• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

HASIL DAN PEMBAHASAN

HASIL

Penelitian Tahap Pertama

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia Z2-PL1

Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname yang diperoleh berdasarkan hasil penelitian ini diperlihatkan pada Lampiran 4 dan Gambar 2.

100.00 64.00 100.00 69.00 76.67 73.67 64.00 68.67 70.33 75.00 69.00 69.00 69.67 72.33 82.00 82.00 83.00 83.00 86.67 76.67 76.67 76.67 79.33 73.67 74.67 76.33 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 Z2 Z3 M 1 M 2 M 3 PL1 Stadia S u r vi val R a te (% ) A B C D E

Keterangan : Z = Zoea, M = Mysis, PL = Post larva

Gambar 2. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva udang vaname stadia Z2-PL1

Tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname pada penelitian tahap pertama ini menunjukkan fase kritis terdapat pada stadia zoea. Hal ini terlihat dari penurunan yang cukup tajam dari stadia zoea 2 (Z2) ke zoea 3 (Z3) pada semua perlakuan. Setelah stadia Z3 semua perlakuan mengalami penurunan yang

cenderung merata hingga stadia PL1. Pemberian rotifera yang diperkaya dengan DHA 70G memberikan tingkat kelangsungan hidup yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang tidak diperkaya atau yang tidak diberi rotifera. Pada setiap stadia, perlakuan C (Z3: 86.67±4.04%, M1: 83.00±5.57%, M2: 83.00±5.57%, M3: 82.00±4.00%) menghasilkan tingkat kelangsungan hidup paling tinggi dibandingkan perlakuan A B, D dan E. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup terendah pada setiap stadia diperoleh pada perlakuan A (Z3: 75.00±2.00%, M1: 70.33±1.53%, M2: 68.67±1.53%, M3: 64.00±1.00). Pada stadia PL1 tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi diperoleh perlakuan C dengan nilai 82.00±4.00% yang berbeda (p<0.05) dibandingkan perlakuan A (64.00±1.00%), B (69.00±3.00%), D (76.67±3.06%) dan E (73.67±0.58%)

Intermolt Period

Intermolt period larva udang vaname pada setiap stadia selama penelitian tahap pertama ditunjukkan pada Tabel 2 dan Lampiran 5.

Tabel 2. Intermolt period (hari) larva udang vaname setiap stadia (Z2-PL1)

Stadia Perlakuan Z2 Z3 M1 M2 M3 PL1 A 1.00±0.00a 2.71±0.02b 4.59±0.02c 6.11±0.09c 7.81±0.17c 8.93±0.15c B 1.00±0.01a 2.78±0.03b 4.86±0.04d 6.14±0.05c 7.81±0.02c 9.02±0.09c C 1.00±0.00a 2.59±0.03a 4.29±0.06a 5.53±0.05a 7.04±0.10a 8.43±0.05a D 1.00±0.00a 2.72±0.04b 4.47±0.07b 5.77±0.11b 7.07±0.07a 8.46±0.04a E 1.00±0.00a 2.74±0.04b 4.62±0.07c 5.91±0.06b 7.35±0.02b 8.64±0.05b

Keterangan : Z = Zoea, M = Mysis, PL = Post larva

Huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata (P<0.05)

Tabel 2 menunjukkan bahwa intermolt period udang vaname yang diberi rotifera yang diperkaya dengan DHA 70G lebih cepat bila dibandingkan dengan yang diberi rotifera tidak diperkaya atau tidak diberi rotifera. Pada stadia Z2 belum terlihat perbedaan (p>0.05) intermolt period antara semua perlakuan yang diberikan. Untuk mencapai stadia Z3, M1, dan M2, perlakuan C mempunyai waktu yang lebih cepat (p<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan A, B, D dan E.

20

Pada setiap stadia, perlakuan B menghasilkan intermolt period yang lebih lama. Stadia Z3 diperlakuan B mempunyai intermolt period yang lebih lama (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan C, tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan A, D dan E, sedangkan pada stadia M1 berbeda (p<0.05) dengan semua perlakuan yang diberikan. Pada stadia M2, M3 dan PL1, perlakuan B juga mempunyai intermolt period yang lebih lama, tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan A. Intermolt period untuk mencapai stadia M3 dan PL1 pada perlakuan C (7.04±0.10 dan 8.43±0.05) lebih cepat (p<0.05) bila dibandingkan dengan perlakuan A (7.81±0.17 dan 8.93±0.15), B (7.81±0.02 dan 9.02±0.09) serta E (7.35±0.02 dan 8.64±0.05), tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan D (7.07±0.07 dan 8.46±0.04).

