• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR LAMPIRAN

TINJAUAN PUSTAKA

Perkembangan Larva Udang Vaname

Jenis Stadia dan Lama Waktu Perkembangan Stadia

Setelah fertilisasi, telur menetas sekitar 14-16 jam dan udang vaname mengalami tiga stadia perkembangan larva sebelum menjadi post larva, yaitu naupli, zoea dan mysis. Masing-masing stadia dalam perkembangannya mengalami metamorfosis. Dalam perkembangan dari stadia ke stadia lainnya diikuti pula dengan perubahan pola makannya. Setelah 30 menit menetas, naupli dapat berenang dalam jarak yang pendek dan bersifat fototaksis positif. Naupli yang baru menetas mengandalkan kuning telur untuk mensuplai semua kebutuhan nutrisinya. Naupli mengalami perubahan sebanyak lima kali, dan setiap perubahan terjadi dalam waktu 7 jam. Setelah perubahan tersebut cadangan kuning telurnya habis dan naupli mengalami metamorfosis menjadi zoea, diikuti dengan pola makannya yang mulai memakan mikroalge, seperti

Chaetoceros dan Skeletonema. Menurut Sweeney & Wyban (1991) stadia zoea 1 (Z1) dan zoea 2 (Z2) masing-masing akan berkembang dalam selang waktu 2 hari, sedangkan zoea 3 (Z3) akan berkembang menjadi mysis 1 (M1) dalam waktu 1 hari. Setelah tiga kali berubah, zoea mengalami metamorfosis menjadi mysis, dan terjadi perubahan pola makan dari herbivora menjadi karnivora, atau mulai memakan zooplankton, seperti rotifer dan naupli Artemia (Elovaara 2001). Setelah mengalami perubahan tiga kali mysis yang bersifat plankonik berubah menjadi postlarva. Postlarva sudah terlihat seperti udang dewasa, dan sudah bersifat bentik .

Kecepatan molting pada stadia zoea dipengaruhi oleh kondisi kultur. Di bawah kondisi kultur yang optimum, zoea berubah melalui 3 substadia (Z1-Z3) selama 5 hari (36 jam setiap stadia). Pada stadia Z1 mata tidak kelihatan, namun pada akhir stadia ini sudah terlihat. Tubuhnya ramping dan tidak dilindungi oleh karapas, telsonnya sudah berkembang dengan baik dan kelihatan seperti ekor yang bercabang.

Z1 mengalami perubahan menjadi Z2 dalam waktu 30-40 jam, dan pada stadia Z2 ini mata dan rostrum sudah terlihat jelas. Rostrumnya terletak pada ujung anterior karapas dan panjangnya setengah dari karapas. Karapas pada Z2 memiliki sepasang duri (supra-orbital spine) diatas matanya. Z2 mengalami

perubahan menjadi Z3 dalam waktu 30-40 jam, ditandai dengan berkembangnya uropod pada ujung posterior. Setelah stadia Z3 lengkap, larva berubah menjadi mysis. Bentuk tubuhnya secara umum hampir sama dengan udang dewasa. Di bawah kondisi yang optimum, tiga substadia mysis dicapai dalam waktu 3 hari (24 jam per stadia). Zoea cenderung berenang dipermukaan air, tetapi mysis mulai berenang di bagian kolom air. Mysis berada dalam kolom air dengan posisi kepala dibawah dan ekor ke arah atas ke permukaan air.

Tingkat Kelangsungan Hidup dan Masa Kritis Perkembangan Larva

Pertumbuhan dan tingkat kelangsungan hidup merupakan indikator keberhasilan pemeliharaan larva (Bransden MP et al. 2005). Oleh karena itu dalam pemeliharaan larva dan post larva udang perlu ditunjang oleh kualitas larva yang baik. Persentase tingkat kelangsungan hidup yang mencapai stadia zoea, atau keberhasilan bermetamorphosis dari naupli menjadi zoea merupakan salah satu kriteria kualitas larva udang vaname. Morfologi larva, seperti panjang naupli, zoea dan mysis tidak berhubungan dengan tingkat kelangsungan hidup larva udang vaname (Racotta et al. 2004).

