• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENERAPAN BEA KELUAR TERHADAP DAYA SAING PRODUK KAKAO INDONESIA RETNO PUSPITA KADARMAN WICAKSONO

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PENERAPAN BEA KELUAR TERHADAP DAYA SAING PRODUK KAKAO INDONESIA RETNO PUSPITA KADARMAN WICAKSONO"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH PENERAPAN BEA KELUAR TERHADAP DAYA

SAING PRODUK KAKAO INDONESIA

RETNO PUSPITA KADARMAN WICAKSONO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Penerapan Bea Keluar Terhadap Daya Saing Produk Kakao Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Juli 2016 Retno Puspita Kadarman Wicaksono NIM H34120079

(4)
(5)

ABSTRAK

RETNO PUSPITA KADARMAN WICAKSONO. Pengaruh Penerapan Bea Keluar Terhadap Daya Saing Produk Kakao Indonesia. Dibimbing oleh NUNUNG KUSNADI.

Indonesia menjadi negara pengekspor utama untuk biji kakao daripada kakao olahan. Untuk mengembangkan industri pengolahan kakao dalam negeri, pada tahun 2010 pemerintah menerapkan kebijakan bea keluar untuk biji kakao. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan dampak penerapan bea keluar pada pendapatan negara, mendeskripsikan daya saing produk kakao Indonesia dan menentukan pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing masing-masing produk kakao Indonesia. Penelitian ini menggunakan Relative Trade Adavantage (RTA) untuk mengukur daya saing dan regresi linier berganda untuk mengetahui pengaruh bea keluar terhadap daya saing produk kakao Indonesia. Hasil penelitian mengindikasikan penerapan bea keluar berdampak negatif pada ekspor biji kakao sekaligus pendapatan negara. Daya saing biji kakao Indonesia juga menurun setelah adanya bea keluar, namun daya saing kakao olahan Indonesia mulai meningkat. Selain itu, bea keluar berpengaruh negatif terhadap daya saing biji kakao, namun berpengaruh positif terhadap daya saing bubuk kakao dan coklat dan makanan lain mengandung coklat. Daya saing pasta dan lemak kakao masih belum dipengaruhi oleh penerapan bea keluar.

Kata kunci: biji kakao, kakao olahan, OLS, RTA

ABSTRACT

RETNO PUSPITA KADARMAN WICAKSONO. The Effect of Export Tax on Indonesia’s Cocoa Product Competitiveness. Supervised by NUNUNG KUSNADI. Indonesia has become the main exporter of cocoa beans instead of processed cocoa. To develop domestic cocoa processing industry, in 2010 government implemented export tax policy for cocoa beans. This research aimed to describe the impact of export tax on state revenue, to describe the competitiveness of Indonesia’s cocoa products and to determine the effect of export tax on each cocoa products competitiveness. The research used Relative Trade Advantage (RTA) to measure the competitiveness and linear multiple regression model. The result indicated that export tax had negative impact on cocoa beans’ export and state revenue. Indonesia’s cocoa beans competitiveness also decreased while the processed cocoa competitiveness started to increase. However, the export tax had negative effect on cocoa beans competitiveness. The export tax also had positive effect on cocoa powder and chocolate and other food containing cocoa competitiveness while cocoa paste and butter had not been affected.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Agribisnis

PENGARUH PENERAPAN BEA KELUAR TERHADAP DAYA

SAING PRODUK KAKAO INDONESIA

RETNO PUSPITA KADARMAN WICAKSONO

DEPARTEMEN AGRIBISNIS

FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2016

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2016 ini adalah perdagangan internasional dengan judul Pengaruh Penerapan Bea Keluar Terhadap Daya Saing Produk Kakao Indonesia.

Terima kasih saya ucapkan kepada Bapak Dr Ir Nunung Kusnadi, MS selaku pembimbing yang selalu membantu penulis dalam menyelesaikan karya tulis ini. Terima kasih juga kepada Bapak Dr Amzul Rifin, SP.MA selaku penguji utama yang telah memberikan banyak saran terkait topik penelitian saya, serta Ibu Anita Prameswari, SP.M.Si selaku dosen penguji departemen yang juga banyak memberikan saran terkait penulisan karya tulis ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan untuk ayah dan ibu atas doa, dukungan, dan kasih sayangnya. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Agribisnis 49, Fullhouse, Bojes, Dev, sahabat-sahabat, dan teman-teman satu bimbingan atas bantuan, dukungan, dan semangatnya, serta berbagai pihak yang tidak bisa disebutkan satu per satu, penulis ucapkan terima kasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Juli 2016 Retno Puspita Kadarman Wicaksono

(12)
(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi DAFTAR GAMBAR vi DAFTAR LAMPIRAN vi PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Perumusan Masalah 4 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 6 Ruang Lingkup 6 TINJAUAN PUSTAKA 6

Pengaruh Kebijakan Bea Keluar 6

Daya Saing Kakao Indonesia 7

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ekspor dan Daya Saing 8

KERANGKA PEMIKIRAN 9

Kerangka Pemikiran Teoritis 9

Kerangka Pemikiran Operasional 14

METODE PENELITIAN 16

Jenis dan Sumber Data Penelitian 16

Metode Pengolahan dan Analisis Data 16

HASIL DAN PEMBAHASAN 22

Dampak Penerapan Bea Keluar Biji Kakao pada Pendapatan Negara 22

Daya Saing Produk Kakao Indonesia 24

Pengaruh Bea Keluar Terhadap Daya Saing Produk Kakao Indonesia 28

SIMPULAN DAN SARAN 35

Simpulan 35

Saran 36

DAFTAR PUSTAKA 36

LAMPIRAN 39

(14)
(15)

DAFTAR TABEL

Nilai Ekspor dan Pangsa Negara Pengekspor Biji Kakao Tahun 2008-2010 2

Tarif Bea Keluar Biji Kakao 2

Jumlah dan Kapasitas Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun

2009-2014 3

Sumber Data 16

Tabel keputusan nilai Durbin-Watson 20

Hasil Estimasi Daya Saing Produk Kakao Indonesia 29

DAFTAR GAMBAR

Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 1 Nilai Ekspor Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 3

Nilai Impor Produk Kakao Tahun 1990-2014 4

Kurva Perdagangan Internasional 11

Penerapan bea keluar 12

Bagan Hubungan Bea Keluar dengan Daya Saing 13

Kerangka Pemikiran Operasional 15

Perkembangan Nilai Tarif Bea Keluar Biji Kakao dan Pendapatan Negara dari Bea Keluar Biji Kakao Indonesia April 2010-Desember 2014 23 Perkembangan Daya Saing Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 24 Perkembangan RTA, RXA, dan RMA Biji Kakao Indonesia 25

DAFTAR LAMPIRAN

Indeks RTA, RXA, dan RMA Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 39 Hasil Estimasi Daya Saing Biji Kakao Indonesia 40 Hasil Uji Multikolinearitas Daya Saing Biji Kakao Indonesia 40 Hasil Uji Normalitas Daya Saing Biji Kakao Indonesia 41 Hasil Uji Heteroskedastisitas Daya Saing Biji Kakao Indonesia 41 Hasil Estimasi Daya Saing Pasta Kakao Indonesia 42 Hasil Uji Multikolinearitas Daya Saing Pasta Kakao Indonesia 42 Hasil Uji Normalitas Daya Saing Pasta Kakao Indonesia 43 Hasil Uji Heteroskedastisitas Daya Saing Pasta Kakao Indonesia 43 Hasil Estimasi Daya Saing Lemak Kakao Indonesia 44 Hasil Uji Multikolinearitas Daya Saing Lemak Kakao Indonesia 44 Hasil Uji Normalitas Daya Saing Lemak Kakao Indonesia 45 Hasil Uji Heteroskedastisitas Daya Saing Lemak Kakao Indonesia 45 Hasil Estimasi Daya Saing Bubuk Kakao Indonesia 46 Hasil Uji Multikolinearitas Daya Saing Bubuk Kakao Indonesia 46 Hasil Uji Normalitas Daya Saing Bubuk Kakao Indonesia 47 Hasil Uji Heteroskedastisitas Daya Saing Bubuk Kakao Indonesia 47 Hasil Estimasi Daya Saing Coklat dan Makanan Lain Mengandung Coklat

(16)

Hasil Uji Multikolinearitas Daya Saing Coklat dan Makanan Lain

Mengandung Coklat Indonesia 48

Hasil Uji Normalitas Daya Saing Coklat dan Makanan Lain Mengandung

Coklat Indonesia 49

Hasil Uji Heteroskedastisitas Daya Saing Coklat dan Makanan Lain

(17)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kakao memiliki peranan yang penting bagi perekonomian Indonesia, terutama sebagai penyumbang devisa negara. Sumbangan devisa dari kegiatan ekspor kakao menjadi sumbangan terbesar ketiga setelah kelapa sawit dan karet (Kementan 2015). Namun, sebesar 82 persen kakao yang diekspor oleh Indonesia masih dalam bentuk biji dan 90 persen dari keseluruhan ekspor biji masih dalam bentuk non-fermentasi (Syadullah 2012). Hal ini yang membuat biji kakao Indonesia mendapatkan penahanan otomatis (automatic detention) maupun diskon harga, sehingga harganya menjadi lebih rendah di pasar internasional.

Besarnya ekspor biji kakao didorong oleh besarnya produksi biji kakao Indonesia. Produksi dan luas lahan kakao di Indonesia cukup besar meskipun terjadi penurunan produksi pada lima tahun terakhir (Gambar 1). Sebesar 91 persen biji kakao diproduksi oleh perkebunan rakyat, di mana produksi tertinggi berada di wilayah Sulawesi (Ditjenbun 2014). Pada level internasional, Indonesia memproduksi lebih dari 15 persen biji kakao dunia (Intracen 2001). Hal ini juga menjadikan Indonesia sebagai negara produsen terbesar ketiga setelah Pantai Gading dan Ghana.

