• Tidak ada hasil yang ditemukan

Dampak Penerapan Bea Keluar Biji Kakao pada Pendapatan Negara Bea keluar ditetapkan secara bulanan berdasarkan harga referensi yang juga ditetapkan secara bulanan. Harga referensi tersebut didasarkan pada rata-rata harga biji kakao dunia pada periode sebulan sebelum ditetapkan. Sehingga semakin besar harga referensi, semakin besar tarif yang dibebankan. Selain harga referensi, Kementerian Perdagangan juga menetapkan harga patokan ekspor (HPE) untuk biji kakao secara bulanan.

Persentase tarif bea keluar biji kakao cenderung berada pada posisi lima dan sepuluh persen, sedangkan nilai tarif bea keluar cenderung fluktuatif karena bergantung pada (HPE) yang berlaku pada periode bulan tersebut. Pada April 2011, tarif bea keluar yang berlaku berada pada puncak tertingginya, yaitu 15 persen dengan nilai tarif sebesar US$ 480.5 per ton. Perkembangan nilai tarif bea keluar ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Bea keluar merupakan sumbangan bagi pendapatan negara yang berasal dari pajak. Gambar 8 juga menggambarkan perkembangan pendapatan negara yang berasal dari aktivitas bea keluar biji kakao. Berdasarkan grafik tersebut, pendapatan negara dari aktivitas bea keluar biji kakao pada periode tahun 2010 masih cukup tinggi. Namun, pendapatan ini memiliki tren penurunan setiap bulannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pergerakan pendapatan negara yang berasal dari bea keluar biji kakao ini lebih dipengaruhi oleh jumlah ekspor biji kakao. Pada tahun 2010, volume ekspor biji kakao Indonesia masih cukup tinggi sehingga mengakibatkan pendapatan pemerintah dari aktivitas ini juga cukup tinggi. Penurunan jumlah ekspor biji kakao pada periode selanjutnya pada akhirnys ikut menurunkan pendapatan negara ya berasal dari bea keluar.

Selain itu, respon negatif perubahan nilai tarif bea keluar terhadap ekspor biji kakao dapat dilihat pada Gambar 8, di mana perubahan jumlah ekspor biji kakao dapat dilihat pada pergerakan pendapatan negara dari aktivitas bea keluar tersebut. Semakin tinggi tarif bea keluar yang ditetapkan, pendapatan negara dari aktivitas bea keluar akan menurun yang berarti ada penurunan jumlah ekspor biji kakao. Hal ini terlihat pada periode April 2011 di mana tarif bea keluar berada pada posisi tertinggi. Tingginya tarif bea keluar membuat pendapatan negara menjadi turun secara signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan tarif bea keluar

23 sebesar 15 persen yang mengakibatkan eksportir biji kakao cenderung menahan biji kakao untuk diekspor ke negara lain untuk menghindari tingginya tarif yang dibebankan pada periode tersebut. Kemudian pada periode selanjutnya di mana tarif yang ditetapkan mulai menurun, eksportir kembali meningkatkan jumlah ekspor biji kakao. Hal ini juga terlihat pada periode-periode selanjutnya, di mana eksportir akan menahan biji kakao untuk diekspor pada posisi tarif yang cukup tinggi dan akan kembali mengekspor pada posisi tarif yang cukup rendah. Akibatnya, pendapatan negara dari aktivitas bea keluar ini juga ikut mengalami perubahan seiring peningkatan maupun penurunan jumlah ekspor biji kakao.

Gambar 8 Perkembangan Nilai Tarif Bea Keluar Biji Kakao dan Pendapatan Negara dari Bea Keluar Biji Kakao Indonesia April 2010-Desember 2014 Tujuan pemerintah menerapkan bea keluar ini tentu saja bukan pada meningkatkan pendapatan negara dari aktivitas bea keluar, tapi merupakan salah satu strategi untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao dalam negeri dengan cara menekan ekspor biji kakao. Tujuan tersebut telah tercapai. Hanya saja alokasi pendapatan negara dari aktivitas bea keluar biji kakao ini masih belum diperuntukkan produsen kakao. Seharusnya pemerintah dapat mengalokasikan pendapatan bea keluar ini untuk mengembangkan agribisnis kakao Indonesia.

