• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini dilakukan di perusahaan peternakan babi CV Adhi Farm yang berlokasi di Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Janten, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah. Batas geografis Desa Sepreh sebelah utara, timur dan selatan adalah Desa Kemiri sedangkan sebelah barat adalah Desa Ngabean. Jarak lokasi peternakan babi CV Adhi Farm dari ibukota Kecamatan adalah 6 km dan 12 km dari ibukota Kabupaten. Luas lahan yang dimiliki oleh peternakan babi CV Adhi Farm adalah lima hektar dengan penggunaan dua hektar untuk perkandangan babi dan tiga hektar untuk fasilitas pendukung seperti kantor, gudang makanan dan mesin pengolah bahan makanan, mes tamu, tempat pengolahan limbah dan lain-lain. Letak geografis peternakan ini berada pada dataran rendah dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun.

4.2. Keadaan Iklim dalam Kandang selama Penelitian

Pencatatan suhu dan kelembaban dilakukan tiga kali sehari setiap hari dengan menggunakan termohygrometer yaitu pada pagi (08.00 WIB) siang (13.00 WIB) dan malam hari (22.00 WIB). Rataan suhu pada pagi, siang dan malam hari masing-masing adalah 20.61, 27.08 dan 21.76 0C. Kelembaban pada pagi, siang dan malam hari adalah 81.06, 54.55 dan 77.84%, sedangkan rataan suhu selama penelitian adalah 23.15 ± 1.41 0C dengan kelembaban 71.15 ± 8.01%. Suhu lingkungan penelitian masih diatas rataan suhu yang dibutuhkan oleh induk babi menyusui (Devendra & Fuller 1979). Kisaran suhu optimum bagi induk babi menyusui adalah 5-18 0

Suhu lingkungan mikro harus dimodifikasi agar sesuai dengan kebutuhan hidup ternak babi yang dipelihara di dalam kandang. Bila suhu terlalu tinggi, babi akan kehilangan panas evaporatif (terengah-engah), nafsu makan menurun, konsumsi air minum meningkat dan berusaha mencari kesejukan. Suhu yang terlalu rendah akan mengganggu kehidupan babi, sebab babi akan bertumbuh dengan baik di zona termonetralnya (Sihombing 2006). Keadaan iklim (suhu,

C (Devendra & Fuller 1979), sedangkan kelembaban optimum yang dibutuhkan oleh induk babi beranak adalah 70% (Goodwin 1974).

kelembaban, dan cuaca) selama dua bulan penelitian di lapangan diperlihatkan pada Gambar 7.

Gambar 6 Keadaan Iklim selama Penelitian

Cuaca selama penelitian memperlihatkan 86% cerah, 10% mendung dan 4% hujan. Cuaca yang cerah akan berkorelasi dengan suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah sehingga babi dapat terengah-engah. Lewis (2000) mengemukakan bahwa kisaran suhu untuk anak babi bobot 5-15 kg adalah 27-32

0

C, sedangkan untuk induk babi adalah 15-24 0

Modifikasi lingkungan sangat diperlukan apabila suhu lingkungan dibawah kisaran suhu terendah ataupun diatas suhu tertinggi pada babi. Suhu terendah yang dapat diterima anak dan induk babi masing-masing 15 dan -15

C.

0

C, sedangkan suhu tertinggi adalah 35 dan 32 0C. Apabila keadaan dibawah suhu terendah perlu dibantu dengan bedding, pemanas tambahan dan peralatan lain yang dapat meningkatkan suhu. Apabila melebihi suhu tertinggi perlu diberikan kipas angin atau alat pendingin. Pada penelitian ini, menjaga kesejukan yang ideal di dalam kandang diatur dengan memasang kipas angin di sisi kiri dan kanan kandang dan untuk mengantisipasi perbedaan suhu ideal bagi anak babi menyusu maka di dalam kandang induk babi beranak ditempatkan sebuah kotak kecil dengan lampu pijar sebagai alat pemanas didalamnya. Penggunaan lampu pijar ditujukan untuk menghindari anak babi dari kedinginan terutama pada malam hari. 21,8 27,1 20,6 Suhu (C) Pagi Siang Malam 77,8 54,5 81,1 Kelembaban (%) Pagi Siang Malam 86% 10% 4% Cuaca Cerah Mendung Hujan