Sumber: Ditjenbun 2014

Gambar 1 Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 Pada level interasional, biji kakao Indonesia memiliki pangsa pasar lebih dari sepuluh persen. Hingga tahun 2010, Indonesia menempati peringkat kedua sebagai negara pengekspor biji kakao terbesar dunia setelah Pantai Gading dengan pangsa 15 persen (UN Comtrade 2015). Nilai ekspor dan pangsa pasar negara pegekspor biji kakao dapat dilihat pada tabel berikut.

0 100000 200000 300000 400000 500000 600000 700000 800000 900000 0 200000 400000 600000 800000 1000000 1200000 1400000 1600000 1800000 1990 1992 1994 1996 1998 2000 2002 2004 2006 2008 2010 2012 2014 Luas Areal (Ha) Produksi (Ton)

(18)

2

Tabel 1 Nilai Ekspor dan Pangsa Negara Pengekspor Biji Kakao Tahun 2008-2010 Negara 2008 2009 2010 Nilai Ekspor (US$) Pangsa (%) Nilai Ekspor (US$) Pangsa (%) Nilai Ekspor (US$) Pangsa (%) Pantai Gading 1 754 112 821 31 2 596 121 060 32 2 492 515 038 31 Ghana 974 134 679 17 1 088 777 321 14 847 414 819 11 Indonesia 854 584 783 15 1 087 484 653 14 1 190 739 688 15 Nigeria 510 312 088 9 1 250 868 139 16 1 048 003 766 13 Kamerun 400 325 366 7 543 362 626 7 610 990 354 8 Sumber: UN Comtrade 2015

Besar ekspor kakao olahan masih relatif lebih kecil jika dibandingkan dengan ekspor biji kakao. Padahal kakao olahan memiliki nilai tambah yang lebih besar dibandingkan biji kakao. Produksi biji kakao Indonesia hanya diserap sekitar 20-30 persen oleh industri dalam negeri (Kemenperin 2013) sedangkan sebagian besar dieskpor dan dijadikan bahan baku bagi industri hilir kakao di negara-negara yang relatif tidak memiliki sumber bahan baku biji kakao, seperti Uni Eropa, Amerika Serikat, China, Malaysia, dan Singapura. Padahal Indonesia memiliki potensi untuk mengembangkan industri hilir pengolahan kakao. Selain itu, prospek pengembangan produk kakao dari produk primer menjadi olahan sangat besar, di mana terjadi peningkatan besar konsumsi cokelat di dunia (ICCO 2014).

Pemerintah kemudian membuat kebijakan mengenai bea keluar untuk biji kakao yang mulai diimplementasikan pada April 2010. Kebijakan tersebut tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan No. 67/PMK.011/2010 yang menetapkan tarif bea keluar bagi biji kakao yang akan dieskpor. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk menjamin ketersediaan bahan baku biji kakao dengan menekan ekspor biji kakao yang kemudian mendorong pertumbuhan industri pengolahan biji kakao di dalam negeri dan meningkatkan ekspor kakao olahan yang memiliki nilai tambah lebih besar daripada biji kakao. Berikut besar tarif bea keluar biji kakao.

Tabel 2 Tarif Bea Keluar Biji Kakao

Harga Referensi (US$) Bea Keluar (%)

0 - 2 000 0

2 000 – 2 750 5

2 750 – 3 500 10

>3 500 15

Sumber: Kemenkeu 2010

Sejak penerapan kebijakan tersebut, terjadi penambahan jumlah industri kakao. Sedangkan industri pengolahan kakao yang sudah ada meningkatkan kapasitas produksinya, di mana pada tahun 2009 terdapat tujuh industri pengolahan kakao dengan total kapasitas produksi sebesar 130 000 ton. Pada tahun 2014 jumlah industri pengolahan kakao meningkat menjadi 15 perusahaan dengan total kapasitas produksi sebesar 485 000 ton (Kemenperin 2014). Perkembangan jumlah industri beserta kapasitas produksi masing-masing industri pengolahan kakao dari tahun 2009 hingga 2014 dapat dilihat pada tabel berikut.

(19)

3 Tabel 3 Jumlah dan Kapasitas Industri Pengolahan Kakao Indonesia Tahun

2009-2014

Perusahaan Lokasi Kapasitas Produksi (Ton)

2009 2010 2011 2012 2013 2014

PT Papandayan Cocoa Industries Bandung 65 000 65 000 80 000 90 000 90 000 100 000 PT Bumitangerang Mesindotama Tangerang 34 000 37 000 65 000 70 000 100 000 120 000

PT Asia Cocoa Indonesia Batam - - 50 000 90 000 100 000 120 000

PT Davomas Abadi Tangerang - 5 000 10 000 - - -

PT Kalla Kakao Industri Kendari - - - -

PT Cocoa Ventures Indonesia Medan 7 000 7 000 14 000 18 000 20 000 20 000

PT Makassar Berkat Kakao Industri Makassar - 3 000 10 000 2 000 3 000 3 000

PT Kopi Jaya Kakao Makassar - - 3 000 - - -

PT Mars Symbioscience Makassar 5 000 8 000 10 000 10 000 23 000 23 000

PT Budidaya Kakao Lestari Surabaya - - 5 000 - 2 000 2 000

PT Jaya Makmur Hasta Tangerang - - 5 000 - - -

PT Teja Sekawan Surabaya 8 000 8 000 8 000 6 000 8 000 8 000

PT Unicom Kakao Makmur Makassar - 3 000 5 000 5 000 5 000 5 000

PT Kakao Mas Gemilang Tangerang 6 000 6 000 6 000 60 000 7 000 7 000

PT Mas Ganda Tangerang 5 000 5 000 5 000 55 000 6 000 6 000

PT Hope Indonesia Makassar - 3 000 4 000 4 000 4 000 4 000

PT Barry Callebaut Comextra Majora Makssar - - - - 20 000 30 000

PT Jebe Koko Surabaya - - - - 20 000 40 000

PT Cargill Indonesia Surabaya - - - 20 000

Total 130 000 150 000 280 000 410 000 408 000 485 000

Sumber: Kemenperin 2014

Selain itu, efek dari penerapan kebijakan tersebut terlihat pada komposisi ekspor produk kakao Indonesia. Pada tahun 2011 terjadi penurunan nilai ekspor produk biji kakao yang cukup signifikan. Tren penurunan ini terus berlangsung hingga tahun-tahun berikutnya. Sedangkan di sini lain, mulai terjadi peningkatan ekspor kakao olahan pada tahun 2011. Tren peningkatan ini juga terus berlangsung hingga pada tahun 2014, produk pasta dan lemak memiliki nilai ekspor yang lebih tinggi daripada biji kakao. Perkembangan nilai ekspor produk kakao Indonesia dapat dilihat berdasarkan grafik berikut ini.

Sumber: UN Comtrade 2015

Gambar 2 Nilai Ekspor Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014

0 200 400 600 800 1000 1200 1400 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 JUT A US $

Biji Kakao Pasta Kakao

Lemak Kakao Bubuk Kakao

(20)

4

Selain pada ekspor, terdapat perubahan pula pada komposisi impor produk kakao pasca penerapan bea keluar terhadap biji kakao. Berikut grafik yang menggambarkan kondisi impor kakao ke Indonesia tahun 1990 sampai 2014.

Sumber: UN Comtrade 2015

Gambar 3 Nilai Impor Produk Kakao Tahun 1990-2014

Berdasarkan grafik tersebut, secara umum biji kakao memiliki nilai impor yang paling besar di antara keseluruhan produk meskipun dengan nilai yang jauh lebih rendah dibandingkan nilai ekspornya. Namun, pasca penerapan bea keluar terhadap biji kakao, terlihat adanya tren peningkatan nilai impor biji kakao, hingga puncaknya pada tahun 2014 terjadi lonjakan impor biji kakao. Hal ini diduga karena terjadi peningkatan permintaan biji kakao oleh industri pengolahan dalam negeri. Peningkatan permintaan biji kakao ini diiringi oleh meningkatnya jumlah industri pengolahan kakao dalam negeri serta kapasitas beberapa industri pengolahan kakao pasca penerapan bea keluar terhadap biji kakao. Sedangkan produksi biji kakao dalam negeri diduga belum memenuhi keseluruhan permintaan biji kakao oleh industri pengolahan, terutama untuk biji kakao fermentasi yang dibutuhkan dalam produksi. Biji kakao yang difermentasi merupakan bahan baku penting bagi produksi kakao olahan karena memiliki cita rasa yang lebih baik daripada biji kakao yang tidak difermentasi.

Perumusan Masalah

Penerapan bea keluar terhadap biji kakao memiliki tujuan untuk menekan ekspor biji kakao sehingga ketersediaan bahan baku biji kakao dalam negeri meningkat dan dapat mendorong industri pengolahan kakao lebih banyak memproduksi kakao olahan, seperti pasta, lemak, bubuk, serta coklat dan makanan mengandung coklat. Hal tersebut akan mendorong ekspor kakao olahan. Selama ini Indonesia masih lebih banyak mengekspor biji kakao dibandingkan kakao olahan. Padahal kakao olahan memiliki nilai jual yang lebih besar dibandingkan hanya menjual biji kakao, sehingga peluang bagi industri pengolahan kakao dalam mengembangkan bisnisnya menjadi lebih besar. Selain itu, negara-negara yang

0 100 200 300 400 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 JUT A T O N

Biji Kakao Pasta Kakao

Lemak Kakao Bubuk Kakao

(21)

5 potensial menjadi pasar kakao Indonesia seperti negara-negara di Uni Eropa, lebih banyak membutuhkan produk olahan setengah jadi seperti pasta kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao (Rifin 2012). Hal ini menjadi potensi bagi Indonesia dalam mengekspansi pangsa pasar kakao Indonesia dalam bentuk kakao olahan.