Penerapan bea keluar terhadap biji kakao ini memang terlihat mampu menekan ekspor biji kakao sehingga biji kakao yang tidak diekspor akan dialokasikan sebagai bahan baku bagi industri pengolahan kakao dalam negeri. Peningkatan bahan baku biji kakao dalam negeri dapat mendorong kinerja industri pengolahan kakao dalam negeri. Hal tersebut didukung oleh adanya pertumbuhan jumlah serta kapasitas produksi industri pengolahan kakao dalam negeri yang mulai terlihat pada tahun 2011 (Kemenperin 2014). Adanya pertumbuhan industri pengolahan kakao tentu akan meningkatkan produksi kakao olahan dalam negeri. Fenomena ini juga akan memengaruhi jumlah ekspor biji kakao maupun kakao olahan Indonesia, sehingga memengaruhi posisi daya saingnya di pasar internasional. 0 5 10 15 20 25 0 1 2 3 4 5 6 A p r-10 Ju l-10 O ct -10 Jan -11 A p r-11 Ju l-11 O ct -11 Jan -12 A p r-12 Ju l-12 O ct -12 Jan -13 A p r-13 Ju l-13 O ct -13 Jan -14 A p r-14 Ju l-14 O ct -14 Ju ta US$ Rat u s US$/ MT

24

Daya Saing Produk Kakao Indonesia

Daya saing dalam penelitian ini diukur melalui pendekatan keunggulan komparatif dengan mengukur indeks Relative Trade Advantage (RTA). Berikut hasil analisis daya saing masing-masing produk kakao Indonesia di pasar internasional yang berdasarkan hasil perhitungan indeks RTA. Perkembangan indeks RTA untuk masing-masing produk kakao dapat dilihat pada grafik berikut ini. Tabel indeks RTA untuk masing-masing produk kakao dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 9 Perkembangan Daya Saing Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 Biji kakao Indonesia memiliki daya saing yang paling tinggi selama kurun waktu 21 tahun, yaitu dari tahun 1990 hingga 2010 (Gambar 9). Biji kakao memiliki posisi daya saing tertinggi pada tahun 1994 dengan nilai indeks sebesar 28.037 poin. Rata-rata indeks RTA untuk biji kakao adalah sebesar 15.19 poin dengan rata-rata pangsa ekspornya sebesar 16.60 poin dan rata-rata penetrasi impornya sebesar 0.91 poin. Ini berarti posisi Indonesia dalam perdagangan biji kakao di pasar Indonesia secara keseluruhan sangat kuat dan Indonesia masih cenderung memiliki pangsa ekspor yang tinggi.

Penetrasi impor biji kakao cenderung sangat rendah untuk periode tahun 1990 hingga 1998, bahkan memiliki gap yang cukup tinggi dengan pangsa ekspornya. Hal ini yang mengakibatkan daya saing biji kakao pada periode tersebut cukup tinggi. Namun pada tahun-tahun selanjutnya penetrasi impor ini memiliki tren yang meningkat. Itu berarti mulai terjadi peningkatan konsumsi kakao yang berasal dari kegiatan impor.

Meskipun rata-rata indeks RTA untuk biji kakao memiliki nilai paling tinggi, namun terdapat tren penurunan daya saing biji kakao pada periode pasca penerapan bea keluar untuk biji kakao yang mulai efektif diterapkan pada 2010. Hal ini dapat dilihat pada grafik periode tahun 2011 hingga 2014 (Gambar 10). Pada tahun 2011 posisi daya saing biji kakao menurun secara signifikan, bahkan pada tahun 2014

-5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Biji Kakao Pasta Kakao

Lemak Kakao Bubuk Kakao

25 berada pada posisi terendahnya dengan indeks sebesar -0.60 poin atau dikatakan tidak memiliki daya saing di pasar international karena memiliki indeks kurang dari nol. Hal ini diakibatkan oleh meningkatnya volume impor biji kakao yang masuk ke Indonesia yang menyebabkan penetrasi impor relatif biji kakao menjadi meningkat dan menurunkan daya saing. Perkembangan ini dapat dilihat pada Gambar 10.

Peningkatan penetrasi impor biji kakao dapat terjadi karena adanya peningkatan aktivitas industri pengolahan kakao di Indonesia. Peningkatan kapasitas maupun jumlah industri pengolahan kakao menyebabkan permintaan biji kakao menjadi meningkat, terutama permintaan biji kakao yang terfermentasi. Seperti yang kita ketahui, Indonesia masih rendah dalam memproduksi biji kakao yang terfermentasi, padahal biji kakao terfermentasi dapat meningkatkan cita rasa dari kakao olahan. Selain itu, terdapat penurunan produksi biji kakao pada tahun 2011 hingga tahun 2014 yang dapat berakibat pada semakin rendahnya pasokan biji kakao dalam negeri sehingga industri harus mengimpor bahan baku dari luar negeri. Jika terjadi ketidakseimbangan pertumbuhan kapasitas industri dengan pertumbuhan produksi biji kakao, maka Indonesia bisa saja berubah dari negara pengekspor biji kakao menjadi negara pengimpor biji kakao (Kemenperin 2013).