4.3. Kandang Induk Babi Bunting dan Beranak

Kandang untuk induk babi bunting dan beranak masing-masing adalah kandang individu. Kandang induk babi bunting beralas lantai semen seperti diperlihatkan pada Gambar 7a, sedangkan untuk kandang induk babi beranak lantainya adalah slat besi seperti diperlihatkan pada Gambar 7b. Kandang induk babi bunting, kering dan calon induk berukuran 2.14 x 0.71 x 0.92 m3, sedangkan untuk induk babi beranak dan menyusui berukuran 2.00 x 1.75 x 0.95 m3 dan didalamnya diletakkan kotak berukuran 50 x 50 x 100 cm3 yang diberi penghangat pada tempat anak babi (Gambar 8).

Gambar 7 Kandang Induk Babi Bunting

Gambar 8 Kandang Induk Babi Beranak

4.4. Manajemen Induk Babi Bunting dan Menyusui

Manajemen rutin yang dilakukan pada induk babi bunting dan menyusui adalah pemberian ransum dua kali sehari, yaitu pada pagi (08.00 WIB) dan siang hari (13.00 WIB). Induk babi bunting diberi ransum 2-2.5 kg/e/h, sedangkan induk babi beranak dan menyusui disesuaikan dengan jumlah anaknya atau

berkisar 4-7 kg/e/h. Setelah pemberian ransum selesai dan ransumnya habis, maka dilanjutkan dengan pembersihan kandang dan tempat ransum baik pagi maupun siang hari. Pembersihan kandang dilakukan dengan cara menyemprotkan air dari selang dengan tekanan tinggi.

Induk babi bunting dipindahkan ke kandang induk beranak sekitar 7–10 hari sebelum tanggal prediksi induk babi akan beranak dan dilakukan secara berkelompok antara 6-10 ekor induk babi. Anak babi yang baru lahir ditangani dengan cara membersihkannya dari lendir yang menutupi hidung dan mulutnya, kemudian melumuri badannya dengan malstra. Malstra adalah antibiotik berbentuk tepung yang ditaburkan di seluruh badan anak babi sesaat setelah lahir dan dibersihkan. Malstra juga berfungsi untuk mempercepat proses pengeringan badan anak babi dari lendir.

Segera setelah anak babi lahir, tali pusar dan gigi dipotong dan diberi tanda bulan lahir dengan cara penyobekan pada daun telinga (ear notching) serta memotong 2/3 bagian ekor dari pangkalnya. Vaksinasi hog cholera dilakukan pada anak babi sebelum disapih. Anak babi prasapih diberi ransum prestarter

setelah berumur 10 hari. Penyapihan dilakukan pada umur ± 26 hari secara berkelompok dengan memindahkan induk ke kandang induk babi kering yang berdekatan dengan pejantan, sedangkan anak babi tetap tinggal di kandang induk beranak hingga berumur satu bulan. Hal ini dilakukan agar induk babi dapat cepat birahi kembali dan anak babi tidak terlalu mengalami cekaman karena tidak lagi mendapatkan air susu dari induknya. Desinfeksi dilakukan setiap hari Senin, Kamis dan Sabtu dengan menyemprotkan desinfektan ke seluruh bagian kandang.

4.5. Komposisi Nutrisi Ransum

Persyaratan nutrisi induk babi laktasi berdasarkan SNI (2006a) untuk abu, lemak dan serat kasar masing-masing maksimum 8, 8 dan 7%, sedangkan kandungan protein minimum 15%. Perbandingan antara SNI nutrisi induk babi laktasi (2006a) dengan hasil analisa proksimat ransum yang digunakan dalam penelitian maka dapat disimpulkan bahwa kadar lemak, protein dan serat kasar ransum penelitian memenuhi persyaratan untuk menjadi ransum induk babi. Hasil analisa proksimat ransum perlakuan pada Tabel 16 memperlihatkan, bahwa

semakin tinggi taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi, maka peningkatan kandungan protein, serat kasar dan abu terjadi dalam ransum, sebaliknya penurunan kadar lemak juga terjadi seiring dengan taraf penambahan TTB dalam ransum induk babi.