Berdasarkan penjelasan pada bagian latar belakang, penerapan bea keluar ini memiliki beberapa dampak, yaitu tumbuhnya industri kakao dalam negeri, serta adanya perbedaan komposisi ekspor dan impor kakao Indonesia. Perbedaan komposisi ekspor dan impor ini dilihat dari penurunan ekspor kakao dan pada tahun 2014 terjadi lonjakan impor kakao. Selain itu, ekspor kakao olahan juga menjadi meningkat, yaitu dari 24 persen menjadi 54 persen. Hal ini juga akan berdampak pada posisi masing-masing produk kakao Indonesia di pasar internasional.

Dalam menerapkan kebijakan bea keluar tersebut, pemerintah tentu mengharapkan kakao olahan Indonesia dapat bersaing di pasar internasional, tidak hanya biji kakao saja. Dengan lebih banyak menjual kakao olahan ke pasar internasional tentu akan meningkatkan devisa negara dibandingkan lebih banyak menjual biji kakao dengan nilai jual yang lebih rendah, apalagi Indonesia masih banyak menjual biji kakao dalam bentuk non-fermented sehingga sering mendapat potongan harga di pasar internaisonal. Hal ini membuat pengembangan produk dari biji kakao menjadi kakao olahan menjadi sangat penting. Namun di sisi lain, posisi biji kakao Indonesia di pasar internasional juga ikut bergeser, terutama jika mempertimbangkan impor yang melonjak naik pada tahun 2014.

Karena itu, perlu melihat posisi daya saing masing-masing produk kakao Indonesia sebelum dan sesudah penerapan kebijakan bea keluar terhadap biji kakao. Dalam melihat posisi daya saing tersebut tidak hanya melihat dari sisi ekspor saja, tapi juga mempertimbangkan sisi impornya sehingga dapat mengetahui lebih spesifik kondisi daya saing produk kakao Indonesia di pasar internasional sebelum dan sesudah diterapkannya kebijakan bea keluar. Selain itu, akan dibahas pula dampak penerapan bea keluar pada pendapatan negara yang berasal dari aktivitas bea keluar biji kakao. Sehingga masalah yang dapat dirumuskan antara lain:

1. Apa dampak penerapan bea keluar pada pendapatan negara?

2. Bagaimana daya saing biji kakao dan kakao olahan Indonesia di pasar internasional?

3. Bagaimana pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing biji kakao dan kakao olahan Indonesia di pasar internasional?

Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dengan harapan dapat mencapai tujuan sebagai berikut:

1. Mendeskripsikan dampak penerapan bea keluar pada pendapatan negara 2. Mendeskripsikan daya saing biji kakao dan kakao olahan Indonesia di pasar

internasional

3. Menganalisis pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing biji kakao dan kakao olahan Indonesia di pasar internasional

(22)

6

Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dari adanya penelitian ini adalah sebagai referensi dan bahan kajian untuk penelitian selanjutnya, terutama yang berfokus pada perdagangan internasional, kebijakan perdagangan khususnya bea keluar, maupun komoditas kakao.

Ruang Lingkup

Produk kakao yang menjadi objek penelitian ini didasarkan pada kode Harmonized System (HS) empat digit, yaitu biji kakao (HS 1801), dan kakao olahan yang terdiri dari pasta kakao (HS 1803), lemak kakao (HS 1804), bubuk kakao (HS 1805), dan coklat dan makanan lain yang mengandung coklat (HS 1806).

TINJAUAN PUSTAKA

Pengaruh Kebijakan Bea Keluar

Bea keluar atau pajak ekspor merupakan salah satu instrumen kebijakan perdagangan internasional yang diterapkan suatu negara dengan tujuan meningkatkan penerimaan pemerintah atau untuk melindungi jumlah pasokan produk atau komoditi primer tertentu di dalam negeri sehingga dapat diolah pada industri pengolahan dalam negeri. Pajak ekspor ini diterapkan pada beberapa komoditi ekspor unggulan Indonesia, salah satunya adalah kakao.

Dampak dari penerapan pajak ekspor pada ekspor biji kakao ini adalah dapat meningkatkan kemampuan industri pengolahan dalam menyerap biji kakao domestik dan juga meningkatkan jumlah industri hilir kakao yang ada di Indonesia (Hasibuan et al 2012; Syadullah 2012). Sedangkan pada sisi petani dan rantai pasok kakao Indonesia, petani memiliki posisi yang lebih kuat di pasar dibandingkan pengekspor biji kakao setelah penerapan kebijakan pajak ekspor yang diakibatkan oleh harga yang diterima petani merupakan harga biji kakao di pasar internasional. Hal ini berdampak pada margin yang didapatkan oleh pengekspor biji kakao menjadi lebih rendah dengan adanya pajak ekspor ini dan para pengekspor biji kakao harus bersaing untuk mendapatkan biji kakao dari petani, di mana petani lebih memilih untuk menjual ke industri pengolahan kakao (Rifin 2012).

Pada kasus komoditi crude palm oil (CPO) Indonesia, pajak ekspor juga memengaruhi harga CPO domestik, dimana terjadi peningkatan harga CPO domestik (Hutabarat 2008). Pajak ekspor yang diterapkan pada CPO Indonesia juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap industri CPO Indonesia dan pemerintah dapat menekan harga minyak goreng sehingga dapat menguntungkan konsumen dalam negeri (Obado et al 2009).

Selain dari sisi petani, harga, dan kinerja industri pengolahan, dampak penerapan kebijakan ini juga berpengaruh terhadap kinerja perdagangan. Pajak ekspor memiliki hubungan yang sangat kuat dengan kinerja perdagangan, dimana pajak ekspor memiliki keterkaitan dengan penurunan perdagangan yang cukup besar, terutama jika dikenakan pada produk pertambangan (Solleder 2013). Penerapan pajak ekspor komoditas pertanian memiliki hasil yang berbeda. Pada kasus CPO Indonesia, pajak ekspor tidak berpengaruh signifikan terhadap

(23)

7 keputusan produsen untuk menjual CPO di pasar domestik. Produsen CPO tetap memilih untuk mengekspor CPO ke pasar internasional daripada dijual di pasar domestik karena harga di pasar dunia lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar domestik (Kusumawardhana 2008). Selain itu, penerapan pajak ekspor memiliki efek jangka panjang dan negatif terhadap daya saing komoditas (Hasan et al 2001). Hal ini juga dibuktikan dengan penelitian tentang pengaruh penerapan kebijakan pajak ekspor terhadap daya saing ekspor CPO Indonesia, dimana terjadi penurunan daya saing CPO Indonesia (Rifin 2010).

Selain itu, penelitian serupa dilakukan untuk menganalisis pengaruh penerapan pajak ekspor terhadap daya saing ekspor kakao Indonesia, dimana pertumbuhan ekspor kakao Indonesia tahun 2009 hingga 2011 masih jauh dibawah pertumbuhan ekspor dunia, bahkan mengalami pertumbuhan negatif. Pertumbuhan negatif dari ekspor kakao disebabkan karena adanya komposisi produk kakao Indonesia yang kurang mengikuti kebutuhan pasar dan daya saing produk kakao Indonesia masih lemah dibandingkan negara-negara pengekspor lainnya (Rifin 2012). Peneliti juga menyarankan agar produk biji kakao Indonesia harus dialihkan ke produk yang bernilai tambah seperti biji kakao fermentasi dan juga mengkhususkan pada ekspor kakao olahan seperti pasta kakao dan lemak kakao. Pajak ekspor juga memiliki pengaruh negatif terhadap volume ekspor biji kakao dan memiliki pengaruh positif terhadap ketersediaan domestik biji kakao (Putri et al 2014).

Daya Saing Kakao Indonesia

Daya saing produk kakao Indonesia di pasar internasional, baik produk biji maupun olahan, semakin meningkat dari tahun ke tahun. Produk kakao olahan Indonesia memiliki daya saing yang rendah pada tahun 1988 hingga tahun 1995. Namun pada tahun 1996 hingga 2006 terjadi peningkatan terhadap daya saing kakao olahan. Peningkatan tersebut disebabkan oleh naiknya permintaan terhadap hasil olahan kakao yang terus meningkat setiap tahunnya (Rahmanu 2009). Selain itu, penelitian tersebut juga menganalisis tentang faktor-faktor yang mempengaruhi daya saing kakao olahan Indonesia, di mana faktor-faktor yang berpengaruh signifikan terhadap daya saing kakao olahan Indonesia antara lain harga ekspor, volume ekspor, serta adanya krisis ekonomi yang sempat melanda Indonesia.

Indonesia memiliki keunggulan komparatif dan cenderung masih menjadi negara eksportir untuk produk biji kakao pada rentang tahun 2001 hingga 2011 (Fitriana et al 2014; Ragimun [tahun terbit tidak diketahui]). Selain itu, komoditi biji kakao dari Indonesia tidak dapat bersaing di pasar Uni Eropa dikarenakan mutu yang rendah. Selain itu, biji kakao Indonesia sulit untuk masuk ke pasar Uni Eropa karena adanya bea masuk yang ditetapkan oleh Uni Eropa terhadap biji kakao Indonesia. Jika dilihat dari keunggulan kompetitifnya, semua produk kakao Indonesia memiliki keunggulan kompetitif (Hasibuan et al 2012).

