PENGARUH PEMBERIAN OLAHAN KEDELAI SEBAGAI
TEPUNG SARI PENGGANTI TERHADAP TINGKAT
MORTALITAS ANAKAN LEBAH MADU
(Apis mellifera)
SKRIPSI
ARIE FEBRETRISIANA
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PENGARUH PEMBERIAN OLAHAN KEDELAI SEBAGAI
TEPUNG SARI PENGGANTI TERHADAP TINGKAT
MORTALITAS ANAKAN LEBAH MADU
(Apis mellifera)
ARIE FEBRETRISIANA D14102021
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN
PENGARUH PEMBERIAN OLAHAN KEDELAI SEBAGAI
TEPUNG SARI PENGGANTI TERHADAP TINGKAT
MORTALITAS ANAKAN LEBAH MADU
(Apis mellifera)
Oleh :
ARIE FEBRETRISIANA D14102021
Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan dihadapan Komisi Ujian Lisan pada tanggal 1 September 2006
Pembimbing Utama Pembimbing Anggota
Ir. Hotnida C. H. Siregar, MSi Drs. Kuntadi, M.Agr NIP. 131 881 141 NIP. 710 006 096
Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
RINGKASAN
ARIE FEBRETRISIANA. D14102021. 2006. Pengaruh Pemberian Olahan Kedelai Sebagai Tepung Sari Pengganti Terhadap Tingkat Mortalitas Anakan Lebah Madu Apis mellifera. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Pembimbing Utama : Ir. Hotnida. C. H. Siregar, MSi Pembimbing Anggota : Drs. Kuntadi, M.Agr
Tepung sari merupakan sumber protein yang utama bagi lebah madu. Ketersediaannya sangat diperlukan terutama bagi perkembangan anakan lebah madu. Keberadaan tepung sari di alam tidak selalu tersedia setiap saat karena ketersediaannya tergantung musim bunga. Selain faktor musim, kekurangan tepung sari juga terjadi pada saat penggembalaan koloni ke daerah yang kaya nektar namun tidak menyediakan tanaman sumber tepung sari. Untuk itu, diperlukan penyediaan tepung sari pengganti untuk menjaga keutuhan populasi koloni. Kedelai adalah salah satu bahan alternatif pengganti tepung sari karena kandungan proteinnya yang tinggi dan harganya relatif lebih murah. Dalam rangka menguji cara terbaik pemrosesan kedelai untuk pembuatan bahan pengganti tepung sari telah dilakukan penelitian pemberian pakan buatan berbasis kedelai di peternakan lebah madu Sari Bunga, Sukabumi sejak tanggal 14 Maret sampai dengan 15 April 2006. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian hasil olahan kedelai dengan berbagai proses yakni fermentasi, perebusan dan penyangraian sebagai pakan pengganti tepung sari terhadap tingkat konsumsi dan mortalitas anakan lebah madu.
Penelitian menggunakan 15 koloni lebah madu dengan masing-masing koloni memiliki jumlah sisiran yang sama, umur ratu yang sama dan tidak terserang penyakit. Rancangan percobaan yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola searah dengan lima perlakuan dan tiga ulangan. Perlakuan yang diberikan terdiri dari pemberian pakan kedelai fermentasi (PKF), pakan kedelai rebus (PKR), pakan kedelai sangrai (PKS), pakan tepung sari alami (K+) dan tanpa pemberian tepung sari buatan maupun tepung sari alami (K-). Peubah yang diamati adalah jumlah konsumsi pakan tepung sari buatan dan mortalitas telur, larva dan pupa. Perbedaan tingkat konsumsi masing-masing perlakuan dianalisis dengan ANOVA dan uji lanjut Duncan, sedangkan tingkat mortalitas anakan dianalisis secara deskriptif.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemberian tepung sari buatan berpengaruh sangat nyata (P<0,01) terhadap tingkat konsumsi lebah madu. Perlakuan PKF dan PKR menunjukkan jumlah konsumsi tertinggi masing-masing sebesar 147,69 dan 140,55 gr/koloni/minggu sedang konsumsi terendah adalah PKS sebesar 81,26 gr/koloni/minggu.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKF dan PKR dapat dijadikan alternatif pengganti tepung sari alami.
ABSTRACT
THE EFFECT OF SOYBEAN PRODUCTS AS POLLEN SUBSTITUTE ON BROOD MORTALITY OF HONEY BEE (Apis mellifera)
Febretrisiana, A., H. C. H. Siregar., and Kuntadi.
Pollen is the main sources of protein, lipids, minerals, and vitamins for honey bees. Shortage of pollen causes the decrease of brood rearing and developmental abnormalities. Since pollen is often not present in adequate quantities in the field, it is important for beekeepers to supply their colonies with other source of protein as a pollen substitute. This research was aimed to compare the brood (egg, larvae and pupae) mortality of worker honey bee (A. mellifera) in colonies fed pollen substitutes based on fermented soybean (tempe), boiled soybean and fried soybean. Fiveteen colonies were use in this reseach, each colony had queen with the same age. Twelve colonies were given pollen trap to avoid fresh pollen entering the hives. The research was done from March until April 2006 at Sukaraja, District Sukabumi, West of Java Province.
The result showed there was a highly significant effect (P<0,01) of pollen substitutes to the consumtion rate of the honey bee. The mean consumtion of both fermentated and boiled soybean were higher than fried soybean. The rate consumtion were 147,69, 140,55 and 81,26 gr/colony/week for fermented soybean, boiled soybean and fried soybean, respectively. The rate of larval mortalities (20,99%) was higher than egg (17,44%) and pupal mortalities (1,35%). Brood mortality in colonies fed the fermented soybean (8,10%) was lower than other treatment. Brood mortality in colonies fed boiled soybean and fried soybean were 12,99% and 17,46%. Brood mortality in negative control (25,22%) was higher then positive control (14,77%) and the other treatments.
Keywords: : pollen substitute, mortality, soybean (Glycine max), honey bee (Apis
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan pada tanggal 4 Pebruari 1984 di
Gunung Pamela, Sumatera Utara. Penulis adalah anak
kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ismail
dan Ibu Rodiah.
Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di
SDN 102126 Gunung Para, pendidikan lanjutan
menengah pertama diselesaikan pada tahun 1995 di
SLTPN 1 Dolok Merawan dan pendidikan lanjutan
menengah atas diselesaikan pada tahun 2002 di
SLTAN 1 Dolok Batu Nanggar, Sumatera Utara.
Penulis diterima sebagai mahasiswa pada Jurusan Ilmu Produksi Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) pada tahun 2002.
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrahim. Syukur yang terdalam kehadirat Allah swt atas
segala kebesaran dan karuniaNya sehingga Penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi yang berjudul Pengaruh Pemberian Olahan Kedelai Sebagai Tepung
Sari Pengganti Terhadap Mortalitas Anakan Lebah Madu (Apis mellifera) disusun
sebagai syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Departemen Ilmu dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Lebah madu banyak memiliki keunikan tersendiri baik dari segi tingkah
lakunya maupun dari produk yang dihasilkan. Keunikan produk yang dihasilkan
lebah madu juga ditunjang dengan harga jualnya yang cukup tinggi sehingga jika
dapat mengembangkan budidaya lebah madu maka tentunya dapat meningkatkan
taraf hidup para peternak lebah madu khususnya dan masyarakat pada umumnya.
Penelitian ini bertujuan untuk membantu para peternak dalam pengembangan
pembudidayaan lebah madu yang sangat potensial sekali dikembangkan di Indonesia.
Selama ini para peternak sering mengalami kesulitan dalam penanganan masalah
kurangnya ketersediaan tepung sari yang sangat diperlukan untuk perkembangan
anakan lebah madu. Untuk itu, dikembangkan alternatif pengganti tepung sari alami
untuk mengurangi ketergantungan peternak kepada tepung sari alami.
Hasil penelitian ini diharapkan akan membawa pemecahan bagi masalah yang
dihadapi peternak lebah madu di Indonesia sehingga budidaya lebah madu dapat
berkembang dengan lebih baik.
Bogor, Agustus 2006.