Stadia zoea dan mysis adalah fase pertumbuhan cepat, dan merupakan waktu yang sangat kritis karena pada saat itu larva udang sangat rentan dan sering terjadi tingkat kematian yang tinggi. Dengan pola pemeliharaan secara tradisional di bak outdoor menggunakan teknik yang sederhana, air yang tidak diberi perlakuan, kepadatan tebar yang rendah dan bak pemeliharaan yang kecil diperoleh tingkat kelangsungan hidup larva vaname sekitar 50%, sedangkan metode pemeliharaan yang intensif dengan padat tebar tinggi dengan kondisi lingkungan pemeliharaan yang terkontrol dapat mencapai tingkat kelangsungan hidup 70-80% (Elovaara 2001).

Naupli dengan cadangan nutrien tinggi memiliki kemungkinan untuk bertahan hidup selama bermetamorphosis menjadi zoea dan selama stadia zoea dan mysis terjadi adaptasi fisiologis dengan makanan yang berasal dari luar (Lovvet & Felder 1990). Larva udang biasanya mengkonsumsi pakan hidup dan meskipun masih stadia protozoea, beberapa spesies dapat mencerna zooplankton berukuran kecil seperti rotifer atau naupli Artemia (Yufera et al. 1984; Kurmaly et al. 1989; Jones et al. 1997).

6

Pemanfaatan Pakan Alami

Rotifer

Sampai saat ini pakan alami masih merupakan pakan utama untuk larva ikan laut dan krustasea yang belum dapat digantikan kualitas nutriennya secara lengkap oleh pakan buatan (Sorgeloos et al. 2001; Suprayudi et al. 2004). Rotifer telah lama dan secara luas digunakan sebagai pakan alami untuk larva ikan laut dan krustasea yang baru menetas karena ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva, teknologi produksi massalnya sudah dikuasai dan terus dikembangkan (Sorgeloos 1998), memiliki kecepatan renang rendah, hidup melayang dalam air sehingga mudah ditangkap oleh larva (Waynarovich & Horvath 1980), serta dapat dilakukan pengkayaan dengan asam lemak tak jenuh rantai panjang sehingga zat-zat tersebut mudah ditransfer ke dalam tubuh larva (Sargent et al. 1989; Dhert et al. 2001)

Rotifer merupakan zooplankton yang dapat dimanfaatkan sebagai pakan alami udang vaname dan telah lama dikembangkan. Salah satu rotifer laut yang telah dikembangkan dewasa ini adalah Brachionus rotundiformis yang biasa disebut sebagai rotifer tipe-S, yang memiliki panjang lorika 100-210 μm (rerata 160 μm) (Sorgeloos 1996). Watanabe (1998) menyatakan bahwa rotifer merupakan pakan alami yang paling cocok bagi larva ikan laut yang baru menetas karena kebutuhan akan protein sebesar 40-60% dan lemak sebesar 13-16% dapat dipenuhi.

Profil asam lemak pada rotifer sangat menentukan kualitas rotifer, dan umumnya ditunjukkan oleh kandungan n-3 HUFA (highly unsaturated fatty acids) serta perbandingan antara kandungan EPA (eicosapentaenoic acid, 20:5n-3) dan DHA (docosahexaenoic acid, 22:6n-3). Rotifer mempunyai kemampuan untuk mensintesa beberapa jenis n-3 HUFA dari rantai karbon 18 (C-18) asam lemak tak jenuh n-3, akan tetapi laju sintesanya sangat rendah sehingga tidak dapat memenuhi kebutuhan larva ikan laut dan krustasea pada fase pertumbuhan yang sangat cepat (Kanazawa et al. 1979; Kayama et al. 1980). Rendahnya kandungan n-3 HUFA terutama EPA dan DHA, membuat kualitas nutrien rotifer sangat rendah (Watanabe 1993) padahal sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup dan keberhasilan perkembangan larva (Sargent et al. 1997, 1999). Oleh karena itu pengkayaan rotifer dengan n-3 HUFA merupakan proses yang penting dalam menentukan keberhasilan pada budidaya ikan laut (Dhert et