Komposisi Asam Lemak Rotifer dan Larva Vaname

Komposisi asam lemak yang diperkaya oleh DHA 70G pada rotifer (Brachionus rotundiformis) dan larva udang vaname stadia naupli, zoea, mysis dan PL1 ditunjukkan pada Tabel 3 dan Lampiran 6.

Kandungan lemak pada rotifer berkisar antara 8.29-22.77%. Rotifer yang diperkaya dengan minyak kelapa mengandung EPA 0.32% dan sejumlah kecil DHA (0.05%). Pada rotifer yang diperkaya dengan DHA 70G, konsentrasi DHA dan n-3 HUFA pada rotifer tersebut meningkat sesuai dengan peningkatan dosis DHA yang diberikan. Konsentrasi EPA pada rotifer yang diperkaya dengan DHA 70G juga meningkat. Hal ini terjadi karena konversi DHA menjadi asam lemak lainnya atau penggunaannya sebagai sumber energi. Konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA pada semua perlakuan masing-masing berkisar antara 0.22-1.18%, 0-7.15% dan 0.48-8.72%.

Konsentrasi EPA ditubuh larva pada ketiga perlakuan yang diberi DHA 70G mengalami peningkatan dari naupli sampai mencapai stadia PL1. Pada perlakuan A, konsentrasinya menurun pada stadia M2 kemudian meningkat sampai stadia PL1. Konsentrasi DHA pada tubuh larva yang tidak diberi rotifer (perlakuan A) mengalami penurunan dari naupli sampai PL1, begitu pula pada larva yang diberi rotifer yang diperkaya dengan minyak kelapa (perlakuan B) menurun pada stadia zoea 2, kemudian meningkat pada stadia M2 dan akhirnya menurun tajam pada stadia PL-1. Sedangkan pada perlakuan dengan pemberian rotifer yang diperkaya DHA 70G, konsentrasi DHA turun pada stadia Z2 kemudian meningkat sampai PL1. Jumlah n-3

HUFA pada perlakuan A mengalami penurunan sampai stadia PL1, sedangkan pada perlakuan B meningkat kembali pada stadia M2 kemudian menurun pada stadia PL1. Pada perlakuan pemberian rotifer yang diperkaya dengan DHA 70G, konsentrasi n-3 HUFA meningkat sampai stadia PL1.

Tabel 3. Komposisi asam lemak pada rotifer dan larva vaname (% berat kering).

Kode Lemak SATU

RATED MUFA PUFA LA LNA AA EPA DHA ∑N-3 HUFA* DHA/EPA ROTIFERA R0 8.29 2.81 3.13 2.35 0.37 0.03 0.33 0.22 0.00 0.48 0.00 B 19.9 10.85 5.87 3.18 0.94 0.05 0.28 0.32 0.05 0.55 0.16 C 17.86 7.62 4.49 6.03 0.60 0.05 0.38 0.61 2.45 3.45 4.02 D 19.27 5.94 4.67 8.93 0.46 0.05 0.54 0.90 4.52 5.87 5.04 E 22.77 5.39 4.70 12.31 0.47 0.06 0.67 1.18 7.15 8.72 6.06 NAUPLI N 11.67 4.90 3.26 4.63 0.36 0.10 0.89 0.72 1.14 2.01 1.59 ZOEA 3 A 10.48 4.29 2.13 3.90 0.85 0.06 0.49 0.90 0.87 1.91 0.97 B 10.03 4.40 1.93 3.68 0.87 0.09 0.69 0.70 0.87 1.71 1.24 C 11.57 4.43 2.46 4.29 1.01 0.08 0.70 0.72 0.87 1.80 1.21 D 9.27 4.43 2.00 3.00 0.76 0.06 0.43 0.78 0.95 1.87 1.22 E 11.11 4.49 2.03 3.91 0.91 0.06 0.25 0.80 1.01 1.95 1.26 MYSIS 2 A 8.84 3.72 2.42 2.71 0.36 0.03 0.45 0.70 0.78 1.72 1.11 B 10.30 4.49 1.97 3.34 0.76 0.06 0.60 0.80 1.05 2.11 1.31 C 8.56 3.28 2.08 3.45 0.54 0.04 0.37 0.85 1.15 2.20 1.35 D 10.06 3.65 2.12 3.64 0.63 0.04 0.45 0.93 1.49 2.66 1.61 E 10.10 4.12 2.29 3.87 0.62 0.06 0.46 0.90 1.59 2.74 1.77 PL-1 A 5.41 2.61 0.92 1.84 0.38 0.03 0.16 0.89 0.57 1.49 0.64 B 8.62 3.49 2.32 2.94 0.53 0.05 0.35 0.80 0.84 1.79 1.05 C 7.14 2.81 1.70 3.06 0.35 0.03 0.33 0.90 1.22 2.22 1.36 D 11.84 4.89 2.99 4.10 0.71 0.07 0.52 1.14 1.66 2.97 1.46 E 12.94 5.40 3.30 4.31 0.70 0.06 0.54 1.12 1.96 3.29 1.75