Pelaksanaan Penelitian ... 14
Peubah yang Diamati ... 16
Pengambilan Data ... 16
Analisa Data ... ... 17
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 18
Gambaran Umum Pakan Tepung Sari Buatan ... 18
Konsumsi Pakan ... 20
Mortalitas Anakan ... 22
Mortalitas Telur ... 24
Mortalitas Larva ... 26
Mortalitas Pupa ... 28
Penentuan Tepung Sari Buatan Terbaik ... 29
KESIMPULAN DAN SARAN ... 30
Kesimpulan ... ... 30
Saran ... ... 30
UCAPAN TERIMAKASIH ... 31
DAFTAR PUSTAKA ... 32
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1 Siklus Hidup Lebah Madu Apis mellifera ... 5
2. Komposisi Kimia Tepung Kedelai ... 11
3. Komposisi Kimia Tepung Tempe ... 12
4. Komposisi Pembuatan Tepung Sari Pengganti ... 14
5. Analisis Proksimat Tepung Tempe, Tepung Kedelai Rebus dan Tepung Kedelai Sangrai ... 18
6. Jumlah Konsumsi Tepung Sari Pengganti Selama Lima Minggu ... 20
7. Konsumsi Pakan Tepung Sari Buatan Dengan Formula yang Berbeda ... 22
8. Rataan Mortalitas Telur, Larva dan Pupa Anakan Lebah Madu Apis mellifera yang Mendapat Perlakuan (PKF), (PKR), (PKS), (K+ ) dan (K-) ... 22
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Skema Perlakuan yang Diberikan Selama Penelitian ... 15
2. Tepung Sari Pengganti Pakan Kedelai Fermentasi (PKF), Pakan Kedelai Rebus (PKR) dan Pakan Kedelai Sangrai (PKS) ... 19
3. Konsumsi Pakan Tepung Sari Penganti ... 21
4. Tingkat Kematian Pada Tahap Telur ... 25
5 Tingkat Kematian Pada Tahap Larva ... 27
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor Halaman
1. Data Konsumsi Pakan PKF Keseluruhan Selama Penelitian ... 36
2. Data Konsumsi Pakan PKR Keseluruhan Selama Penelitian ... 36
3. Data Konsumsi Pakan PKS Keseluruhan Selama Penelitian ... 36
4. Data Mortalitas Telur Keseluruhan Selama Penelitian ... 37
5 Data Mortalitas Larva Keseluruhan Selama Penelitian ... 37
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Budidaya lebah madu Apis mellifera (lebah eropa) telah dikembangkan di
Indonesia sejak pertengahan tahun 1970-an dan jumlah koloni yang dipelihara saat
ini diperkirakan sekitar 150.000 koloni dengan produksi madu nasional antara
2.000-2.500 ton (Gunawan, 2004). Sampai saat ini budidaya lebah madu masih terpusat di
pulau Jawa. Dilihat dari potensi alam yang dimiliki Indonesia, seharusnya usaha
perlebahan di Indonesia dapat berkembang dengan baik di wilayah Indonesia
lainnya. Hal ini berkaitan dengan faktor pendukung yang dimiliki Indonesia yakni
tersedianya berbagai jenis tumbuhan yang menjadi sumber pakan lebah madu,
potensi pasar domestik maupun internasional yang masih terbuka luas.
Sumber pakan lebah madu adalah nektar dan tepung sari (pollen) yang
berasal dari tumbuh – tumbuhan. Nektar dimanfaatkan lebah madu sebagai sumber
energi sedangkan tepung sari diperlukan sebagai sumber protein yang penting untuk
perkembangan anakan lebah madu. Nektar adalah cairan yang disekresikan oleh
tumbuhan melalui kelenjar nektar yang letaknya bervariasi pada berbagai bagian
tumbuhan. Nektar dibedakan menjadi dua jenis yaitu floral jika nektar dihasilkan dari
kelenjar nektar di bagian bunga dan extrafloral jika dihasilkan dari kelenjar nektar di
bagian lain tumbuhan. Tanaman yang menjadi sumber nektar antara lain bunga
kapuk randu (Ceiba petandra), lengkeng (Nephelium longanum), durian (Durio
zibethinus), sengon (Arachis hypongea) dan lain-lain.
Tepung sari adalah bahan halus seperti bubuk yang terdapat pada ujung
benang sari bunga yang merupakan kelamin jantan pada tumbuhan. Tanaman yang
menjadi sumber tepung sari antara lain jagung (Zea mays), lamtoro (Leucaena sp),
kelapa (Cocos nucifera), kapuk randu (Ceiba petandra) dan lain-lain.
Nektar dan tepung sari tidak selalu tersedia setiap saat, ketersediaannya
tergantung pada musim. Mengatasi masalah kekurangan nektar, peternak biasanya
memberikan pakan tambahan berupa air gula. Peternak di Indonesia masih jarang
tidak tersedia dengan cukup di alam. Penggembalaan koloni lebah madu ke daerah
yang banyak menyediakan tanaman sumber tepung sari masih menjadi pilihan utama
yang dilakukan peternak, walaupun biaya transportasi dan tenaga kerja yang harus
dikeluarkan cukup tinggi.
Masalah ketersediaan tepung sari juga muncul saat peternak
menggembalakan koloni lebah madu ke daerah yang banyak menyediakan tanaman
sumber nektar tetapi tidak tersedia tanaman sumber tepung sari. Keadaan ini menjadi
dilema bagi peternak karena, dari satu sisi, peternak mendapat hasil madu yang baik
namun, di sisi lain, koloni lebah madu dapat menurun sangat drastis. Penurunan
populasi koloni ini diakibatkan tidak tersedianya tepung sari yang menjadi bahan
makanan untuk perkembangan anakan.
Musim hujan juga menjadi faktor pembatas bagi lebah madu untuk
mendapatkan sumber pakan, khususnya tepung sari. Tidak banyak tumbuhan yang
berbunga pada musim ini, lebah madu juga tidak dapat keluar dari sarang saat hujan
lebat serta, setelah hujan turun, tepung sari akan menjadi basah sehingga lebah madu
akan mengalami kesulitan untuk mengambilnya. Apabila masalah ketersediaan
tepung sari tidak segera diatasi tentu saja akan menghambat perkembangan koloni
lebah madu serta dapat menyebabkan kerugian yang besar bagi peternak.
Tepung sari buatan adalah salah satu alternatif untuk mengatasi kekurangan
pasokan tepung sari alami. Saat ini sudah banyak penelitian yang dilakukan untuk
mendapat formula pakan sebagai pengganti tepung sari. Salah satu bahan yang sering
digunakan sebagai bahan dasar pakan penganti tepung sari adalah kedelai, karena
kandungan proteinnya yang tinggi serta harganya relatif lebih murah. Di Indonesia
terdapat beberapa cara pengolahan dasar pada kedelai seperti perebusan,
penyangraian ataupun fermentasi yang dilakukan untuk mengolah kedelai menjadi
bahan makanan lain. Oleh karena itu, diperlukan penelitian dasar untuk menentukan
kedelai dengan proses tertentu yang nantinya dapat digunakan sebagai pakan
penganti tepung sari dan tentunya pakan pengganti tersebut disukai lebah dan
memiliki nilai gizi yang baik untuk perkembangan lebah madu.
Menurut Chalmers (1980), permasalahan yang sering muncul dalam
pembudidayaan lebah madu adalah ketergantungannya yang besar kepada tepung sari
bunga bagi perkembangan anakan. Tepung sari diperlukan oleh lebah pekerja muda
untuk menunjang perkembangan kelenjar hypopharyng yang berfungsi memproduksi
makanan ratu dan larva lebah. Jika ketersediaan tepung sari tidak dipenuhi tentunya
akan berdampak pada penurunan jumlah populasi dan menghambat perkembangan
koloni lebah madu. Untuk itu, saat ini telah dikembangkan pakan pengganti tepung
sari alami. Dari keterangan diatas maka dapat ditarik permasalahan sebagai berikut:
1. Bagaimana memenuhi kebutuhan protein yang diperlukan koloni lebah
madu dalam kondisi ketersediaan tepung sari alami sangat terbatas?
2. Bagaimana bahan pengganti tepung sari yang digunakan dapat membantu
perkembangan anakan lebah madu?
3. Bagaimana ketertarikan lebah madu terhadap pakan tepung sari pengganti
yang diberikan?
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian hasil olahan
kedelai dengan berbagai proses yakni fermentasi, perebusan dan penyangraian
sebagai pakan penganti tepung sari terhadap tingkat konsumsi lebah madu dan
mortalitas anakan lebah madu A. mellifera.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk membantu
memecahkan permasalahan kurangnya ketersediaan tepung sari alami yang dialami
peternak lebah madu dan bermanfaat pula untuk pengembangan formula pakan
TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi Lebah Madu
Klasifikasi lebah madu menurut Singh (1962) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Filum : Arthropoda
Kelas : Hexapoda atau insecta
Ordo : Hymenoptera
Famili : Apidae
Genus : Apis
Saat ini sudah diketahui sedikitnya terdapat delapan spesies lebah madu
diseluruh dunia yaitu A. mellifera, A. cerana, A. koschevnikovi, A. nuluensis, A.
nigrocincta, A. florea, A. andreniformis dan A. laboriosa (Oldroyd dan Wongsiri,
2004; Ruttner, 1988).
Menurut Free (1982), spesies lebah madu yang dikenal dan paling luas
penyebarannya adalah A. mellifera. Kemampuannya memproduksi madu yang sangat
tinggi menjadikan lebah ini banyak diperkenalkan ke wilayah baru yang sebelumnya
merupakan daerah penyebaran A. cerana. Menurut Sihombing (1997) A. mellifera
memiliki daya adaptasi yang tinggi sehingga dari spesies lebah ini dapat dibuat galur
baru yang mampu hidup di lingkungan dan iklim yang berbeda dari tempat aslinya.
Biologi Lebah Madu
Lebah madu adalah serangga sosial yang selalu hidup dalam satu keluarga
besar atau berkoloni. Anggota koloni lebah madu terdiri dari beberapa strata yaitu
lebah pekerja, lebah ratu dan lebah jantan (Gojmerac, 1980). Masing-masing kasta
memiliki tugas yang berbeda-beda. Lebah pekerja memiliki tugas melakukan semua
pekerjaan yang diperlukan untuk kelangsungan hidup koloni, kecuali reproduksi.
Tugas lebah pekerja berbeda-beda sesuai dengan umurnya. Satu-satunya tugas ratu
didalam koloni lebah madu adalah bertelur untuk menjamin kelestarian koloni
satu koloni hanya ada satu ratu, beberapa ratus lebah jantan dan beberapa puluh ribu
lebah pekerja (Sihombing, 1997).