Tabel 16 Hasil Analisa Proksimat TTB, Ransum dan Daya Cerna

Bahan analisa

proksimat Abu Lemak Protein Serat kasar --- % BK --- TTB 15.39 4.61 23.55 8.26 R0 7.49 5.70 17.00 3.36 R1 9.70 5.66 17.20 4.54 R2 10.10 5.62 17.54 4.41 R3 10.88 5.57 17.91 4.79 Daya cerna R0 - 2.15 3.87 -11.41 Daya cerna R1 - 2.84 5.41 -6.34 Daya cernaR2 - 2.53 5.32 -8.05 Daya cerna R3 - 2.49 4.09 -7.08

Keterangan: KA= kadar air, BK= bahan kering, R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB,

Sumber: Pusat Antar Universitas IPB (2011)

Kecernaan protein dan lemak dari ransum diperoleh dengan cara mengurangi kandungan protein dan lemak yang ada didalam ransum dengan yang ada di dalam feses. Daya cerna protein ransum oleh induk babi dengan ransum R1 (5.41 %) adalah yang paling tinggi sebaliknya ransum R0 (3.87 %) adalah yang paling rendah. Daya cerna lemak yang tertinggi adalah pada ransum R1 (2.84 %) dan yang paling rendah adalah pada ransum R0 (2.15 %).

Peningkatan penggunaan lemak dan protein ransum lebih tinggi pada ransum dengan penambahan TTB dalam ransum induk babi. Hal ini sesuai dengan pendapat Sahelian (2006) yang menyatakan, bahwa senyawa forskolin yang terkandung dalam TTB bersifat merombak lemak menjadi energi. Khajarern dan Khajarern (2002) menyatakan bahwa penambahan thymol dan carvacrol dalam ransum ternak akan membantu proses pencernaan dan meningkatkan kecernaan protein.

Peningkatan kandungan abu dan serat kasar didalam ransum tidak diikuti oleh kandungan yang sama dalam feses, sebaliknya di dalam feses terjadi penurunan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan penambahan TTB dalam ransum

induk babi maka daya cerna serat kasar akan lebih baik. Kandungan serat kasar yang tinggi pada feses induk babi yang memperoleh rasum R0 juga diikuti oleh kandungan abu yang tinggi. Semakin tinggi serat kasar maka semakin rendah energi yang dapat dicerna, penyebabnya adalah kandungan serat kasar yang tinggi berakibat pada semakin rendahnya kandungan pati, gula dan lemak. Secara fisik serat kasar merintangi pencernaan gula, pati dan lemak. Serat kasar yang tinggi juga akan mengakibatkan meningkatnya konsumsi makanan (Sihombing 2006).

4.6. Pengaruh Perlakuan terhadap Penampilan Reproduksi Induk Babi 4.6.1. Konsumsi Ransum Harian Induk Babi

Hasil pengamatan memperlihatkan konsumsi TTB oleh induk babi yang diberikan pada W1untuk R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 0, 0.05, 0.10 dan 0.15 kg/e/h. Hasil pengamatan menunjukkan rataan konsumsi ransum harian (KRH) induk babi selama laktasi adalah 3.44 ± 0.39 kg/e/h dengan koefisien keragaman sebesar 11.60%. Rataan KRH induk babi selama penelitian selengkapnya diperlihatkan pada Tabel 17.

