• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik histogram dari rata- rata data hasil analisis yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil dan pembahasan dari penelitian ini adalah : (1) Persentase retikulosit, (2) Jumlah eritrosit, (3) Persentase morpologi eritrosit abnormal, (4) kadar hemaglobin, (5) nilai hematokrit pada darah mencit yang diberi tuak.

4.1.1. Sel Darah Merah Muda ( Retikulosit)

Hasil pengukuran jumlah retikulosit mencit setelah perlakuan terdapat pada Gambar 7. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan transformasi data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi distribusi dan variansi datanya masih tetap tidak homogen. Maka data tersebut diuji dengan analisis non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05; antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut Mann Whitney untuk menentukan perbedaan pada antara masing-masing perlakuan. Perbedaan tersebut kemudian dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.

b a a a a b 0 2 4 6 8 10 12 14 16 Po P1 P2 P3 P4 P5 Perlakuan Ra ta ra ta   Ju m la h   R e ti k u lo si t( %)   Gambar 7. Rata-rata jumlah (±SD) retikulosit darah mencit jantan setelah

perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Distribusi, homogenitas non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

4.1.2. Jumlah Eritrosit  

          Hasil rata-rata jumlah eritrosit mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil analisis terhadap rata-rata retikulosit menunjukkan retikulosit berdistribusi normal dan memiliki varian homogen. Oleh karena itu data tersebut diuji dengan analisis

parametrik Anova pada taraf 5%. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05), antara tiap perlakuan penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut post hoc Bonferroni untuk menentukan perbedaan antara masing-masing perlakuan.

  Gambar 8. Rata-rata jumlah (±SD) eritrosit darah mencit jantan setelah

perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

4.1.3. Jumlah Morfologi Abnormal

Hasil rata-rata persentase morfologi eritrosit abnormal pada mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil analisis terhadap rata-rata persentase morfologi abnormal, menunjukan bahwa berdistribusi normal dan memiliki varian homogen. Oleh karena itu data tersebut diuji dengan analisis parametrik Anova pada taraf 5%. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05), antara tiap perlakuan penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut uji post hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan masing- masing perlakuan, terlihat bahwa semua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap rata-rata persentase morfologi abnormal. Membuktikan bahwa persentase morpologi eritrosit abnormal setelah perlakuan pemberian vitamin E lebih rendah dari sebelum pemberian vitamin E. Perbedaan tersebut kemudian dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.

  Gambar 9. Rata-rata jumlah (±SD) morfologi abnormal darah mencit jantan

setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

c

b

a

Gambar 10. Gambar morfologi dan ukuran sel darah merah dengan pembesaran 800x dengan pewarnaan Giemsa pada mencit jantan setelah perlakuan, (A) Bentuk darah yang normal, oval ( ) dari slide Po sebagai kontrol; (B) bentuk darah yang abnormal; a. bulat atau oval dengan diameter <5 μm), b. tidak beraturan, c. pipih (▲)dari slide P2; (C) Contoh ukuran yang tidak normal ( = 4,17 μm) dari slide P3.

4,17μ

4.1.4. Kadar Hemoglobin

Data pengukuran kadar hemaglobin pada mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 11. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata kadar hemaglobin, maka didapatkan bahwa data berdistribusi normal dan variansi datanya homogen. Oleh sebab itu data tersebut dapat diuji dengan analisis parametrik Anova pada taraf 5 %. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05), antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan post hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan masing- masing perlakuan penelitian. membuktikan bahwa semua perlakuan berpengaruh signifikan terhadap kualitas hemoglobin mencit jantan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin E berpengaruh secara signifikan terhadap peningkatan kadar hemoglobin mencit jantan.

  Gambar 11. Rata-rata kadar hemoglobin (±SD) pada mencit jantan setelah

perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

4.1.5. Nilai Hematokrit

Hasil pengukuran jumlah hematokrit mencit setelah perlakuan terdapat pada Gambar 12. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata- rata jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan transformasi data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi distribusi dan variansi datanya masih tetap tidak homogen. Maka data tersebut

diuji dengan analisis non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata (p<0,05; antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut Mann Whitney untuk menentukan perbedaan pada antara masing-masing perlakuan. Perbedaan tersebut kemudian dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan untuk perbedaan yang tidak nyata dilambangkan dengan huruf yang sama.