Apis mellifera membangun sarangnya didalam lubang atau rongga (cavity
nesting). Sarang lebah berarsitektur sangat mengagumkan, terdiri atas beberapa lapis
atau lempeng sarang yang dibangun dari lilin yang diproduksi lebah pekerja.
Masing-masing sarang terdiri atas sel heksagonal yang saling bersambungan dengan posisi
saling membelakangi. Terdapat dua jenis tipe sel heksagonal yaitu sel yang lebih
kecil yang digunakan untuk memelihara anakan lebah pekerja dan sel yang lebih
besar digunakan untuk memelihara anakan lebah jantan. Kedua tipe sel tersebut juga
digunakan untuk menyimpan madu, tepung sari dan kadang-kadang untuk
menyimpan air dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tipe sel untuk memelihara
calon ratu bentuknya memanjang berbentuk kerucut dibagian bawah sarang. Sel ratu
hanya ada bila koloni akan melakukan reproduksi koloni atau mengganti ratu yang
hilang atau mati (Winston, 1987)
Siklus Hidup
Perkembangan tiap kasta lebah madu melalui empat stadia, yaitu: telur, larva,
pupa dan dewasa (Winston, 1987). Lamanya perkembangan pada tiap stadia
berbeda-beda (Tabel 1).
Tabel 1. Siklus Hidup Lebah Madu Apis mellifera Kasta
(strata)
Stadia Lama Hidup
(telur-dewasa)
Telur lebah madu berwarna putih seperti mutiara, berbentuk oval memanjang
seperti tabung dan sedikit melengkung. Ukuran dan waktu perkembangan telur pada
masing-masing strata sangat bervariasi, keduanya dipengaruhi oleh genetika dan
komponen lingkungan (Winston, 1987).
Telur-telur lebah ratu terdiri dari telur tertunas dan tidak tertunas. Hasil
besar sel sarang dan komposisi makanan yang diterimanya, sedang dari telur tidak
tertunas hanya akan menghasilkan lebah jantan (Sihombing, 1997). Menurut
Winston (1987) lebah ratu meletakkan hanya satu telur di dalam setiap sel. Khusus
telur calon ratu diletakkan pada sel ratu yang berbeda dengan sel lain yaitu berada
dalam sel khusus yang bergantung tegak lurus kearah bawah sarang dan berukuran
lebih besar dan memanjang
Larva
Larva lebah madu adalah sejenis ulat berwarna putih yang tidak memiliki
kaki, mata, antenna, sayap ataupun sengat tetapi memiliki mulut sederhana yang
hanya digunakan untuk menelan pakan yang ditempatkan oleh lebah pekerja di
dalam sel. Lama waktu yang diperlukan untuk menyelesaikan stadia larva
berbeda-beda diantara kasta lebah. Perkembangan larva lebah jantan butuh waktu yang lebih
panjang daripada lebah pekerja dan lebah ratu (Winston, 1987).
Makanan tersedia di dalam sel secepatnya setelah telur berkembang menjadi
larva dan makanan tersebut disuplai sepanjang masa perkembangan larva (Ruttner,
1988). Dua hari pertama, semua larva diberi makanan yang sama yaitu royal jelly.
Bagi larva yang dipersiapkan sebagai calon ratu mendapat tambahan royal jelly lebih
dari 2,5 hari pertama, sedangkan bagi larva yang akan menjadi lebah pekerja atau
lebah jantan akan mendapat makanan berupa tepungsari dan madu (Gojmerac, 1980).
Menurut Singh (1962) larva pada ketiga kasta lebah terlihat sama pada awalnya
tetapi larva ratu dan larva pejantan berkembang lebih besar dari pada larva lebah
pekerja selama setengah dari perkembangan yang terakhir.
Pupa
Menurut Free ( 1982), setelah larva calon ratu atau pekerja berumur lima hari
dan larva calon lebah jantan berumur tujuh hari, di dalam selnya tidak lagi tersedia
makanan dan sel akan segera ditutup dengan lapisan lilin oleh lebah pekerja dewasa.
Menurut Sarwono (2001) saat larva memasuki fase pupa, tubuh pupa mengalami
perubahan sedikit demi sedikit, sayap dan kakinya mulai tumbuh.
Stadium pupa adalah periode terakhir sebelum berganti kulit menjadi dewasa.
Kepala, mata, antena, mulut, dada, kaki dan abdomen memperlihatkan karakteristik
pupa, secara bertahap kutikula berkembang menjadi gelap dan perubahan warna ini
dapat digunakan untuk menentukan umur pupa. Pada stadium pupa otot-otot dan
sistem organ mengalami perubahan secara besar-besaran menjadi bentuk dewasa.
Stadium pupa berakhir sekitar 12 hari bagi lebah pekerja dan 14 hari bagi lebah
pejantan sedangkan bagi ratu 7-8 hari, kemudian diikuti dengan berakhirnya
pergantian kulit menuju tahap dewasa (Winston, 1987).
Dewasa
Ratu adalah satu-satunya lebah betina yang fungsi organ reproduksinya
berkembang dengan sempurna. Hal ini berkaitan dengan tugasnya untuk menjamin
kelestarian koloni. Saat kondisi udara bagus, lebah ratu muda biasanya melakukan
perkawinan pada minggu kedua dari kehidupannya ( Pavord, 1975). Ratu melakukan
perkawinan dengan lebih dari satu pejantan selama beberapa hari atau minggu
perkawinan. Setelah ratu selesai kawin, ia tetap tinggal di sarangnya kecuali jika
koloni tersebut harus hijrah (Winston, 1987). Menurut Sumoprastowo dan Suprapto
(1980) ratu dapat hidup 5-7 tahun.
Menurut Sihombing ( 1997), ukuran tubuh ratu adalah dua kali panjang serta
2,8 kali bobot lebah pekerja. Penampilannya berbeda dari lebah pekerja, terutama
bagian abdomennya yang terlihat lebih besar dan lebih panjang untuk menampung
ovarium yang berkembang sangat subur.
Lebah pekerja adalah lebah betina yang organ reproduksinya tidak
berkembang secara sempurna. Namun demikian, lebah pekerja mempunyai
organ-organ yang membuat mereka mampu melakukan semua tugas di dalam koloni.
Tugas-tugas di dalam sarang meliputi membuat sisiran sarang, memelihara telur,
larva dan pupa, menyediakan makanan ratu dan jantan, mempertahankan koloni
terhadap serangan musuh, mengatur temperatur dan kelembaban dalam sarang,
mematangkan dan menyimpan madu. Koloni lebah madu mempunyai cara-cara yang
unik untuk memepertahankan temperatur di dalam sarangnya. Khusus untuk daerah
tetasan (brood area) harus dijaga agar tetap pada suhu 33-36°C. Bila temperatur
turun, lebah madu akan membentuk kelompok baris-padat dan jika suhu semakin
rendah maka barisan akan semakin rapat. Bila temperatur naik, lebah akan
untuk menurunkan suhu di dalam sarang adalah dengan menguapkan air atau
mencairkan madu (Sihombing, 1997).
Jumlah lebah pekerja dalam satu koloni lebah madu sangat bervariasi. Di
dalam satu koloni lebah madu A. mellifera terdapat 10.000 sampai 100.000 ekor
lebah pekerja. Bentuk tubuhnya ramping, warnanya hitam kecoklatan, dan memiliki
sengat yang lurus dan berduri. Masa hidup lebah pekerja rata-rata hanya 30 sampai
45 hari (Sarwono, 2001).
Fungsi lebah jantan satu-satunya selama hidup adalah mengawini lebah ratu
dara. Mata dan sayapnya lebih besar daripada kedua kasta lebah lainnya, tidak
memiliki keranjang tepung sari (pollen basket), kelenjar malam maupun sengat
(Sihombing, 1997). Masa paceklik adalah masa suram bagi lebah jantan karena pada
masa itu lebah jantan akan dibunuh oleh lebah pekerja (Sumoprastowo, 1980).
Menurut Sarwono (2001), lama hidup lebah jantan sekitar tiga bulan, namun jika
lebah jantan berhasil mengawini lebah ratu (queen) maka setelah kawin lebah jantan
akan segara mati karena alat kelaminnya tertinggal di abdomen lebah ratu.
Nutrisi dan Perkembangan Lebah Madu
Lebah madu tidak berbeda dengan organisme lainnya yakni membutuhkan
karbohidrat, protein, lemak, mineral, air, vitamin, dan lain-lain (Gojmerac, 1980).
Menurut Sihombing (1997), kebutuhan zat-zat pakan pada lebah madu berbeda
sesuai dengan fase pertumbuhan dan kasta lebah. Meskipun ada perbedaan nutrisi
yang dibutuhkan dan mekanisme makannya, tetapi pada dasarnya bahan untuk
anakan dan lebah dewasa sama yaitu nektar dan tepungsari. Kedua bahan pakan ini
menyediakan karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral yang diperlukan lebah
madu (Winston, 1987).
Menurut Gojmerac (1980), kebutuhan nutrisi bagi larva berbeda dengan
kebutuhan nutrisi bagi lebah dewasa. Lebah dewasa dapat bertahan hidup dalam
waktu yang relatif lama meskipun kebutuhan nutrisinya sepenuhnya hanya dari
karbohidrat, tetapi protein sangat penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
larva.
