• Tidak ada hasil yang ditemukan

atus Anemia Contoh Sebelum Perlakuan r hemoglobin pada kelompok S adalah 11.93 G adalah 11.94 ± 1.24 g/dL. Uji beda t me

yang nyata kadar hemoglobin kedua kelo Kadar hemoglobin contoh disajikan pada Lam gambarkan bahwa sebagian besar contoh men pada penelitian ini lebih rendah jika diban

(2008) yang melaporkan bahwa prevalensi Anggraeni (2004) sebesar 48.1%. Prevalen ng tinggi jika dibandingkan dengan standar

Karakteristik Contoh

contoh pada kelompok S dan kelompok SP 19.0 ± 0.4 dan 18.9 ± 0.5 tahun. Berdasar ok S didominasi oleh kelompok remaja mene asi oleh kelompok usia remaja akhir (Guna

t perbedaan nyata usia contoh kedua kelompo

Gambar 2 Sebaran contoh menurut usia 0

Rentang usia contoh (tahun) S SPG l 5 Sebaran contoh berdasarkan status anemia

Kadar nsi anemia pada yang ditetapkan

PG hampir sama, rkan Gambar 2, engah sedangkan

arsa & Gunarsa ok (p>0.05).

Uang Saku

Rata-rata uang saku pada kelompok S adalah Rp763 333.3 ± 251 045.4 sedangkan SPG adalah Rp783 333.3 ± 423 906.8. Uji beda t menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata pada uang saku kedua kelompok (p>0.05). Sumber uang saku contoh pada kelompok S berasal dari orangtua (40%), beasiswa (26.7%), dan gabungan dari orangtua dan beasiswa (33.3%). Pada kelompok SPG sumber uang saku berasal dari orangtua (41.7%), beasiswa (33.3%), dan gabungan dari orangtua dan beasiswa (25%). Secara umum, sumber uang saku sebagian besar contoh berasal dari orang tua. Sebaran uang saku contoh dapat dilihat pada Gambar 3.

Pengeluaran Pangan

Rata-rata pengeluaran pangan per bulan sebelum perlakuan pada kelompok S adalah Rp478 000 ± 105 437.9 dan pada kelompok SPG adalah Rp482 500 ± 126 284.3. Uji beda t menunjukkan tidak ada perbedaan nyata pengeluaran pangan pada kedua kelompok perlakuan (p>0.05). Pengeluaran pangan contoh kedua kelompok setelah perlakuan tidak mengalami perubahan. Pengeluaran pangan disajikan pada Lampiran 4.

Rata-rata proporsi pengeluaran pangan terhadap uang saku contoh pada kelompok S adalah 70.2% dan pada kelompok SPG adalah 75%. Hal tersebut menunjukkan pangan mendapatkan proporsi terbesar dalam pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari contoh pada kedua kelompok. Menurut Soemardi dan Evens (1985) diacu dalam Puri (2007), kelompok masyarakat berpendapatan rendah umumnya memiliki proporsi pengeluaran terbesar yang digunakan untuk memenuhi kebutuhan makanan. Tabel 6 menunjukkan terdapat kecenderungan semakin tinggi uang saku yang diperoleh contoh maka pengeluaran pangan per bulan semakin besarpada kedua kelompok.

Gambar 3 Sebaran contoh berdasarkan uang saku/bulan 53.4

500-700 700-1 000 1 000-1 500 ≥1 500

Persentase (%)

Jumlah uang saku/bulan (dalam ratusan ribu rupiah) S SPG

Tabel 6 Uang saku dan rata-rata pengeluaran pangan contoh Pengelompokan uang

saku (Rupiah)

Rata-rata pengeluaran pangan (Rupiah)

S SPG Total

500 000 470 000 ± 121 244 450 000 ± 150 000 460 000 ± 122 474 5000 000 – 1 000 000 483 000 ± 83 006 535 714 ± 118 019 504 706 ± 99 065 1 000 000 – 1 500 000 645 000 ± 360 624 450 000 580 000 ± 278 747

>1 500 000 - 600 000 600 000

Karakteristik Sosial Ekonomi Keluarga

Latar belakang pekerjaan orangtua contoh pada kedua kelompok cukup beragam (Tabel 8). Pekerjaan orangtua pada kedua kelompok perlakuan didominasi oleh wiraswasta (37.5%), swasta (25%) dan PNS (25%). Sebagian besar pendapatan orangtua contoh pada kedua kelompok berada dalan rentang 1-2 juta/bulan (44.4%) dan 2-3 juta.bulan (29.6%). Rata-rata penghasilan orangtua kelompok S adalah Rp2 240 000 dan pada kelompok SPG adalah Rp3 065 192 (p>0.05).