Gambar 10 Perkembangan RTA, RXA, dan RMA Biji Kakao Indonesia Pasta kakao Indonesia memiliki daya saing di pasar internasional dengan rata-rata indeks RTA pasta kakao adalah sebesar 2.05 poin. Daya saing pasta kakao tertinggi terjadi pada tahun 2014 dengan indeks RTA sebesar 8.61 poin dengan rata-rata pangsa ekspornya sebesar 2.234 poin dan rata-rata-rata-rata penetrasi impor sebesar 0.187 poin. Pasta kakao memiliki tren peningkatan daya saing setiap tahunnya. Ini diakibatkan pangsa ekspor pasta kakao cenderung menguat sedangkan penetrasi impornya relatif kecil. Artinya pasta kakao Indonesia semakin mampu bersaing di pasar internasional.

Pasca penerapan bea keluar untuk biji kakao, daya saing pasta kakao Indonesia semakin menguat, bahkan pada tahun 2014 mencapai indeks tertingginya. Pada periode tersebut daya saing pasta kakao juga melebihi daya saing biji kakao yang selalu memiliki daya saing tertinggi dari keseluruhan produk kakao Indonesia.

-5.000 0.000 5.000 10.000 15.000 20.000 25.000 30.000 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

26

Peningkatan daya saing pasta kakao ini diduga akibat adanya peningkatan produksi pasta kakao oleh industri pengolahan dalam negeri diiringi dengan peningkatan volume ekspornya. Peningkatan volume ekspor tersebut yang mengakibatkan peningkatan pangsa pasar pasta kakao di pasar internasional. Hal ini didukung oleh peningkatan pangsa ekspor pasta kakao yang cukup signifikan dari tahun 2010 ke tahun 2011 dan pada periode selanjutnya terus mengalami peningkatan.

Berbeda dengan pangsa ekspornya, penetrasi impor pasta kakao cenderung rendah dan memiliki tren penurunan meskipun terlihat terjadi peningkatan penetrasi impor pada periode pasca penerapan bea keluar. Ini menunjukkan bahwa industri pengolahan dalam negeri mampu mengembangkan pasta kakao dalam negeri sehingga pasta kakao Indonesia memiliki posisi yang cukup baik di pasar internasional, terutama setelah penerapan bea keluar untuk biji kakao. Dengan semakin berkembangnya produk pasta kakao pada industri pengolahan dalam negeri, Indonesia akan semakin mampu mengurangi konsumsi atas impor pasta kakao.

Lemak kakao Indonesia memiliki daya saing paling tinggi dibandingkan produk kakao olahan lainnya. Rata-rata indeks RTA lemak kakao adalah sebesar 6.21 poin dengan rata-rata pangsa ekspor sebesar 6.237 poin dan rata-rata penetrasi impor sebesar 0.031 poin. Posisi daya saing lemak kakao tertinggi terjadi pada tahun 2014, yaitu dengan 14.07 poin. Daya saing lemak kakao Indonesia di pasar internasional cenderung meningkat setiap tahunnya. Hal ini diakibatkan pangsa ekspor lemak kakao Indonesia yang memiliki tren peningkatan setiap tahunnya dan cenderung menguat, sedangkan penetrasi impornya sangat kecil. Artinya, Indonesia memiliki keunggulan yang kuat pada lemak kakao dibandingkan produk pasta, bubuk, bahkan coklat dan makanan lain mengandung coklat.