Keterangan : R0, rotifera dari bak kultur; MUFA, monounsaturated fatty acid; PUFA, polyunsaturated fatty acid; LA, linoleic acid; LNA, linolenic acid; AA, arachidonic acid; EPA, eicosapentaenoic acid; DHA, docosahexaenoic acid; *, total highly unsaturated fatty acid (20:3n-3; 20:4n-3; 20:5n-3; 22:5n-3; 22:6n-3)

22

Penelitian Tahap Kedua

Tingkat Kelangsungan Hidup Larva Stadia PL1-PL10

Tingkat kelangsungan hidup larva udang vannamei pada stadia PL-1 sampai PL-10 ditunjukkan pada Gambar 3 dan Lampiran 7. Data tersebut menunjukkan bahwa pada perlakuan A terjadi penurunan tingkat kelangsungan hidup dari PL1 sampai PL8, sedangkan pada perlakuan B, C dan D mengalami penurunan tingkat kelangsungan hidup dari stadia PL1 sampai PL5 dan stabil sampai dengan PL10.

80.33 100.00 95.33 96.00 92.00 88.00 95.00 97.33 86.00 83.33 81.00 80.33 80.33 91.33 97.67 96.67 96.33 95.67 95.33 95.33 95.33 95.33 96.67 92.00 92.00 92.33 92.33 92.33 93.33 96.00 88.00 88.00 88.00 88.67 89.00 91.00 93.67 70 75 80 85 90 95 100 PL1 PL2 PL3 PL4 PL5 PL6 PL7 PL8 PL9 PL10 Stadia S u rv iva l Rat e ( % ) A B C D

Gambar 3. Tingkat kelangsungan hidup (%) larva udang vaname stadia PL1-PL 10.

Pada stadia PL1 dan PL2 tidak menunjukkan hasil yang berbeda (p>0.05) antara semua perlakuan. Stadia PL3 diperlakuan B berbeda (p<0.05) dibanding perlakuan D, tetapi tidak berbeda (p>0.05) dengan perlakuan A dan C. Stadia PL4 diperlakuan B memberikan tingkat kelangsungan hidup lebih tinggi (p<0.05) dibandingkan perlakuan A dan D, tetapi tidak berbeda dengan perlakuan C. Pada stadia PL5 sampai PL9 tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi (p<0.05) diperoleh perlakuan B, yang berbeda (p<0.05) dibandingkan dengan perlakuan A,C,

dan D, kecuali pada PL6 yang mana perlakuan B tidak berbeda dengan perlakuan C. Sedangkan tingkat kelangsungan hidup yang paling rendah (p<0.05) pada stadia PL6 sampai PL 9 diperoleh perlakuan A dibandingkan perlakuan B, C, dan D. Pada PL 10 tingkat kelangsungan hidup yang paling tinggi diperoleh perlakuan B dengan nilai 95.33±1.53% yang berbeda (p<0.05) dengan perlakuan A (80.33±1.53%), C (92.00±2.00%) dan D (88.00±1.00%).

