• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Laju Produksi Dan Kualitas Eritrosit Mencit Yang Dipapari Tuak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap Laju Produksi Dan Kualitas Eritrosit Mencit Yang Dipapari Tuak"

Copied!
81
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP

LAJU PRODUKSI DAN KUALITAS ERITROSIT

MENCIT YANG DIPAPARI TUAK

TESIS

Oleh

NORONG PERANGIN ANGIN

087008016/BM

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

(2)

PENGARUH PEMBERIAN VITAMIN E TERHADAP

LAJU PRODUKSI DAN KUALITAS ERITROSIT MENCIT

YANG DIPAPARI TUAK

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

Magister Biomedik dalam Program Studi Magister Ilmu Biomedik

Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

Oleh

NORONG PERANGIN ANGIN

087008016/BM

PROGRAM MAGISTER ILMU BIOMEDIK

FAKULTAS KEDOKTERAN

(3)
(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 14 Mei 2011

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr.Drs. Herbert Sipahutar, MS, M.Sc

Anggota : 1. DR. Marline Nainggolan, MS, Apt

2. Dr. Mary Margaret Thomas

(5)

ABSTRAK

Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak dan berperan sebagai antioksidan serta dapat melindungi aksi kerusakan membran biologis akibat radikal bebas dan melindungi asam lemak tidak jenuh pada membran fosfolipid. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, morpologi eritrosit abnormal, jumlah hemaglobin dan jumlah hematokrit mencit (Mus musculus L.) jantan yang dipapari Tuak. Penelitian ini adalah merupakan studi eksperimental laboratorik denngan menggunakan mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa sehat dan berumur 2-3 bulan dengan berat 25-35 g sebanyak 30 ekor dibagi dengan 6 kelompok perlakuan. Kelompok 1 (P0) = kontrol terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan yang diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari. Kelompok 2 (P1) = kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 15 hari, kemudian 15 berikutnya dilanjutkan dengan pemberian akuades 0,5 ml. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan II terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0.5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/ekor/mencit secara oral. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan IV teridiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 30 hari dan hari ke 16 berikutnya pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari secara oral. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan V terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak dipasaran (alkohol 20%) 0,5 ml dan pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok random. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian USU. Hasil yang didapat dalam pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat meningkatkan jumlah retikulosit, meningkatkan jumlah eritrosit, memperbaiki kerusakan morpologi eritrosit, meningkatkan kadar hemaglobin dan meningkatkan jumlah hematokrit mencit.

(6)

ABSTRACT

Vitamin E is one of vitamins soluble in fat and plays a role of antioxidant and even can keep biological membrane from the destructive action due to free radicals and keep unsaturated fatty acids from phospholipids membrane. The free radicals includes reactive molecules and can damage with the unpaired electrons. Administration of antioxidant intake in vitamin E is suggested to be able of reducing the free radical effect of the body.

The present study intends to know the effect of vitamin E on the amounts of reticulocyte, erythrocyte, morphology of abnormal erythrocyte, hemoglobin, and hematocrite male mice (Mus musculus L) exposed to the fermented palm wine. It is an experimental study using 30 male mice (Mus musculus L), strain of adult and healthy DD Webster ranging 2-3 months of age with the weight ranging 25-35 gs of divided into 6 groups of treatment. Group I (Po) is control consisting of 5 male mice given by 0.5 ml aquades for 30 days. Group II (P1) is treatment-1 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (20% alcohol) 0.5 ml /day /mice orally for 15 days, and then given by 0.5 ml aquades for next 15 days. Group III (P2) is treatment 2 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine ( alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice orally for 30 days. Group IV (P3) is treatment 3 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for first 15 days and for next 15 days, the supplementation of fermented palm wine is stopped and changed by vitamin E 0.33 mg /day/mice orally. Group V (P4) is treatment 4 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for 30 days and followed by vitamin E 0.33 mg /mice /day orally in the 16th day. Group VI (P5) is treatment 5 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml and vitamin E 0.33 mg /mice /day for 10 days orally. The mice were classified randomized. The study has been accepted by the ethical committee of study, USU. The result of vitamin E 0.33 mg/day/mice is in coincidence with the exposure of fermented palm wine for 30 days that can increase in the amounts of reticulocyte, erythrocyte, correcting the destructed morphology of erythrocyte, increasing in hemaglobin level and increasing in the amount of mice hematocrite.

(7)

KATA PENGANTAR

Pertama-tama marilah kita ucapkan Puji dan Syukur Kehadirat Tuhan

Yang Maha Kuasa atas berkat dan rahmat-Nya, maka saya dapat menyusun tesis

ini. Penulisan tesis ini merupakan salah satu persyaratan dalam memperoleh

Gelar Magister pada Program Magister Studi Ilmu Biomedik Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan. Adapaun judul dari penelitian

adalah Pengaruh Pemberian Vitamin E Terhadap laju produksi dan kualitas

eritrosit mencit yang papari tuak.

Terima kasih yang tak terhingga dan penghargaan yang

setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada

1. Bapak Prof. Dr. Drs. Herbert Sipahutar, MS, Msc yang telah bersedia

menjadi Ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak memberikan

masukan-masukan dan penuh perhatian dalam penulisan tesis ini.

2. Ibu Dr. Marline Nainggolan, MS, Apt yang telah bersedia menjadi Anggota

Komisi Pembimbing yang selalu tabah dan sabar dalam membimbing dan

memberikan masukan-masukan demi kesempurnaan dalam penulisan tesis

ini.

3. Ibu Dr. Mary Margaret Thomas yang telah bersedia menjadi komisi

pembanding untuk memberikan masukan-masukan pada seminar tesis demi

kesempurnaan dalam penulisan tesis ini.

4. dr. Darion Gatot, SpPD, KHOM yang telah bersedia menjadi komisi

pembanding pada seminar tesis demi kesempurnaan dalam penulisan tesis

ini.

5. Prof. dr. Gontar A. Siregar, SpPD, KGEH selaku Dekan Fakultas

Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberi izin penelitian.

6. Ibu dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D selaku Ketua Program Studi Magister

Ilmu Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan

(8)

7. Pimpinan dan staf laboratorium FMIPA, Pimpinan dan staf laboratorium

Histologi Fakultas Kedokteran, Pimpinan dan satf laboratorium Penelitian

Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara Medan dan Laboratorium

Paramita cabang Medan yang menyediakan tempat dan tenaga laboran

yang membantu saya dalam penelitian tesis ini.

8. Direktur Akademi Keperawatan Kesdam I BB Pematangsiantar dan

seluruh rekan-rekan kerja di Akademi Keperawatan Kesdam I BB

Pematangsiantar yang dengan penuh perhatian dan kasih memberikan

dukungan dan semangat pada penulis selama mengikuti pendidikan.

9. Terima kasih yang tulus penulis ucapkan kepada istri tercinta Ujianna Br

Sembiring, S.Kep, Ners, yang selalu memberikan dukungan sehingga

penulis dapat menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Ilmu

Biomedik Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara Medan.

10. Persembahan kepada anak saya tercinta Roy Aditia, Prina Margaret dan

Juna Alkana yang telah memberi dukungan dan semangat kepada penulis.

11. Persembahan terimakasih yang tulus kepada ayahanda N. Peangin angin

(alm) dan ibu N, Br Ginting (alm) yang telah membesarkan dengan penuh

kasih sayang dan dengan jasa mereka penulis dapat menjalani pendidikan

hingga pascasarjana.

12. Terima kasih juga buat seluruh teman-teman seperjuangan mahasiswa/i

Biomedik Angkatan 2008 yang selalu bersedia berdiskusi demi

kesempurnaan penulisan tesis ini.

Akhirnya, penulis menyadari bahwa hasil penelitian ini masih belum

sempurna. Oleh sebab itu penulis berharap adanya kritik dan saran yang

membangun demi perbaikan tulisan ini. Semoga tesis ini bermanfaat bagi kita

semua.