Sedangkan menurut Hanafi (2015) masing-masing produk kakao memiliki struktur pasar yang berbeda, dimana produk kakao Indonesia secara umum (HS 18) cenderung ke arah pasar persaingan sempurna dan produk kakao lainnya (biji kakao, pasta kakao, lemak kakao, dan bubuk kakao) cenderung ke arah pasar oligopoli. Masing-masing produk kakao juga memiliki keunggulan komparatif yang berbeda, dimana biji kakao memiliki keunggulan komparatif yang tinggi dibandingkan

(24)

8

produk lainnya, terutama produk bubuk kakao. Sedangkan, semua produk kakao Indonesia memiliki keunggulan kompetitif yang tinggi dan memiliki posisi ideal pasar dimana perdagangan produk tersebut sedang mengalami tambahan pangsa pasar yang tumbuh dengan pesat. Indonesia juga cenderung menjadi negara eksportir untuk produk kakao secara umum, biji kakao, pasta kakao, dan lemak kakao. Sedangkan untuk bubuk kakao, Indonesia tidak memiliki spesialisasi sebagai negara eksportir.

Metode yang digunakan untuk mengukur daya saing beragam. Untuk melihat keunggulan komparatif suatu komoditas, metode yang paling umum digunakan adalah metode Revealed Comparative Advantage (RCA) yang melihat dari kinerja ekspor komoditas pada suatu negara (Rahmanu 2009; Fitriana et al 2014; Hanafi 2015; Hasibuan et al 2012; Ragimun [tahun terbit tidak diketahui]). Namun, beberapa penelitian menggunakan metode alternatif untuk melihat keunggulan komparatif suatu komoditas yang tidak hanya melihat kinerja ekspor saja, tapi juga mempertimbangkan nilai impornya yang juga besar. Metode tersebut lebih dikenal sebagai Relative Trade Advantage (RTA) (Bojnec dan Ferto [tahun terbit tidak diketahui]; Ferto dan Hubbard 2002; Karaalp dan Yilmaz 2012; Frohberg 1999; Bustami dan Hidayat 2013).

Faktor-Faktor Yang Memengaruhi Ekspor dan Daya Saing

Menurut Arleen (2006), ekspor kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh ketersediaan produk, harga dunia, dan nilai tukar dan dipengaruhi negatif oleh harga domestik. Suryana et al (2014) menganalisis perdagangan kakao Indonesia di pasar internasional dengan metode Gravity Model, yang berfokus pada produk biji, butter, dan powder. GDP riil per kapita Indonesia memiliki pengaruh positif terhadap ekspor biji, butter dan powder kakao Indonesia, begitu pula GDP riil per kapita negara tujuan ekspor dan nilai tukar riil Rupiah terhadap mata uang negara importir. Jarak ekonomi Indonesia dengan negara importir memiliki pengaruh negatif terhadap ekspor biji dan butter kakao Indonesia. Penerapan bea keluar terhadap kakao biji memiliki pengaruh negatif terhadap ekspor biji, namun memiliki pengaruh positif terhadap ekspor butter kakao.

Sedangkan Firsya (2014) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi aliran ekspor komoditas kakao olahan Indonesia dan menemukan bahwa GDP Indonesia, harga ekspor kakao olahan Indonesia, dan bea keluar memiliki pengaruh positif terhadap aliran ekspor pasta kakao Indonesia, sedangkan GDP negara tujuan ekspor, populasi Indonesia, nilai tukar, dan jarak ekonomi memiliki pengaruh negatif. Untuk aliran ekspor lemak kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh GDP Indonesia, dan bea keluar, namun dipengaruhi negatif oleh GDP negara tujuan ekspor, populasi negara tujuan ekspor, populasi Indonesia, harga ekspor kakao olahan, nilai tukar, dan jarak ekonomi. Sedangkan aliran ekspor bubuk kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh GDP negara tujuan ekspor, populasi Indonesia, dan bea keluar, namun dipengaruhi negatif oleh populasi negara tujuan ekspor, harga ekspor kakao olahan, nilai tukar, dan jarak ekonomi.

Yulianti (2013) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi daya saing masing-masing produk kakao Indonesia, antara lain biji, pasta, lemak, dan bubuk kakao. Menurut penelitiannya, daya saing biji kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh harga domestik biji kakao, nilai tukar Ringgit Malaysia, nilai tukar Dollar

(25)

9 Singapura, namun dipengaruhi negatif oleh nilai tukar Rupiah. Daya saing pasta kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh harga domestik pasta kakao dan dipengaruhi negatif oleh nilai tukar New Zealand. Daya saing lemak kakao Indonesia lebih dipengaruhi positif oleh nilai tukar Rupiah dan daya saing bubuk kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh harga domestik bubuk kakao.

Sedangkan menurut Munandar et al (2006) yang meneliti tentang faktor-faktor yang memengaruhi daya saing produk lemak dan bubuk kakao Indonesia, daya saing produk lemak kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh nilai tukar, harga produk komplemen 1, namun dipengaruhi negatif oleh pendapatan per kapita Indonesia, dan harga produk komplemen 2. Daya saing produk bubuk kakao Indonesia dipengaruhi positif oleh nilai tukar, tingkat liberalisasi perdagangan, harga lemak kakao, pendapatan per kapita negara pengimpor, dan dipengaruhi negatif oleh tingkat suku bunga dan pendapatan per kapita Indonesia. Selain itu, menurut penelitian yang dilakukan oleh Rahmanu (2009), daya saing kakao olahan dipengaruhi positif oleh harga ekspor kakao olahan, volume ekspor kakao olahan, serta periode krisis ekonomi yang terjadi tahun 1997.

Idris (2014) juga meneliti faktor-faktor yang memengaruhi daya saing komoditas kakao Provinsi Sulawesi Selatan dan variabel produktivitas, volume ekspor, nilai tukar, serta pemberlakuan program Gernas memiliki pengaruh positif terhadap daya saing kakao Provinsi Sulawesi Selatan, sedangkan penerapan bea keluar ekspor biji kakao memiliki pengaruh yang negatif. Sedangkan Radityo et al (2014) menganalisis daya saing karet alam Indonesia di pasar dunia dan menemukan bahwa daya saing karet alam Indonesia dipengaruhi positif oleh luas areal panen dan produktivitas, serta dipengaruhi negatif oleh pangsa pasar Thailand, pangsa pasar Malaysia, dan pangsa pasar Vietnam.

KERANGKA PEMIKIRAN

Kerangka Pemikiran Teoritis

Kerangka pemikiran dalam penelitian ini didukung oleh teori-teori yang berkaitan dengan tujuan penelitian. Teori-teori tersebut antara lain daya saing, kebijakan bea keluar, dan hubungan bea keluar dengan daya saing.

Konsep Daya Saing dan Faktor yang Memengaruhinya

Daya saing merupakan salah satu ukuran untuk menggambarkan kinerja suatu individu, perusahaan, ataupun negara. Menurut World Bank (2014), daya saing merupakan hasil dari keterkaitan yang kuat antara impor dan ekspor. Hal setara diungkapkan The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) (2015) yang menyebutkan bahwa daya saing merupakan suatu pengukuran keunggulan ataupun kerugian suatu negara dalam menjual produk-produknya pada pasar internasional. Pengukuran daya saing komoditas dapat dilakukan dengan menggunakan beberapa pendekatan, salah satunya dengan pendekatan keunggulan komparatif.

Keunggulan komparatif pertama kali digagas oleh Ricardo dengan dasar pemikiran teori ini yang dilihat dari cara pengukuran keunggulan suatu negara yang

(26)

10

dilihat dari komparatif biayanya. Sehingga negara yang memiliki biaya yang relatif lebih rendah, atau memiliki keunggulan komparatif, dalam menghasilkan suatu produk akan mengekspor produk tersebut dan negara lain yang memiliki biaya yang relatif lebih tinggi atau memiliki kerugian komparatif akan mengimpor. Berdasarkan model Ricardo, biaya yang dimaksud adalah perbedaan produktivitas tenaga kerja antar negara, namun Heckser-Ohlin mengemukakan bahwa biaya tersebut didasarkan pada perbedaan kelimpahan faktor (factor endowment) dan intensitas faktor (factor intensity).

Menurut Sanidas dan Shin (2010), teori ini masih sulit untuk diaplikasikan dalam analisis yang empiris, terutama dalam mengukur keunggulan komparatif untuk menganalisis kinerja perdagangan karena variabel autarki yang digunakan sulit untuk diobservasi, seperti harga relatif dan biaya produksi. Ballasa kemudian mengembangkan metode untuk mengukur keunggulan komparatif dengan melihat variabel pasca-perdagangan (post-trade variables), yaitu nilai ekspor dan nilai impor yang dikomparasi dengan nilai ekspor dan nilai impor dengan negara lain ataupun dunia. Nilai komparasi tersebut yang menentukan apakah produk atau komoditas suatu negara memiliki keunggulan komparatif (daya saing) atau tidak.

Balassa (1965) menggunakan pangsa ekspor relatif untuk menghitung daya saing berdasarkan keunggulan komparatifnya yang lebih dikenal sebagai Indeks Balassa atau Revealed Comparative Advantage (RCA). RCA Namun, banyak peneliti yang kemudian mencoba mengembangkan RCA karena metode ini dianggap tidak dapat dibandingkan dan tidak konsisten, salah satunya ialah Vollrath dengan rumus Relative Trade Advantage (RTA). RCA mengukur kinerja ekspor suatu komoditi tertentu dengan total ekspor suatu wilayah dibandingkan dengan pangsa komoditi tersebut dalam perdagangan dunia, sedangkan RTA mengukur keunggulan komparatif dengan menghitung perbedaan antara keunggulan ekspor relatif dan keunggulan penetrasi impor relatif. Indeks ini didasarkan pada pemikiran bahwa nilai ekspor suatu negara bisa saja besar, namun nilai impor produk yang juga sama besar atau bahkan lebih besar (Tambunan 2004).