Komposisi Asam Lemak Artemia dan Larva Vaname

Kandungan lemak dan asam lemak pada Artemia yang diperkaya DHA 70G dan larva udang vaname stadia PL-5 dan PL-10 disajikan dalam Tabel 4 dan Lampiran 6. Kandungan lemak pada Artemia berkisar antara 13.16-17.55%. Artemia yang diperkaya dengan minyak kelapa mengandung EPA 0.17% dan DHA 0.07%. Pada Artemia yang diperkaya dengan DHA 70G, konsentrasi DHA pada Artemia meningkat sesuai dengan peningkatan dosis DHA 70G yang diberikan. Begitu pula dengan konsentrasi EPA dan n-3 HUFA yang meningkat. Konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA pada semua perlakuan berkisar antara 0.07-0.70%, 0-2.47% dan 0.64-3.80%.

Tabel 4. Komposisi asam lemak pada Artemia, PL-5 dan PL-10 (% berat kering)

Kode Lemak SATU

RATED MUFA PUFA LA LNA AA EPA DHA ∑N-3 HUFA DHA/EPA ARTEMIA A0 13.16 3.88 3.86 5.42 0.93 2.20 0.06 0.07 0.00 0.64 0.00 A 13.39 3.93 3.42 6.04 0.89 2.81 0.02 0.17 0.07 0.83 0.38 B 17.55 6.22 4.74 6.58 1.19 1.77 0.13 0.50 1.06 2.30 2.12 C 17.55 5.39 4.14 8.02 1.01 2.35 0.18 0.65 2.08 3.38 3.20 D 16.24 4.67 3.83 7.14 0.87 1.37 0.23 0.70 2.47 3.80 3.53 PL-5 A 19.03 7.94 4.55 6.55 1.30 2.63 0.00 0.71 0.88 2.25 1.25 B 15.33 5.73 3.52 6.08 0.97 2.09 0.32 0.98 1.31 2.93 1.34 C 19.04 5.94 5.05 7.92 1.24 2.50 0.32 1.02 1.49 3.18 1.46 D 19.71 7.04 4.31 8.37 1.13 2.30 0.30 0.98 1.57 3.22 1.61 PL-10 A 7.53 2.63 1.66 3.23 0.58 0.79 0.18 0.54 0.64 1.47 1.19 B 8.34 3.06 1.87 3.41 0.66 0.74 0.21 0.65 0.79 1.70 1.22 C 7.99 2.96 1.65 3.38 0.53 0.74 0.25 0.63 0.92 1.84 1.46 D 8.53 3.01 1.92 3.60 0.60 0.79 0.25 0.65 0.96 1.90 1.48 Keterangan : A0, Artemia dari bak kultur

24

Konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA pada tubuh larva udang vaname mengalami penurunan sesuai dengan semakin bertambahnya stadia. Pada perlakuan A penurunan yang tajam sudah terlihat ketika PL-5 dan semakin menurun di PL-10 dengan konsentrasi yang paling rendah dibandingkan perlakuan B, C dan D. Sedangkan pada perlakuan B, C, D penurunan konsentrasi EPA, DHA dan n-3 HUFA tidak terlalu tajam ketika PL-5, dan kemudian menurun kembali pada PL-10. Konsentrasi tertinggi diperoleh pada perlakuan D untuk nilai EPA, DHA dan n-3 HUFA pada masing-masing stadia yang diamati.

PEMBAHASAN

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengkayaan rotifer

(Brachionus rotundiformis) dan Artemia dengan DHA 70G dapat meningkatkan

kadar n-3 HUFA, terutama DHA sebelum diberikan sebagai pakan pada larva udang vaname. Sesuai dengan penelitian Barclay & Zeller (1996) bahwa rotifer dan naupli

Artemia dapat diperkaya dengan DHA yang merupakan asam lemak rantai panjang.