Larva lebah pekerja pada dua hari pertama kehidupannya memakan 60-80%
yang merupakan campuran sekresi kelenjar mandibular dan sekresi kelenjar
hypopharyng lebah pekerja muda. Pada hari ketiga pakan larva lebah pekerja lebih
banyak berasal dari kelenjar hypopharyng sehingga terjadi penurunan dalam kualitas
dan jenis protein dalam makanannya. Setelah berumur tiga hari, larva memakan
campuran tepung sari dan madu. Hari kelima larva lebih banyak memakan tepungsari
karena pada saat itu larva sedang mengalami perkembangan sehingga membutuhkan
banyak protein (Winston, 1987).
Beberapa jam setelah lahir lebah pekerja muda mulai mengkonsumsi tepung
sari yang diambil sendiri dari sel dan mencapai konsumsi maksimum ketika berumur
lima hari. Selain itu, lebah pekerja muda juga diberi pakan oleh lebah pekerja.
Tepungsari dibutuhkan selama 8-10 hari pertama kehidupannya untuk perkembangan
kelenjar dan pertumbuhan bagian dalam tubuh. Setelah itu, tepungsari tidak lagi
diperlukan kecuali bila lebah pekerja memproduksi pakan anakan dan memberi
makan larva. Untuk perkembangan kelenjar hypopharyng dan lemak tubuh, lebah
memerlukan protein yang berasal dari tepung sari sehingga jika terjadi kekurangan
tepungsari dapat menyebabkan perkembangan kelenjar lambat dan umur lebih
pendek (Winston, 1983).
Bahan gizi yang dibutuhkan oleh lebah pekerja tidak hanya berasal dari
tepungsari tetapi juga berasal dari madu. Madu yang dikonsumsi oleh lebah pekerja
menyediakan gula sebagai sumber energi sehingga apabila persediaan madu tidak
memadai maka lebah pekerja akan mati. Lebah jantan dewasa diberi makan oleh
lebah pekerja pada beberapa hari pertama kehidupannya dan secara bertahap mulai
makan sendiri dari sel madu. Lebah jantan muda yang baru lahir diberi makan berupa
campuran tepung sari dan madu (Winston, 1987).
Pakan Lebah Madu
Tepung Sari
Tepung sari dikonsumsi oleh lebah madu terutama sebagai sumber protein
dan lemak, sedikit karbohidrat dan mineral-mineral. Kandungan protein kasarnya
bervariasi antara 8 - 40%, rata-rata 23%, dan mengandung semua asam-asam amino
esensial maupun asam-asam lemak esensial. Di daerah beriklim dingin satu koloni
juga tepung sari yang dibutuhkan satu koloni lebah di daerah tropis dan sub tropis.
Sekitar separuh dari tepung sari tersebut digunakan untuk pemeliharaan tetasan
(Sihombing, 1997). Menurut Winarno (1982), sebagian besar kandungan tepung sari
menjadi bahan utama pembuatan royal jelly yang merupakan makanan larva dan ratu
lebah. Kandungan nutrisi tepung sari sangat bervariasi tergantung pada sumber
tanaman penghasil tepung sari. Selain protein, tepung sari juga mengandung lemak
1-20% (biasanya kurang dari 5%), gula, serat, vitamin, mineral yang semuanya
penting untuk lebah (Winston , 1987).
Menurut Sarwono (2001), tepung sari penting dalam memberikan zat protein,
yaitu zat nutrisi yang diperlukan untuk membentuk otot dalam badan lebah. Tepung
sari dengan kadar protein kurang dari 20% tidak dapat memenuhi kebutuhan koloni
untuk berproduksi optimal. Koloni yang kuat membutuhkan tepung sari sebanyak 55
kg per tahun. Jika persediaannya kurang daripada itu, lebah akan menggunakan
protein tubuhnya untuk melanjutkan fungsinya sehingga kadar protein tubuh bisa
menurun dari 54% menjadi 27%. Menurut Winston (1987) lebah pekerja memilih
tepung sari untuk diambil tidak berdasarkan nilai nutrisi, umur, kelembutan atau
warna tetapi berdasarkan bau dan bentuk fisik dari butiran tepung sari
Nektar
Sebagian besar energi yang diperlukan oleh lebah madu berasal dari nektar.
Nektar kaya akan berbagai bentuk karbohidrat (3-87%), seperti sukrosa, fruktosa dan
glukosa. Selain karbohidrat, nektar juga mengandung sedikit senyawa-senyawa
amino, amida-amida, asam-asam organik, vitamin-vitamin, senyawa-senyawa
aromatik dan juga mineral-mineral. Kandungan zat-zat makanan dalam nektar
tergantung dari sumber nektar dan musim (Sihombing, 1997). Menurut Winston
(1979), nektar yang dikumpulkan oleh lebah pekerja tidak dapat langsung dimakan
oleh anakan dan dewasa, tetapi diproses dahulu menjadi madu.
Pakan Tambahan
Pembudidayaan lebah madu membutuhkan tepung sari dan nektar dalam
jumlah memadai dan tersedia terus menerus sepanjang tahun. Akan tetapi, tidak
semua tanaman menghasilkan nektar dan atau tepung sari secara terus menerus
dimaksudkan untuk mengatasi masa kekurangan nektar di lapangan. Oleh karena itu
kandungan gizi yang ada di dalam pakan tambahan sebaiknya sama dengan
kandungan nektar alami. Kandungan gula dalam nektar yang baik harus diatas 20%,
karena kadar gula diatas 20% mampu mencukupi kebutuhan energi bagi aktivitas
lebah madu.
Protein sangat penting bagi kelangsungan sebuah koloni lebah madu sehingga
banyak sumber protein lain diteliti dengan harapan akan ditemukan bahan makanan
untuk menggantikan tepung sari alami. Bahan-bahan yang sudah diteliti diantaranya
adalah kuning telur, tepung kedelai, ragi bir, ragi roti, susu skim, kasein, kentang
rebus (Gojmerac, 1980).
Tepung Kedelai
Kedelai (Glycine max.) termasuk dalam famili Leguminosae, subfamili
Papilonidae, genus Glicine dan spesies max. Dilihat dari segi pangan dan gizi
kedelai merupakan sumber protein yang paling murah di dunia (Smith dan Circle,
1978). Disamping mengandung senyawa yang berguna, ternyata pada kedelai juga
terdapat senyawa anti gizi. Diantara senyawa anti gizi tersebut adalah anti tripsin dan
hemaglutinin (Koswara, 1992). Menurut Rasidi (2001), sebelum digunakan kedelai
harus dipanaskan terlebih dahulu. Pemanasan ini dapat melemahkan zat anti tripsin
yang merugikan. Komposisi kimia tepung kedelai secara lengkap dapat dilihat pada
Tabel 2.
Tebel 2. Komposisi Kimia Tepung Kedelai
Kandungan Komposisi (%)
Protein
Tempe adalah makanan tradisional Indonesia yang berasal dari kedelai dan
Rhizopus sp. pada kedelai yang telah direbus sehingga membentuk masa yang padat
dan kompak (Shurtleff dan Aoyagi, 1979). Kedelai mengalami berbagai perubahan
komposisi selama proses pembuatannya baik oleh proses fisik maupun proses
enzimatik akibat aktivitas mikroorganisme terutama pada saat perendaman oleh
bakteri-bakteri pembentuk asam, dan proses fermentasi oleh kapang. Akibat dari
perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih enak, lebih bergizi dan lebih
mudah dicerna (Pawiroharsono, 1995). Menurut Murata et al. ( 1967), umumnya
jumlah asam amino bebas baik yang esensial maupun non esensial dalam kedelai
meningkat akibat fermentasi. Aktivitas enzim protease kapang menyebabkan protein
terurai menjadi asam amino bebas yang bersifat lebih mudah dimanfaatkan oleh
tubuh. Komposisi kimia tepung tempe secara lengkap dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Komposisi Kimia Tepung Tempe
Komponen Komposisi (%)
Protein
Menurut Haryadi (2003), salah satu faktor yang penting dalam mengukur
keberhasilan pemeliharaan ternak adalah mortalitas (tingkat kematian). Menurut
pendapat Stanley dan Linkens (1974), pemberian pollen supplement yang diberikan
dengan formula yang berbeda akan menyebabkan angka kematian anakan yang
berbeda pula.
Stanley dan Linkens (1974) menyatakan bahwa berdasarkan penelitian
Haydak (1933:1939) koloni yang diberi tepung gandum sebagai pollen supplement
lebih tinggi kematian anakannya (52%) daripada koloni yang diberi ragi kering
(15,5%). Hasil penelitian Winston et al. (1983) menunjukkan bahwa rata-rata
kematian anakan pada koloni yang diberi pollen supplement berupa campuran tepung
supplement (14%), sedangkan rata-rata kematiaan anakan pada koloni yang hanya
diberi ragi bir berkisar antara 3-10%.
MATERI DAN METODE PENELITIAN
Waktu dan Lokasi
Penelitian dilakukan di peternakan lebah madu Sari Bunga dari bulan Maret
sampai dengan April 2006 bertempat di Kampung Kedung, Desa Titisan, Kecamatan
Sukaraja, Kabupaten Sukabumi, Propinsi Jawa Barat.