Pada periode pasca penerapan bea keluar untuk biji kakao, daya saing lemak kakao Indonesia juga mengalami peningkatan, bahkan lemak kakao memiliki daya saing tertinggi diantara semua produk kakao. Serupa dengan pasta kakao, peningkatan daya saing lemak kakao ini diduga akibat adanya peningkatan produksi lemak kakao oleh industri pengolahan dalam negeri yang menyebabkan peningkatan volume ekspor lemak kakao Indonesia di pasar internasional. Hal ini didukung dengan meningkatnya pangsa pasar lemak kakao Indonesia menjadi lebih dari 12 persen serta posisi Indonesia yang berada di peringkat kedua sebagai eksportir lemak kakao terbesar di dunia setelah Belanda pada tahun 2014 (UN Comtrade 2015). Ini berarti industri pengolahan kakao dalam negeri juga semakin mengembangkan produk lemak kakao Indonesia pasca penerapan bea keluar untuk biji kakao, sehingga mampu mendorong pangsa ekspornya. Adanya respon positif dari negara-negara pengimpor juga mengidikasikan bahwa Indonesia memiliki peluang yang cukup besar dalam mengembangkan produk lemak kakao dan meningkatkan pangsa pasarnya di pasar internasional.

Bubuk kakao Indonesia juga memiliki daya saing di pasar internasional dengan ata-rata indeks RTA untuk bubuk kakao adalah sebesar 1.87 poin dengan rata-rata pangsa ekspor sebesar 2.885 poin dan rata-rata penetrasi impor sebesar 1.016 poin. Bubuk kakao Indonesia memiliki daya saing paling tinggi pada tahun 2002 dengan indeks RTA sebesar 3.58 poin. Daya saing bubuk kakao memang tergolong lebih rendah jika dibandingkan produk pasta dan lemak kakao. Hal ini diakibatkan penetrasi impornya yang cukup tinggi dan memiliki tren peningkatan setiap tahunnya.

27 Pangsa ekspor bubuk kakao setiap tahun semakin menguat, hal ini dilihat dari adanya tren peningkatan setiap tahunnya. Jika dibandingkan dengan produk pasta dan lemak kakao, pangsa ekspor bubuk kakao memang masih tergolong rendah. Menurut Hanafi (2015), Indonesia masih belum terspesialisasi menjadi eksportir untuk produk bubuk kakao, namun Indonesia masih berada pada tahap pertumbuhan sebagai negara pengekspor bubuk kakao. Pangsa pasar bubuk kakao Indonesia juga cenderung stabil, sehingga ada peluang daya saing bubuk kakao Indonesia terus meningkat setiap tahunnya.

Pasca penerapan kebijakan bea keluar terhadap biji kakao, daya saing bubuk kakao Indonesia memiliki tren peningkatan meskipun tidak sesignifikan produk pasta dan lemak kakao. Tren peningkatan ini juga diduga karena adanya peningkatan produksi bubuk kakao oleh industri pengolahan kakao dalam negeri sehingga dapat meningkatkan ekspor bubuk kakao Indonesia. Namun, meskipun adanya penguatan daya saing pasca penerapan bea keluar, penetrasi impor bubuk kakao juga mengalami peningkatan. Hal ini yang membuat tren peningkatan daya saing bubuk kakao tidak sesignifikan produk pasta dan lemak kakao yang memiliki penetrasi impor rendah. Ini berarti ketergantungan Indonesia terhadap bubuk kakao impor masih cukup tinggi, terutama bubuk kakao berasal dari Malaysia.

Coklat dan makanan lain mengandung coklat Indonesia memiliki posisi daya saing paling rendah dari semua produk kakao lainnya. Nilai indeks RTA produk coklat ini tidak pernah lebih dari satu, bahkan beberapa tahun menunjukkan angka kurang dari nol yang berarti produk ini tidak memiliki daya saing di pasar internasional. Dapat dilihat pada Gambar 9, grafik indeks RTA untuk produk ini cenderung bergerak mendekati nol setiap tahunnya. Namun rata-rata indeks RTA untuk produk coklat dan makanan lain mengandung coklat ini masih menunjukkan angka positif meskipun sangat rendah dan mendekati nol, yaitu sebesar 0,01 poin yang berarti coklat dan makanan lain mengandung coklat Indonesia masih memiliki daya saing, hanya saja cenderung berada pada posisi keseimbangan atau tidak memiliki keunggulan maupun kerugian komparatif. Rata-rata pangsa ekspornya sebesar 0.237 poin dan rata-rata penetrasi impornya sebesar 0.227 poin. Posisi daya saing terbesar berada pada tahun 1999 dengan nilai indeks RTA sebesar 0.49 poin.

Coklat dan makanan mengandung coklat cenderung memiliki penetrasi impor yang tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa Indonesia masih cenderung mengimpor produk coklat dan makanan lain mengandung coklat dari luar negeri. Padahal produk ini memiliki nilai tambah paling tinggi daripada produk kakao olahan lainnya karena merupakan produk tingkat akhir, seperti bubuk coklat manis, coklat batangan, permen coklat, kembang gula mengandung coklat, mesis, dan makanan lain yang mengandung coklat.