Pengkayaan dengan DHA 70G pada rotifer (Brachionus rotundiformis) dan naupli

Artemia menyebabkan retroconversion asam lemak dari bentuk rantai yang lebih

panjang menjadi EPA. Retroconversion DHA menjadi EPA dan 22:5n-6 menjadi AA (20:4n-6) melalui proses β-oksidasi yang telah lama dikenal terjadi pada mamalia (Hagve & Christopherson 1986). Prosesnya yang terjadi pada peroxisom atau mitokondria, yang meliputi dua reaksi: 1. docosapolyenoic acid (22:6n-3 or 22:5n-6) melepaskan ikatan gandanya pada ikatan ke 4, reaksinya melibatkan enzim 4-enol-CoA reductase, ketika rantai panjang karbon tetap tidak berubah, dan 2. kemudian rantai yang lebih pendek terjadi (Kunau & Bartnik 1974). DHA pertama-tama diubah menjadi 22:5n-3 dan kemudian diubah menjadi EPA, hal yang sama terjadi pada 22:5n-6 yang diubah menjadi 22:4n-6 dan kemudian menjadi 20:4n-6. Barclay & Zeller (1996) menunjukkan bahwa rotifer dan naupli Artemia yang diberi pakan

Schizochytrium selama 24 jam menghasilkan retroconversion asam lemak EPA dan

AA dari rantai yang lebih panjang. Penurunan kandungan AA pada stadia zoea, mysis dan post larva dibandingkan dengan stadia naupli menunjukkan bahwa asam lemak ini juga essensial untuk larva udang vaname. AA berperan penting dalam menghasilkan eicosanoid, yang merupakan asam lemak esensial yang harus

diberikan untuk larva ikan laut. Tetapi tampaknya AA tidak berperan dalam meningkatkan tingkat kelangsungan hidup dan atau mempercepat intermolt period. Hal ini terlihat dari kandungan AA yang rendah, kemungkinan hanya untuk memenuhi kebutuhan larva udang vaname selama pemberian rotifer dan Artemia.

Penelitian ini juga mendukung pernyataan bahwa DHA merupakan material penting yang digunakan untuk molting pada larva ikan laut dan krustasea, yang diindikasikan dengan berkurangnya kandungan DHA pada larva vaname setelah molting. Molting pada krustasea dan serangga diatur oleh ecdysteroids (Subramoniam 2000). Pada krustasea, ecdysteroids disekresi oleh organ Y yang terletak ditangkai mata yang dilepaskan ke dalam haemolimph, secara langsung mengatur proses molting. Doston et al (1993) juga menyatakan bahwa [3H]-ecdyson dimetabolisme menjadi 3 senyawa berbeda pada embrio dan larva Ornithodoras

moubata. Mereka menemukan bahwa satu dari senyawa itu berkonjugasi dengan

asam lemak C-22, sehingga dapat disimpulkan bahwa asam lemak C-22 seperti DHA mengatur molting pada larva udang vaname melalui metabolisme ecdysteroid.

Pada penelitian sebelumnya disebutkan bahwa pengkayaan naupli Artemia dengan DHA lebih efektif dibandingkan pengkayaan dengan EPA (Suprayudi et al. 2004). Watanabe (1993) melaporkan bahwa pengkayaan naupli Artemia dengan EPA murni 99% (ethyl ester) menghasilkan peningkatan EPA pada tubuh naupli tetapi DHA tidak terdeteksi sedangkan pengkayaan naupli Artemia dengan DHA murni 99% (ethyl ester) menghasilkan peningkatan pada EPA dan DHA dengan rasio 1:4.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perbandingan DHA dan EPA yang tepat menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan intermolt period yang cepat pada larva udang vaname. Sesuai dengan penelitian pada larva Scylla serrata (Suprayudi et al. 2002a; Suprayudi et al. 2004) bahwa rasio DHA dan EPA yang dikandung dalam pakan alami berperan penting dalam perkembangan morphologi dan kelangsungan hidup. Larva udang vaname yang diberi rotifer mengandung 0.05% DHA dan 0.32% EPA (perlakuan B dengan rasio DHA/EPA 0.16) menghasilkan kelangsungan hidup yang rendah (69.00±3.00%) pada stadia PL1 dibandingkan dengan rotifer yang mengandung 2.45% DHA dan 0.64% EPA (perlakuan C dengan ratio DHA/EPA 4.02) dengan tingkat kelangsungan hidup 82.00±4.00%. Peningkatan ratio DHA/EPA > 4 pada rotifer akan menurunkan tingkat

26

kelangsungan hidup larva udang vaname. Sedangkan pada larva udang vaname yang diberi pakan Artemia yang mengandung DHA 1.06% dan EPA 0.50% (perlakuan B dengan rasio DHA/EPA 2.12) menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang tinggi pada PL10 (95.33±1.53%) dibandingkan pakan yang mengandung DHA 0.07% dan EPA 0.17% (perlakuan A dengan rasio DHA/EPA 0.38) dengan tingkat kelangsungan hidup yang lebih rendah (83.33±1.53%). Peningkatan rasio DHA/EPA pada Artemia akan menurunkan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname. Sesuai dengan penelitian Takeuchi et al. 2000 pada larva Scylla

tranquebarica yang diberi pakan rotifer mengandung konsentrasi DHA dan EPA

tidak seimbang menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah pada stadia megalopa.