Materi
Lebah Madu
Lebah madu A. mellifera yang digunakan terdiri atas 15 koloni dengan
jumlah sisiran yang sama yaitu tujuh sisiran pada tiap koloni. Semua ratu pada
masing-masing koloni memiliki umur yang sama yakni kurang lebih empat bulan.
Pakan
Bahan pakan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari tepung kedelai
direbus, tepung kedelai sangrai dan tepung kedelai fermentasi (tempe).
Masing-masing pakan tersebut dicampur dengan air gula. Kedelai dan tempe yang digunakan
dalam penelitian ini diperoleh dari pengrajin tempe di Cimanggu I Cibungbulang
Bogor.
Peralatan
Peralatan yang digunakan yaitu perangkap tepung sari (pollen trap),
timbangan, plastik transparansi, ayakan tepung, kertas minyak, alat tulis, pengasap,
masker dan sikat lebah.
Metode
Rancangan Percobaan
Penelitian ini dilakukan dengan percobaan (eksperimen) menggunakan tiga
perlakuan dan tiga ulangan. Sebagai unit percobaan adalah 15 koloni lebah madu
yang dibagi menjadi lima kelompok. Masing-masing kelompok mendapat perlakuan
yang berbeda, dua diantaranya digunakan sebagai unit kontrol (kontrol positif dan
Cara Kerja
a. Pembuatan tepung sari pengganti
Perlakuan penelitian terdiri dari tiga jenis pakan pengganti tepung sari
berbahan dasar tepung kedelai yang pengolahanny berbeda, yaitu kedelai fermentasi
(tempe), kedelai rebus dan kedelai sangrai.
Tepung sari pengganti diberikan kepada lebah madu dalam bentuk campuran
tepung kedelai dengan sirup gula agar memudahkan lebah pekerja mengambil dan
mengkonsumsi tepung sari pengganti tersebut. Sirup gula diperoleh dengan membuat
campuran air dan gula pasir dengan perbandingan 1:1.
Tepung kedelai fermentasi diperoleh dengan menggunakan tempe sebagai
produk kedelai fermentasi. Tempe dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama
48 jam kemudian digiling dan diayak.
Tepung kedelai rebus diperoleh dengan cara terlebih dahulu merebus kedelai
segar kemudian kulit ari dibuang dan kedelai dicuci hingga bersih. Setelah itu kedelai
dikeringkan dalam oven dengan suhu 60°C selama 48 jam kemudian digiling dan
diayak.
Tepung kedelai sangrai diperoleh dengan cara menyangrai kedelai segar
menggunakan kompor gas dengan api kecil selama 20 menit. Setelah itu kedelai
sangrai digiling dan kemudian diayak.
Komposisi pembuatan pakan tepung sari pengganti yang terdiri dari tepung
kedelai dan sirup gula, seperti yang tertera dalam Tabel 4:
Tabel 4. Komposisi Pembuatan Pakan Tepung Sari Pengganti
Tepung Sari pengganti Tepung kedelai (gr) Sirup gula (gr)
PKF
Keterangan: PKF = Pakan kedelai fermentasi PKR = Pakan kedelai rebus PKS = Pakan kedelai sangrai
Koloni lebah madu dipilih sebanyak 15 koloni yakni koloni yang memiliki
ratu dengan umur yang sama, tidak terserang penyakit serta memiliki sisiran yang
sama yaitu berisi tujuh sisiran.
Koloni lebah madu ditempatkan didalam kotak lebah dan diberi label.
Sebanyak 12 stup dipasang perangkap tepung sari untuk mencegah masuknya tepung
sari alami yang dibawa oleh lebah kedalam kotak. Keduabelas koloni tersebut dibagi
menjadi empat kelompok yang masing-masing diberi perlakuan berbeda, yaitu
sebanyak tiga koloni mendapat perlakuan pemberian pakan kedelai fermentasi, tiga
koloni mendapat perlakuan pemberian pakan kedelai rebus, tiga koloni lain mendapat
perlakuan pemberian pakan kedelai sangrai. Sebanyak tiga koloni lain merupakan
kontrol negatif yaitu koloni yang tanpa mendapat pakan tepung sari alami maupun
dengan tepung sari pengganti.
Tiga koloni yang tersisa merupakan kontrol positif yaitu koloni yang tanpa
pemasangan perangkap tepung sari sehingga dapat bebas mendapatkan tepung sari
dari alam.
Perlakuan yang diberikan selama penelitian terlihat seperti pada skema
Gambar 1. Skema Perlakuan yang Diberikan Selama Penelitian
Pakan tambahan diberikan satu kali seminggu dalam bentuk adonan lembek
yang mudah diambil oleh lebah madu dengan berat yang sama yaitu 200 gram pada
tiap kali pemberian. Adonan ditempatkan di atas kertas minyak untuk selanjutnya
diletakkan di atas sisiran pada kotak-kotak yang telah ditentukan.
c. Parameter yang diamati
Parameter yang diamati yaitu:
1. Jumlah pakan pengganti yang dikonsumsi oleh lebah madu setiap minggu
2. Jumlah kematian anakan lebah madu (telur, larva dan pupa) selama
penelitian.
d. Pengambilan data
Pengambilan data dilakukan dua minggu setelah pemberian pakan tepung sari
pengganti. Sebelum diberikan, tepung sari pengganti terlebih dahulu ditimbang,
begitu juga sisa pakan yang tidak dikonsumsi oleh lebah madu setelah satu minggu
pemberian. Jumlah konsumsi dihitung dengan menghitung selisih antara berat pakan
tambahan sebelum diberikan dengan jumlah pakan tambahan yang tersisa selama
satu minggu.
Tingkat mortalitas pada telur, larva dan pupa dihitung dengan cara
mengamati dan mencatat keadaan dan perkembangan telur, larva dan pupa setiap
hari.
Setiap koloni dipilih sampel telur, larva dan pupanya, masing-masing
sebanyak 100 sampel. Pemilihan sampel dilakukan dengan cara memberi tanda
lingkaran pada plastik transparan untuk setiap sel sarang yang terpilih. Warna tanda
lingkaran dibuat berbeda untuk sarang telur, larva dan pupa. Semua tanda lingkaran
diberi nomor urut 1 – 100 sesuai jumlah masing-masing sampel telur, larva, dan
pupa.
Keadaan sampel telur, larva dan pupa yang telah diberi tanda diamati setiap
sampel untuk memastikan sampel yang diamati setiap hari adalah individu yang
sama. Telur dianggap mati jika sel yang telah diberi tanda tersebut telah kosong atau
menetas dengan melewati batas waktu normal. Cara yang sama juga dilakukan pada
larva. Kematian pupa ditentukan dengan mengamati keadaan pupa, jika waktu
perkembangan pupa sudah melewati batas waktu perkembangan normal berarti pupa
tersebut telah mati. Jumlah mortalitas telur, larva dan pupa diketahui dengan cara
menghitung jumlah telur, larva atau pupa yang mati.
e. Analisa data
Analisa sidik ragam (ANOVA) dan uji lanjut Duncan digunakan untuk
penganalisis perbedaan tingkat konsumsi masing-masing perlakuan, sedangkan
tingkat mortalitas anakan dianalisis secara deskriptif.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Pakan Tepung Sari Buatan
Tepung sari buatan yang diberikan diolah sedemikian rupa agar memudahkan
lebah pekerja mengambil dan mengkonsumsi tepung sari yang diberikan. Ketiga
tepung sari buatan yang diberikan berbeda nilai nutrisi dan bentuk fisiknya.
Kandungan nutrisi tepung sari pengganti dan tepung sari alami terlihat pada Tabel 5.
Tabel 5. Analisis Proksimat Tepung Tempe, Tepung Kedelai Rebus dan Tepung Kedelai Sangrai
Sampel Kandungan (%)
Air Abu Protein Lemak
Tepung tempea
Tepung kedelai rebusa
Tepung kedelai sangraia
Tepung sari alamib
6,13
Sumber: (a)Lab. Kimia Pangan Dep. Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian, 2006 (b) Krell, 1996
Kandungan protein ketiga tepung sari buatan lebih tinggi bila dibandingkan
dengan tepung sari alami seperti yang terlihat pada Tabel 5 dan dari ketiga tepung
sari buatan terlihat bahwa kandungan protein tepung kedelai rebus lebih rendah bila
dibandingkan tepung tempe dan tepung kedelai sangrai. Rendahnya kandungan
protein tepung kedelai rebus kemungkinan disebabkan kehilangan kandungan protein
yang tinggi pada saat proses perebusan. Proses pencucian, perendaman, pengupasan
kulit ari dan perebusan kedelai menyebabkan penurunan kandungan protein sekitar
12% (Shurleff dan Aoyagi, 1979).
Kandungan lemak tepung sari buatan juga lebih tinggi bila dibandingkan
tepung sari alami namun kandungan air dari ketiga tepung sari buatan hampir
menyamai kandungan tepung sari alami. Hanya kandungan air tepung kedelai sangrai
yang terlihat lebih rendah. Begitu juga kandungan abu yang hampir sama pada
Perbedaan kandungan nutrisi tersebut kemungkinan terjadi akibat perbedaan proses
yang dialami oleh masing-masing pakan tersebut.