Penerapan bea keluar untuk biji kakao diduga tidak berdampak pada peningkatan daya saing produk ini karena jika dilihat dari rentang tahun 2010 hingga 2014 daya saing produk ini cenderung semakin melemah, bahkan nilai indeks RTA menunjukkan nilai kurang dari nol. Jika penerapan bea keluar bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk kakao olahan Indonesia, maka seharusnya daya saing coklat dan makanan lain mnegandung coklat ini juga menunjukkan respon yang positif. Pangsa ekspor coklat dan makanan lain mengandung coklat Indonesia juga cenderung menurun, bahkan penetrasi impornya lebih tinggi daripada pangsa ekspornya yang semakin membuktikan bahwa Indonesia cenderung lebih banyak mengimpor produk coklat dan makanan lain

28

mengandung coklat ini dibandingkan dengan mengekspornya. Ini berarti Indonesia masih kurang dalam mengembangkan produk coklat dan makanan lain mengandung coklat. Jika dibandingkan dengan produk olahan lainnya, maka dapat dikatakan Indonesia masih belum berfokus dalam pengembangan produk coklat dan makanan lain mengandung coklat. Indonesia masih berfokus pada pengembangan produk antara kakao, yaitu pasta, lemak, dan bubuk coklat.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa pada periode pasca penerapan bea keluar untuk biji kakao daya saing masing-masing produk kakao tersebut mengalami perubahan, baik peningkatan maupun penurunan. Untuk biji kakao yang terkena bea keluar, daya saingnya cenderung melemah hingga dikategorikan sebagai produk yang tidak berdaya saing pada tahun 2014. Untuk produk kakao olahan, baik pasta, lemak, dan bubuk kakao, menunjukkan penguatan daya saing di pasar internasional meski penguatan yang signifikan terjadi pada produk lemak kakao. Sebaliknya untuk produk coklat dan makanan mengandung cokelat cenderung terlihat melemah setelah adanya penerapan bea keluar tersebut, atau malah penerapan bea keluar diduga tidak berpengaruh terhadap daya saing produk coklat dan makanan lain mengandung coklat. Padahal tujuan pemerintah dengan menetapkan bea keluar tersebut adalah untuk meningkatkan kinerja hilir atau industri pengolahan kakao Indonesia sehingga dapat meningkatkan produksi sekaligus ekspor kakao olahan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi dibandingkan produk biji kakao. Hal ini juga seharusnya berdampak positif pada daya saing produk kakao olahan Indonesia. Untuk melihat pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing masing-masing produk kakao Indonesia yang lebih ilmiah, perlu adanya uji statistik yang melihat signifikansi bea keluar.

Pengaruh Bea Keluar Terhadap Daya Saing Produk Kakao Indonesia Untuk melihat pengaruh kebijakan bea keluar terhadap produk kakao Indonesia, perlu adanya uji statistik bersama dengan faktor-faktor lain yang diduga dapat memengaruhi daya saing produk kakao Indonesia dengan menggunakan metode regresi berganda dengan asumsi OLS. Besaran daya saing sebagai variabel dependen akan menggunakan nilai indeks RTA masing-masing produk kakao Indonesia, yaitu spesifik untuk produk biji kakao, pasta kakao, lemak kakao, bubuk kakao, serta coklat dan makanan lain mengandung coklat. Sedangkan variabel independen untuk masing-masing produk kakao disesuaikan berdasarkan teori dan hasil terbaik, seperti yang telah dijelaskan pada bab Metode Penelitian.

Daya saing produk kakao Indonesia diduga dipengaruhi oleh harga domestik riil biji kakao Indonesia, GDP per kapita riil negara tujuan ekspor utama, nilai tukar riil, dan bea keluar. Hasil estimasi dapat dilihat pada Tabel 6. Hasil output Eviews 8.1 beserta hasil pengujian asumsi masing-masing model persamaan dapat dilihat pada Lampiran.

Koefisien determinasi (R2) dari masing-masing persamaan menunjukkan proporsi keragaman variabel dependen yang dijelaskan oleh variabel-variabel independen yang terdapat pada model, sedangkan proporsi sisanya dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang terdapat di luar model. Masing-masing proporsi dapat dilihat pada Tabel 6. Nilai prob-F untuk hasil estimasi daya saing semua produk kakao menunjukkan kurang dari taraf nyata sepuluh persen yang berarti

variabel-29 variabel independen secara bersama-sama mampu menjelaskan dengan baik variabel daya saing produk kakao Indonesia.