Gambar 12. Rata-rata nilai (±SD) hematokrit darah mencit jantan setelah

eterangan:

kuades 0,5 ml selama 30 hari,

lama 15 hari pertama dan diberi

i pertama dan 15 hari P4 = a 30 hari dan hari ke 16 sampai perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Distribusi, homogenitas non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney).

K

P0 = diberi a

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml se akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selam

P2 = a 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 har selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selam ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

4.2. Pembahasan

4.2.1. Laju Produksi Eritrosit

4.2.1.1. Sel Darah Merah Muda (Retikulosit)

Nilai retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang dalam memproduksi sel darah eritrosit. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi menggambarkan eritropoesis yang akurat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai retikulosit yang paling rendah terdapat pada P2, (tuak 0,5 ml selama 30 hari) lebih rendah dari Po. Penelitian ini membuktikan adanya pengaruh tuak terhadap laju produksi eritrosit. Hal ini kemungkinan karena adanya efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap laju produksi eritrosit di sumsum tulang. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian terdahulu (Toykuni, 1999) yang menyebutkan bahwa komsumsi alkohol kronis akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas yang akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ termasuk sumsum tulang dan eritrosit. Nilai retikulosit yang paling tinggi terdapat pada P5, dimana pemberian tuak 0,5 ml ditambah vitamin E 0,33 mg selam 30 hari menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan P2. Hal ini kemungkinan karena kehadiran vitamin E menghambat efek oksidan (radikal bebas) tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Menurut Udju Rusdi (2005), vitamin E (tokoferol) sebagai antioksidan telah banyak didokumentasikan, mempunyai kemampuan tinggi dalam memproteksi sel dari radikal bebas. Selain itu, menurut Arief (2008), penekanan pengaruh negatif

radikal bebas dapat menghindari kerusakan sel epitel tubulus ginjal yang berperan dalam produksi hormon eritropoeitin. Hormon eritropoeitin mengatur proses eritropoiesis di dalam sumsum tulang. Hormon ini meningkatkan jumlah sel progenitor yang terikat untuk eritropoiesis sehingga proses hematopoiesis tidak mengalami gangguan.

4.2.2. Kualitas Eritrosit

encit

kan bahwa adanya pengaruh pemberian i

integrit

4.2.2.1. Eritrosit Darah M

Pada Gambar 8, menunjuk

Vitam n E terhadap eritrosit mencit yang diberi tuak selama 15 dan 30 hari. Jumlah eritrosit yang rendah didapatkan pada P2, dengan pemberian tuak 0,5 ml selama 30 hari sangat berbeda nyata dengan P5. Hal ini kemungkinan karena adanya efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mengganggu kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Seperti yang dinyatakan Toykuni, (1999), bahwa konsumsi alkohol kronis, akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas, kemudian akan bereaksi dengan lemak, protein, asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal dan disfungsi organ termasuk struktur eritrosit dan fungsinya.

Suhartono et al (2007), menyebutkan radikal bebas dapat mengganggu as sel dan dapat bereaksi dengan komponen-komponen sel, baik komponen struktural maupun komponen fungsional sehingga menyebabkan gangguan pada sel dan dapat menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit. Pemberian tuak yang terlalu lama juga menyebabkan peningkatan persentase

hemolisis pada selaput eritrosit sehingga menimbulkan anemia. Jumlah sel eritrosit yang paling tinggi didapatkan pada P5, sangat berbeda nyata dengan P2. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Seperti pernyataan Wahyuningsih (2009), bahwa vitamin E memiliki kemampuan untuk menghentikan peroksidasi lipid dengan cara menyumbangkan satu atom hidrogennya dari gugus OH kepada lipid piroksil yang bersifat radikal sehingga kurang reaktif dan tidak merusak.