Tabel 17 Konsumsi Ransum Harian Induk Babi

Pemberian Ransum Rataan

R0 R1 R2 R3

--- (kg/e/h) --- W1 3.86 ± 0.27 2.97 ± 0.21 3.22 ± 0.42 3.42 ± 0.35 3.36 ± 0.44 W2 3.54 ± 0.51 3.35 ± 0.20 3.77 ± 0.34 3.39 ± 0.33 3.51 ± 0.35 Rataan 3.70± 0.40 3.16 ± 0.28 3.49 ± 0.46 3.40 ± 0.30

Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah induk beranak

Analisis ragam memperlihatkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian serta interaksinya tidak berpengaruh terhadap KRH induk babi. Konsumsi ransum harian induk babi yang tinggi akan meningkatkan produksi air susu induk dan pertumbuhan anak babi yang disusui. Penelitian Khajarern dan Khajarern (2002) menyatakan, bahwa pemberian 60 g carvacrol

dan 55 g thymol per ton pakan dapat meningkatkan KRH induk babi laktasi, membantu mencerna makanan dan meningkatkan palatabilitas. Kandungan

senyawa aktif carvacrol dan thymol yang ada dalam TTB tidak mampu menaikkan KRH induk babi didalam penelitian ini.

Agus (2009) menyatakan bahwa KRH induk babi yang ditambahkan tepung daun bangun-bangun hingga 3.75% dalam ransumnya adalah 4.10 ± 0.35 kg/e/h. Hasil tersebut lebih tinggi daripada rataan hasil penelitian ini (3.97 ± 0.46 kg/e/h), tetapi lebih tinggi daripada penelitian Simorangkir (2008) yang menyatakan dengan pemberian 0.1% ekstrak daun katuk, rataan KRH babi selama laktasi adalah 2.94 ± 0.042 kg/e/h. Hal ini terjadi mungkin karena perbedaan babi yang digunakan dan juga manajemen pemberian pakan yang relatif terbatas. Jika dibandingkan dengan pernyataan Sihombing (2006) maka KRH induk babi dalam penelitian ini jauh lebih rendah karena perkiraan kebutuhan induk babi laktasi adalah 2 kg + (9.91x 0.5 kg) atau 6.99 kg/e/h.

Pengamatan KRH induk babi perlu dilakukan secara periodik untuk mengetahui pola konsumsi dan perbedaan konsumsi induk babi selama masa laktasi. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan, bahwa interaksi antara taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberiannya pada induk babi berpengaruh nyata (P<0.05) terhadap KRH induk babi pada hari ke-10 laktasi, tetapi tidak berpengaruh pada hari ke-5, 15 dan 20 laktasi. Tabel 18 memperlihatkan KRH induk babi setiap lima hari selama 20 hari laktasi.

Tabel 18 Konsumsi Ransum Harian Induk Babi setiap Lima Hari Pengukuran

Perlakuan KRH induk babi Hari ke- Rataan

5 10 15 20 --- (kg/e/h) --- R0W1 2.35 3.93c 3.86 4.18 3.58 R1W1 2.34 3.18abc 3.18 3.67 3.09 R2W1 1.47 2.67a 2.51 2.71 2.34 R3W1 1.52 3.40abc 2.93 3.32 2.79 R0W2 1.35 2.80ab 3.02 3.17 2.59 R1W2 2.27 3.47abc 3.86 4.05 3.41 R2W2 1.97 3.23abc 3.00 3.29 2.87 R3W2 1.77 3.60bc 3.08 2.98 2.86 Rataan 1.88 3.29 3.18 3.42 2.94

Keterangan: Superskrip huruf kecil yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil berbeda nyata (P<0.05), R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak

Pada hari ke-10 laktasi KRH induk babi perlakuan R0W1 (3.93 kg/e/h) adalah yang tertinggi dan berbeda nyata (P<0.05) dengan KRH induk babi pada

perlakuan R2W1 (2.67 kg/e/h), dan R0W2 (2.80 kg/e/h) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Konsumsi ransum harian pada perlakuan R2W1 (2.67 kg/e/h) adalah terendah dan berbeda nyata (P<0.05) dengan perlakuan R0W1 (3.93 kg/e/h) dan R3W2 (3.60 kg/e/h) tetapi tidak berbeda dengan perlakuan lainnya. Gambar 10 memperlihatkan peningkatan KRH induk babi hingga hari ke-10 laktasi kemudian terjadi penurunan KRH dari laktasi hari ke-10 hingga hari ke-15 kecuali pada perlakuan R1W2 dan R0W2. Peningkatan konsumsi yang tetap terjadi pada perlakuan ini, diduga berkaitan dengan umur induk babi yang dipakai. Paritas induk babi menentukan KRH induk babi (Sihombing 2006). Paritas induk babi pada perlakuan R1W2 dan R0W2 masing-masing adalah 5 dan 3.67. Pada hari ke-15 hingga ke-20 laktasi masih terjadi peningkatan KRH induk babi kecuali pada perlakuan R3W2. Setelah diamati dari catatan harian KRH induk babi terlihat bahwa salah satu induk babi pada perlakuan R3W2 terjadi nafsu makan yang menurun pada hari ke-17 dan ke-18 laktasi masing-masing menjadi 2 dan 2.17 kg/e/h. Induk babi tersebut sakit dan telah disuntik antibiotik

sothapen, sedangkan anaknya yang mengalami mencret diberi multivitamin Hidro Rex Vital dan obat mencret Quixalud. Gambar 9 selengkapnya memperlihatkan KRH induk babi per lima hari pengamatan hingga hari ke-20 laktasi.

Gambar 9 Grafik Konsumsi Ransum Harian Induk Babi per Lima Hari

1,00 1,50 2,00 2,50 3,00 3,50 4,00 4,50 5 10 15 20 K o ns um si R ans um I nd uk (kg/ e/ h)

Hari Laktasi ke-

R0W1 R1W1 R2W1 R3W1

Wening (2008) menyatakan bahwa penurunan konsumsi ransum pada mencit dengan taraf penambahan tepung daun bangun-bangun yang semakin meningkat disebabkan bangun-bangun menurunkan palatabilitas, hal ini sesuai dengan pernyataan Sutardi (1981), bahwa faktor umum yang dapat mempengaruhi konsumsi ransum adalah palatabilitas ternak terhadap ransum yang diberikan. Palatabilitas ransum menurun karena kandungan serat kasar TTB yang tinggi yaitu sebesar 8.26% dari bahan kering (Tabel 16). Hal ini mengakibatkan, semakin tingginya taraf penambahan TTB dalam ransum maka serat kasar dalam ransum juga semakin meningkat dan menurunkan konsumsi ransum, tetapi berbeda dengan penelitian Rumetor (2008) yang menyatakan, bahwa suplementasi daun bangun-bangun didalam ransum dapat meningkatkan konsumsi hijauan pada kambing perah. Peningkatan konsumsi ransum pada kambing perah sangat nyata seiring dengan peningkatan suplemen daun bangun-bangun hingga 9 g/kg bobot badan.

Cross et al. (2007) dalam penelitiannya pada ayam umur 7-28 hari, telah membuktikan, bahwa penggunaan tanaman yang mengandung carvacrol seperti bangun-bangun menghasilkan penampilan ayam lebih baik berdasarkan pengamatan terhadap kecernaan zat makanan dan jumlah mikroflora negatif dalam saluran pencernaan. Selain kandungan nutrisi diduga ada senyawa lain dalam daun bangun-bangun yang berperan dalam meningkatkan selera makan. Secara pasti faktor tersebut belum diketahui, namun menurut Sahelian (2006), dalam beberapa tanaman herba terdapat senyawa yang dapat mempengaruhi sistem syaraf pusat dalam hal pengaturan rasa lapar. Senyawa tersebut dapat meningkatkan atau menurunkan rasa lapar. Namun senyawa tersebut belum teridentifikasi. Lawrence et al. (2005) menyatakan, bahwa dalam daun bangun- bangun terdapat golongan senyawa farmakoseutika yang peranannya bervariasi diantaranya berhubungan dengan palatabilitas.