Medan, Juni 2011

(9)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Norong Perangin angin

Tempat/Tanggal Lahir : Kacinambun (Karo) 1 Mei 1965

Agama : Kristen Protestan

Status : Menikah

Alamat : Jln. Pelindung No. 20 Pematangsiantar

Tel/Hp : 081296960609

Pendidikan :

SD Negeri Kubu : 1972-1979

SMP Negeri 1 Kabanjahe : 1979-1982

SPK Kesdam I BB Pematangsiantar : 1983-1986

Akademi Keperawatan Pajajaran Bandung : 1993-1996

Akta Mengajar III IKIP Bandung : 1996-1996

Diploma IV Perawat Pendidik USU : 2000-2001

Program Magister Studi Ilmu Biomedik FK-USU Medan : 2008-2011

Riwayat Pekerjaan :

Perawat Turwatun : 1987-1992

Staf Pengajar Pada SPK Ksdam I BB P. Siantar : 1997-2006

Pembantu Direktur I Pada AKPER Kesdam I BB P. Siantar :

(10)

DAFTAR ISI

1.2. Perumusan Masalah... 3

1.3. Kerangka Konsep ... 4

1.4. Tujuan Penelitian... 5

1.5. Hipotesis... 5

1.6. Variabel Penelitian……….……….………. 5

1.7. Manfaat Penelitian... 5

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Tuak………... 7

2.2. Absorbsi dan Distribusi Alkohol………... 7

2.3. Metabolisme Alkohol……….... ... 8

2.4. Kerusakan Akibat Radikal Bebas ………...……… 11

2.5. Antioksidan Vitamin E... 13

2.6. Komponen Darah... 15

2.7 Pembentukan Sel Darah …..……….... 16

2.8. Laju Produksi Eritrosit...…… 18

2.9. Retikulosit ……...………. 19

2.10. Morpologi Eritrosit ……….………..……….. 19

2.11. Fungsi Eritrosit ...……… 20

2.12. Gambaran Hematologi Mencit... 21

(11)

BAB III METODE PENELITIAN

(12)

4.2.3. Kualitas Eritrosit...……… 45

4.2.3.1. Eritrosit...……… 45

4.2.3.2. Morpologi Eritrosit.……… 46

4.2.3.3. Hemaglobin... 47

4.2.3.4. Hematokrit... 48

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ………..……….. 49

5.2. Saran ………...……… 49

DAFTAR PUSTAKA……….... 50

(13)

DAFTAR TABEL

(14)

DAFTAR GAMBAR

1. Gambar 1. Kerangka Konsep ………...……… 4

2. Gambar 2. Metabolisme Alkohol ………...………. 10

3. Gambar 3. Perkembangan Sel Darah ………...……...………… 18

4. Gambar 4. Marfologi Eritrosit Normal………...….…………... 20

5. Gambar 5. Desain Penelitian... 24

6. Gambar 6. Garafik Jumlah Retikulosit …………..………...………… 36

7. Gambar 7. Grafik Jumlah Eritrosit….. ………....……… 37

8. Gambar 8. Grafik Morpologi Abnormal….……….…………....…… 39

9. Gambar 9.Gambar Morpologi Eritrosit... 40

10. Gambar 10. Grafik Kadar Hemaglobin ...……….…………..…… 41

(15)

ABSTRAK

Vitamin E merupakan salah satu vitamin yang larut dalam lemak dan berperan sebagai antioksidan serta dapat melindungi aksi kerusakan membran biologis akibat radikal bebas dan melindungi asam lemak tidak jenuh pada membran fosfolipid. Radikal bebas adalah molekul-molekul reaktif dan dapat merusak yang mempunyai elektron yang tidak berpasangan. Pemberian asupan antioksidan berupa vitamin E diusulkan dapat menurunkan efek radikal bebas dalam tubuh.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tentang pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, morpologi eritrosit abnormal, jumlah hemaglobin dan jumlah hematokrit mencit (Mus musculus L.) jantan yang dipapari Tuak. Penelitian ini adalah merupakan studi eksperimental laboratorik denngan menggunakan mencit jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster dewasa sehat dan berumur 2-3 bulan dengan berat 25-35 g sebanyak 30 ekor dibagi dengan 6 kelompok perlakuan. Kelompok 1 (P0) = kontrol terdiri dari 5 ekor mencit dewasa jantan yang diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari. Kelompok 2 (P1) = kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor mencit jantan dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 15 hari, kemudian 15 berikutnya dilanjutkan dengan pemberian akuades 0,5 ml. Kelompok 3 (P2) = Kelompok perlakuan II terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor secara oral selama 30 hari. Kelompok 4 (P3) = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0.5 ml/hari/ekor selama 15 hari pertama dan 15 hari berikutnya pemberian tuak dihentikan diganti dengan pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/ekor/mencit secara oral. Kelompok 5 (P4) = Kelompok perlakuan IV teridiri 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak pasaran (alkohol 20%) 0,5 ml/hari/ekor selama 30 hari dan hari ke 16 berikutnya pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari secara oral. Kelompok 6 (P5) = Kelompok perlakuan V terdiri dari 5 ekor mencit dewasa yang diberi tuak dipasaran (alkohol 20%) 0,5 ml dan pemberian vitamin E 0,33 mg/ekor/hari selama 30 hari secara oral. Mencit ditempatkan ke dalam kelompok random. Penelitian ini telah mendapatkan persetujuan dari komite etik penelitian USU. Hasil yang didapat dalam pemberian vitamin E 0,33 mg/hari/mencit sejalan dengan pemaparan tuak selama 30 hari dapat meningkatkan jumlah retikulosit, meningkatkan jumlah eritrosit, memperbaiki kerusakan morpologi eritrosit, meningkatkan kadar hemaglobin dan meningkatkan jumlah hematokrit mencit.

(16)

ABSTRACT

Vitamin E is one of vitamins soluble in fat and plays a role of antioxidant and even can keep biological membrane from the destructive action due to free radicals and keep unsaturated fatty acids from phospholipids membrane. The free radicals includes reactive molecules and can damage with the unpaired electrons. Administration of antioxidant intake in vitamin E is suggested to be able of reducing the free radical effect of the body.

The present study intends to know the effect of vitamin E on the amounts of reticulocyte, erythrocyte, morphology of abnormal erythrocyte, hemoglobin, and hematocrite male mice (Mus musculus L) exposed to the fermented palm wine. It is an experimental study using 30 male mice (Mus musculus L), strain of adult and healthy DD Webster ranging 2-3 months of age with the weight ranging 25-35 gs of divided into 6 groups of treatment. Group I (Po) is control consisting of 5 male mice given by 0.5 ml aquades for 30 days. Group II (P1) is treatment-1 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (20% alcohol) 0.5 ml /day /mice orally for 15 days, and then given by 0.5 ml aquades for next 15 days. Group III (P2) is treatment 2 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine ( alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice orally for 30 days. Group IV (P3) is treatment 3 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for first 15 days and for next 15 days, the supplementation of fermented palm wine is stopped and changed by vitamin E 0.33 mg /day/mice orally. Group V (P4) is treatment 4 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml/day/mice for 30 days and followed by vitamin E 0.33 mg /mice /day orally in the 16th day. Group VI (P5) is treatment 5 consisting of 5 adult male mice exposed to the commercial fermented palm wine (alcohol 20%) 0.5 ml and vitamin E 0.33 mg /mice /day for 10 days orally. The mice were classified randomized. The study has been accepted by the ethical committee of study, USU. The result of vitamin E 0.33 mg/day/mice is in coincidence with the exposure of fermented palm wine for 30 days that can increase in the amounts of reticulocyte, erythrocyte, correcting the destructed morphology of erythrocyte, increasing in hemaglobin level and increasing in the amount of mice hematocrite.

(17)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Tuak merupakan minuman tradisional yang dijumpai pada beberapa

daerah di Sumatera Utara, yang diperoleh dari hasil fermentasi nira aren dan

nira kelapa. Tuak sebagai minuman tradisional telah menjadi turun-temurun,

dimana konsumsi tuak sangat sulit dihilangkan dari kebiasaan masyarakat.

Sampai sekarang tuak masih menjadi kegemaran pada daerah ini yang dipakai

sebagai minuman untuk penghangat tubuh dan di waktu adanya pesta-pesta di

malam hari. Selain di Sumatera Utara, daerah lain sebagai penghasil dan

pengkonsumsi tuak yang cukup tenar, adalah Jawa Tengah, Jawa Timur dan

Bali (Ikegami,1997).

Tuak yang diproduksi secara tradisional, sehingga sulit untuk

mengetahui dan mengkontrol kadar alkohol yang ada dalam minuman tersebut.

Tetapi secara umum Sunanto (1993) melaporkan bahwa tuak hasil fermentasi

nira aren yang diperdangangkan dan dikonsumsi di Sumatera Utara rata-rata

mengandung alkohol 4 %.). Menurut Keputusan Menteri Kesehatan No.

151/A/SK/V/81 bahwa minuman atau obat tradisional yang tergolong dalam

minuman keras mengandung alkohol > 1 %. Dengan demikian tuak merupakan

minuman beralkohol yang tidak jauh berbeda dengan minuman keras lainnya.

Berdasarkan konsentrasi alkohol yang terkandung dalam tuak tersebut maka

diduga bahwa mayarakat yang mengkonsumsi secara terus menerus akan dapat

menimbulkan gangguan kesehatan. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa

(18)

dapat menyebabkan terjadinya hemolisis darah mencit (Nordina, 2010). Begitu

juga menurut Kamisah (2009) menyebutkan bahwa alkohol secara langsung

dapat merusak sumsum tulang terutama prekursor eritrosit sehingga

menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit dan anemia. Konsumsi alkohol

kronis, akan menyebabkan terbentuknya radikal bebas, yang akan bereaksi

dengan lemak, protein, asam nukleat seluler sehingga terjadi kerusakan lokal

dan disfungsi organ termasuk struktur eritrosit dan fungsinya (Toykuni, 1999).