4.2.2.2. Morfologi Eritrosit

jukkan adanya perbedaan nyata pada persentase Hasil penelitian menun

morpologi eritrosit abnormal setelah pemberian tuak 0,5 ml dan pemberian vitamin E 0,33 mg pada mencit selama 15 dan 30 hari. Persentase morfologi eritrosit abnormal yang paling tinggi terdapat pada P2, dimana pemberian tuak 0,5 ml selama 30 hari. Hal ini kemungkinan karena adanya efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap produksi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mengganggu kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit. Seperti yang dinyatakan Hariono (1998) bahwa, kelainan yang sering terjadi adalah perubahan bentuk yang tidak beraturan. Indikasi ini muncul karena adanya abnormalitas eritrogenesis atau pembentukan eritrosit pada sumsum tulang.

Menurut Hoftbrand dan Pettit (1987), menyatakan bahwa, kegagalan sumsum tulang dalam membentuk sel-sel darah menyebabkan terbentuknya sel- sel abnormal, jumlah leukosit dalam sirkulasi meningkat dan menginfiltrasi organ lain. Jumlah morfologi eritrosit abnormal paling rendah terdapat pada P5, dengan perlakuan pemberian tuak 0,5 ml ditambah dengan pemberian vitamin E 0,33 mg selama 30 hari. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap morfologi eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup eritrosit dalam darah mencit. Seperti yang dinyatakan Hariyatmi (2007), vitamin E yang larut dalam lemak merupakan antioksidan yang melindungi poly unsaturated faty acids (PUFA) dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas.

4.2.2.3.Hemoglobin Darah Mencit

Rendahnya kadar hemoglobin mencit pada perlakuan P2 disebabkan oleh pengaruh pemberian tuak dimana pada perlakuan P2, pemberian tuak adalah paling lama dibandingkan pada perlakuan lainnya. Rendahnya kadar hemaglobin pada P2 kemungkinan karena efek radidal bebas tuak terhadap kelangsungan hidup eritrosit darah mencit. Seperti yang dinyatakan Hoftbrand dan Pettit (1987) bahwa, bahan yang menimbulkan radikal bebas seperti siklamat atau alkohol, dapat menyebabkan terjadinya anemia yang ditandai dengan menurunnya kadar hemoglobin serta rusaknya sel-sel darah merah. Begitu juga menurut Suryohudoyo (1993), apabila radikal bebas yang bersifat

reaktif tidak dihentikan maka akan merusak membrane sel eritrosit dan terjadi peroksidasi lipid. Adanya peroksidasi lipid membran sel memudahkan sel eritrosit mengalami hemolisis yang menyebabkan hemoglobin semakin berkurang. Tingginya kadar hemoglobin pada perlakuan P5 adalah akibat efek pemberian vitamin E yang berhasil menstabilkan efek negatif yang ditimbulkan tuak. Hal ini kemungkinan karena adanya pengaruh vitamin E yang menghambat efek oksidan (radikal bebas) dari tuak terhadap hemaglobin eritrosit di sumsum tulang dan sekaligus mempertahankan kelangsungan hidup sel eritrosit dalam darah mencit sehingga kadar hemaglobin yang terkandung di dalamnya menjadi cukup tinggi.

4.2.2.4.Hematokrit Darah Mencit

Rendahnya nilai hematokrit mencit pada perlakuan P2 disebabkan oleh pengaruh pemberian tuak. Oleh Soszynski dan Schuessler (1998) menyatakan bahwa, hal ini terjadi karena adanya hemolisis akibat rapuhnya membran sel eritrosit, akibat adanya radikal bebas yang timbul dan berinteraksi dengan oksigen membentuk radikal peroksida sehingga mengakibatkan membrane menjadi lemah atau rapuh. Tingginya hematokrit pada perlakuan P4 dan P5 adalah akibat efek dari pemberian vitamin E yang berhasil menstabilkan efek negatif yang ditimbulkan tuak. Seperti yang dinyatakan oleh Suryohudoyo (1993), vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai piroksidase lipid dengan cara

menyumbangkan satu atom hydrogen dari gugus OH pada cicinnya ke radikal bebas, sehingga terbentuk radikal vitamin E yang stabil dan tidak merusak. Vitamin E berfungsi sebagai pelindung terhadap peroksidasi lipid di dalam membrane sel.

Dokumen terkait