Pada penelitian ini konsentrasi DHA pada rotifer lebih tinggi bila dibandingkan DHA pada naupli Artemia. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian yang dilakukan oleh Dhert et al. (1993). Tidak sama dengan pakan alami lainnya seperti rotifer, pengkayaan Artemia dengan DHA lebih sulit karena sifat katabolisme dari asam lemak ini pada pengkayaan yang menghasilkan rasio DHA/EPA rendah (Sorgeloos et al. 2001). Teknik pengkayaan dengan waktu yang lebih lama pada naupli Artemia selama 12 jam menghasilkan kandungan lipid yang lebih rendah daripada pengkayaan rotifer dengan waktu yang lebih pendek yaitu 6 jam, seperti pada penelitian Rainuzzo et al. (1994b). Menurut Barclay & Zeller (1996) penyimpanan DHA pada Artemia selama dan setelah pengkayaan jauh lebih sulit daripada rotifer, hal ini karena perbedaan stadia dari siklus hidup kedua spesies ini. Rotifer berada pada stadia dewasa dimana aktivitas metabolik tidak seberat seperti pada stadia larva Artemia sehingga komposisi asam lemak pada rotifer lebih stabil dan tidak berubah selama pengkayaan atau kondisi pemuasaan. Keberhasilan pengkayaan dengan DHA pada naupli Artemia juga bergantung dari karakteristik genetik jenisnya sendiri.

Penelitian ini menunjukkan bahwa ada perbedaan perlakuan pemberian pengkayaan terhadap rotifer dan Artemia dengan DHA 70G yang signifikan terhadap tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period larva udang vaname. Hal ini menunjukkan pentingnya n-3 HUFA, terutama DHA pada larva udang vaname untuk tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period. Larva udang vaname yang diberi rotifer dan Artemia yang tidak diperkaya menghasilkan tingkat kelangsungan hidup

yang paling rendah dan intermolt period yang lebih lama. Supriyadi et al. (2002a) menyatakan bahwa rotifer dan naupli Artemia yang digunakan sebagai pakan alami untuk larva ikan laut dan krustasea memiliki kandungan n-3 HUFA yang rendah terutama EPA dan DHA.

Semua perlakuan yang diberikan pada larva udang vaname dapat menyebabkan larva dapat hidup, baik penelitian tahap pertama (Z2-PL1) atau penelitian tahap kedua (PL1-PL10), yang membedakannya adalah tingkat kelangsungan hidup dan kecepatan intermolt period diantara perlakuan yang diberikan. Untuk mempertahankan tingkat kelangsungan hidup dan intermolt period yang lebih baik, pada stadia Z2-PL1 diberikan pakan alami berupa rotifer dengan konsentrasi DHA 2.45% sedangkan pada PL1-PL10 diberi naupli Artemia dengan konsentrasi DHA 1.06%.

Penurunan tingkat kelangsungan hidup yang tajam terjadi pada stadia zoea. Hal ini sesuai dengan Elovaara (2001) bahwa fase zoea merupakan fase kritis pada udang vaname dan kematian yang tinggi sering terjadi. Kematian ini disebut juga zoea syndrome yang menyebabkan kematian pada larva yang tinggi hingga 90% sebelum larva mencapai stadia mysis. Pengkayaan naupli Artemia dengan DHA sebelum diberikan kepada larva udang vaname membantu menyediakan asam lemak esensial selama fase kritis dalam perkembangan larva. Bell et al. (1994) menyatakan bahwa pemberian pakan dengan rotifer dan naupli Artemia yang diperkaya dengan DHA menghasilkan peningkatan EPA yang mempertinggi kemampuan imun larva ikan.