al. 2001). Suprayudi (2003) menyatakan bahwa asam lemak esensial dari rotifer ditentukan oleh jenis bahan pengkaya, lama waktu pengkayaan dan macam zat pengkaya. Hasil percobaan Fernandez-Reiriz et al. (1993) membuktikan bahwa kandungan gizi rotifer dapat ditingkatkan dengan memperkaya asam lemak n-3 melalui teknik pengkayaan.

Artemia

Artemia biasa digunakan sebagai pakan alami untuk larva ikan laut dan krustasea, tetapi naupli Artemia mengandung n-3 HUFA, terutama EPA dan DHA yang sangat rendah (Han et al. 2000; Suprayudi et al. 2002). Dengan keuntungan dari karakteristik cara makan naupli Artemia, dimungkinkan untuk meningkatkan nilai nutriennya yang kekurangan n-3 HUFA. Ketika berubah menjadi stadia instar 2 (8 jam setelah menetas), naupli Artemia merupakan zooplankton yang “non selektif particle feeders”, sehingga dikembangkan metoda yang sederhana untuk memasukkan berbagai macam nutrisi tambahan ke dalam

Artemia sebelum diberikan sebagai pakan pada larva. Metode ini disebut bioenkapsulasi, atau dinamakan juga pengkayaan Artemia, yang secara luas digunakan pada hatchery ikan laut dan krustasea untuk meningkatkan nilai nutrien Artemia dengan asam lemak esensial. Tidak sama dengan pakan alami lainnya seperti rotifer, pengkayaan Artemia dengan DHA lebih sulit karena sifat katabolisme dari asam lemak ini pada pengkayaan sehingga menghasilkan rasio DHA/EPA rendah(Sorgeloos et al. 2001).

Tingkat keberhasilan dalam memodifikasi profil asam lemak pada Artemia

dipengaruhi oleh tipe dari bahan pengkaya, kondisi pengkayaan dan jenis

Artemia yang diberikan (Han et al. 2000). Pada akhir stadia mysis, larva udang vaname mulai bersifat sebagai karnivora sehingga sudah dapat diberikan makanan berupa naupli Artemia. Beberapa penelitian memperlihatkan adanya peningkatan kandungan asam lemak n-3 HUFA naupli Artemia setelah dilakukan pengkayaan (Rees et al. 1994; Karim 1998; Robin JH 1998).

Faktor Penentu Perkembangan Larva Vaname

Lemak dan Asam Lemak Essensial

Lemak dibutuhkan sebagai sumber energi metabolik (ATP) dan sebagai bahan untuk pemeliharan struktur dan integritas membran sel dalam bentuk

8

fosfolipid. Komponen penyusun fosfolipid adalah asam lemak. Ada dua asam lemak yang menyusun lemak yaitu asam lemak non esensial yang dapat disintesis oleh tubuh dan asam lemak esensial yang harus diperoleh dari luar tubuh (Jobling 2002).

Asam lemak esensial, terutama kelompok HUFA (highly unsaturated fatty acids) dan PUFA (poly unsaturated fatty acids) mempunyai peranan yang penting untuk kegiatan metabolisme tubuh organisme, komponen membran (fosfolipid dan kolesterol), hormon (metabolisme steroid dan vitamin D), aktivasi enzim-enzim tertentu, precursor dari prostanoids dan leukosit, memelihara struktur dan fungsi membran sel serta precursor eicosanoid (Bhagavan 1982; Sargent et al. 1989; Ibeas et al. 1994). Asam lemak yang essensial bagi krustasea yaitu 18:2n-6 (linoleat), 18:3n-3 (linolenat), 20:5n-3 (eicosapentaenoat, EPA) dan 20:6n-3 (docosahexanoat, DHA) (D’Abramo 1997). EPA dan DHA memegang peranan penting dalam mendukung pertumbuhan dan kelangsungan hidup krustasea (D’Abramo & Sheen 1993; Suprayudi et al. 2004).