Alkohol akan menginduksi sitokrom P450 sehingga enzim tersebut meningkat,

yang dapat meningkatkan radikal bebas secara langsung dengan membentuk

radikal superoksid (Bacman and Ames 1998)

Di Amerika Serikat, kira-kira 75% dari populasi dewasanya

mengkonsumsi minuman beralkohol secara teratur, dan sekitar 10% dari

populasi umum di Amerika Serikat mereka tidak mampu membatasi konsumsi

etanol, yang dikenal sebagai penyalahgunaan alkohol. Individu-individu yang

terus meminum alkohol tanpa mempedulikan adanya konsekuensi yang dapat

merugikan secara medis dan sosial yang berkaitan langsung dengan konsumsi

alkohol akan menderita alkoholisme.Orang alkoholisme sulit untuk menentukan

jumlah alkohol yang dikonsumsi tetapi dapat diketahui jika kebiasaan tersebut

dibiarkan dalam beberapa waktu, dan ini akan mempengaruhi kehidupan

seseorang secara bertolak belakang. Alkoholisme dapat menyebabkan gangguan

fungsi sosial dan pekerjaan, dan meningkatkan toleransi terhadap efek alkohol

serta ketergantungan fisiologik (Chandrasoma dan Taylor, 2005).

Terdapat 200.000 orang kematian di dunia yang berhubungan dengan

(19)

tertinggi adalah usia antara 20 - 35 tahun. Sedangkan jenis klamin, laki-laki

secara bermakna lebih banyak menggunakan alkohol dari pada wanita

(Harimurti, 2009)

Vitamin E merupakan antioksidan atau penangkap radikal bebas (Free

scavenger) terutama pada membran sel. Beberapa penelitian yang telah

menunjukkan bahwa vitamin E dapat melindungi dan mempertahankan fungsi

sel dari serangan radikal bebas yang disebabkan alkohol (Machlin dan

Bendiech, 1997). Pemberian vitamin E dapat mencegah kerusakan sel darah

merah yang disebabkan oleh radikal bebas, dan apabila vitamin E pada

membran sel telah menurun atau habis, maka radikal bebas akan mengoksidasi

membran sel sehingga menyebabkan terjadinya peroksidasi lipid yang

mengakibatkan hemolisis sel darah merah (Machlin dan Bendiech 1997).

Vitamin E memiliki kemampuan untuk menghentikan peroksidasi lipid

dengan cara menyumbangkan satu atom hydrogennya dari gugus OH kepada

lipid piroksil yang bersifat radikal sehingga kurang reaktif dan tidak merusak

(Wahyuningsih 2009)

Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa alkohol sangat memberi

pengaruh terhadap sel darah. Maka penelitian ini untuk mengetahui pengaruh

pemberian vitamin E terhadap laju produksi dan kualitas sel darah merah mencit

yang dipapari dengan tuak.

1.2. Perumusan Masalah

1. Apakah vitamin E dapat mempengaruhi jumlah retikulosit mencit yang

(20)

2. Apakah vitamin E dapat mempengaruhi jumlah eritrosit dan gambaran

morpologi eritrosit pada mencit yang diberi tuak

3. Apakah vitamin E dapat mempengaruhi kadar hemoglobin dan nilai

hematokrit darah mencit yang diberi tuak

1.3. Kerangka Konsep

Tuak atau alkohol akan masuk kedalam sumsum tulang melalui saluran

pencernaan yang kemudian akan berakumulasi dengan darah. Toksikasi yang

ditimbulkan tuak/alhohol akan menyebabkan kerusakan jaringan ditingkat yang

ringan (proses biokimia normal) sampai pada kematian sel. Perubahan proses

biokimia akan merusak sumsum tulang terutama prekursor eritrosit sehingga

menimbulkan gangguan pembentukan eritrosit. Pemberian vitamin E sebagai

antioksidan berperan untuk meminimalisir dampak yang ditimbulkan tuak.

ANEMIA TIDAK TERJADI 

(21)

1.4. Tujuan Penelitian

Penelitian eksperimental ini dilakukan dengan tujuan :

1. Untuk mengetahui pengaruh vitamin E terhadap jumah retikulosit

pada mencit yang diberi tuak

2. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap jumlah

eritrosit dan gambaran morpologi eritrosit mencit yang diberi tuak

3. Untuk mengetahui pengaruh pemberian vitamin E terhadap kadar

hemoglobin dan nilai hematokrit darah mencit yang diberi tuak

1.5. Hipotesis

Berdasarkan rumusan permasalahan tersebut, dikemukakan hipotesis

sebagai berikut :

a. Ho ;

1. Tidak ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah retikulosit pada

mencit yang diberi tuak

2. Tidak ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah eritrosit dan gambaran

morpologi eritrosit pada mencit yang diberi tuak

3. Tidak ada pengaruh vitamin E terhadap kadar hemoglobin dan nilai

hematokrit pada mencit yang diberi tuak

b. Ha :

1. Ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah retikulosit pada mencit yang

(22)

2. Ada pengaruh vitamin E terhadap jumlah eritrosit dan gambaran

morpologi eritrosit pada mencit yang diberi tuak

3. Ada pengaruh vitamin E terhadap kadar hemoglobin dan nilai

hematokrit pada mencit yang diberi tuak

1.6. Variabel Penelitian

1.6.1. Variabel bebas

a. Tuak (alkohol)

b. Vitamin E

1.6.2. Variabel tergantung

a. Jumlah retikulosit

b. Jumlah eritrosit

c. Morpologi eritrosit

d. Kadar hemoglobin

e. Nilai hematokrit

1.7. Manfaat Penelitian.

Bagi ilmu kedokteran, hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu

acuan untuk menjadi status kesehatan dan mencegah penyakit-penyakit yang

disebabkan oleh kerusakan eritrosit terutama karena radikal bebas akibat

(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuak

Tuak sering juga disebut arak, yaitu produk yang mengandung alkohol.

Bahan baku yang biasa dipakai adalah: cairan yang diambil dari tanaman

seperti nira dari pohon kelapa, aren dan pohon siwalan atau tal. Kadar alkohol

pada tuak berbeda-beda tergantung daerah pembuatnya. Arak yang dibuat di

pulau Bali dikenal dengan nama Brem Bali, mengandung alkohol yang

kadarnya cukup tinggi.

Tuak, disamping sebagai minuman juga merupakan bahan baku untuk

pembuatan gula dengan berbagai sebutan seperti gula aren atau gula merah atau

gula jawa karena orang Jawa memang lebih banyak memproses tuak menjadi

gula. Tuak merupakan sejenis minuman yang beralkohol yang berasal dari

fermentasi nira aren mengandung alkohol dengan kadar 4 % (Sunanto, 1993).

2.2. Absorbsi dan Distribusi alkohol

Alkohol yang masuk ke dalam saluran pencernaan akan diabsorbsi

melalui mukosa mulut dan epitel gastrointestinal dan sebagian besar (80%)

diabsorbsi di usus halus, sisanya diabsorbsi di kolon. Kecepatan absorbsi

tergantung pada takaran dan konsentrasi alkohol dalam minuman yang mengisi

lambung dan usus. Bila konsentrasi optimal alkohol diminum dan dimasukkan

dalam lambung yang kosong maka kadar puncak dalam darah telah dapat

(24)

Setelah diabsorbsi, alkohol akan didistribusikan ke semua jaringan dan

cairan tubuh serta cairan jaringan. Sekitar 90 - 98% alkohol yang diabsorbsi

dalam tubuh akan mengalami oksidasi, sedangkan 2 - 10%nya diekskresikan

tanpa mengalami perubahan, baik melalui paru-paru maupun ginjal. Sebagian

kecil akan dikeluarkan melalui keringat, air mata, empedu dan air ludah

(Darmono, 2000 ).

Alkohol mudah berdifusi dan distribusinya dalam jaringan sesuai

dengan kadar air jaringan tersebut. Semakin hidrofil jaringan semakin tinggi

kadar alkoholnya. Biasanya dalam 12 jam telah tercapai keseimbangan kadar

alkohol dalam darah, usus, dan jaringan lunak ( Zakhari, 2006 ).

2.3. Metabolisme Alkohol

Alkohol yang masuk ke dalam tubuh akan mengalami serangkaian

proses biokimia. Alkohol yang dikomsumsi 90%, diantaranya akan

dimetabolisme oleh tubuh terutama hati oleh enzim alkoholdehirogenase (ADH)

dan koenzim nikotinamid-adenin-dinokleotida (NAD) menjadi asetaldehid dan

kemudian oleh enzim aldehida dehidrogenase (ALDH) diubah menjadi asam

asetat. Asam asetat dioksidasi menjadi CO2 dan H2O. Piruvat, levulosa

(fruktosa), gliseraldehida dan alanin akan mempercepat metabolism alkohol

(Lieber, 1994)

Metabolisme alkohol melibatkan 3 jalur, yaitu jalur sitosol, jalur

(25)

a. Jalur Sitosol/Lintasan Alkohol Dehidrogenase.