4.6.2. Lama Bunting

Rataan lama bunting induk babi selama penelitian adalah 113.13 ± 2.03 hari dengan koefisien keragaman (KK) 1.79%. Hasil pengamatan lama bunting dalam penelitian ini (113.13 ± 2.03 hari) tidak berbeda jauh dengan pendapat Eusebio (1980) yang menyatakan, bahwa umur kebuntingan ternak babi berkisar

112-120 hari dengan rataan 114 hari, sedangkan hasil penelitian Yoga (1988) rataan lama bunting ternak babi adalah 113.5 hari dan menurut Hartoyo (1995) dengan rataan lama bunting 114.43 hari. Secara rinci rataan lama bunting babi untuk tiap perlakuan diperlihatkan pada Tabel 19.

Tabel 19 Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Bunting

Pemberian Ransum Rataan

R0 R1 R2 R3

--- (hari) --- W1 113.3 ± 1.15 112.0 ± 2.00 114.3 ± 2.52 112.6 ± 2.08 113.0 ± 1.93 W2 112.6 ± 2.00 111.6 ± 3.00 113.0 ± 1.00 115.3 ± 3.00 113.1 ± 2.21 Rataan 113.0 ± 1.26 111.8 ± 2.04 113.6 ± 1.86 114.0 ± 2.53

Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah beranak

Hasil analisis ragam menunjukkan, bahwa taraf penambahan tepung tanaman bangun-bangun (TTB) dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh terhadap lama bunting. Hal ini dapat dipahami karena lama atau umur kebuntingan lebih banyak dipengaruhi oleh faktor dalam (faktor genetik) daripada faktor luar. Tabel 19 memperlihatkan, bahwa lama bunting berdasarkan waktu pemberian yang berbeda yaitu pada pemberian W1 (113.0 ± 1.93 hari) sedikit lebih singkat daripada W2 (113.1 ± 2.21 hari). Hal ini diduga terjadi karena pemberian TTB pada induk babi sebelum beranak mempercepat proses kelahiran. Lama bunting berdasarkan taraf TTB dalam ransum yang diberikan pada W1, dengan ransum R1 (112.0 ± 2.00 hari) adalah yang paling singkat dan ransum R2 (114.3 ± 2.52 hari) adalah yang paling lama.

Hafez (1980) menyatakan, bahwa faktor yang mempengaruhi lama bunting ternak babi antara lain adalah induk, jumlah anak yang dikandung dan bangsa babi itu sendiri. Hasil analisa korelasi diperoleh bahwa terdapat korelasi nyata (P<0.05) antara lama bunting dengan paritas dan liiter size. Paritas induk babi yang digunakan dalam penelitian diperlihatkan pada Gambar 10.

Gambar 10 Rataan Paritas Induk Babi Penelitian

Semakin banyak litter size lahir maka umur kebuntingan induk babi akan semakin lama, tetapi jika paritas induk babi semakin besar maka lama bunting induk babi akan semakin singkat. Gambar 10 memperlihatkan induk babi pada perlakuan R1W2 adalah yang paling sering beranak (5.00 kali) dan R3W2 adalah yang paling jarang beranak (1.33 kali).

4.6.3. Waktu dan Lama Lahir Anak Babi

Menurut waktu beranak, induk babi paling banyak beranak (58%) pada malam hari (jam 18.00-06.00 WIB). Pada pagi dan sore hari ( jam 06.00-10.00 dan 14.00-18.00 WIB) merupakan waktu yang sama banyaknya untuk induk babi beranak yaitu masing-masing 17%, tetapi pada siang hari (10.00 – 14.00 WIB) adalah jumlah yang paling sedikit karena hanya 8% induk babi beranak. Pada waktu malam hari induk babi merasa tenang, kondisi iklim sesuai bagi induk babi untuk beranak dengan rataan suhu dan kelembaban masing-masing adalah 20.610C dan 81.06%, menyebabkan induk babi lebih banyak beranak. Lama waktu induk babi beranak diperoleh dari selisih waktu ketika anak pertama hingga anak yang terakhir lahir. Gambar 11 selengkapnya memperlihatkan persentase induk babi beranak berdasarkan waktu.