Akibat pemrosesan yang berbeda, kemungkinan juga menyebabkan
terjadinya perbedaan bentuk fisik pada masing-masing tepung sari buatan. Tepung
kedelai rebus dan tepung tempe memiliki tekstur yang lebih halus dan lebih lembut
bila dibandingkan dengan tepung kedelai sangrai. Perbedaan pada warna juga terjadi
pada ketiga pakan tepung sari buatan yang diberikan. Tepung kedelai rebus berwarna
lebih terang yaitu putih kekuningan, tepung kedelai sangrai berwarna lebih kuning
dan tepung tempe berwarna kecoklatan dan berwarna paling gelap bila dibandingkan
kedua tepung kedelai lainnya. Gambar 2 memperlihatkan pakan tepung sari
pengganti yang diberikan dalam bentuk pasta dan siap diberikan pada koloni lebah
madu.
.
Gambar 2. Tepung Sari Pengganti, Pakan Kedelai Fermentasi (PKF), Pakan Kedelai Rebus (PKR) dan Pakan Kedelai Sangrai (PKS)
Tepung sari buatan diberikan dalam bentuk adonan lembek menyerupai pasta
yang merupakan campuran tepung kedelai dengan sirup gula. Pemberian dalam
bentuk pasta bertujuan agar memudahkan lebah pekerja dalam mengkonsumsi tepung
sari pengganti dan untuk memastikan pakan yang diberikan tidak tercecer.
Pencampuran dengan sirup gula dilakukan untuk menarik minat lebah pekerja untuk
PKF PKR
mengambil tepung sari buatan tersebut karena lebah akan tertarik oleh rasa manis
tepung sari buatan.
Komposisi campuran tepung kedelai dan sirup gula yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan hasil uji coba pendahuluan yang dilakukan. Hal ini
dilakukan untuk mendapatkan bentuk pasta yang tidak terlalu keras dan juga tidak
terlalu lembek sehingga kemungkinan lebih mudah diambil oleh lebah pekerja.
Pencampuran tepung kedelai dengan sirup gula dilakukan setiap seminggu
sekali saat akan dilakukan penggantian pakan pengganti. Hal ini bertujuan untuk
tetep menjaga kesegaran pakan yang diberikan.
Konsumsi Pakan
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pengolahan kedelai sebagai
tepung sari pengganti sangat berpengaruh nyata (P<0,01) terhadap tingkat konsumsi
lebah. Jumlah konsumsi pakan tepung kedelai selama penelitian tertera pada Tabel 6.
Tabel 6. Jumlah Konsumsi Tepung Sari Pengganti Selama Lima Minggu
Pakan Minggu ke- (gr/koloni) Rataan KK 1 2 3 4 5
PKF 134,114 162,517 136,760 153,447 151,618 147,691A 0,07
PKR 149,807 129,517 149,315 140,158 133,955 140,550A 0,06
PKS 104,928 71,384 69,176 73,087 87,736 81,262B 0,17
Keterangan: PKF : Pakan kedelai fermentasi KK : Koefisien keragaman
PKR : Pakan kedelai rebus Tanda superskrip yang berbeda menyatakan PKS : Pakan kedelai sangrai perbedaan nyata (P<0,05) antar perlakuan
Tabel 6 memperlihatkan bahwa rataan konsumsi tertinggi terdapat pada
perlakuan PKF dan PKR masing-masing sebesar 147,69 dan 140,55
gr/koloni/minggu, berbeda sangat nyata dengan konsumsi terendah pada PKS yaitu
81,26 gr/koloni/minggu.
Dilihat dari kandungan nutrisi antara ketiga pakan buatan yang diberikan,
kandungan protein pakan kedelai sangrai lebih tinggi dibandingkan pakan kedelai
rebus seperti yang terlihat pada Tabel 5, namun jumlah konsumsi PKS lebih rendah
bila dibandingkan PKR dan PKF. Hal ini berarti bahwa kandungan nutrisi tidak
162,5
Pakan Kedelai Fermentasi (PKF) Pakan Kedelai Rebus (PKR)
Pakan Kedelai Sangrai (PKS)
Perbedaan konsumsi kemungkinan dipengaruhi oleh faktor eksternal dari
pakan tepung sari buatan tersebut misalnya tekstur dari pakan buatan yang diberikan.
Kemungkinan, PKF dan PKR memiliki tekstur yang lebih halus dan lembut karena
telah melalui proses perebusan dan fermentasi. Menurut Winston (1987), lebah
pekerja memilih tepung sari untuk diambil tidak berdasarkan nilai nutrisi, umur atau
warna tetapi berdasarkan bau dan bentuk fisik dari butiran tepung sari.
Jumlah konsumsi PKF, PKR dan PKS cenderung konstan pada tiap minggu
dinyatakan oleh KK yang hanya berkisar antara 0,06%-0,17% seperti terlihat pada
Tabel 6 dan diperjelas pada Gambar 3.
Gambar 3. Konsumsi Pakan Tepung Sari Pengganti
Gambar 3 menunjukkan bahwa konsumsi PKS pada tiap minggu selama lima
minggu pengamatan selalu lebih rendah bila dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini
mengindikasikan bahwa PKR dan PKF lebih dapat diterima dan disukai oleh lebah
madu dibandingkan PKS. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh kandungan kulit ari
kedelai yang terdapat didalam tepung kedelai sangrai. Menurut Liu (1997), kulit ari
kedelai mengandung serat kasar berbentuk lignin yang sulit dihancurkan sehingga
tekstur tepungnya kasar dan tidak menyerap air. Kemungkinan hal ini yang
menyebabkan sulitnya lebah madu mengambil dan mengkonsumsi pakan kedelai
(2003) yang memberi perlakuan pakan tepung sari buatan dengan menggunakan
formula pakan seperti yang tertera pada Tabel 7.
Tabel 7. Konsumsi Pakan Tepung Sari Buatan dengan Formula yang Berbeda
Formula pakan tepung sari buatan Jumlah konsumsi (gr/koloni/minggu) Tepung biji randu + tepung sari alami + ragi + sirup gula
Tepung kedelai + tepung sari alami + ragi + sirup gula
Tepung bekatul + tepung sari alami + ragi + sirup gula
46,79
38,08
38,71
Sumber : Krisnawati (2003)
Tabel 7 memperlihatkan bahwa jumlah konsumsi tepung sari buatan dengan
bahan dasar kedelai sangrai lebih rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Tepung
kedelai yang diberikan dalam penelitian ini adalah dengan proses penyangraian.
Sehingga terlihat bahwa pemberian tepung sari alami dengan bahan dasar kedelai
sangrai kurang disukai oleh lebah.
Mortalitas Anakan
Anakan lebah madu terdiri dari tiga fase yaitu telur, larva dan pupa.
Mortalitas anakan merupakan salah satu tolok ukur keberhasilan pemeliharaan ternak
lebah madu. Rataan tingkat kematian anakan lebah madu selama penelitian disajikan
pada Tabel 8.
Tabel 8. Rataan Mortalitas Telur, Larva dan Pupa Anakan Lebah Madu Apis mellifera yang Mendapat Perlakuan PKF, PKR, PKS, K+ dan K-
Pakan
Mortalitas
Rataan Telur Larva Pupa Rataan KK Rataan KK Rataan KK
PKF 11,00 87 12,33 85 1,00 173 8,10
Keterangan: PKF = pakan kedelai fermentasi PKR = pakan kedelai rebus PKS = pakan kedelai sangrai
Secara umum terlihat pada Tabel 8 bahwa rataan koefisien keragaman pada
semua perlakuan pemberian tepung sari buatan yang didapat selama penelitian sangat
tinggi yakni 153,3% saat fase pupa, 65,3% saat fase larva dan mencapai 93,6% saat
fase telur. Hasil ini mengindikasikan bahwa banyak faktor luar yang berpengaruh
dan tidak dapat dikendalikan pada saat penelitian, diantaranya faktor variasi individu
masing-masing lebah, ratu dan pejantan. Selain itu, faktor tingkah laku lebah madu
yang selalu berupaya mempertahankan tepungsari yang dibawa di dalam keranjang
polen saat melewati pollen trap, sehingga masih terdapat tepung sari alami di dalam
sel sarangnya meskipun telah dipasang perangkap polen. Menurut Keller et al.
(2005), efisiensi penggunaan perangkap tepung sari untuk mencegah masuknya
tepung sari alam kedalam kotak hanya sebesar 15-43%.
Menurut Winston (1987), tingkat kematian telur yang tinggi dipengaruhi oleh
banyak faktor diantaranya kesehatan koloni dan inbreeding. Telur-telur calon lebah
betina hasil perkawinan ratu dengan saudaranya (inbreeding) akan mengalami rataan
kematian yang tinggi pada saat anakan yaitu mencapai 50%. Telur-telur calon lebah
betina maupun jantan yang menunjukkan posisi perkembangan yang menyimpang
sebelum atau sesudah terjadi oviposisi juga akan mengalami kegagalan dalam
penetasan.
Rataan kematian anakan lebah madu selama penelitian berkisar antara
8,10-25,22% dengan kematian tertinggi terjadi pada K-. Rataan kematian tertinggi yang
dialami oleh K- wajar terjadi karena koloni tersebut tidak memiliki asupan makanan
yang cukup meskipun tepung sari alami tetap dibawa masuk oleh lebah pekerja ke
dalam sarang, namun jumlahnya tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan
anakan lebah madu.