Keadaan Menstruasi

Umur pertama kali menstruasi contoh pada kedua kelompok berkisar antara 11-16 tahun. Keadaan menatruasi contoh dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 8 Karakteristik contoh menurut keadaan menstruasi Keadaan menstruasi Kelompok

S SPG p Tabel 7 Karakteristik sosial ekonomi keluarga contoh menurut kelompok

perlakuan

Sebagian besar contoh pada kedua kelompok menyatakan mengalami keluhan menjelang dan pada saat menstruasi dengan jenis keluhan diantaranya keram di bawah perut, sakit pinggang, pusing, timbulnya jerawat, badan lesu, lebih emosional, dan merasa nyeri pada payudara. Persentase skor keluhan dapat dilihat pada Gambar 3. Pada kedua kelompok, tampak keluhan saat menstruasi lebih banyak dirasakan daripada keluhan menjelang menstruasi.

Status Gizi Antropometri

Rata-rata berat badan pada kelompok S lebih besar daripada kelompok SPG, namun tidak menunjukkan perbedaan nyata (p>0.05). Presentase contoh yang memiliki berat badan di bawah 50 kg (WNPG 2004) masih tergolong besar, yaitu 40% pada kelompok S dan 42% pada kelompok SPG (p>0.05).

Gambar 4 Sebaran sampel yang mengalami keluhan menjelang dan saat menstruasi

Tabel 9 Rata-rata berat badan, tinggi badan, dan indeks masa tubuh (IMT) contoh menurut kelompok sebelum dan sesudah perlakuan

Antropometri Kelompok

Total p

Normal 73.3 75.0 74.1

Gemuk sehat 6.3 8.3 7.4

Normal 73.3 66.7 70.4

Gemuk sehat 13.3 16.7 14.8

Obes I 6.7 0.0 3.7

Proporsi contoh yang mempunyai tinggi badan di bawah 154 cm (WNPG 2004) yaitu 33% pada kelompok S dan 50% pada SPG. Kekurangan zat besi pada masa remaja dapat menyebabkan tidak tercapainya tinggi badan optimal (Depkes 1998), sehingga diduga sebagian besar contoh mengalami defisiensi zat besi.

Batasan 50 kg untuk berat badan dan 154 cm untuk tinggi badan adalah batasan usia remaja yaitu kurang dari 20 tahun (WNPG 2004).

Setelah intervensi, rata-rata berat badan contoh pada kedua kelompok cenderung menurun namun tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (p>0.05). Sebagian besar status gizi contoh pada kedua kelompok adalah normal.

Uji beda t (Paired Sample T-Test) menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata nilai IMT kedua kelompok sebelum dan setelah perlakuan (p>0.05).

Status gizi merupakan salah satu faktor penting untuk menentukan diagnosis anemia (Soemantri 1978 dalam Adriyani 2008). Uji Spearman menunjukkan semakin baik status gizi awal semakin besar peningkatan kadar hemoglobin contoh, namun hubungan tersebut tidak signifikan (p = 0.364 dan r = 1.000). Hal ini sejalan dengan penelitian Andriyani (2008) dan Briawan (2008) yang menyatakan tidak terdapat hubungan antara status gizi antropometri dengan peningkatan kadar hemoglobin. Berat badan, tinggi badan dan IMT contoh dapat dilihat pada Lampiran 5.

Pengetahuan Gizi

Jenis pertanyaan yang paling banyak dijawab salah oleh contoh pada kedua kelompok sebelum perlakuan adalah pertanyaan tentang zat-zat gizi dan kelompok rawan anemia (Gambar 5). Hal ini bisa dimengerti karena tidak semua contoh memperoleh informasi atau pengetahuan tentang interaksi zat gizi. Pertanyaan lain yang banyak dijawab salah adalah definisi anemia. Tabel 10 menunjukkan presentase jawaban benar berdasarkan jenis pertanyaan sebelum dan setelah perlakuan pada kedua kelompok.