Jalur ini adalah proses oksidasi dengan melibatkan enzim alkohol

dehidrogenase (ADH). Proses oksidasi dengan menggunakan alkohol

dehidrogenase terutama terjadi di dalam hepar. Metabolisme alkohol oleh

ADH akan menghasilkan asetaldehid yang merupakan produk yang sangat

reaktif dan sangat beracun sehingga menyebabkan kerusakan beberapa

jaringan atau sel (Zakhari, 2006)

b. Jalur Peroksisom/Sistem Katalase

Melalui enzim katalase yang terdapat dalam peroksisom (peroxysome)

hidrogen yang dihasilkan dari metabolism alkohol dapat mengubah keadaan

redoks, dan pada pemakaian alkohol yang lama dapat mengecil. Perubahan ini

dapat menimbulkan perubahan metabolisme lemak dan karbohidrat, yang

menyebabkan bertambahnya jaringan kolagen dan dalam keadaan tertentu dapat

menghambat sintesa protein ( Zakhari, 2006)

c. Jalur Mikrosom

Jalur ini juga sering disebut dengan sistem SOEM (Sistem Oksidasi

Etanol Mikrosom). yang terletak dalam retikulum endoplasma. Dengan

pertolongan 3 komponen mikrosom ( sitokrom P-450, reduktase dan lesitin)

(26)

        

ALKOHOL

Gambar 2. Metabolisme alkohol

Alkohol akan diubah menjadi asetaldehid, kemudian akan diubah

menjadi asetat oleh aldehid dehidrogenase di dalam mitokondria. Pemakaian

alkohol yang lama akan menimbulkan perubahan pada metokondria, yang

menyebabkan berkurangnya kapasitas untuk oksidasi lemak. Semua yang

(27)

Sistem Oksidasi Etanol Mikrosom yang disebabkan pemakaian alkohol

berlangsung lama dapat menginduksi dan meningkatkan metabolisme

obat-obatan, meningkatkan lipoprotein dan menyebabkan hyperlidemia (Lieber,

1994)

Reaktive Oxygen Species (ROS) dihasilkan secara alami dalam jumlah

kecil selama reaksi metabolisme tubuh dan dapat bereaksi dengan molekul

seluler dan kerusakan kompleks seperti lemak, protein, atau DNA. Alkohol

mempromosikan generasi dari ROS dan mengganggu mekanisme normal

pertahanan tubuh terhadap senyawa ini melalui berbagai proses, terutama di

hati. Alkohol juga merangsang aktivitas enzim yang disebut sitokrom P450,

yang berkontribusi pada produksi ROS. Lebih lanjut, alkohol dapat

mengubah tingkat logam tertentu dalam tubuh, sehingga memudahkan

produksi ROS ( Defeng, 2001)

2.4. Kerusakan Akibat Radikal Bebas

Penelitian yang ekstensif dengan menggunakan sistem model, dan dengan

material biologis in vitro, secara jelas menunjukkan bahwa radikal bebas dapat

menimbulkan perubahan kimia dan kerusakan terhadap protein, lemak,

karbohidrat dan nukleotida. Bila radikal bebas diproduksi in vivo atau in vitro

di dalam sel melebihi mekanisme pertahanan normal, maka akan terjadi

berbagai gangguan metabolik dan seluler. Jika posisi radikal bebas yang

terbentuk dekat dengan DNA, maka bisa menyebabkan perubahan struktur

(28)

nukleotida sehingga menyebabkan perubahan yang bermakna pada komponen

biologi sel. Bila radikal bebas merusak grup thiol maka akan terjadi perubahan

aktivitas enzim. Radikal bebas dapat merusak sel dengan cara merusak

membran sel tersebut. Kerusakan pada membran sel ini dapat terjadi dengan

cara:

a. Radikal bebas berikatan secara kovalen dengan enzim dan/atau reseptor

yang berada di membran sel, sehingga merubah aktivitas

komponen-komponen yang terdapat pada membran sel tersebut.

b. Radikal bebas berikatan secara kovalen dengan komponen membran

sel, sehingga merubah struktur membran dan mengakibatkan perubahan

fungsi membran dan/atau mengubah karakter membran menjadi seperti

antigen.

c. Radikal bebas mengganggu proses transportasi melalui ikatan kovalen,

mengoksidasi kelompok thiol, atau dengan merubah asam lemak

polyunsaturated

Radikal bebas menginisiasi peroksidasi lipid secara langsung terhadap

asam lemak polyunsaturated dinding sel. Peroksidasi ini akan mempengaruhi

fluiditas membran, cross-linking membran, serta struktur dan fungsi membran

(Slater, 1984). Sebagai tambahan adaptasi perubahan terhadap proteksi

enzim-enzim, stress oksidatif atau stress lain yang diketahui menyebabkan

meningkatnya produksi stress atau heat shock protein (HSP). Protein ini

adalah komponen penting dari respon proteksi seluler, Ini terjadi dalam sel-sel

(29)

2.5. Antioksidan Vitamin E

Antioksidan adalah substansi yang diperlukan tubuh untuk menetralisir

radikal bebas dan mencegah kerusakan yang ditimbulkan oleh radikal bebas

terhadap sel normal, protein, dan lemak. Antioksidan menstabilkan radikal

bebas dengan melengkapi kekurangan elektron yang dimiliki radikal bebas, dan

menghambat terjadinya reaksi berantai dari pembentukan radikal bebas yang

dapat menimbulkan stres oksidatif. Antioksidan yang dikenal ada yang berupa

enzim dan ada yang berupa mikronutrien. Enzim antioksi yang dibentuk dalam

tubuh, yaitu super oksida dismutase (SOD), glutation peroksida, katalase, dan

glutation reduktase. Sedangkan antioksidan yang berupa mikronutrien dikenal

tiga yang utama, yaitu β-karoten, vitamin C dan vitamin E. β-karoten

merupakan scavengers, vitamin C penangkap superoksida dan radikal bebas

yang lain, sedangkan vitamin E merupakan pemutus rantai peroksida lemak

pada membran dan low density lipoprotein. Vitamin E yang larut dalam lemak

merupakan antioksidan yang melindungi poly unsaturated faty acids (PUFA)

dan komponen sel serta membran sel dari oksidasi oleh radikal bebas

(Hariyatmi 2007).

Berdasarkan fungsinya, antioksidan dapat dibagi menjadi 4 tipe

(Hariyatmi 2007)

a. Tipe pemutus rantai reaksi pembentuk radikal bebas, dengan

menyumbangkan atom H, misalnya vitamin E

b. Tipe pereduksi, dengan mentransfer atom H atau oksigen, atau bersifat

(30)

c. Tipe pengikat logam, mampu mengikat zat peroksidan, seperti Fe2+,

misalnya flavonoid

d. Antioksidan sekunder, mampu mendekomposisi hidroperoksida menjadi

bentuk stabil, pada manusia dikenal SOD, katalase, glutation peroksidase.

Mekanisme kerja antioksidan seluler adalah sebagai berikut:

a. Berinteraksi langsung dengan oksidan, radikal bebas atau oksigen tunggal

b. Mencegah pembentukan jenis oksigen reaktif

c. Mengubah jenis oksigen reaktif menjadi kurang toksik

d. Mencegah kemampuan oksigen reaktif

e. Memperbaiki kerusakan yang timbul.

Vitamin E (tokoferol), adalah vitamin yang larut baik dalam lemak yang

melindungi tubuh dari radikal bebas. Vitamin E sebagai antioksidan banyak

terlibat dalam proses tubuh dan beroprasi sebagai antioksidan alami yang

membantu melindungi struktur sel penting terutama membran sel termasuk sel

eritrosit dari kerusakan akibat adanya radikal bebas. Dalam melaksanakan

fungsinya sebagai antioksidan dalam tubuh, vitamin E bekerja dengan caara

mencari, bereaksi dan merusak rantai reaksi radikal bebas (Frei 1994).

Vitamin E berada di dalam lapisan fosfolipid membran sel dan berfungsi

melindungi asam lemak jenuh ganda dan komponen membran sel lain dari

oksidasi radikal bebas dengan memutuskan rantai peroksida lipid yang banyak

muncul karena adanya reaksi antara lipid dan radikal bebas dengan cara

menyumbangkan satu atom hidrogen dari gugus OH pada cincinnya ke radikal

(31)

Mekanisme kerja vitamin E dalam mendonorkan ion hidrogen untuk

menetralkan atau mengurangi kadar lemak peroksida darah dimulai dengan

kerja α-tokoferol radikal yang kemudian berubah menjadi α-tokoferol

peroksida. Dari dua α tocoferol radikal berubah menjadi α tocoferol dimer dan

akhirnya menjadi α tokokuinone yang oleh vitamin C dapat diregenerasi

kembali menjadi α-tokoferol (Hariyatmi 2007).

