam kedelai.

Keterangan: PKF = Pakan kedelai fermentasi PKR = Pakan kedelai rebus PKS = Pakan kedelai sangrai K+ = Kontrol positif K- = Kontrol negatif

1 1,33 1,66 0 0 0 0,2 0,4 0,6 0,8 1 1,2 1,4 1,6 1,8 M o rt a li ta s (% ) PKF PKR PKS K+ K-Perlakuan Gambar 5. Tingkat Kematian pada Tahap Larva

Dilihat pada Tabel 8 bahwa rataan mortalitas telur pada perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan lebih rendah bila dibandingkan K+ dengan masing-masing sebesar 20,99% dan 23,66%. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa rataan mortalitas K- jauh lebih tinggi dibandingkan rataan mortalitas perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan maupun dengan K+ yaitu sebesar 60,00% (Gambar 5). Hal ini terjadi karena koloni tersebut tidak mendapat pasokan tepung sari yang cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Hasil ini kembali menjelaskan bahwa tepung sari sebagai sumber protein benar-benar sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup koloni lebah madu. Larva lebah madu mutlak memerlukan protein agar dapat bertahan hidup (Sihombing, 1997). Hal ini membuktikan bahwa larva sangat bergantung pada ketersediaan tepung sari sehingga memerlukan pakan pengganti tepung sari pada saat musim hujan atau musim paceklik untuk mempertahankan perkembangan koloninya.

Mortalitas Pupa

Kematian pada fase pupa selama penelitian sangat rendah bila dibandingkan pada fase telur dan larva.Berbeda pada mortalitas telur dan larva, mortalitas terendah dengan perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan, pada fase pupa terjadi pada perlakuan PKF dengan kematian sebesar 1,00%. Kematian pada PKR sebesar 1,33% dan PKS sebesar 1,66%.

Gambar 6. Tingkat Kematian pada Tahap Pupa

Gambar 6 memperlihatkan bahwa tidak terdapat kematian pupa pada koloni dengan perlakuan kontrol baik K+ maupun K- dan meskipun ketiga perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan menunjukkan hasil kematian yang lebih tinggi dibandingkan kontrol namun tingkat kematian yang terjadi sangat rendah sekali. Kematian yang rendah ini kemungkinan disebabkan karena jika anakan lebah madu telah dapat melewati fase telur dan larva maka kemungkinan dapat bertahan hidup melewati fase pupa dan sampai menjadi lebah dewasa.

Jika dilihat dari nilai KK mortalitas fase pupa yang didapat selama penelitian menunjukkan nilai yang sangat tinggi sehingga kematian yang terjadi kemungkinan bukan sepenuhnya disebabkan faktor pakan namun banyak faktor lain yang mempengaruhinya. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Winston (1987) yang menyatakan bahwa rendahnya angka kematian saat fase pupa disebabkan pada fase ini tidak lagi memerlukan asupan makanan dan sensitivitasnya terhadap fluktuasi lingkungan lebih rendah bila dibandingkan saat fase telur dan larva.

Penentuan Tepung Sari Buatan Terbaik

Pemberian tepung sari buatan sebagai pengganti tepung sari alami, menunjukkan hasil dan pengaruh yang berbeda-beda sehingga perlu penentuan tepung sari buatan terbaik yang dapat menjadi alternatif pengganti tepung sari alami. Tabel berikut akan menjelaskan cara pemilihan tepung sari buatan yang terbaik sebagai pengganti tepung sari alami berdasarkan jumlah konsumsi tertinggi dan mortalitas terendah.

Tabel 9. Penentuan Tepung Sari Buatan Terbaik

Perameter Perlakuan Kontrol PKF PKR PKS K+ K- Konsumsi Mortalitas telur (%) + + + - - + * - * - Keterangan: PKF = Pakan kedelai fermentasi PKR = Pakan kedelai rebus

PKS = Pakan kedelai sangrai K+ = Kontrol positif K- = Kontrol negatif

Mortalitas larva (%) Mortalitas pupa (%) - + + + - + - + - + Jumlah 3 3 2 1 1

Ketertangan: +: nilai terbaik - : nilai kurang baik * : data tidak diambil

Tabel 9 memperlihatkan bahwa PKF dan PKR memiliki nilai terbaik yang tertinggi bila dibandingkan perlakuan yang lainnya. Perlakuan PKF dan PKR memiliki jumlah nilai terbaik yang sama. Keterangan di atas menjelaskan bahwa PKF dan PKR dapat direkomendasikan menjadi tepung sari pengganti. Dilihat dari segi harga, baik PKR dan PKF tidak terlalu jauh berbeda. Aspek segi teknis, PKF lebih mudah diterapkan karena proses pengolahannya lebih sederhana. Hal ini tentu saja relevan jika langsung menggunakan tempe sebagai produk fermentasi.

Dokumen terkait