Tingkat pengetahuan gizi awal kedua kelompok tergolong kurang

dikarenakan contoh pada kedua kelompok tidak mengetahui dan tidak mendapatkan informasi terkait anemia (Tabel 11). Contoh kelompok S tidak menunjukkan adanya peningkatan pengetahuan gizi dan terlihat adanya peningkatan pada kelompok SPG. Peningkatan pengetahuan gizi pada kelompok SPG dikarenakan intervensi pendidikan gizi yang diberikan. Menurut Khomsan et Tabel 10 Persentase jawaban benar berdasarkan jenis pertanyaan sebelum dan

setelah perlakuan Jenis pertanyaan

Kelompok

S SPG Pre Post Pre Post Definisi anemia dan kelompok rawan 63.3 53.3 43.3 68.3

Interaksi zat-zat gizi 20.2 17.9 8.3 88.1

Tanda dan akibat anemia 52.1 52.1 47.9 64.6 Pencegahan dan penanggulangan anemia 50.0 45.8 39.6 79.2

al. (2007) penyuluhan giz gizi.

Meskipun begitu, m pengetahuan gizi kurang contoh susah mengingat kurangnya motivasi contoh penelitian Zulaekah (2007) Gambar 5 Sebaran jawaban perlakuan pada ke

Tabel 11 Sebaran contoh sebelum dan se

i merupakan upaya untuk meningkatkan pe masih terdapat contoh kelompok SPG deng sebanyak 8.4%. Hal ini kemungkinan terja

materi pendidikan gizi yang telah dibe h dalam mengikuti pertemuan pendidikan g n jawaban benar dapat dilihat pada Lampiran

njukkan pendidikan gizi yang diberikan efe an gizi (p<0.05). Beberapa penelitian me kan gizi dapat meningkatkan pengetahuan g

nelitian Dwiriani (2012) pada remaja putri pada siswa SD kelas 5 dan 6.

benar berdasarkan jenis pertanyaan sebelum edua kelompok

h berdasarkan tingkat pengetahuan gizi contoh etelah perlakuan

ngetahuan Kelompok (%)

S SPG

Sikap Gizi

Sebelum intervensi, sebanyak 33.3% contoh kelompok S dan 50% contoh kelompok SPG menunjukkan sikap positif terhadap kebiasaan minum teh setelah makan. Sikap tersebut muncul diduga karena pengaruh kebiasaan yang tumbuh di masyarakat. Kebiasaan tersebut dapat menjadi pengarah sikap terhadap berbagai masalah (Azwar 2012). Sebagian besar contoh setuju dengan kebiasaan makan teratur 3 kali sehari dengan memperhatikan gizi seimbang.

Hampir semua contoh menyatakan setuju bahwa anemia merupakan masalah kesehatan yang membutuhkan perhatian serius. Namun, sepertiga contoh pada kedua kelompok memiliki kecenderungan untuk tidak memeriksakan kesehatan jika akibat anemia tidak mengganggu mereka. Hal ini menunjukkan bahwa kepedulian terhadap anemia baru muncul ketika contoh merasa terganggu dengan dampak kesehatan yang ditimbulkan dari anemia. Uji beda t menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata sikap gizi awal kedua kelompok (p>0.05).

Setelah intervensi, terlihat adanya penurunan pada sikap kebiasaan minum teh setelah makan pada kedua kelompok. Pada kelompok S, sikap preferensi konsumsi lauk nabati meningkat sedangkan kelompok SPG mengalami penurunan. Uji beda t menunjukkan terdapat perbedaan yang nyata sikap gizi akhir kedua kelompok (p<0.05). Sebaran contoh berdasarkan tingkat sikap gizi contoh sebelum dan setelah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 12.

Peningkatan sebagian besar sikap gizi pada kelompok SPG memberi gambaran bahwa sikap gizi seringkali terkait erat dengan pengetahuan gizi.