Daya saing juga dapat dipengaruhi oleh faktor ekonomi suatu negara secara tidak langsung, yaitu melalui kegiatan ekspor dan impor. Kegiatan ekspor dan impor tidak lepas dari mekanisme permintaan dan penawaran yang dipengaruhi oleh faktor ekonomi suatu negara, seperti harga domestik, nilai tukar, dan Gross Domestic Product (GDP) negara tujuan ekspor.

Harga domestik memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan harga ekspor, namun cenderung memiliki nilai yang lebih tinggi dibandingkan harga impor. Jika harga domestik suatu produk di suatu negara lebih rendah dibandingkan harga ekspornya, maka eksportir akan cenderung mengekspor produk tersebut sehingga dapat meningkatkan daya saing produk. Namun, jika harga domestik suatu produk di suatu negara lebih tinggi dibandingkan harga produk yang sama di negara lain, maka importir akan cenderung mengimpor produk tersebut sehingga produk tersebut memiliki daya saing yang rendah. Mekanisme tersebut dijelaskan oleh kurva berikut, di mana kurva a menunjukkan kondisi pasar di negara pengeskpor, kurva b menunjukkan kondisi pasar di negara pengimpor, kurva tengah menunjukkan pasar internasional, Pa menunjukkan harga domestik di negara pengeskpor, Pb menunjukkan harga domestik di negara pengimpor, dan P menunjukkan harga ekspor-impor, EA adalah besar komoditas yang diekspor, dan EB merupakan besar komoditas yang diimpor.

(27)

11

Sumber: Salvatore, 1997

Gambar 4 Kurva Perdagangan Internasional

Nilai tukar memiliki peran penting dalam perdagangan internasional karena dapat membandingkan harga barang dan jasa yang dihasilkan oleh negara yang berbeda (Krugman dan Obstfeld 2009). Jika rupiah terdepresiasi (melemah), maka harga produk dari Indonesia di negara lain relatif lebih murah dan harga produk lain relatif menjadi lebih mahal di Indonesia, sehingga akan mendorong ekspor produk dari Indonesia dan meningkatkan daya saingnya, begitu pula sebaliknya.

Sedangkan GDP merupakan suatu gambaran pendapatan dari suatu negara, yang mengukur total nilai semua barang dan jasa yang dihasilkan dari negara tersebut. Semakin besar nilai GDP suatu negara, maka negara tersebut cenderung menghabiskan sejumlah besar impor karena mereka memiliki pendapatan yang besar (Krugman dan Obstfeld 2009). Semakin besar nilai GDP negara tujuan ekspor, maka semakin besar impor produk yang dilakukan oleh negara tersebut dan hal ini akan meningkatkan daya saing produk negara yang melakukan ekspor, begitu pula sebaliknya.

Kebijakan Bea Keluar

Kebijakan bea keluar atau pajak ekspor merupakan salah satu bentuk kebijakan perdagangan internasional dalam bentuk tarif yang dikenakan atas produk atau komoditas yang diekspor (Salvatore 1997). Kebijakan ini dilakukan sebagai proses proteksi terhadap produk-produk yang dianggap sebagai penghambat dalam proses perdagangan bebas, di mana digunakan untuk mencapai berbagai tujuan, antara lain meningkatkan penerimaan negara, mengendalikan pasokan suatu barang dalam negeri, dan lain-lain.

Terdapat beberapa jenis tarif bea keluar, yaitu tarif ad valorem, tarif spesifik, dan tarif campuran (Salvatore 1997). Tarif advalorem merupakan pajak yang dikenakan berdasarkan angka persentase tertentu dari nilai barang-barang yang diimpor, sedangkan tarif spesifik dikenakan sebagai beban tetap tiap unit barang yang diimpor. Tarif campuran merupakan gabungan dari kedua tarif yang telah dijelaskan sebelumnya. Pengenaan jenis tarif ini berbeda antara satu komoditas dengan komoditas lainnya, tergantung regulasi yang ditetapkan oleh pemerintah negara tersebut.

Terdapat beberapa dampak akibat pengenaan tarif, antara lain dampak pemberlakuan tarif terhadap konsumsi, dampak pengenaan tarif terhadap produksi, dan dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan (Salvatore 1997). Dampak pemberlakuan tarif ekspor terhadap konsumsi yaitu meningkatnya konsumsi domestik. Dampak pengenaan tarif terhadap produksi adalah peningkatan produk domestik, khususnya terhadap komoditi yang semula lebih banyak diekspor.

(28)

12

Dampak pengenaan tarif terhadap perdagangan merupakan turunnya ekspor akibat kenaikan harga di negara pengekspor.

Secara teori, penerapan bea keluar dapat menurunkan harga domestik dan meningkatkan harga ekspor. Ilustrasi pada Gambar 5 menunjukkan bahwa ketika diterapkan tarif bea keluar sebesar t, maka harga ekspor akan meningkat sebesar P* dan harga domestik turun menjadi P2. Hal ini mengakibatkan kuantitas barang yang

diekspor (Q) akan berkurang dari Q1 menjadi Q2. Penerapan bea keluar ini juga

mengakibatkan kerugian pada sisi produsen/eksportir sebesar luas MLN dan meningkatkan nilai tukar perdagangan sebesar luas P*KLP1. Sedangkan

pendapatan dari pajak yang diterima pemerintah adalah sebesar P*KMP2.

Pemerintah Indonesia menerapkan bea keluar atau pajak ekspor untuk beberapa komoditas pertanian Indonesia, terutama komoditas perkebunan yang banyak diekspor ke pasar internasional, salah satunya biji kakao. Tarif bea keluar yang ditetapkan pemerintah merupakan tarif ad valorem atau didasarkan pada persentase harga ekspor. Tarif bea keluar ini ditetapkan secara bulanan melalui Keputusan Menteri Keuangan berdasarkan harga referensi yang ditetapkan juga secara bulanan melalui Peraturan Menteri Perdagangan. Besar tarif bea keluar tiap bulannya bisa saja berbeda, tergantung besarnya harga referensi yang ditetapkan.

P P* K S N P1 L P2 M D Q2 Q1 Q

Sumber: Helpman dan Krugman dalam Rifin 2010

Keterangan: P : Harga

Q : Jumlah ekspor

P1 : Harga keseimbangan ekspor

P2 : Harga domestik

P* : Harga ekspor setelah pemberlakuan pajak (dimana, P* = P1 + tax)

Q1 : Jumlah ekspor keseimbangan

Q2 : Jumlah ekspor setelah pemberlakuan pajak

Hubungan Bea Keluar dengan Daya Saing

Bea keluar memang tidak secara langsung memengaruhi daya saing suatu produk. Namun adanya bea keluar akan meningkatkan biaya ekspor yang kemudian meningkatkan harga ekspor produk tersebut. Peningkatan harga ekspor akan berdampak pada permintaan ekspor produk, di mana permintaan ekspor akan menurun. Di sisi eksportir, penerapan bea keluar ini akan menurunkan minat

(29)

13 eksportir untuk mengekspor biji kakao sehingga dapat berdampak pada penurunan ekspor biji kakao. Hal ini akan menurunkan daya saing biji kakao. Dampak tersebut akan dirasakan bagi produk atau komoditas yang dikenakan bea keluar. Jika bea keluar dikenakan pada produk primer, seperti biji kakao, maka daya saing biji kakao semakin lama akan semakin turun atau bea keluar akan memiliki pengaruh negatif terhadap daya saing.

Berbeda dengan produk turunan atau kakao olahan yang tidak dikenakan bea keluar. Adanya bea keluar terhadap biji kakao membuat jumlah ketersediaan biji kakao dalam negeri semakin meningkat. Hal ini diakibatkan oleh turunnya ekspor biji kakao. Banyaknya jumlah pasokan biji kakao di dalam negeri kemudian menjadi peluang bagi industri pengolahan kakao untuk mengembangkan bisnisnya. Pada akhirnya biji kakao akan diolah pada industri pengolahan dalam negeri menjadi berbagai macam bentuk produk kakao olahan, baik produk antara seperti pasta kakao, lemak kakao, bubuk kakao, maupun produk akhir seperti coklat dan makanan lain mengandung coklat. Peningkatan produksi kakao olahan ini akan mendorong penawaran kakao olahan Indonesia ke pasar internasional yang pada akhirnya akan mendorong ekspor kakao olahan yang memiliki nilai tambah lebih besar dibandingkan produk primer atau biji kakao. Hal ini juga akan meningkatkan daya saing dan posisi kakao olahan Indonesia di pasar internasional. Sehingga adanya penerapan bea keluar terhadap biji kakao ini secara tidak langsung memiliki pengaruh positif terhadap daya saing produk kakao olahan. Hubungan bea keluar dengan daya saing dapat dilihat pada bagan berikut.

Keterangan:

= X akan meningkatkan Y = X akan menurunkan Y

Gambar 6 Bagan Hubungan Bea Keluar dengan Daya Saing ( + ) ( + ) Bea Keluar Daya Saing Harga ekspor biji kakao Ekspor biji kakao Ketersediaan biji kakao dalam negeri Produksi Kakao Olahan Ekspor pasta kakao Ekspor lemak kakao Ekspor bubuk kakao

Ekspor coklat dan makanan lain mengandung coklat (+) ( - ) ( - ) ( + ) ( + ) ( + ) ( + ) ( + ) ( + ) ( + ) ( + ) X Y ( + ) X Y ( - )

(30)

14

Kerangka Pemikiran Operasional

Indonesia memiliki posisi yang penting dalam perdagangan kakao dunia. Namun Indonesia lebih banyak melakukan ekspor untuk biji kakao dibandingkan kakao olahan seperti pasta, lemak, bubuk, dan coklat dan makanan lain mnegandung coklat. Padahal dengan lebih banyak menjual kakao olahan yang memiliki nilai jual lebih besar di pasar internasional, Indonesia dapat meningkatkan cadangan devisanya dibandingkan dengan lebih banyak menjual kakao dalam bentuk biji.