Kematian terendah terjadi pada koloni dengan perlakuan PKF yaitu sebesar
8,10%. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh kandungan protein yang tinggi dan
mudah dicerna pada tempe. Kedelai mengalami berbagai perubahan komposisi
selama proses pembuatan tempe baik oleh proses fisik maupun proses enzimatik
akibat aktivitas mikroorganisme terutama pada saat perendaman oleh bakteri-bakteri
pembentuk asam, dan proses fermentasi oleh kapang. Akibat dari
perubahan-perubahan tersebut tempe menjadi lebih mudah dicerna (Pawiroharsono, 1995).
dan beberapa laporan menyebutkan bahwa fermentasi pada tempe meningkatkan
nilai nutrisi yang ditunjukkan oleh kenaikan rata-rata berat badan harian pada tikus.
Tempe mengandung agen penghasil antibakteri oleh Rhizopus oligosporus dan
memiliki aktivitas antioksidan. Menurut Muchtadi (1993) nilai PER (protein efisiensi
rasio) tempe lebih tinggi bila dibandingkan dengan kedelai. Hal ini terutama
disebabkan oleh peningkatan daya cerna protein dan ketersediaan asam amino
esensial. Jumlah asam amino bebas meningkat dengan cepat selama proses
fermentasi.
Koloni lebah madu yang diberi pakan PKF dan PKR mengalami kematian
yang lebih rendah bila dibandingkan dengan kematian yang dialami oleh koloni pada
perlakuan K+ dan K-, terkecuali perlakuan PKS yang rataan kematian anakannya
lebih tinggi bila dibandingkan perlakuan K+.
Bila dilihat dari kandungan air pada PKR, PKF dan tepung sari alami tidak
berbeda jauh namun berbeda dengan PKS yang memiliki kandungan air lebih rendah
seperti terlihat pada Tabel 5. Menurut Rackis (1966), kandungan penghambat tripsin
didalam kedelai berkisar antara 31-42 mg/g bahan dan semakin tinggi kadar air awal
dalam pemrosesan kedelai, maka makin tinggi pula tingkat dekstrusi bahan
penghambat tripsin dalam kedelai. Hal ini disebabkan pada kedelai dengan kadar air
yang tinggi, konduktivitas panas juga akan semakin tinggi. Kemungkinan hal ini
yang menyebabkan kematian anakan pada koloni dengan perlakuan PKS lebih tinggi
bila dibandingkan perlakuan PKF, PKR dan K+.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rataan kematian larva baik pada
perlakuan pemberian tepung sari buatan maupun pada kontrol lebih tinggi bila
dibandingkan rataan kematian saat fase telur atau pupa seperti yang terlihat pada
Tabel 8, namun nilai koefisien keragaman yang didapat justru lebih rendah bila
dibandingkan pada fase telur dan pupa. Hasil ini menunjukkan bahwa pakan
berpengaruh besar terhadap kematian anakan terutama pada saat fase larva. Menurut
Winston (1987), larva lebah didisain seperti mesin pemakan karena fase ini adalah
saat larva mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang sangat besar untuk
menunjang laju pertumbuhannya. Hasil penelitian Kuntadi (1996) menyatakan,
11
3,5%. Hasil ini menunjukkan bahwa kematian saat fase larva lebih tinggi
dibandingkan saat fase telur maupun fase pupa.
Mortalitas Telur
Tingkat kematian anakan saat fase telur berbeda-beda pada tiap perlakuan
seperti yang terlihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Tingkat Kematian pada Tahap Telur
Gambar 4 menunjukkan bahwa dari ketiga pakan tepung sari buatan yang
diberikan, mortalitas telur tertinggi terjadi pada perlakuan PKR yaitu sebesar
31,00%. Koloni yang mendapat perlakuan pemberian tepung tempe (PKF) memiliki
tingkat kematian sebesar 11,00% dan kematian terendah terjadi pada koloni yang
mendapat perlakuan pemberian pakan kedelai sangrai (PKS) yaitu sebesar 10,33%.
Mortalitas terendah terjadi pada koloni yang mendapat perlakuan pemberian
pakan kedelai sangrai meskipun jumlah konsumsinya paling rendah dibandingkan
jenis pakan lainnya. Sementara kematian tertinggi terjadi pada koloni yang mendapat
perlakuan pemberian pakan kedelai rebus walupun jumlah konsumsi pakannya lebih
tinggi daripada kedelai sangrai. Hasil analisis proksimat pada ketiga macam tepung
kedelai yang digunakan menunjukkan bahwa kandungan protein tepung kedelai Keterangan: PKF = Pakan kedelai fermentasi PKR = Pakan kedelai rebus
sangrai lebih tinggi yaitu 42,95% bila dibandingkan kandungan protein tepung
kedelai rebus yang hanya sebesar 33,72% seperti yang tertera pada Tabel 5.
Dilihat pada Tabel 8, bahwa rataan mortalitas telur pada perlakuan pemberian
pakan tepung sari buatan lebih rendah bila dibandingkan K+ masing-masing sebesar
17,44 dan 20,66%. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa rataan mortalitas K- lebih
rendah dibandingkan rataan mortalitas perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan
maupun dengan K+ yaitu sebesar 15,66%. Hal ini tidak sewajarnya terjadi mengingat
koloni dengan perlakuan K- tidak mendapat pakan baik berupa tepung sari buatan
maupun tepung sari alami sehingga seharusnya rataan mortalitas K- lebih tinggi bila
dibandingkan rataan mortalitas dengan perlakuan pemberian tepung sari buatan
maupun alami. Kondisi ini terjadi kemungkinan disebabkan tepung sari alami yang
masuk kedalam kotak yang dibawa oleh lebah pekerja dan hal ini terlihat pada nilai
KK pada K- yang paling tinggi diantara perlakuan pemberian tepung sari buatan dan
K+ yakni mencapai 151%.
Pada kenyataannya, telur-telur yang diamati selama penelitian tidak langsung
mendapat pengaruh dari pakan yang diberikan akan tetapi ratu lebah yang
mengkonsumsi tepungsari buatan yang diberikan tersebut setelah terlebih dahulu
diubah menjadi royal jelly oleh lebah pekerja. Kelenjar hypopharing lebah pekerja
mensekresikan bahan nutrisi kaya protein yang berasal dari tepungsari yakni royal
jelly sebagai makanan ratu dan larva lebah madu (Gojmerac, 1980). Menurut
Zaytoon et al.(1988), produktivitas ratu merupakan indikator sebuah koloni lebah
madu karena merefleksikan produksi total royal jelly sebuah koloni lebah madu yang
juga mengindikasikan kapasitas pekerja maupun anakan lebah madu.
Keterangan diatas menunjukkan bahwa kematian telur-telur lebah madu
kemungkinan bukan hanya dipengaruhi oleh faktor pakan tetapi banyak faktor lain
yang mempengaruhi kematian tersebut. .
Motalitas Larva
. Dari ketiga fase yang diamati dalam penelitian ini, fase larva adalah fase
yang paling mendapat pengaruh oleh pemberian tepung sari buatan yang diberikan.
Berbeda dari mortalitas telur yang menunjukkan rataan kematian tertinggi terjadi
pada perlakuan PKR dibandingkan pada perlakuan PKF ataupun PKS, pada stadium
12,33
44,0%, pada perlakuan PKF (12,33%) dan PKR (6,66%). Kematian yang tinggi pada
perlakuan PKS kemungkinan disebabkan oleh rendahnya jumlah konsumsi pakan
yang diberikan dibandingkan perlakuan lainnya (Tabel 5). Jumlah konsumsi yang
rendah dapat menyebabkan penurunan populasi koloni dan ini akan berdampak pada
perkembangan kehidupan anakan. Menurut Winston (1987), kondisi lingkungan
yang tidak mendukung akan mempengaruhi tingkat kematian anakan. Selain itu,
kekurangan jumlah lebah pekerja, khususnya lebah perawat anakan, sangat
berpengaruh terhadap perkembangan anakan karena mereka berfungsi memelihara
anakan. Menurut Gojmerac (1980), kelenjar hypopharyng lebah pekerja
mensekresikan bahan nutrisi kaya protein yang berasal dari tepung sari yakni royal
jelly sebagai makanan larva dan lebah ratu.
Kematian yang tinggi pada perlakuan PKS kemungkinan juga dipengaruhi
oleh kandungan kulit ari pada tepung kedelai sangrai. Menurut Liu (1997), kulit ari
kedelai mengandung 85,7% karbohidrat dan komponen utama karbohidrat tersebut
adalah lignin, selulosa dan hemiselulosa. Kemungkinan kandungan ini menyebabkan
terjadinya kesulitan mencerna pakan yang diberikan.
Kematian terendah terjadi pada perlakuan PKR kemungkinan disebabkan
oleh jumlah konsumsi PKR yang cukup tinggi (Tabel 6) juga kemungkinan karena
tepung kedelai rebus yang diberikan telah melalui proses perebusan dan
menyebabkan banyaknya kehilangan zat anti nutrisi yang terdapat didalam kedelai.