Seseorang yang berpengetahuan gizi baik cenderung akan memiliki sikap gizi yang baik pula (Khomsan et al. 2009). Lebih mendalam, Azwar (2012) menjelaskan bahwa salah satu komponen sikap adalah komponen kognitif yang merupakan kepercayaan seseorang terhadap objek sikap. Kepercayaan tersebut didapatkan melalui apa yang dilihat dan apa yang telah diketahui.

Penurunan sebagian sikap gizi pada kelompok S menunjukkan bahwa sikap dapat berubah seiring berjalannya waktu (Sumarwan 2003). Perubahan sikap tersebut sangat mungkin terjadi karena individu-individu selalu melakukan interaksi sosial. Diantara berbagai faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap

Tabel 12 Sebaran contoh berdasarkan tingkat sikap gizi contoh sebelum dan setelah perlakuan

Tingkat sikap gizi (%) Kelompok

S SPG Sebelum perlakuan

Baik 40.0 50.0

Sedang 60.0 50.0

Kurang 0.0 0.0

Setelah perlakuan

Baik 33.3 75.0

Sedang 66.7 25.0

Kurang 0.0 0.0

adalah pengalaman pribadi, pengaruh orang yang dianggap penting, media massa, institusi lembaga pendidikan dan lembaga agama, serta faktor emosi dalam diri individu (Azwar 2012). Tabel sebaran contoh berdasarkan pernyataan sikap gizi tentang anemia sebelum dan setelah perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 7.

Praktek Gizi

Sebagian besar contoh pada kedua kelompok memiliki frekuensi makan 2 kali sehari dengan distribusi 73.3% pada kelompok S dan 83.3% pada SPG. Uji beda t menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata kebiasaan makan sebelum perlakuan kedua kelompok (p>0.05).

Pada kedua kelompok, kebiasaan makan sebelum dan setelah perlakuan tidak mengalami perbedaan yang nyata (p>0.05). Hal tersebut memberikan gambaran bahwa pendidikan gizi yang diberikan belum efektif untuk mengubah kebiasaan makan. Meskipun secara keseluruhan tidak terdapat perubahan kebiasaan makan, namun beberapa kebiasaan makan seperti mengonsumsi teh dan kopi menurun signifikan pada kelompok SPG. Baranowski et al. (1999) dalam Ball et al. (2009) mengungkapkan bukti bahwa faktor kognitif (pengetahuan gizi) mempengaruhi intik makanan. Selain itu, sikap dan kepercayaan tentang gaya hidup sehat terbukti mempengaruhi intik makanan (Hearty et al. 2007 dalam Ball et al. 2009). Sebaran contoh berdasarkan tingkat kebiasaan makan contoh sebelum dan setelah perlakuan dapat dilihat pada Tabel 13.

Sebagian besar contoh pada kedua kelompok mengalami defisit energi tingkat berat tetapi memiliki tingkat kecukupan protein (TKP) yang baik padarentang 80-119.9% kebutuhan (Tabel 14). Hal ini disebabkan konsumsi harian contoh pada kedua kelompok cenderung berasal dari pangan sumber protein.

Tidak terdapat perbedaan tingkat kecukupan protein, vitamin, dan mineral pada kedua kelompok perlakuan (p>0.05) dan hanya terdapat perbedaan nyata pada TKE (p<0.05). Tingkat kecukupan vitamin dan mineral tergolong kurang kecuali tingkat kecukupan vitamin A (Gibson 2005). Tingkat kecukupan vitamin A yang tinggi disebabkan konsumsi pangan contoh kaya akan kandungan vitamin A seperti hati ayam dan penyerapan minyak goreng pada makanan yang

Tabel 13 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kebiasaan makan contoh sebelum dan setelah perlakuan

Variabel (%) Kelompok

Total S SPG Sebelum perlakuan

Baik 0.0 8.3 3.8

Sedang 53.3 41.7 48.1

Kurang 46.7 50.0 48.1

Setelah perlakuan

Baik 0.0 8.3 3.8

Sedang 53.3 41.7 48.1

Kurang 46.7 50.0 48.1

dikonsumsi. Rata-rata intik dan tingkat kecukupan energi dan zat gizi setelah perlakuan dapat dilihat pada Lampiran 9.