Pemerintah kemudian menerapkan kebijakan bea keluar untuk menekan ekspor biji kakao, sehingga pasokan biji kakao untuk kegiatan industri pengolahan dalam negeri lebih terjamin dan dapat meningkatkan produksi kakao olahan. Penerapan kebijakan ini ternyata berdampak pada peningkatan kinerja industri pengolahan kakao dan juga perubahan komposisi ekspor dan impor produk kakao Indonesia, antara lain penurunan ekspor biji kakao dan juga peningkatan ekspor kakao olahan. Selain itu, pada tahun 2014 terjadi peningkatan impor biji kakao yang cukup signfikan. Hal ini berakibat pada posisi daya saing biji dan kakao olahan Indonesia.

Oleh karena itu, daya saing produk kakao Indonesia penting untuk diketahui dengan mengukur keunggulan komparatif dari sisi ekspor maupun impornya dengan menggunakan metode Relative Trade Advantage (RTA). Kemudian akan dianalisis pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing dengan uji stastik bersama faktor-faktor lain, seperti harga domestik riil, GDP per kapita riil negara tujuan ekspor utama, dan nilai tukar riil. Kerangka pemikiran operasional secara jelas diterangkan pada gambar berikut.

(31)

15

Peningkatan kinerja industri hilir kakao

Faktor-faktor lain yang memengaruhi: - Harga domestik riil - GDP per kapita riil

negara tujuan ekspor utama

- Nilai tukar riil Besarnya ekspor biji kakao

Indonesia dibandingkan kakao olahan

Penerapan kebijakan bea keluar terhadap biji kakao

PMK No.

Perubahan komposisi ekspor dan impor kakao Indonesia

Daya Saing Kakao Indonesia Penurunan ekspor biji

kakao

- Peningkatan ekspor kakao olahan - Peningkatan impor biji kakao

RTA

(Relative Trade Advantage)

Analisis Regresi (Metode OLS)

Pengaruh Bea Keluar Terhadap Daya Saing Kakao Indonesia

(32)

16

METODE PENELITIAN

Jenis dan Sumber Data Penelitian

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data sekunder. Jenis data beserta sumbernya dapat dilihat pada tabel berikut. Untuk menjawab tujuan pertam, data yang digunakan berupa deret waktu (time series) periode bulanan, yaitu April 2010 hingga Desember 2014. Sedangkan untuk menjawab tujuan lainnya, data yang digunakan berupa data deret waktu (time series) periode tahunan, yaitu rentang tahun 1990 hingga tahun 2014. Selain itu, data juga diperoleh dari skripsi, buku teks, jurnal, serta artikel internet yang berkaitan dengan penelitian ini.

Tabel 4 Sumber Data

Sumber Data Jenis Data

UN Comtrade Nilai ekspor kakao/semua komoditas Indonesia dan dunia

UN Comtrade Nilai impor kakao/semua komoditas Indonesia dan dunia

Badan Pusat Statistik Harga domestik kakao olahan

Direktorat Jenderal Perkebunan Harga domestik biji kakao

World Bank GDP per kapita negara tujuan ekspor utama

World Bank Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar

World Bank Indeks Harga Konsumen

Kementerian Keuangan Tarif bea keluar biji kakao

Metode Pengolahan dan Analisis Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif dan kuantitatif. Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan implikasi penerapan bea keluar biji kakao, kondisi daya saing, serta pengaruh bea keluar terhadap daya saing produk kakao Indonesia yang diharapkan dapat membantu mempertajam analisis kuantitatif. Metode ini juga berperan dalam mendorong pemahaman awal pembaca mengenai hasil analisis yang dilakukan.

Sedangkan metode kuantitatif yang digunakan dalam penelitian antara lain metode Relative Trade Advantage (RTA) untuk menganalisis dan mengidentifikasi keunggulan produk kakao Indonesia di pasar internasional secara komparatif, dan metode Ordinary Least Square (OLS) untuk melihat pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing produk kakao Indonesia. Hasil analisis dengan metode kuantitatif disajikan dalam bentuk tabulasi dan grafik, serta diuraikan secara deskriptif berdasarkan tujuan teoritisnya

Metode Relative Trade Advantage (RTA)

Relative Trade Advantage (RTA) merupakan salah satu metode untuk mengetahui daya saing produk secara komparatif. Konsep ini dikenalkan oleh Vollrath pada tahun 1991 sebagai alternatif dalam mengetahui keuntungan komparatif produk suatu negara dalam perdagangan dengan memodifikasi metode Revealed Comparative Advantage (RCA). RTA dapat diformulasikan sebagai berikut:

(33)

17 RTAj = RXAj – RMAj

Dimana: RXA = (Xj/X(k-j)) / (Xwj/Xw (k-j))

RMA = (Mj/M(k-j)) / (Mwj/Mw (k-j))

X = nilai ekspor (US$) j = komoditas j w = dunia M = nilai impor (US$) k = semua komoditas

Indeks RXA yang digagas oleh Vollrath tersebut ekuivalen dengan indeks RCA yang digagas oleh Ballasa, yang membedakan adalah komponen “total”, baik dunia atau semua komoditas, yang dimaknai sebagai total keseluruhan negara atau komoditas, kecuali negara atau komoditas yang diteliti (Frohberg 1999).

Jika nilai RTA > 0, maka komoditas yang ada di negara tersebut memiliki keunggulan secara komparatif. Nilai RTA < 0 berarti komoditas negara tersebut tidak memiliki keunggulan secara komparatif, dan RTA = 0 berarti komoditas negara tersebut berada pada posisi break even point atau keseimbangan tanpa keunggulan maupun kerugian secara komparatif.

Metode Ordinary Least Square (OLS)

Metode analisis yang digunakan dalam melihat pengaruh penerapan bea keluar terhadap daya saing kakao Indonesia adalah regresi linear berganda dengan metode Ordinary Least Square (OLS). Dalam menggunakan metode OLS, peduga regresi harus bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimation). Akan tetapi, sifat tersebut didasarkan pada berbagai asumsi yang tidak dapat dilanggar agar penduga tetap bersifat BLUE. Teorema tersebut dikenal dengan Teorema Gauss Markov. Jika persyaratan tersebut dipenuhi maka metode OLS dapat memberikan penduga koefisien regresi yang baik. Asumsi-asumsi yang melandasi estimasi koefisien regresi dengan metode OLS antara lain (Firdaus 2004):

1. Model linear dalam parameter yang diestimasi

2. Tidak terdapat multikoliner diantara variabel independent 3. Rata-rata error adalah nol

4. Tidak ada autokorelasi atau korelasi antar error, dimana untuk dua X, Xi dan

Xj; cov (µi, µj| Xi, Xj) = 0

5. Homoskedastisitas atau ragam sama untuk semua observasi (sample), yaitu E (µi | Xi) = σ2

Selain sesuai dengan asumsi-asumsi yang dijelaskan tersebut, penduga OLS dapat dikatakan sebagai Best Linear Unbiased Estimator (BLUE) jika model linear, nilai penduga tidak bias, dan penduga memiliki variasi minimum (efisien).

Perumusan Model

Selain melihat pengaruh faktor bea keluar terhadap daya saing produk kakao Indonesia, perlu dilihat juga faktor-faktor lain yang memengaruhi daya saing produk kakao Indonesia. Variabel-variabel yang diestimasi memengaruhi daya saing kakao didasarkan pada teori ekonomi dan beberapa penelitian terdahulu. Model yang digunakan pada penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Munandar et al (2006). Sehingga, fungsi persamaan daya saing produk kakao Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:

(34)

18

C = f (PDr, GDPr, ERr, BK)

Model persamaan daya saing masing-masing produk kakao Indonesia dapat dirumuskan sebagai berikut:

Daya Saing Biji Kakao Indonesia

C01t = a0 + a1 PD01rt + a2 GDPrt + a3 ERrt + a4 BKt + u

Keterangan: a0 : Intercept

a1 – a5 : Koefisien regresi

C01t : Daya saing biji kakao Indonesia periode t (nilai indeks RTA)

PD01rt : Harga domestik riil biji kakao Indonesia periode t (ribu Rp/ton)

GDPrt : GDP per kapita riil negara tujuan ekspor utama periode t (US$)

ERt : Nilai tukar riil periode t (IDR/US$)

BKt : Nilai bea keluar biji kakao Indonesia periode t (US$/MT)

u : error term

Tanda koefisien yang diharapkan: a1, a4 < 0; a2, a3 > 0

Daya Saing Kakao Olahan Indonesia

C0Xt = b0 + b1 PD0Xrt + b2 GDPrt + b3 ERrt + b4 BKt + u

Keterangan:

X : Digit terakhir kode HS kakao olahan b0 : Intercept

b1 – b5 : Koefisien regresi

C0Xt : Daya saing kakao olahan Indonesia periode t (nilai indeks RTA)

PD0Xrt: Harga domestik riil kakao olahan Indonesia periode t (ribu Rp/ton)

GDPrt : GDP per kapita riil negara tujuan ekspor utama periode t (US$)

ERrt : Nilai tukar periode t (IDR/US$)

BKt : Nilai bea keluar biji kakao Indonesia periode t (US$/MT)

u : error term

Tanda koefisien yang diharapkan: b1 < 0; b2, b3, b4 > 0

Perhitungan bea keluar diatur dalam PMK No. 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor Yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar Penetapan Bea Keluar Kakao. Tarif bea keluar dikeluarkan secara bulanan oleh Kementerian Perdagangan, namun data yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan data tahunan. Sehingga nilai bea keluar yang digunakan dalam penelitian ini adalah rata-rata nilai bea keluar dalam jangka waktu setahun. Rumus perhitungan nilai bea keluar adalah sebagai berikut.