Tingkat kelangsungan hidup hingga mencapai stadia PL1 berangsur-angsur menurun dan perlakuan A (64%; 8.93) dan B (69%; 9.02) memiliki tingkat kelangsungan hidup yang rendah dan intermolt period yang lebih lambat dibandingkan perlakuan lainnya. Hal ini disebabkan karena larva pada stadia Z2-PL1 yang tidak diberi rotifer (perlakuan A) dan diberi rotifer yang tidak diperkaya (perlakuan B) memiliki kadar EPA dan DHA yang rendah. Larva P. trituberculatus (Hamasaki et al. 1998) dan Scylla serrata (Suprayudi et al. 2002) yang diberi rotifera yang mengandung kadar EPA dan DHA rendah menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah dan intermolt period yang lebih lambat. Tingkat kelangsungan hidup juga lebih rendah pada larva udang vaname yang diberi DHA pada tingkat yang berlebih (perlakuan E).

28

Pada pemeliharaan post larva (PL1-PL10) menunjukkan bahwa fase krirtis terjadi pada PL1 sampai PL5. Perlakuan yang diberi Artemia yang diperkaya dengan DHA menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik. Tetapi hasil yang sama diperoleh pada post larva yang diberi kadar DHA kurang atau berlebih yang menyebabkan tingkat kelangsungan hidup yang rendah. Rees et al. (1994) menyatakan bahwa kelebihan n-3 HUFA yang diberikan kepada postlarva P.

monodon akan menyebabkan terganggunya pertumbuhan dan kelangsungan hidup.

Pada larva Scylla serrata yang diberi naupli Artemia yang diperkaya dengan kadar DHA rendah atau berlebih juga menurunkan tingkat kelangsungan hidupnya (Suprayudi et al. 2004).

Penelitian ini menunjukkan bahwa pengkayaan rotifer dan naupli Artemia dengan DHA menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dan mempercepat intermolt period larva udang vaname. Beberapa penelitian pada larva ikan laut dan krustasea menunjukkan bahwa DHA mempunyai pengaruh yang lebih besar dibandingkan dengan EPA dalam mempercepat perubahan bentuk, pigmentasi, kelangsungan hidup dan pertumbuhan (Watanabe 1993; Rainuzzo et al. 1994a; Rodriguez et al. 1997; Blinkmeyer & Holt. 1998; Suprayudi et al. 2002a).

Kandungan asam lemak pada stadia larva udang yang berbeda menunjukkan besarnya kandungan asam lemak dari makanannya. Hal ini sungguh menarik bahwa DHA, yang tidak tersedia pada Artemia, disimpan secara khusus pada post larva. Keberadaan DHA pada lemak di stadia PL1-PL10 ketika diberi pakan yang kekurangan asam lemak mengindikasikan pentingnya DHA untuk larva udang vaname. Pakan yang mengandung n-3 HUFA akan meningkatkan pertumbuhan dan kelangsungan hidup dari larva udang vaname ini seperti yang ditunjukkan pada larva penaeid lainnya (Sorgeloos & Leger 1992; Mourente et al. 1995). Ketika dievaluasi sebagai pakan untuk larva udang vaname yang diberi DHA umumnya menghasilkan tingkat kelangsungan hidup yang lebih baik dan intermolt period yang lebih cepat. Watanabe (1993) menyatakan bahwa hal tersebut mengindikasikan bahwa pakan larva yang diperkaya dengan EPA menghasilkan larva dengan vitalitas rendah karena kekurangseimbangan EPA dan DHA dalam biomembran ikan menyebabkan perubahan fluiditas membran atau fungsi fosfolipid.

Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa DHA merupakan asam lemak esensial yang diperlukan oleh larva udang vaname yang dapat diberikan melalui pengkayaan terhadap rotifer (Brachionus rotundiformis) dan Artemia sehingga nilai nutriennya dapat meningkat. Tingkat pengkayaan DHA 70G yang diberikan selama pemberian rotifer (Z2-M3) dan Artemia (PL1-PL10) adalah sebanyak 25µL/L sehingga dapat memperoleh tingkat kelangsungan hidup yang tinggi dan mempercepat intermolt period larva udang vaname (Litopenaeus vannamei).

Saran

Pada stadia Zoea 2 larva udang vaname sebaiknya diberi pakan alami berupa rotifer (Brachionus rotundiformis) yang telah diperkaya dengan DHA 70G.

Dokumen terkait