Kepatuhan Mengonsumsi Suplemen MVM

Secara umum, rata-rata kepatuhan contoh pada kedua kelompok tergolong kurang (<80%) (Tabel 15). Jumlah suplemen yang seharusnya dikonsumsi selama 8 minggu (dalam satuan mL) adalah 840 mL. Berdasarkan Depkes (1999), indikator cakupan program penanggulangan anemia memiliki kepatuhan yang baik jika kepatuhan lebih dari 80%. Uji beda t menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kepatuhan kedua kelompok perlakuan (p>0.05).

Sebagai perbandingan, kepatuhan contoh juga dilihat dari frekuensi contoh mengonsumsi suplemen. Rata-rata contoh pada kedua kelompok tergolong rutin mengonsumsi suplemen yaitu sebanyak 51 kali (91.9%) dari total suplemen seharusnya yaitu 56 kali (Tabel 16).

Kepatuhan konsumsi suplemen yang rendah diakibatkan bentuk sendok takaran yang memungkinkan suplemen tidak habis dikonsumsi sehingga konsumsi harian suplemen contoh kurang dari 15 ml. Rata-rata contoh pada kedua

Tabel 14 Sebaran contoh berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein setelah perlakuan

Tingkat kecukupan Kelompok

Total

Tabel 15 Nilai minimum, maksimum dan rata-rata konsumsi dan persentase konsumsi suplemen contoh

Variabel

kelompok mengonsumsi 9 mL suplemen per hari. Rendahnya kepatuhan memang menjadi salah satu masalah program suplementasi (Fahmida et al 1998 diacu dalam Fikawati et al. 2004), sehingga akan lebih baik jika variabel kepatuhan merupakan variabel yang dikontrol.

Manfaat dan Efek Samping yang Dirasakan

Sebagian besar contoh merasa lebih bugar jika mengonsumsi suplemen.

Kebugaran yang dimaksud adalah contoh merasa tidak mudah lelah dalam melaksanakan aktivitas hariannya dan merasa tidak mudah sakit (Gambar 6).

Penelitian yang dilakukan oleh Ernawati (2009) menunjukkan bahwa suplementasi MVM dapat memperbaiki jumlah sel Natural Killer (NK) secara signifikan.Sel NK adalah salah satu komponen yang berperan dalam sistem imun non spesifik.

Contoh mengaku gejala pusing yang dialami menjadi semakin berkurang.

Hanya sebagian kecil contoh yang masih merasakan pusing jika berubah posisi (misalnya: dari duduk ke berdiri). Suplementasi yang diberikan juga berdampak pada peningkatan nafsu makan.Angeles-Agdeppa et al. (1997) menyebutkan bahwa efek samping yang ditimbulkan suplementasi besi adalah peningkatan nafsu makan dan mudah mengantuk.

Efek samping yang dirasakan contoh setelah mengonsumsi suplemen adalah mual dan muntah (Gambar 7). Mual dan muntah yang dirasakan contoh

Gambar 6 Sebaran persepsi kesehatan contoh 73.3

Lebih bugar Tidak mudah sakit Tabel 16 Nilai minimum, maksimum dan rata-rata frekuensi dan persentase

frekuensi mengonsumsi suplemen contoh

Variabel

merupakan efek samping yang ditimbulkan suplementasi besi pada saluran pencernaan bagian atas (INACG 1977 diacu dalam Briawan 2008). Contoh juga mengalami diare dan konstipasi saat pertama kali mengonsumsi suplemen.

Status Anemia Contoh Setelah Perlakuan

Berdasarkan uji beda T, tidak terdapat perbedaan nyata antara kadar hemoglobin sebelum dan setelah perlakuan pada kedua kelompok (p>0.05) (Tabel 17). Rata-rata status anemia contoh pada kedua kelompok juga tidak mengalami perubahan.

Hal tersebut menunjukkan suplementasi MVM belum dapat meningkatkan kadar hemoglobin contoh. Kandungan besi dalam suplemen MVM rendah dan berada di bawah batas AKG besi untuk remaja putri sebesar 26 mg. Zat besi dalam suplemen MVM berada dalam bentuk ferro gloconate dengan jumlah 20 mg setiap takaran (15 ml), sedangkan jumlah zat besi dalam suplemen MVM dapat dipastikan lebih rendah dari 20 mg karena belum dikonversi dari bentuk ferro gloconate ke bentuk zat besi. Pada studi yang dilakukan oleh Dwiriani (2012), konversi 30 mg fero sulfat hanya menghasilkan zat besi sebesar 12.9 mg.