2.6.Komponen Darah

Darah merupakan gabungan dari cairan plasma, sel-sel dan partikel

menyerupai sel, mengalir dalam arteri, kapiler, dan berfungsi untuk

mengirimkan oksigen dan zat-zat gizi ke jaringan dan membawa karbon

dioksida dan hasil limbah lainnya.

Lebih dari separuh bagian dari darah merupakan cairan (plasma) yang

sebagian besar mengandung garam-garam terlarut dan protein. Protein utama

dalam plasma adalah albumin,protein lainnya adalah antibodi (immunoglobulin)

dan protein pembeku. Plasma juga mengandung hormon-hormon, elektrolit,

lemak, gula, mineral dan vitamin.

a. Sel darah merah (eritrosit)

Merupakan sel darah yang paling banyak jumlahnya dibanding dengan dua

jenis sel lainnya dan dalam keadaan normal mencapai hampir separuh volume

darah. Sel darah merah mengandung hemoglobin, yang memungkinkan sel

(32)

jaringan tubuh dan mengangkut karbon dioksida dari jaringan untuk dikeluarkan

melalui paru-paru.

b. Sel darah putih (leukosit)

Jumlahnya lebih sedikit, dengan perbandingan satu sel darah putih untuk

660 sel darah merah. Terdapat lima jenis utama dari sel darah putih yang

bekerja sama untuk membangun mekanisme utama tubuh dalam melawan

infeksi, termasuk menghasilkan antibodi diantaranya, neutropil, limposit,

monosit, eosinofil dan basofil.

c. Platelet (trombosit)

Merupakan partikel yang menyerupai sel, dengan ukuran lebih kecil dari

pada sel darah merah atau sel darah putih. Sebagai bagian dari mekanisme

perlindungan darah untuk menghentikan perdarahan, trombosit berkumpul pada

daerah yang mengalami perdarahan dan selanjutnya akan mengalami

pengaktivan. Setelah mengalami pengaktivan, trombosit akan melekat satu

sama lain dan menggumpal untuk membentuk sumbatan dan menutup

pembuluh darah dan menghentikan perdarahan. (Guyton, 2006)

2.7. Pembentukan Sel Darah

Pada manusia, sel darah dibuat di sumsum tulang belakang, lalu

membentuk kepingan bikonkaf (Snyder dan Gregory , 1999). Sel darah merah,

sel darah putih dan trombosit dibuat di dalam sumsum tulang. Selain itu,

limfosit juga dibuat di dalam kelenjar getah bening dan limpa dan limfosit T

(33)

dalam sumsum tulang, semua sel darah berasal dari satu jenis sel yang disebut

sel stem (sel induk). Jika sebuah sel stem membelah, yang pertama kali

terbentuk adalah sel darah merah yang belum matang (imatur), sel darah putih

atau sel yang membentuk trombosit (megakariosit). Kemudian jika sel imatur

membelah, akan menjadi matang dan pada akhirnya menjadi sel darah merah,

sel darah putih atau trombosit. Kecepatan pembentukan sel darah dikendalikan

sesuai dengan kebutuhan tubuh. Jika kandungan oksigen dalam jaringan tubuh

atau jumlah sel darah merah berkurang, ginjal akan menghasilkan dan

melepaskan eritropoietin (hormon yang merangsang sumsum tulang untuk

membentuk lebih banyak sel darah merah). Sumsum tulang membentuk dan

melepaskan lebih banyak sel darah putih sebagai respon terhadap infeksi dan

(34)

Eritrosit

Retikulosit

Metarubrsit

Rubrisit

Prorubrisit Monosit

Rubriblas Promonosit

Monoblas

SEL INDUK 

Limpoblas Mieloblas Megakrioblas

Prolimposit Progranulosit Promegakariosit

Limposit Mielosit Megakariosit

Metamielosit Trombosit

Granulosit

Neutropil, Eosinopil, Basofil

Gambar. 3. Skema Perkembangan Sel Darah (Depkes, 1989)

2.8. Laju Produksi Eritrosit

Proses pembentukan eritrosit disebut dengan eritropoiesis, yang terjadi

secara terus menerus diproduksi di dalam sumsum tulang. Laju produksi sekitar

2 juta eritrosit per detik. Eritrosit dikembangkan dari sel punca melalui

retkulosit. Untuk mendewasakan eritrosit membutuhkan waktu 7 hari dan

(35)

eritrosit terjadi pada hati yang distimulasi oleh hormon eritropoeitin yang

disintesa oleh ginjal (Cohen, 1982)

2.9. Retikulosit

Retikulosit adalah sel darah merah muda yang terdapat dalam volume

darah tertentu. Jumlah retikulosit sekitar 0,5 - 1 % dari jumlah total volume

darah. Hitung retikulosit merupakan indikator aktivitas sumsum tulang dan

digunakan untuk mendiagnosis anemia. Banyaknya retikulosit dalam darah tepi

menggambarkan eritropoesis yang hampir akurat. Peningkatan jumlah

retikulosit di darah tepi menggambarkan akselerasi produksi eritrosit dalam

sumsum tulang. Sebaliknya, hitung retikulosit yang rendah terus-menerus dapat

mengindikasikan keadaan hipofungsi sumsum tulang atau anemia aplastik

(Linda Rosita, 2006)

2.10. Morfologi Eritrosit

Sel darah merah atau yang juga disebut sebagai eritrosit berasal dari

Bahasa Yunani, yaitu erythros berarti merah dan kytos yang berarti selubung/sel

(Snyder dan Gregory, 1999). Sel darah merah, eritrosit (red blood cell, RBC,

erythrocyte), berbentuk lempeng bikonkaf dengan diameter kira-kira 7,8

mikrometer dan dengan ketebalan pada bagian yang paling tebal 2,5 mikrometer

(36)

Gambar. 4. Morfologi Eritrosit Normal pada Manusia (Depkes, 1989)

Bentuk eritrosit dapat berubah-ubah ketika sel berjalan melewati kapiler.

Karena sel normal mempunyai membran yang sangat kuat untuk menampung

banyak bahan material di dalamnya, maka perubahan bentuk tadi tidak akan

meregangkan membran secara hebat dan sebagai akibatnya tidak akan

memecahkan sel seperti yang terjadi pada sel-sel lainnya (Guyton dan Hall,

2006). Di dalam sel darah merah tidak terdapat nukleus. Sel darah merah sendiri

akan aktif selama 120 hari dan kemudian akhirnya dihancurkan (Snyder dan

Gregory , 1999).

2.11. Fungsi Eritrosit

Sel eritrosit berfungsi membawa oksigen ke jaringan-jaringan tubuh

(37)

yang dapat mengikat oksigen. Hemoglobin akan mengambil oksigen dari

paru-paru dan oksigen akan dilepaskan saat eritrosit melewati pembuluh kapiler.

Warna dari eritrosit berasal dari gugus heme yang terdapat pada

hemoglobin. Sedangkan cairan plasma darah sendiri berwarna kuning

kecoklatan, tetapi eritrosit akan berubah warna tergantung pada kondisi

hemoglobin. Ketika terikat pada oksigen, eritrosit akan berwarna merah terang

dan ketika oksigen dilepas maka warna erirosit akan berwarna lebih gelap, dan

akan menimbulkan warna kebiru-biruan pada pembuluh darah dan kulit.

Fungsi utama eritrosit adalah mengangkut oksigen dari paru-paru ke seluruh

jaringan tubuh. Selain mengandung hemoglobin, eritrosit juga mempunyai

fungsi lain. Ia mengandung banyak karbon anhidrase, yang mengkatalis reaksi

antara karbondioksida dan air, sehingga meningkatkan reaksi bolak-balik ini

beberapa ribu kali lipat. Cepatnya reaksi ini membuat air dalam darah dapat

bereaksi dengan banyak sekali karbon dioksida dan dengan demikian

mengangkutnya dari jaringan menuju paru-paru dalam bentuk ion bikarbonat

(Guyton dan Hall, 2006).

2.12. Gambaran Hematologi Mencit

Eritrosit normal merupakan bentuk cakram dengan ukuran tebal 1,5 –

2,5 μm diameter 5 – 7 μm. Dengan pewarnaan Wright, eritrosit akan berwarna

kemerah-merahan karena mengandung hemoglobin. Eritrosit normal tidak

berinti, berbentuk bulat dan tipis, bagian tengah lebih tipis daripada bagian

(38)

Makin dewasa inti sel dari eritrosit semakin kecil selanjutnya menghilang. Inti

sel muda warna selnya lebih merah (Bijanti et al., 1997).

Tabel. 1, Gambaran hematologi mencit.