2,67 3,00 3,67 2,67 3,67 5,00 2,33 1,33 0,00 1,00 2,00 3,00 4,00 5,00 6,00 R0 R1 R2 R3 P ar ita s k e- Ransum perlakuan W1 W2

Gambar 11 Induk Babi Beranak Berdasarkan Waktu

Hasil pengamatan memperlihatkan, bahwa lama waktu proses kelahiran per litter dan per ekor anak babi masing-masing adalah 128.0 ± 45.7 menit/litter

dan 12.8 ± 4.82 menit/ekor. Hal ini menunjukkan, bahwa lama waktu proses beranak induk babi pada penelitian ini lebih singkat bila dibandingkan dengan pendapat Sihombing (2006) yang menyatakan, bahwa lama proses kelahiran per

litter dapat berlangsung dengan rataan 150 menit/litter. Hasil penelitian mengenai lama waktu proses lahir anak babi per litter size dan per ekor selengkapnya ditunjukkan pada Tabel 20.

Tabel 20 Pengaruh Perlakuan terhadap Lama Waktu Induk Babi Beranak

Pemberian Ransum Rataan

R0 R1 R2 R3 --- (menit/litter) --- W1 132.6 ± 36.0 104.0 ± 28.5 159.3 ± 50.8 71.5 ± 23.3 121.0 ± 45.3 W2 104.7 ± 45.7 112.5 ± 7.7 148.6 ± 62.1 166.6 ± 39.1 135.0 ± 47.3 Rataan 118.6 ± 39.8 107.4 ± 21.1 154.0 ± 51.1 128.6 ± 39.1 --- (menit/ekor) --- W1 12.0 ± 4.36 13.0 ± 5.29 13.3 ± 5.86 8.5 ± 3.54 12.0 ± 4.56 W2 13.0 ± 3.61 11.5 ± 2.12 15.0 ± 9.64 14.3 ± 4.04 13.6 ± 5.16 Rataan 12.5 ± 3.62 12.4 ± 3.97 14.1 ± 7.19 12.0 ± 4.64

Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107; W2 = waktu sesaat setelah induk babi beranak

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa taraf penambahan TTB dalam ransum dan waktu pemberian pada induk babi serta interaksi keduanya tidak berpengaruh nyata terhadap lama waktu induk babi beranak baik per litter size

pagi siang sore malam

maupun per ekor anak babi. Lama waktu induk babi beranak pada pemberian W1 (121 ± 45.3 menit/litter dan12.0 ± 4.56 menit/ekor) sedikit lebih singkat daripada W2 (135 ± 47.3 menit/litter dan13.6 ± 5.16 menit/ekor).

Lama waktu induk babi beranak pada pemberian W1 sedikit lebih singkat daripada W2. Hal ini mungkin terkait dengan konsumsi TTB yang ditambahkan dalam ransum induk babi. Senyawa aktif 3-ethyl-3- hydroxy-5-alphaandostran- 17-one yang terkandung didalam TTB memacu ovarium induk babi untuk menghasilkan estradiol. Estradiol diteruskan ke hipotalamus yang akan merangsang hipofisa posterior untuk melepaskan oksitosin (Suprayogi 2000). Hormon PGF2α juga meningkatkan sensitivitas uterus terhadap oksitoksin, dengan demikian kontraksi menjadi semakin kuat. Kontraksi yang semakin kuat ini mempercepat proses beranak pada induk babi. Relaksin dan mungkin PGF2α membantu ligamen pelvis menjadi lebih relaks dan melebarkan serviks. Sudah tentu dengan mengendornya serviks, kelahiran akan segera terjadi. Pada saat akan melahirkan, hipotalamus fetus juga menghasilkan ACTHRH (pelepas hormon ACTH). Ini menyebabkan lonjakan sekresi ACTH fetus yang kemudian menyebabkan meningkatnya sekresi kortisol. Kortisol melewati plasenta dan mengakibatkan peningkatan PGF2α, peningkatan kadar estrogen, dan penurunan progesteron. PGF2α menyebabkan kontraksi miometrium, yang merangsang pelepasan oksitosin yang membantu mempertahankan kontraksi miometrium tersebut (Tomaszewska et al. 1991).