HUFA seperti EPA, DHA dan arachidonic acid termasuk asam lemak esensial dan merupakan nutrisi penting karena terbatasnya kemampuan udang vaname untuk mengelongasi dan mendesaturasi rantai pendek PUFA menjadi HUFA sehingga pemenuhan kebutuhannya harus terdapat dalam pakannya (Gonzales-Felix et al. 2002).

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa dengan penambahan asam lemak esensial n-3 yang diberikan dengan teknik pengkayaan pada rotifer dan

Artemia telah meningkatkan tingkat kelangsungan hidup, pertumbuhan, daya tahan tubuh dan mempercepat perkembangan beberapa jenis larva krustasea dan ikan laut (Kanazawa 1997; Gapasin & Duray 2001; Suprayudi et al. 2002a).

DHA adalah asam lemak n-3 rantai panjang yang termasuk kelompok n-3 HUFA, dan merupakan salah satu pembangun jaringan neural. DHA juga berperan penting dalam perkembangan dan pertumbuhan udang dan biasanya digunakan untuk proses pengkayaan rotifer dan Artemia (Elovaara 2001). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa DHA lebih berperan dibanding EPA dalam pigmentasi, pertumbuhan, perkembangan stadia pada larva ikan laut dan krustasea (Mourente et al. 1993; Reitan et al. 1994; Suprayudi et al. 2002; Bransden et al. 2005)

Kualitas Air

Berhasil tidaknya suatu usaha budidaya udang vaname antara lain ditentukan oleh kemampuan mengendalikan faktor-faktor lingkungan. Agar udang vaname yang dibudidayakan dapat hidup dan tumbuh dengan baik, maka selain harus tersedia pakan bergizi dalam jumlah yang cukup, kondisi lingkungan juga berada pada kisaran yang layak.

Salinitas merupakan masking faktor, yaitu faktor lingkungan yang merubah atau menghambat bekerjanya faktor lain. Salinitas sangat besar pengaruhnya terhadap proses metabolisme dan kelangsungan hidup udang. Bilamana terjadi perubahan salinitas maka kelangsungan hidupnya ditentukan oleh kemampuan adaptasi. Tingkat salinitas yang terlalu tinggi, atau rendah dan fluktuasinya lebar dapat menyebabkan kematian pada larva udang. Untuk stadia larva salinitas yang layak adalah 26-36 ppt (Sweeney & Wyban 1991; Elovaara 2001).

Suhu air mempengaruhi laju metabolisme dan pengeluaran energi udang. Di samping itu suhu juga akan mempengaruhi kelarutan gas-gas dalam air. Meskipun udang vaname mampu mentoleransi suhu pada kisaran tertentu, tetapi untuk dapat tumbuh dengan baik pada stadia larva diperlukan suhu sekitar 27-29ºC (Sweeney & Wyban 1991; Elovaara 2001).

Nilai pH air dapat berpengaruh terhadap meningkat tidaknya daya racun ammonia, di mana semakin meningkat pH pada kadar tertentu akan menyebabkan daya racun ammonia akan semakin meningkat. Untuk stadia larva pH yang layak untuk udang vaname berkisar antara 7.8-8.4, dengan pH optimum 8.0 (Elovaara 2001).

Oksigen dalam suatu perairan mutlak dibutuhkan oleh organisme air untuk respirasi yang selanjutnya dimanfaatkan untuk kegiatan metabolisme. Di samping itu adanya oksigen terlarut akan mempercepat reaksi kimiawi dari bahan-bahan toksik yang membahayakan kehidupan organisme air. Untuk stadia pascalarva udang vaname, kadar oksigen yang dapat menunjang pertumbuhan udang berada pada kisaran 5-7 mg/l (Sweeney & Wyban 1991).

Dokumen terkait