1 Gambar 5. Tingkat Kematian pada Tahap Larva
Dilihat pada Tabel 8 bahwa rataan mortalitas telur pada perlakuan pemberian
pakan tepung sari buatan lebih rendah bila dibandingkan K+ dengan masing-masing
sebesar 20,99% dan 23,66%. Tabel 8 juga memperlihatkan bahwa rataan mortalitas
K- jauh lebih tinggi dibandingkan rataan mortalitas perlakuan pemberian pakan
tepung sari buatan maupun dengan K+ yaitu sebesar 60,00% (Gambar 5). Hal ini
terjadi karena koloni tersebut tidak mendapat pasokan tepung sari yang cukup untuk
memenuhi kebutuhan hidup. Hasil ini kembali menjelaskan bahwa tepung sari
sebagai sumber protein benar-benar sangat dibutuhkan bagi kelangsungan hidup
koloni lebah madu. Larva lebah madu mutlak memerlukan protein agar dapat
bertahan hidup (Sihombing, 1997). Hal ini membuktikan bahwa larva sangat
bergantung pada ketersediaan tepung sari sehingga memerlukan pakan pengganti
tepung sari pada saat musim hujan atau musim paceklik untuk mempertahankan
perkembangan koloninya.
Mortalitas Pupa
Kematian pada fase pupa selama penelitian sangat rendah bila dibandingkan
pada fase telur dan larva.Berbeda pada mortalitas telur dan larva, mortalitas terendah
dengan perlakuan pemberian pakan tepung sari buatan, pada fase pupa terjadi pada
perlakuan PKF dengan kematian sebesar 1,00%. Kematian pada PKR sebesar 1,33%
Gambar 6. Tingkat Kematian pada Tahap Pupa
Gambar 6 memperlihatkan bahwa tidak terdapat kematian pupa pada koloni
dengan perlakuan kontrol baik K+ maupun K- dan meskipun ketiga perlakuan
pemberian pakan tepung sari buatan menunjukkan hasil kematian yang lebih tinggi
dibandingkan kontrol namun tingkat kematian yang terjadi sangat rendah sekali.
Kematian yang rendah ini kemungkinan disebabkan karena jika anakan lebah madu
telah dapat melewati fase telur dan larva maka kemungkinan dapat bertahan hidup
melewati fase pupa dan sampai menjadi lebah dewasa.
Jika dilihat dari nilai KK mortalitas fase pupa yang didapat selama penelitian
menunjukkan nilai yang sangat tinggi sehingga kematian yang terjadi kemungkinan
bukan sepenuhnya disebabkan faktor pakan namun banyak faktor lain yang
mempengaruhinya. Hasil ini sesuai dengan pernyataan Winston (1987) yang
menyatakan bahwa rendahnya angka kematian saat fase pupa disebabkan pada fase
ini tidak lagi memerlukan asupan makanan dan sensitivitasnya terhadap fluktuasi
lingkungan lebih rendah bila dibandingkan saat fase telur dan larva.
Penentuan Tepung Sari Buatan Terbaik
Pemberian tepung sari buatan sebagai pengganti tepung sari alami,
menunjukkan hasil dan pengaruh yang berbeda-beda sehingga perlu penentuan
tepung sari buatan terbaik yang dapat menjadi alternatif pengganti tepung sari alami.
Tabel berikut akan menjelaskan cara pemilihan tepung sari buatan yang terbaik
sebagai pengganti tepung sari alami berdasarkan jumlah konsumsi tertinggi dan
mortalitas terendah.
Tabel 9. Penentuan Tepung Sari Buatan Terbaik
Perameter Keterangan: PKF = Pakan kedelai fermentasi PKR = Pakan kedelai rebus
Mortalitas larva (%)
Mortalitas pupa (%)
-
+
+
+
-
+
-
+
-
+
Jumlah 3 3 2 1 1
Ketertangan: +: nilai terbaik - : nilai kurang baik * : data tidak diambil
Tabel 9 memperlihatkan bahwa PKF dan PKR memiliki nilai terbaik yang
tertinggi bila dibandingkan perlakuan yang lainnya. Perlakuan PKF dan PKR
memiliki jumlah nilai terbaik yang sama. Keterangan di atas menjelaskan bahwa
PKF dan PKR dapat direkomendasikan menjadi tepung sari pengganti. Dilihat dari
segi harga, baik PKR dan PKF tidak terlalu jauh berbeda. Aspek segi teknis, PKF
lebih mudah diterapkan karena proses pengolahannya lebih sederhana. Hal ini tentu
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa PKF dan PKR dapat digunakan sebagai
alternatif pengganti tepung sari alami hal ini berdasarkan hasil jumlah konsumsi
pakan yang tinggi dan jumlah kematian anakan yang rendah. Penggunaan PKF lebih
mudah diterapkan dibandingkan dengan PKR bila dilihat dari segi teknis dan
ekonomis namun hal ini relevan jika langsung menggunakan tempe sebagai produk
fermentasi.
Mortalitas tertinggi terjadi pada saat fase larva kemudian disusul saat fase
telur dan mortalitas terendah terjadi saat fase pupa.
Saran
Saran yang dapat diajukan adalah peningkatan pengontrolan terhadap
pengaruh faktor luar yang dapat dilakukan dengan mengisolasi koloni lebah madu
pada saat penelitian.
Jika akan menggunakan PKR sebagai tepung sari pengganti sebaiknya proses
perebusan pada PKR dapat diganti dengan proses pengukusan untuk mengurangi
UCAPAN TERIMAKASIH
Syukur alhamdulillah kehadapan Allah swt karena hanya atas kehendaknya
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Begitu banyak bantuan dan dukungan yang
Penulis dapatkan saat penelitian maupun saat penyelesaian tugas akhir ini. Untuk itu
pada kesempatan ini Penulis mengucapkan rasa terimakasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Ir. Hotnida. C. H. Siregar, MSi. dan Drs. Kuntadi, M.Agr selaku dosen
pembimbing yang telah memberi banyak bimbingan, arahan dan nasehat
untuk Penulis.
2. Mama dan Papa atas doa panjang tiada henti dan kasih sayang yang tak
terbalas kepada Penulis. Juga kepada Kak Oli dan Babang tersayang yang
selalu memberi dukungan penuh kepada Penulis.
3. Dr. Ir. Pollung H. S. dan Ir. Abdul Djamil. H, MS. selaku dosen penguji
yang memberi banyak masukan dan nasehat yang sangat berharga.
4. Dr. Pallawarukka, selaku dosen pembimbing akademik yang telah
membimbing dengan begitu baik selama empat tahun kepada Penulis.
5. Pimpinan Peternakan “Sari Bunga” H. Jeany Komar, SE., terimakasih atas
kesempatan dan semua fasilitas yang diberikan selama penelitian.
6. JK crew (Mas Mamiek, Mas Tari, Mas Yusuf dan Mas Nasuhassss),
Odeng Crew (Pak Suminta, Mbak Titin dan Emak) terimakasih telah
menjadi keluarga yang begitu menyenangkan bagi Penulis.
7. Tim lebah, Hapsari Ariane, terimakasih atas kebersamaan dan keceriaan
yang diberikan selama penelitian.
8. Ibu Mari dan keluarga juga kepada Carpul Crew (Rury, Ari dan Widi),
Ramadhan Crew (Anna, Eti, Dhenok dan Runie), mba Nazla, Wida dan
9. Seluruh teman-teman TPT 39 atas kebersamaannya selama empat tahun
dan terimakasih kepada Asti, Shilpi, Suherman L, Ipunk dan Sugeng atas
bantuan yang diberikan.
Terimakasih yang sebesar-besarnya Penulis ucapkan kepada semua pihak
yang telah membantu Penulis yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Semoga
Allah membalas dengan yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Astuti, S. 1999. Pengaruh pemberian tepung tempe dan kedelai dalam ransum terhadap fertilitas tikus percobaan. Tesis. Fakultas Teknik Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Chalmers, W. T. 1980. Fish meal as pollen-protein substitutes for honey bees. Bee Word 61 (3) : 89-96.
Free, B. J. 1982. Bees and Mankind. George Allen & Unwin Ltd, London.
Gojmerac, W. L. 1980. Bees, Beekeeping, Honey and Pollination. AVI Publishing Co., Inc. Westport, Connecticut.
Gunawan, H. 2004. Hutan tanaman industri Acacia mangium dapat mendongkrak produksi madu nasional 5.400 ton setahun dengan nilai Rp. 8,1 milyar. Majalah Kehutanan Indonesia, Edisi II : 5-6.
Haryadi, R. A. 2003. Peningkatan kualitas dedak gandum melalui penambahan enzim yang diproduksi jamur tanah untuk memperbaiki performans ayam broiler. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.
Hendayati, Y. 1997. Pengaruh pemberian gula kristal pasta dan sirup terhadap pertumbuhan dan perkembangan koloni lebah madu Apis mellifera Linn. Skripsi. Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor, Bogor
Liu, K. 1997. Soybeans, Chemistry, Technology and Utilization. International Thomson Publishing, New York.
Keller, I., P, Fluri., and A. Imdorf. 2005. Pollen nutritional and colony development in honey bees – Part II. Bee Word 86 (1) : 3-10.
Koswara, S. 1992. Teknologi Pengolahan Kedelai Menjadi Makanan Bermutu. Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
Krell, R. 1996. Value – Added Products from Beekeeping. Food and Agriculture Organization of The United Nations, Roma.
Krisnawati, O. 2003. Perkembangan koloni lebah madu Apis cerana yang diberi pakan tambahan. Skripsi. Fakultas Peternakan IPB, Bogor.
Kuntadi. 1996. Laju kematian telur, larva dan pupa lebah pekerja Apis cerana.