Hematologi Nilai normal

Eritrosit (RBC) (mm3)

Haemoglobin (g/dl)

Hematokrit (VCP) (%)

Leukosit

Trombosit

6,86 .-11,7 juta /mm3

10,7 . 11,5 g/100 dl

33,1 - 49,9 %

7680 – 12810/mm3

81800 – 166000/mm3

(Kusumawati, Smith dan Mangkoewidjojo (1988).

2.13. Abnormalitas Morfologi Eritrosit Mencit

Abnormal morfologi eritrosit dapat terjadi oleh berbagai kondisi, termasuk

fragmentasi eritrosit, stress oksidasi dan kelaianan bawaan. Kelaianan eritrosit

bisa dilihat dari ukuran diameternya, lebih kecil dari normal atau lebih besar

dari normal, warnanya lebih pucat atau tidak pucat dan bentuknya seperti bulan

sabit dan seperti durian/ireguler.

Kelaianan yang sering terjadi adalah, poikilositosis yaitu irreguler atau

terjadinya perubahan bentuk. Indikasi ini muncul karena adanya abnormalitas

(39)
(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1.Tempat dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Laboratorium FMIPA Biologi,

Laboratorium Penelitian Fakultas Farmasi Universitas Sumatera Utara (USU)

dan Laboratorium klinik Pramita Medan. Penelitian ini akan dilakukan selama 8

minggu, mulai dari Oktober sampai dengan November 2010

3.2. Rancangan Penelitian

       Penelitian yang dilakukan merupakan penelitian eksperimen laboratorik

dengan Rancangan Acak Lengkap (RAL). Sebanyak 30 ekor mencit jantan

(Mus musculus L) strain DD Webster dewasa berumur 2-3 bulan dengan berat

badan 25-30 g, yang dibagi secara acak ke dalam 6 kelompok percobaan, 5

ekor mencit per kelompok. Jumlah ulangan ditentukan dengan menggunakan

rumus (t-1) (n-1) ≥ 15 (Federer, 1963). Dimana t adalah jumlah perlakuan

(dalam penelitian ini ada 6 kelompok perlakuan) dan n adalah jumlah ulangan

(41)

0 hari 15 hari 30

P0

P1

P2

P3

P4

P5

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml   Larutan Akuades 0,5 ml 

Tuak (alkohol 20 %) 0,5 ml  

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml   Vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) 

Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml   Tuak (alkohol 20%) 0,5 ml Vitamin E 0,5 ml (0,33mg)

Vitamin E 0,5 ml (0,33 mg)  Tuak (20%)  0,5 ml   Larutan Akuades 0,5 ml  

Gambar 6. Desain penelitian

Perlakuan dalam penelitian diberikan sebagai berikut  

a. P0 = kelompok kontrol terdiri dari 5 ekor yang diberi akuades 0,5 ml

selama 30 hari.

b. P1 = Kelompok perlakuan I terdiri dari 5 ekor yang diberi tuak dipasaran

setiap pagi 0,5 ml/ekor secara oral selama 15 hari kemudian 15 hari

(42)

c. P2 = Kelompok perlakuan II terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap

pagi 0,5 ml /ekor secara oral selama 30 hari.

d. P3 = Kelompok perlakuan III terdiri 5 ekor yang diberi tuak dipasaran setiap

pagi 0,5 ml/ekor selama 15 hari yang diberikan pada pagi hari, selanjutnya

pada hari ke 16 diberi vitamin E sebanyak 0,5 ml (0,33 mg) setiap sore hari

e. P4 = Kelompok perlakuan IV terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak

dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 30 hari selanjutnya pada hari yang

ke 16 diberikan vitamin E 0,5 ml (0,33 mg) pada sore hari.

f. P5 = Kelompok perlakuan V terdiri 5 ekor mencit yang diberi tuak

dipasaran setiap pagi 0,5 ml/ekor selama 30 hari bersama vitamin E 0,5 ml

(0,33 mg) sore hari

3.3. Alat dan Bahan

Untuk menghitung eritrosit menggunakan kamar hitung (counting

chamber), terbuat dari kaca object yang tebal, rata plat yang ditengah dipakai

untuk menghitung sel-sel darah. Kaca penutup (cover slip) tiap bilik hitung

mempunyai kaca penutup yang khusus yang dipergunakan untuk kamar hitung

tersebut. Pipet pengencer darah, terdiri dari sebuah pipa kapiler yang

mempunyai tanda (angka) ”0,5 dan 1,0” pada salah satu ujungnya membesar

dan sedikit lonjong. Didalam bulatan terdapat sebutir kaca merah untuk

menghitung eritrosit. Cairan pengencer darah, syarat utama cairan pengencer

darah adalah harus isotonis dengan darah, tidak merusak eritrosit dan yang

(43)

Untuk menghitung hemoglobin digunakan, tabung reaksi 75x10 mm,

regensia sianida, mikro pipet dan untuk menghitung hematokrit menggunakan

tabung Wintrobe, pipet kapiler dan alat pemutar. Dalam pengamatan morfologi

eritrosit digunakan , kaca objek, bak tempat pewarnaan dan larutan methanol.

3.4. Populasi Penelitian

Hewan coba yang digunakan dalam penelitian ini adalah mencit

jantan (Mus musculus) strain DD Webster, berumur 2 bulan dengan rata-rata

berat badan antara 25 – 30 gram. Hewan coba diperoleh dari unit penelitian

hewan F MIFA Biologi USU Medan. Mencit jantan dewasa merupakan hasil

perbanyakan hewan yang diperoleh sebanyak 30 ekor mencit dipilih dari hasil

perbanyakan untuk keperluan penelitian.

3.5. Dosis

3.5.1. Dosis Tuak

Bagi orang peminum tuak biasanya, meminum tuak di warung-warung

rata-rata 3 – 4 gelas ml/ hari (1000 ml) bagi orang dewasa (rata-rata berat

badan 60 kg (Ikegami, 1997), maka komsumsi rata-rata tuak oleh manusia

setiap hari rata-rata 1000 ml/ 60.000 g berat badan orang dewasa = 0,016

ml/g/ berat badan, maka dosis konversi untuk mencit dengan rata-rata berat

badan 30 g adalah : 0.016 ml x 30 g = 0,48 ml/mencit/hari. Pada penelitian

pendahuluan terhadap kadar alkohol tuak dari 4 jenis tuak diteliti kadar

alkoholnya, maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah tuak yang

dipasarkan, yaitu tuak pada hari kedua dengan konsentrasi alkoholnya 20%

(44)

3.5.2. Dosis Vitamin E

Vitamin E murni dalam bentuk cair, penentuan dosis vitamin E berdasarkan

dosis per oral pada manusia yang aman untuk dikonsumsi orang dewasa adalah

1000 IU/hari (Baraas dan Jufri, 1999). Rata-rata berat badan orang dewasa 60

kg. Dengan asumsi bahwa 1 IU ( Karyadi 1990 ) = 0,67 mg. Dosis untuk

manusia dewasa adalah 670 mg/60.000 g berat badan =0,011 mg/g berat badan,

maka untuk dosis mencit dengan berat badan rata-rata 30 g adalah =0,011 mg x

30 g berat badan = 0,33 mg/mencit / hari. Vitamin E dilarutkan dengan larutan

akuades menjadi 0,5 ml.

3.6. Pelaksanaan Penelitian

3.6.1. Pemeliharaan Hewan Percobaan.

Mencit ditempatkan di dalam kandang yang terbuat dari bahan plastik

dengan ukuran (panjang 30 cm x lebar 20 x kedalaman10 cm) yang ditutup

dengan kain kasa. Dasar kandang dilapisi dengan sekam padi setebal 0,5 - 1 cm

dan diganti setiap dua hari. Cahaya ruangan dikontrol persis 12 jam terang

(pukul 06.00 sampai dengan pukul 18.00) dan 12 jam gelap (pukul 18.00

sampai dengan pukul 06.00), sedangkan suhu dan kelembaban ruangan

dibiarkan berada pada kisaran alamiah. Pakan (pelet komersial) dan minuman

(air PAM) disuplai setiap hari secara berlebih (ad libitum)

3.6.2. Sampel Darah

Setelah dilakukan perlakuan selama 30 hari, maka satu hari setelah

(45)

maupun kelompok perlakuan. Masing- masing hewan coba dikorbankan dengan

cara dislokasi leher, kemudian dibedah dan pengambilan darah dengan spuit 1

ml langsung ke intracardial kemudian dimasukkan ke tabung yang sebelumnya

telah diberi larutan EDTA 1 %. Kemudian disimpan dalam lemari es selama 60

menit. Kemudian dilakukan pengukuran jumlah retikulosit, jumlah eritrosit,

pengamatan morpologi eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit.

3.6.3. Pemeriksaan Retikulosit

Retikulosit dihitung menggunakan metode pewarnaan supravital. Sampel

darah dicampur dengan larutan brilliant cresyl blue (BCB) atau new methylene

blue maka ribosome akan terlihat sebagai filamen berwarna biru.