(35)

19 Sedangkan nilai variabel riil merupakan nilai variabel nominal yang telah disesuaikan dengan inflasi yang ada pada periode waktu tertentu. Pada penelitian ini, variabel harga domestik dan nilai tukar dideflasi dengan nilai indeks harga konsumen (IHK) Indonesia, sedangkan variabel GDP per kapita negara tujuan ekspor utama telah dideflasi dengan nilai IHK negara tujuan ekspor utama masing-masing produk kakao.

Pengujian Asumsi Model

Untuk menghasilkan model yang efisien dan konsisten, diperlukan pengujian terhadap pelanggaran asumsi-asumsi klasik. Tujuannya adalah agar estimasi varibel penduga yang digunakan bersifat BLUE (Best Linear Unbiased Estimation) sehingga diperoleh kebenaran suatu model dalam penelitian. Pengujian asumsi yang dilakuan antara lain uji multikolinearitas, uji autokorelasi, uji normalitas, dan uji heteroskedastisitas.

A. Uji Multikolinearitas

Multikolineritas merupakan suatu kondisi dimana terdapat hubungan linear diantara variabel bebas dalam suatu persamaan. Kondisi ini dapat terjadi karena adanya kecenderungan variabel-variabel yang bergerak secara bersamaan. Model regresi yang memiliki gejala multikolinearitas akan memiliki nilai R2 yang tinggi namun variabel bebas banyak yang tidak signifikan dan tanda tidak sesuai dengan yang diharapkan. Suatu pelanggaran terhadap asumsi bahwa tidak ada hubungan sempurna antara variabel eksogen dalam sebuah persamaan regresi adalah adanya multikolinearitas sempurna. Jika semakin tinggi korelasi antara dua atau lebih variabel-variabel eksogen dalam sebuah model, semakin sulit memperkirakan keakuratan koefisien-koefisien pada model tersebut. Pengujian indikasi multikolinearitas dapat dilakukan dengan cara menghitung Variance Inflation Factor (VIF). VIF merupakan salah satu cara untuk mendeteksi multikolinearitas dengan melihat sejauh mana sebuah variabel penjelas dapat diterangkan oleh semua variabel penjelas lainnya dalam suatu persamaan regresi. Jika nilai VIF < 10, maka persamaan tersebut tidak ada masalah multikolinearitas.

𝑉𝐼𝐹 = 1

1 − 𝑅𝑋𝑖2 Keterangan:

VIF = Variance Inflation Factor

𝑅𝑋𝑖2 = korelasi antara variabel xi dengan variabel x yang lain

Semakin erat variabel xi denganvariabel bebas x lainnya maka nilai

𝑅𝑋𝑖2 akan meningkat dan nilai VIF akan meningkat. B. Uji Autokorelasi

Autokorelasi merupakan gejala adanya korelasi antara anggota serangkaian observasi yang diurutkan menurut deret waktu (Gujarati dan Porter 2008). Adanya gejala autokorelasi pada suatu persamaan akan menyebabkan estimasi regresi yang dihasilkan akan bias dan menyebabkan perhitungan nilai uji F dan uji t tidak dapat diandalkan. Dampak dari autokorelasi adalah nilai perhitungan koefisien determinasi (R2), nilai uji F,

(36)

20

dan nilai uji t akan sangat tinggi (overestimated), sehingga tampak bahwa model yang diestimasi baik dan masing-masing variabel independen signifikan secara statistik, padahal hal tersebut disebabkan karena adanya autokorelasi yang menyebabkan hasil perhitungan menjadi bias (Gujarati dan Porter 2008). Masalah autokorelasi akan sulit dihindari karena data yang terdapat dalam satu periode bisa saja dipengaruhi oleh data yang terjadi pada periode sebelumnya.

Pengujian autokorelasi dapat dilakukan dengan uji Durbin-Watson d statistics. Nilai DW berkisar antara 0 sampai 4. Nilai DW yang aman dapat ditentukan dengan membandingkan nilai d yang telah dihitung dengan d titik kritis pada tabel DW. Nilai DW pada tabel memuat dua nilai, yaitu nilai batas atas (du) dan nilai batas bawah (dl) untuk masing-masing jumlah observasi yang diteliti (n) dan jumlah variabel independen selain konstanta (k). Patokan yang digunakan dalam pengujian Durbin-Watson adalah sebagai berikut.

Tabel 5 Tabel keputusan nilai Durbin-Watson

Nilai d hitung Kesimpulan Keterangan

d < dL Tolak H0 Ada autokorelasi positif

d > 4-dL Tolak H0 Ada autokorelasi negatif

du < d < 4-du Terima H0 Tidak ada autokorelasi

dl < d < du Tidak dapat disimpulkan Daerah tidak meyakinkan

4-du < d < 4-dL Tidak dapat disimpulkan Daerah tidak meyakinkan

Apabila pada model mengandung masalah autokorelasi, maka dapat diatasi dengan menambahkan autoregresif ordo pertama [AR(1)]. Model AR(1) dapat ditulis sebagai berikut:

yt = βxt + ut

ut = ρut-1 + εt

Keterangan:

yt = variabel dependen pada periode ke-t

xt = variabel independen pada periode ke t

β = koefisien regresi

ut = faktor gangguan pada periode ke t

ρ = koefisien ordo pertama dari autokorelasi ut-1 = faktor gangguan pada periode ke t-1

εt = faktor gangguan yang diprediksi untuk periode ke t

Penambahan AR(1) menyebabkan faktor gangguan (ut) mengikuti

proses ordo pertama autoregresif [AR(1)]. Variabel faktor gangguan yang diprediksi (εt) pada model AR(1) diasumsikan memiliki nilai rata-rata nol,

independen, dan memiliki ragam konstan, sehingga E(εt) = 0, E(εt)2 = σ2,

dan E(εt εt-s) = 0, di mana s ≠ 0.

Nilai koefisien ordo pertama dari autokorelasi (ρ) berkisar antara -1 hingga 1, di mana ketika nilai tersebut bernilai positif maka dpat dikatakan bahwa varians mengikuto pola sistematis positif yang berurut.

(37)

21 C. Uji Normalitas

Uji normalitas digunakan untuk melihat apakah nilai error term dari model regresi terdistribusi normal atau tidak. Hal ini dapat dilihat dari nilai probabilitas Jarque-Bera. Jika nilai probabilitas Jarque-Bera lebih besar dari taraf nyata, maka dapat diputuskan bahwa error term terdistribusi normal.

D. Uji Heteroskedastisitas

Uji heteroskedastisitas dilakukan untuk memastikan bahwa asumsi homoskedastisitas terpenuhi, yaitu faktor gangguan atau eror memiliki varian yang sama. Pada estimasi model, heteroskedastisitas dapat dideteksi dengan menggunakan uji Breusch-Pagan-Godfrey. Hipotesis nol dari uji Breusch-Pagan-Godfrey adalah tidak ada heteroskedastisitas, sedangkan hipotesis alternatifnya adalah terdapat heteroskedastisitas. Hipotesis nol ditolak apabila nilai probability observasi dikali R2 lebih besar dari nilai

Chi-square kritis pada tingkat signifikansi yang dipilih, yang berarti model memiliki heteroskedastisitas (Gujarati dan Porter 2008).

Pengujian Model Statistik

Secara statistika terdapat beberapa uji yang dapat digunakan untuk menentukan kesesuaian model, yaitu:

A. Uji F

Uji ini dilakukan untuk mengetahui apakah variabel independen di dalam model secara bersama-sama berpengaruh terhadap variabel dependen yang digunakan. Perumusan hipotesis yang digunakan adalah:

H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0

H1 : minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan 0

Kriteria ujinya adalah jika F hitung > F tabel, α, (k-1)(n-k) maka tolak H0,

dimana k adalah jumlah variabel (dengan intercept) dan jumlah observasi yang dilambangkan dengan huruf n. Selain itu, jika profitabilitas (p-value) < taraf nyata maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0

berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, dan sebaliknya. B. Uji t

Uji t merupakan uji untuk mengetahui tingkat signifikansi masing-masing variabel independen terhadap variabel dependen. Hipotesis yang digunakan dalam pengujian ini yaitu:

H0 : β1 = β2 = β3 = βk = 0

H1 : minimal ada satu nilai β yang tidak sama dengan 0

Kriteria uji yang digunakan adalah |t hitung| > tα/2,(n-k) maka tolak H0,

dimana jumlah observasi dilambangkan dengan huruf n, dan huruf k melambangkan jumlah variabel (termasuk intercept). Selain itu, jika profitabilitas (p-value) < taraf nyata maka sudah cukup bukti untuk menolak H0. Jika tolak H0 berarti secara bersama-sama variabel bebas dalam model

berpengaruh nyata terhadap variabel tidak bebas pada taraf nyata α persen, dan sebaliknya.

(38)

22

C. Koefisien Determinasi

Koefisien determinasi digunakan untuk menilai kemampuan model regresi yaitu proporsi keragaman variabel tak bebas yang dapat ditunjukkan oleh model regresi melalui variabel bebasnya. Koefisien determinasi dalalm regresi berganda dilambangkan dengan tanda R2. Koefisien ini

menunjukkan berapa besar persentase variabel dependen dapat dijelaskan oleh variabel-variabel independennya. Nilai koefisien determinasi berada pada skala 0 sampai 1, sehingga apabila nilai tersebut semakin mendekati 1 maka semakin baik variabel-variabel independen dalam menjelaskan variabel dependennya (Gujarati dan Porter 2008).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dampak Penerapan Bea Keluar Biji Kakao pada Pendapatan Negara Bea keluar ditetapkan secara bulanan berdasarkan harga referensi yang juga ditetapkan secara bulanan. Harga referensi tersebut didasarkan pada rata-rata harga biji kakao dunia pada periode sebulan sebelum ditetapkan. Sehingga semakin besar harga referensi, semakin besar tarif yang dibebankan. Selain harga referensi, Kementerian Perdagangan juga menetapkan harga patokan ekspor (HPE) untuk biji kakao secara bulanan.