Selain itu, intik zat besi dan mineral lain yang membantu penyerapan zat besi contoh tergolong rendah. Hanya tingkat kecukupan vitamin A yang memenuhi AKG contoh. Tabel 18 menunjukkan bahwa prevalensi anemia contoh pada kedua kelompok meningkat jika dibandingkan dengan status anemia awal.

Prevalensi anemia dari kedua kelompok perlakuan setelah perlakuan sebesar 44.7%, sedangkan prevalensin anemia awal sebesar 33.3%.

Gambar 7 Efek samping yang dirasakan setelah mengonsumsi suplemen

6.7 6.7 6.7

Mual Muntah Konstipasi Diare

Persentase (%)

Jenis keluhan

S SPG

Tabel 17 Rata-rata kadar hemoglobin dan status anemia contoh sebelum dan setelah perlakuan

Indikator S SPG

Sebelum Setelah Sebelum Setelah Rata-rata kadar Hb 11.93 12.04 11.94 11.85 Status anemia Ringan Ringan Ringan Ringan

Nilai p 0.440 0.714

Meskipun suplementasi MVM tidak bisa meningkatkan kadar hemoglobin contoh kedua kelompok secara keseluruhan, namun dapat meningkatkan kadar hemoglobin contoh anemia pada kedua kelompok. Peningkatan tersebut berbeda nyata pada kelompok SPG (p<0.05) namun tidak berbeda nyata pada kelompok S (p>0.05) (Tabel 19). Rata-rata peningkatan kadar hemoglobin pada contoh anemia kedua kelompok lebih tinggi jika dibandingkan dengan keseluruhan contoh.

Taraf absorpsi besi diatur dalam mukosa saluran cerna yang ditentukan oleh kebutuhan tubuh. Penyebaran besi dari sel mukosa ke sel-sel tubuh berlangsung lebih lambat daripada penerimaannya dari saluran cerna, bergantung pada simpanan besi di dalam tubuh dan kandungan besi dalam makanan. Laju penyebaran ini diatur oleh jumlah dan tingkat kejenuhan transferin. Tingkat kejenuhan transferin biasanya sepertiga dari kemampuan ikat besi totalnya (Total Iron Binding Capacity/ TIBC). Pada kondisi tubuh mengalami kekurangan zat besi, transferin pada sel mukosa berada dalam kondisi tidak jenuh sehingga dapat lebih banyak mengikat besi untuk disalurkan ke dalam tubuh (Almatsier 2003).

Hal inilah yang menyebabkan peningkatan kadar hemoglobin lebih tinggi pada contoh anemia dibandingkan contoh yang tidak anemia.

Hubungan Antar Variabel Setelah Intervensi Pendidikan Gizi Hubungan Pengetahuan dan Sikap Gizi

Pada kelompok S, meskipun pengetahuan gizi yang dimiliki oleh keseluruhan contoh tergolong kurang tetapi sebagian besar besar contoh memiliki sikap gizi yang tergolong sedang dan terdapat 33.3% contoh yang meiliki sikap gizi tergolong baik. Hal ini menunjukkan sikap gizi yang baik pada kelompok S

Tabel 19 Rata-rata kadar hemoglobin dan status anemia pada contoh anemia sebelum dan setelah perlakuan

Indikator S SPG

Sebelum Setelah Sebelum Setelah Rata-rata kadar Hb (g/dL) 10.54 10.98 10.45 11.1 Status anemia Ringan Ringan Ringan Ringan Peningkatan kadar Hb (g/dL) 0.44 0.65

Nilai p 0.089 0.049

Tabel 18 Sebaran contoh berdasarkan status anemia setelah perlakuan

Status anemia

tidak berhubungan dengan pengetahuan gizi. Uji korelasi Pearson menunjukkan tidak terdapat hubungan pengetahuan dan sikap gizi (p = 0.232 dan r = -0.205).