Tabel 6 Hasil Estimasi Daya Saing Produk Kakao Indonesia

Variabel Biji Kakao Pasta Kakao Lemak

Kakao Bubuk Kakao

Coklat & Makanan Lain Mengandung Coklat Intersep 100.0665 (0.3605) -4.182023 (0.2664) -27.92971 (0.0000) 9.503079 (0.0000) 5.073927 (0.0975) Harga domestik riil 0.616334

(0.8474) -0.003332* (0.0522) -0.067852 (0.4726) -0.001015 (0.2108) 0.061819 (0.3639) GDP per kapita riil

negara tujuan ekspor utama -12.19589 (0.2916) 0.108161* (0.0156) 4.801181* (0.0000) -0.312726* (0.0000) -1.188767* (0.0096) Nilai tukar riil -8.524752

(0.2851) 0.001211 (0.8700) 0.141006 (0.5182) -0.010653* (0.0265) 0.380290* (0.0327) Bea keluar -0.036274* (0.0795) 0.002254 (0.5637) 0.000205 (0.8322) 0.009288* (0.0005) 0.000998* (0.0721) AR(1) - 0.799738 (0.0004) - - - R2 0.470560 0.876564 0.786970 0.682629 0.448967 F-statistik 4.443933 25.56498 18.47086 10.75442 4.073869 Prob(F-statistik) 0.009874 0.000000 0.000002 0.000081 0.014168 Durbin-Watson 1.254461 1.528797 1.350982 1.580241 1.282840

*Signifikan pada taraf nyata 10%

Berdasarkan hasil pengujian asumsi, hasil uji multikolinearitas dengan melihat nilai Variance Inflation Factors (VIF) dari masing-masing variabel independen pada kelima model menunjukkan nilai kurang dari sepuluh, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak ada hubungan linear antara variabel independen atau tidak ada gejala multikolinearitas pada kelima model persamaan. Hasil uji normalitas untuk semua model persamaan dengan uji Jarque-Bera juga menunjukkan nilai probabilitas Jarque-Bera yang lebih dari taraf nyata sepuluh persen yang berarti data menyebar normal. Uji heteroskedastisitas dengan uji Breusch-Pagan-Godfrey juga menunjukkan ragam eror pada kelima model adalah homogen. Ini ditunjukkan dengan nilai probabilitas Chi-Square Obs*R-squared lebih dari taraf nyata sepuluh persen sehingga diartikan tidak terjadi gejala heteroskedastisitas.

Uji autokorelasi pada kelima model persamaan dilakukan dengan melihat nilai Durbin-Watson (DW) pada tabel hasil estimasi. Besar nilai dU dan dL untuk kelima model persamaan daya saing produk kakao Indonesia sebesar 1.7666 dan 1.0381. Berdasarkan tabel DW, nilai DW pada tabel hasil estimasi menunjukkan keempat model persamaan kecuali model persamaan daya saing pasta kakao Indonesia berada pada daerah tidak meyakinkan sehingga tidak dapat diputuskan apakah model mengandung gejala autokorelasi atau tidak. Sedangkan model persamaan daya saing pasta kakao Indonesia memiliki gejala autokorelasi. Namun telah diatasi dengan menambahkan variabel AR(1). Hasil estimasi menunjukkan bahwa AR(1) memiliki pengaruh signifikan pada taraf nyata sepuluh persen. Tanda koefisien variabel AR(1) yang positif menunjukkan bahwa varians eror mengikuti pola sistematis positif yang berurut dari waktu ke waktu. Penambahan variabel AR(1) mengakibatkan eror pada model yang sebelumnya berkorelasi menjadi aman

30

dan mengikuti pola fungsi AR(1). Dengan ini dapat dikatakan kelima model telah memenuhi asumsi OLS.

Harga Domestik Riil Produk Kakao Indonesia

Harga domestik riil untuk kelima model diduga memiliki pengaruh negatif pada daya saing produk kakao Indonesia, baik biji, pasta, lemak, bubuk, maupun coklat dan makanan lain mengandung coklat. Hal ini didasarkan pada peningkatan harga domestik riil akan menyebabkan eksportir lebih menjual produk di dalam

Dokumen terkait