Konsumsi TTB oleh induk babi yang diberikan pada W1 untuk R0, R1, R2 dan R3 masing-masing adalah 0, 0.05, 0.10 dan 0.15 kg/e/h. Lama waktu beranak pada pemberian W1 dengan ransum R3 (8.5 ± 3.54 menit/ekor) adalah yang paling cepat, sedangkan dengan ransumR1 dan R2(13.0 ± 5.29 dan 13.3 ± 5.86 menit/ekor) hanya sedikit berbeda dengan kontrol.

Tanaman bangun-bangun mengandung 3-ethyl-3- hydroxy-5-alpha andostran-17-one yang secara hormonal akan merangsang pituitary untuk menghasilkan oksitoksin yang berperan dalam kelancaran proses beranak dan memproduksi air susu. Penyuntikan oksitosin untuk memperlancar proses kelahiran anak babi di peternakan sangat umum dilakukan, sehingga tanaman bangun-bangun memungkinkan dapat menggantikan peran oksitoksin untuk

membantu proses kelahiran pada babi (Lawrence et al. 2005). Daun bangun- bangun juga mengandung kalium yang berfungsi sebagai pembersih darah, melawan infeksi, mengurangi rasa nyeri dan menimbulkan rasa tenang (Mepham 1987).

Penambahan TTB dalam ransum induk babi diharapkan dapat mengurangi rasa sakit dan nyeri saat beranak dan menenangkan induk babi. Damanik et al. (2006) telah meneliti seyawa aktif dalam bangun-bangun yang bermanfaat membantu mengontrol postpartum bleeding dan berperan sebagai uterine cleansing agent pada ibu melahirkan, dan hal ini diharapkan juga terjadi pada induk babi yang beranak. Rasa tenang dan berkurangnya rasa sakit karena penambahan TTB dalam ransum dapat mempercepat proses beranak pada induk babi.

4.6.4. Litter Size Lahir

Rataan litter size lahir total pada penelitian ini seperti terlihat pada Tabel 21 adalah 10.34 ± 2.81 ekor dengan koefisien keragaman (KK) 29.87%, sedangkan litter size lahir hidup adalah 10.04 ± 3.11 ekor dengan KK 26.68%. Secara rinci pengaruh perlakuan terhadap litter size lahir total dan hidup diperlihatkan pada Tabel 21.

Tabel 21 Pengaruh Perlakuan terhadap Litter Size Lahir Total dan Hidup

Pemberian Ransum Rataan

R0 R1 R2 R3

--- Lahir total (ekor/litter) --- W1 11.33 ±1.58 9.00 ± 4.00 12.33 ± 1.52 10.00 ± 4.58 10.67 ± 3.05 W2 7.66 ± 1.52 11.67 ± 3.06 10.67 ± 3.06 11.67 ± 1.52 10.42 ± 2.67 Rataan 9.50 ± 2.43 10.33 ± 5.00 11.50 ± 2.34 10.83 ± 3.19

--- Lahir hidup (ekor/litter) --- W1 10.67 ± 2.08 8.33 ± 4.04 12.00 ± 1.73 9.67 ± 5.13 10.17 ± 3.33 W2 7.00 ± 1.73 9.67 ± 2.08 10.33 ± 3.51 11.67 ± 1.53 9.67 ± 2.67 Rataan 8.83 ± 2.64 9.00 ± 2.97 11.17 ± 2.64 10.67 ± 3.56

Keterangan: R0 = ransum kontrol, R1= ransum kontrol + 2.5% TTB, R2 = ransum kontrol + 5% TTB, R3 = ransum kontrol + 7.5% TTB, W1 = waktu kebuntingan hari ke-107, W2 = waktu sesaat setelah beranak

Dokumen terkait