Sampel darah yang digunakan untuk menghitung retikulosit adalah darah arteri

dengan antikoagulan EDTA 1 %. Ke dalam tabung masukkan darah dan

pewarna dengan perbandingan 1 : 1, campur baik-baik, dibiarkan selama 15

menit agar pewarnaannya sempurna. Sediaan apus dibuat dari campuran itu,

kemudian biarkan kering di udara. Periksalah di bawah mikroskop dengan

perbesaran 100x. Eritrosit nampak biru muda dan retikulosit akan tampak

sebagai sel yang mengadung granula/filamen yang berwarna biru. Bila kurang

jelas waktu pewarnaannya diperpanjang atau dicat lagi dengan cat Wright.

Selajutnya jumlah retikulosit dalam 1000 sel eritrosit dihitung. Jika kesulitan

menghitung, dilakukan pengecilan medan penglihatan okuler dengan

(46)

perhitungan sebagai berikut : Jumlah retikulosit = (jumlah retikulosit per 1000

eritrosit : 10 ) %. (Depkes 1989)

3.6.4. Penentuan Jumlah Eritrosit

Jumlah eritrosit ditentukan dengan menggunakan metode manual. Jumlah

darah dihisap 0,5 skala dengan menggunakan pipet Thoma (pipet eritrosit)

kemudian reagensia Hayem dihisap sampai angka 101 lalu dicampur dengan

cara menggoyang pipet hingga rata. Darah yang melekat pada ujung pipet

bersihkan dengan kapas. Lalu Kamar hitung (counting chamber) ditutup

dengan cover glass. Kemudian biarkan selama 5 menit di atas kamar hitung

dan setelah itu diamati di bawah mikroskop dengan pembesaran 40 X lalu

dihitung jumlah eritrosit pada bagian kotak yang lebih kecil dari arah A, lalu

ke B, lanjut C kemudian D dan terakhir E. Setiap eritrosit yang dilihat

dihitung dengan bantuan mengklik Laboratory Counter untuk menghindari

kesalahan penghitungan dan hasilnya ditulis (Depkes 1989).

3.6.5. Pengamatan Morfologi Eritrosit

Pengamatan morfologi eritrosit ditentukan berdasarkan apusan darah .

Darah dituangkan satu tetes kecil pada kaca objek 2 - 3 mm dari ujung kaca

objek. Lalu diletakkan kaca penghapus dengan sudut 45 derajat terhadap kaca

objek di atas tetes darah. Kemudian ditarik kaca penghapus ke belakang

sehingga menyentuh tetes darah dan ditunggu sampai darah menyebar pada

sudut kiri dan kanan kaca objek tersebut. Setelah itu kaca penghapus didorong

(47)

kemudian biarkan hapusan darah hingga kering. Setelah itu sediaan hapusan

diletakkan di atas bak tempat pewarnaan. Kemudian sediaan hapusan difiksasi

dengan larutan metanol selama 2 - 3 menit. Setelah itu sediaan hapusan

digenangi dengan zat warna Giemsa 5%. Kemudian dibiarkan selama 20 -30

menit. Setelah itu dibilas dengan air keran, mula-mula dengan aliran lambat

kemudian lebih deras dengan tujuan menghilangkan semua kelebihan zat warna.

Lalu dibiarkan hingga kering dan setelah itu dilihat morfologi eritrosit di

bawah mikroskop cahaya dengan pembesaran 800 kali kemudian dihitung

jumlah eritrosit yang normal (Depkes, 1989). Dengan mikroskop eritrosit

akan tampak bulat. Pemeriksaan kelainan morfologi eritrosit meliputi

bentuknya (seperti cakram dengan ketebalan 1,5 - 2,5 µm) bagian tengah lebih

tipis daripada tepinya , ukuran diameter 5 - 7 µm dan tidak berinti (Depkes,

1989). Sampel dari setiap kelompok berjumlah 4 ekor mencit, setiap mencit

dibuat satu slide apusan darah. Untuk pengamatan morfologi dilakukan 4

lapangan pandang untuk setiap slide.

Cara penentuan hasil :

Morfologi abnormal: dihitung 100 sel eritrosit dan diantara yang 100

tersebut berapa sel yang morfologinya abnormal/100 dan dikali 100%, %

morfologi sel eritrosit abnormal = (sel eritrosit abnormal/100 sel darah merah) x

(48)

3.6.6. Pemeriksaan Kadar Hemoglobin

Pemeriksaan kadar hemaglobin dilakukan dengan menggunakan metode

sianmethomoglobin secara ringkas, diambil tabung reaksi 75 x 10 mm lalu

kedalamnya dimasukkan 5 ml regensia sianida dengan menggunakan pipet,

kemudian tambahkan 20 µl sampel darah. Setelah itu campurkan, bagian

mikropipet dibersihkan dengan tissue. Kemudian campurkan isinya hingga

merata dan biarkan pada suhu kamar selama 3- 5 menit. Setelah itu serapannya

dibaca dalam spektrofotometri pada panjang gelombang 540 nm dengan sianida

sebagai blangko, lalu kadar hemoglobin dibaca pada kurva kalibrasi (Soewoto

et al, 2001).

3.6.7. Penentuan Nilai Hematokrit

Darah dihisap dengan hematokrit kapiler dari tabung mikrotube ¾ dari

hematokrit kapiler tersebut. Setelah itu masukkan cairan pengencer

Natrium-oxalat 1,65% diisap sampai memenuhi separoh bola. Kemudian tabung ditutup

dengan ban karet yang khusus untuk itu. Lalu hematokrit kapiler dimasukkan

ke dalam hematokrit sentrifuge dengan bagian yang tersumbat mengarah ke

luar. Setelah itu hematokrit kapiler tersebut diputar selama 5 menit dengan

kecepatan 10.000 rpm. Kemudian catat tinggi volume eritrosit yang

dimaanfaatkan dan tinggi total volume darah pada pipet hematokrit. Penentuan

nilai hematokrit dibaca dengan perhitungan:

(49)

3.7. Pengukuran Kadar Alkohol Pada Tuak

Pemeriksaan ini menggunakan sampel tuak yang beredar di pasaran

yang di ambil dari satu sumber yang beredar di kota Medan. Sampel yang

diambil sebanyak 500 ml untuk setiap jenis sampel tuak yang ada kemudian di

ambil 100 ml untuk dipreparasi.

1. Preparasi sampel

Diambil 100 ml sampel menggunakan pipet volume dan dimasukkan ke

dalam labu alas bulat 250 ml di tambah 50 ml akuades, kemudian di destilasi.

Hasil destilasi ditampung pada labu ukur 100 ml hingga volume 90-95 ml

(Bowman dan Rand, 1980)

2. Validasi Metode Kromatografi Gas

a. Pembuatan seri larutan baku etanol.

Disiapkan seri baku dengan konsetrasi berikut:

Etanol p.a. (ml) n-butanol (ml) Konsentrasi akhir etanol % (v/v)

Etanol p.a. dan n-butanol dengan jumlah seperti tertulis di atas dimasukkkan

ke dalam labu ukur 100 ml.Volume 100,0 ml dicapai dengan penambahan

(50)

b. Pembuatan kurva baku etanol.

Satu mikroliter (1µl) larutan baku dari masing-masing konsentrasi

disuntikkan ke dalam kolom. Luas puncak etanol dan n-butanol dari

kromatogram dihitung,kemudian dicari rasio luas puncak etanol/n-butanol.

Kurva baku dibuat dengan memplotkan rasio luas puncak etanol/n-butanol vs

kadar etanol (% v/v). Persamaan kurva baku dicari denga regresi linear.

c. Penentuan recovery, kesalahan sistemik dan kesalahan acak.

Diambil 1 µl larutan etanol dengan kadar 0,1;0,2;0,3;dan 0,4 ml/100,0 ml

dan disuntikkan ke dalam kolom. Luas puncak etanol dan n-butanol dari

kromatogram dihitung, kemudian dicari rasio luas puncak etanol/n-butanol.

Kadar dihitung dengan persamaan regresi linier.

Recovery, kesalahan sistemik dan acak dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

Recovery = x 100 %

Kesalahan Sistemik = 100% - recovery

Kasalahan acak = x 100 %

d. Pengukuran Kadar Etanol Dengan Metode Kromatografi Gas

Larutan sampel minuman tuak yang telah didestilasi masing-masing diambil

0,1 ml menggunakan micropipet dan dimasukkan ke dalam labu ukuran 50

ml, kemudian ditambah 0,1 ml n-butanol dan diencerkan dengan akuades.

(51)

tempat injeksi. Luas puncak etanol dan n-butanol dari kromatogram dihitung,

kemudian dicari rasio luas puncak etanol dan n-butanol. Kadar etanol dalam

minuman tuak ditentukan dengan persamaan kurva baku. Metode ini

dilakukan pada setiap sampel tuak yang telah di destilasi untuk menentukan

kadar etanolnya. Prosedur di atas dilakukan selama 3 hari berturut-turut

untuk melihat tingkat kadar etanol di dalam nira aren asli, nira + raru, tuak

asli dan tuak yang di pasaran.