Persentase tarif bea keluar biji kakao cenderung berada pada posisi lima dan sepuluh persen, sedangkan nilai tarif bea keluar cenderung fluktuatif karena bergantung pada (HPE) yang berlaku pada periode bulan tersebut. Pada April 2011, tarif bea keluar yang berlaku berada pada puncak tertingginya, yaitu 15 persen dengan nilai tarif sebesar US$ 480.5 per ton. Perkembangan nilai tarif bea keluar ini dapat dilihat pada Gambar 8.

Bea keluar merupakan sumbangan bagi pendapatan negara yang berasal dari pajak. Gambar 8 juga menggambarkan perkembangan pendapatan negara yang berasal dari aktivitas bea keluar biji kakao. Berdasarkan grafik tersebut, pendapatan negara dari aktivitas bea keluar biji kakao pada periode tahun 2010 masih cukup tinggi. Namun, pendapatan ini memiliki tren penurunan setiap bulannya. Hal ini mengindikasikan bahwa pergerakan pendapatan negara yang berasal dari bea keluar biji kakao ini lebih dipengaruhi oleh jumlah ekspor biji kakao. Pada tahun 2010, volume ekspor biji kakao Indonesia masih cukup tinggi sehingga mengakibatkan pendapatan pemerintah dari aktivitas ini juga cukup tinggi. Penurunan jumlah ekspor biji kakao pada periode selanjutnya pada akhirnys ikut menurunkan pendapatan negara ya berasal dari bea keluar.

Selain itu, respon negatif perubahan nilai tarif bea keluar terhadap ekspor biji kakao dapat dilihat pada Gambar 8, di mana perubahan jumlah ekspor biji kakao dapat dilihat pada pergerakan pendapatan negara dari aktivitas bea keluar tersebut. Semakin tinggi tarif bea keluar yang ditetapkan, pendapatan negara dari aktivitas bea keluar akan menurun yang berarti ada penurunan jumlah ekspor biji kakao. Hal ini terlihat pada periode April 2011 di mana tarif bea keluar berada pada posisi tertinggi. Tingginya tarif bea keluar membuat pendapatan negara menjadi turun secara signifikan. Hal ini mengindikasikan bahwa penetapan tarif bea keluar

(39)

23 sebesar 15 persen yang mengakibatkan eksportir biji kakao cenderung menahan biji kakao untuk diekspor ke negara lain untuk menghindari tingginya tarif yang dibebankan pada periode tersebut. Kemudian pada periode selanjutnya di mana tarif yang ditetapkan mulai menurun, eksportir kembali meningkatkan jumlah ekspor biji kakao. Hal ini juga terlihat pada periode-periode selanjutnya, di mana eksportir akan menahan biji kakao untuk diekspor pada posisi tarif yang cukup tinggi dan akan kembali mengekspor pada posisi tarif yang cukup rendah. Akibatnya, pendapatan negara dari aktivitas bea keluar ini juga ikut mengalami perubahan seiring peningkatan maupun penurunan jumlah ekspor biji kakao.

Gambar 8 Perkembangan Nilai Tarif Bea Keluar Biji Kakao dan Pendapatan Negara dari Bea Keluar Biji Kakao Indonesia April 2010-Desember 2014 Tujuan pemerintah menerapkan bea keluar ini tentu saja bukan pada meningkatkan pendapatan negara dari aktivitas bea keluar, tapi merupakan salah satu strategi untuk mendorong pertumbuhan industri pengolahan kakao dalam negeri dengan cara menekan ekspor biji kakao. Tujuan tersebut telah tercapai. Hanya saja alokasi pendapatan negara dari aktivitas bea keluar biji kakao ini masih belum diperuntukkan produsen kakao. Seharusnya pemerintah dapat mengalokasikan pendapatan bea keluar ini untuk mengembangkan agribisnis kakao Indonesia.

Penerapan bea keluar terhadap biji kakao ini memang terlihat mampu menekan ekspor biji kakao sehingga biji kakao yang tidak diekspor akan dialokasikan sebagai bahan baku bagi industri pengolahan kakao dalam negeri. Peningkatan bahan baku biji kakao dalam negeri dapat mendorong kinerja industri pengolahan kakao dalam negeri. Hal tersebut didukung oleh adanya pertumbuhan jumlah serta kapasitas produksi industri pengolahan kakao dalam negeri yang mulai terlihat pada tahun 2011 (Kemenperin 2014). Adanya pertumbuhan industri pengolahan kakao tentu akan meningkatkan produksi kakao olahan dalam negeri. Fenomena ini juga akan memengaruhi jumlah ekspor biji kakao maupun kakao olahan Indonesia, sehingga memengaruhi posisi daya saingnya di pasar internasional. 0 5 10 15 20 25 0 1 2 3 4 5 6 A p r-10 Ju l-10 O ct -10 Jan -11 A p r-11 Ju l-11 O ct -11 Jan -12 A p r-12 Ju l-12 O ct -12 Jan -13 A p r-13 Ju l-13 O ct -13 Jan -14 A p r-14 Ju l-14 O ct -14 Ju ta US$ Rat u s US$/ MT

(40)

24

Daya Saing Produk Kakao Indonesia

Daya saing dalam penelitian ini diukur melalui pendekatan keunggulan komparatif dengan mengukur indeks Relative Trade Advantage (RTA). Berikut hasil analisis daya saing masing-masing produk kakao Indonesia di pasar internasional yang berdasarkan hasil perhitungan indeks RTA. Perkembangan indeks RTA untuk masing-masing produk kakao dapat dilihat pada grafik berikut ini. Tabel indeks RTA untuk masing-masing produk kakao dapat dilihat pada Lampiran 1.

Gambar 9 Perkembangan Daya Saing Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014 Biji kakao Indonesia memiliki daya saing yang paling tinggi selama kurun waktu 21 tahun, yaitu dari tahun 1990 hingga 2010 (Gambar 9). Biji kakao memiliki posisi daya saing tertinggi pada tahun 1994 dengan nilai indeks sebesar 28.037 poin. Rata-rata indeks RTA untuk biji kakao adalah sebesar 15.19 poin dengan rata-rata pangsa ekspornya sebesar 16.60 poin dan rata-rata penetrasi impornya sebesar 0.91 poin. Ini berarti posisi Indonesia dalam perdagangan biji kakao di pasar Indonesia secara keseluruhan sangat kuat dan Indonesia masih cenderung memiliki pangsa ekspor yang tinggi.

Penetrasi impor biji kakao cenderung sangat rendah untuk periode tahun 1990 hingga 1998, bahkan memiliki gap yang cukup tinggi dengan pangsa ekspornya. Hal ini yang mengakibatkan daya saing biji kakao pada periode tersebut cukup tinggi. Namun pada tahun-tahun selanjutnya penetrasi impor ini memiliki tren yang meningkat. Itu berarti mulai terjadi peningkatan konsumsi kakao yang berasal dari kegiatan impor.

Meskipun rata-rata indeks RTA untuk biji kakao memiliki nilai paling tinggi, namun terdapat tren penurunan daya saing biji kakao pada periode pasca penerapan bea keluar untuk biji kakao yang mulai efektif diterapkan pada 2010. Hal ini dapat dilihat pada grafik periode tahun 2011 hingga 2014 (Gambar 10). Pada tahun 2011 posisi daya saing biji kakao menurun secara signifikan, bahkan pada tahun 2014

-5.00 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 1990 1991 1992 1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014

Biji Kakao Pasta Kakao

Lemak Kakao Bubuk Kakao

Gambar

Gambar 1  Luas Areal dan Produksi Kakao Indonesia Tahun 1990-2014  Pada level interasional, biji kakao Indonesia memiliki pangsa pasar lebih dari  sepuluh persen
Gambar 2  Nilai Ekspor Produk Kakao Indonesia Tahun 1990-2014
Gambar 3  Nilai Impor Produk Kakao Tahun 1990-2014
Gambar 4  Kurva Perdagangan Internasional
+7

Referensi

Dokumen terkait

A Barcelona, les relacions entre el menjar i la ciutat han estat immortalitzades al llarg del segle XX per artistes i fotògrafs que, emmarcant-se en els clàssics gèneres temàtics

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pengaruh Budaya Organisasi, Kompetensi, Dan Komitmen Terhadap Kinerja Pegawai Yang Dimediasi Oleh Motivasi Kerja (Studi

Kegiatan dalam tahap perencanaan ini merancang dan merencanakan pembelajaran IPA kelas 4 dengan menyusun RPP materi Wujud benda dan sifatnya dengan menggunakan

Selain itu, permasalahan internal MGMP menga- kibatkan rendahnya produktivitas MGMP (Mulyasa, 2004:72). Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan internal MGMP yang

Menetapkan : PERATURAN BUPATI TENTANG KEDUDUKAN, SUSUNAN ORGANISASI, TUGAS DAN FUNGSI SERTA TATA KERJA SEKRETARIAT DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KABUPATEN

Sehubungan dengan itu, sungguh diperlukan untuk diketahui lebih dalam apakah mekanisme Corporate Governance dalam hal ini kepemilikan institusional, kepemilikan manajerial,

tertarik untuk mengambil KPR yang disediakan oleh suatu bank, maka bank menyediakan.. banyak

Berdasarkan data wawancara dan survei awal bulan Februari 2019 para petambak ikan kerapu khususnya tambak “Kompak bersama” di Kabupaten Batu Bara dimana ketua