Pada kelompok SPG, terlihat kecenderungan semakin baik pengetahuan gizi yang dimiliki maka semakin baik pula sikap gizi. Namun dengan uji korelasi Spearman diperoleh bahwa tingkat pengetahuan gizi pada kelompok SPG tidak berhubungan nyata dengan sikap gizi (p = 0.343 dan r = 0.130). Tabel 20 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan sikap gizi

Hubungan Pengetahuan dengan Praktek Gizi

Pada kelompok S, tidak terdapat hubungan yang nyata antara tingkat pengetahuan dengan praktek gizi (p = 0.469 dan r = 0.022). Pada kelompok SPG, uji korelasi Pearson menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara pengetahuan gizi contoh dengan praktek gizi (p = 0.211 dan r = -0.256).

Tabel 21 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan praktek gizi.

Dalam menjelaskan faktor-faktor yang berpengaruh pada perilaku konsumsi, Pelto (1981) dalam Suhardjo (2003) menjelaskan bahwa rumah tangga merupakan pusat pengaruh dari berbagai variabel yang menentukan perilaku konsumsi seseorang. Pengetahuan gizi tidak berdiri sendiri sebagai faktor terkuat yang dapat mempengaruhi perilaku konsumsi. Faktor struktur rumah tangga menjadi kunci dalam mempengaruhi perilaku konsumsi. Penelitian Ball et al.

(2009) juga mempertegas bahwa dukungan sosial dari anggota keluarga untuk mengonsumsi makanan sehat adalah kunci pemilihan makanan.

Hubungan Sikap dengan Praktek Gizi

Pada kedua kelompok, tidak terdapat hubungan sikap dengan praktek gizi dengan korelasi Pearson pada kelompok S (p = 0.136 dan r = 0.303) dan SPG (p

= 0.108 dan r = -0.386). Notoatmodjo (2003) mengungkapkan bahwa sikap merupakan reaksi atau respon yang masih tertutup dari seseorang terhadap stimulus atau objek, sehingga belum otomatis terwujud dalam suatu tindakan.

Selain dipengaruhi oleh sikap, praktek juga didasari oleh faktor predisposisi lainnya yaitu pengetahuan, kepercayaan, keyakinan, dan nilai. Tabel 22 menunjukkan sebaran contoh berdasarkan sikap dan praktek gizi.

Tabel 20 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan sikap gizi Pengetahuan

gizi (%)

Sikap gizi (%)

S SPG Kurang Sedang Baik Total Kurang Sedang Baik Total

Kurang 0.0 66.7 33.3 100.0 0.0 0.0 100.0 100.0

Sedang 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 28.6 71.4 100.0

Baik 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 75.0 100.0

Tabel 21 Sebaran contoh berdasarkan pengetahuan dan praktek gizi Pengetahuan

gizi (%)

Kebiasaan makan (%)

S SPG Kurang Sedang Baik Total Kurang Sedang Baik Total

Kurang 13.3 60.0 26.7 100.0 0.0 100.0 0.0 100.0

Sedang 0.0 0.0 0.0 0.0 14.3 57.1 28.6 100.0

Baik 0.0 0.0 0.0 0.0 50.0 25.0 25.0 100.0

Pengaruh Pendidikan Gizi Terhadap Pengetahuan, Sikap dan Praktek Gizi Pendidikan gizi yang diberikan dapat meningkatkan pengetahuan secara signifikan (p<0.05) dan dapat meningkatkan sikap gizi pada kelompok SPG (p>0.05). Tidak terdapat perubahan praktek gizi maupun intik zat gizi (protein dan mineral) pada kedua kelompok perlakuan. Perubahan perilaku terkait kesehatan memerlukan dua tahapan proses : motivasi (motivation phase) dan aksi (action phase). Perlakuan pendidikan gizi yang dilakukan berada pada tahapan motivasi yang bertujuan mempengaruhi sikap danakan menentukan keinginan untuk berubah (intention). Perpaduan intention dan kepercayaan diri akan menentukan rencana aksi yang menjadi salah satu tahapan menuju perilaku gizi yang diinginkan. Sehingga masih diperlukan proses dan peran faktor lain agar peningkatan pengetahuan berdampak pada perubahan perilaku (Contento 2008).

Dokumen terkait