3.8. Analisis Data

Semua data dipresentasikan dalam bentuk rata-rata ± simpangan baku

XSD

. Dilakukan uji normalitas dan homogenitas, dari hasil penelitian didapatkan data dengan distribusi normal dan variansi datanya tidak homogen,

sehingga dilakukan uji dengan analisis Non Parametrik Kruskal Wallis. Bila

terdapat perbedaan nyata maka dilakukan uji lanjut Mann Witney untuk

melihat perbedaan masing-masing kelompok perlakuan yang ada. Bila data

berdistribusi normal dan variasi datanya homogen diuji dengan analisis

Parametrik Anova pada taraf 5% dan untuk melihat perbedaan masing-masing

perlakuan dilakukan uji lanjut post hoc Bonferroni.

 

 

(52)

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Hasil penelitian ditampilkan dalam bentuk grafik histogram dari

rata-rata data hasil analisis yang dilakukan selama 30 hari. Urutan tampilan hasil

dan pembahasan dari penelitian ini adalah : (1) Persentase retikulosit, (2)

Jumlah eritrosit, (3) Persentase morpologi eritrosit abnormal, (4) kadar

hemaglobin, (5) nilai hematokrit pada darah mencit yang diberi tuak.

4.1.1. Sel Darah Merah Muda ( Retikulosit)

Hasil pengukuran jumlah retikulosit mencit setelah perlakuan terdapat

pada Gambar 7. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata

jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi normal

dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan transformasi

data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi distribusi dan

variansi datanya masih tetap tidak homogen. Maka data tersebut diuji dengan

analisis non parametrik Kruskal Wallis. Hasilnya menunjukkan bahwa ada

perbedaan yang nyata (p<0,05; antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2,

P3, P4 dan P5). Sehingga dilakukan uji lanjut Mann Whitney untuk menentukan

perbedaan pada antara masing-masing perlakuan. Perbedaan tersebut kemudian

dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata

berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan

(53)

b

Gambar 7. Rata-rata jumlah (±SD) retikulosit darah mencit jantan setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Distribusi, homogenitas non parametrik Kruskal Wallis dan Mann Whitney).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai

          Hasil rata-rata jumlah eritrosit mencit jantan (Mus musculus L.) strain

DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E

0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 8. Hasil analisis

terhadap rata-rata retikulosit menunjukkan retikulosit berdistribusi normal dan

(54)

parametrik Anova pada taraf 5%. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan

yang nyata (p<0,05), antara tiap perlakuan penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan

P5). Sehingga dilakukan uji lanjut post hoc Bonferroni untuk menentukan

perbedaan antara masing-masing perlakuan.

 

Gambar 8. Rata-rata jumlah (±SD) eritrosit darah mencit jantan setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

(55)

4.1.3. Jumlah Morfologi Abnormal

Hasil rata-rata persentase morfologi eritrosit abnormal pada mencit

jantan (Mus musculus L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan

pemberian tuak 0,5 ml dan Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari

ditunjukkan pada Gambar 9. Hasil analisis terhadap rata-rata persentase

morfologi abnormal, menunjukan bahwa berdistribusi normal dan memiliki

varian homogen. Oleh karena itu data tersebut diuji dengan analisis parametrik

Anova pada taraf 5%. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata

(p<0,05), antara tiap perlakuan penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5). Sehingga

dilakukan uji lanjut uji post hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan

masing-masing perlakuan, terlihat bahwa semua perlakuan berpengaruh signifikan

terhadap rata-rata persentase morfologi abnormal. Membuktikan bahwa

persentase morpologi eritrosit abnormal setelah perlakuan pemberian vitamin E

lebih rendah dari sebelum pemberian vitamin E. Perbedaan tersebut kemudian

dilambangkan dengan notasi huruf kecil. Apabila terjadi perbedaan yang nyata

berarti notasinya dilambangkan dengan huruf kecil yang berbeda. Sedangkan

(56)

 

Gambar 9. Rata-rata jumlah (±SD) morfologi abnormal darah mencit jantan setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

(57)

c

b

a

Gambar 10. Gambar morfologi dan ukuran sel darah merah dengan pembesaran 800x dengan pewarnaan Giemsa pada mencit jantan setelah perlakuan, (A) Bentuk darah yang normal, oval ( ) dari slide Po sebagai kontrol; (B) bentuk darah yang abnormal; a. bulat atau oval dengan diameter <5 μm), b. tidak beraturan, c. pipih (▲)dari slide P2; (C) Contoh ukuran yang tidak normal ( = 4,17 μm) dari slide P3.

4,17μ

4.1.4. Kadar Hemoglobin

Data pengukuran kadar hemaglobin pada mencit jantan (Mus musculus

L.) strain DD Webster setelah diberi perlakuan pemberian tuak 0,5 ml dan

Vitamin E 0,33 mg selama 15 dan 30 hari ditunjukkan pada Gambar 11. Setelah

dilakukan uji normalitas dan homogenitas data rata-rata kadar hemaglobin,

maka didapatkan bahwa data berdistribusi normal dan variansi datanya

homogen. Oleh sebab itu data tersebut dapat diuji dengan analisis parametrik

Anova pada taraf 5 %. Hasilnya menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata

(p<0,05), antara perlakuan dalam penelitian (P0, P1, P2, P3, P4 dan P5).

Sehingga dilakukan post hoc Bonferroni untuk melihat perbedaan

masing-masing perlakuan penelitian. membuktikan bahwa semua perlakuan

berpengaruh signifikan terhadap kualitas hemoglobin mencit jantan. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa pemberian vitamin E berpengaruh secara

(58)

 

Gambar 11. Rata-rata kadar hemoglobin (±SD) pada mencit jantan setelah perlakuan. Huruf yang berbeda di atas histogram menunjukkan berbeda secara signifikan (Analisis parametrik Anova pada taraf 5% dan post hoc Bonferroni).

Keterangan:

P0 = diberi akuades 0,5 ml selama 30 hari,

P1 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan diberi akuades 0,5 ml pada 15 hari berikutnya

P2 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari.

P3 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 15 hari pertama dan 15 hari selanjutnya diberi vitamin E 0,33 ml

P4 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml selama 30 hari dan hari ke 16 sampai ke 30 ditambah vitamin E 0,33 mg

P5 = diberi tuak (alkohol 20%) 0,5 ml dan vitamin E 0,33 mg selama 30 hari.

4.1.5. Nilai Hematokrit

Hasil pengukuran jumlah hematokrit mencit setelah perlakuan terdapat

pada Gambar 12. Setelah dilakukan uji normalitas dan homogenitas data

rata-rata jumlah eritrosit mencit, maka didapatkan bahwa data tidak berdistribusi

normal dan variansi datanya tidak homogen. Oleh sebab itu dilakukan

transformasi data dan diuji kembali distribusi dan variansi datanya. Tetapi

Gambar

Gambar 1. Kerangka konsep pengaruh Vitamin E terhadap jumlah retikulosit, jumlah eritrosit, gambaran morpologi eritrosit, kadar hemoglobin dan nilai hematokrit darah mencit yang diberi tuak
Gambar 2. Metabolisme alkohol
Gambar. 3.  Skema Perkembangan Sel Darah (Depkes, 1989)
Tabel. 1, Gambaran hematologi mencit.
+7

Referensi

Dokumen terkait

Success Model's DeLone and McLean (studi kasus : Pemerintah kota Peklongan) Menyatakan bahwa penelitian ini adalah hasil pemikiran sendiri dan bukan duplikasi dari karya tulis

Berdasarkan hasil pengolahan dari SPSS penulis menyimpulkan bahwa controller memiliki peran yang cukup signifikan sebesar 50,3% dalam mendukung ketepatan pembayaran gaji dan upah

diketahui dapat berpengaruh pada jenis tanaman yang dijadikan sebagai inang. Kondisi serta keadaan dari lahan yang menjadi faktor utama

Based on Table 3, the average surface roughness value of the silorane-based composite resin in control group was higher than the methacrylate-based composite resin in control

The teeth whitening degree in group II (immersion in apple juice) was signiicantly diferent with group III (immersion in mineral water) with the signiicance value of 0.03 (p

Untuk mengetahui apakah para karkun dalam menjalin interaksi dengan orang lain lebih mengedepankan tindakan untuk menyenangkan diri ( Affective Neutrality ) atau menahan

Jika pada hari itu dia mendapatkan keuntungan sebesar 10%, maka besarnya pendapatan yang didapatkan pada hari itu adalah ..b. Dalam waktu satu minggu motor tersebut dijual

Dari hasil identifikasi sistem dihitung nilai kecocokan atau nilai fitness terhadap data keluaran yang sebenarnya untuk menghitungnya dengan mendapatkan nilai RMSE