• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Dari hasil analisis data yang dilakukan, diperoleh bahwa perlakuan ZPT memberikan pengaruh nyata terhadap berat segar akar dan jumlah akar tetapi belum memberikan pengaruh nyata terhadap persentase terbentuknya akar, persentase terbentuknya kalus, umur muncul akar, umur muncul kalus, dan berat segar kalus.

Persentase Terbentuknya Akar (%)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter persentase terbentuknya akar pada perlakuan ZPT (Lampiran 1-2) belum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata.

Rataan persentase terbentuknya akar dari perlakuan ZPT dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap persentase munculnya akar (%)

Perlakuan % Terbentuk Akar

A1 66,67 A2 50,00 A3 66,67 A4 14,29 A5 11,11 A6 0,00 A7 50,00

Keterangan: Angka 0,00 menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk akar

Gambar eksplan sebelum dan sesudah membentuk akar pada salah satu perlakuan dapat dilihat pada gambar 1.

a b Gambar 1. a. Eksplan sebelum membentuk akar

b. Eksplan setelah membentuk akar Persentase Terbentuknya Kalus (%)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter persentase terbentuknya kalus pada perlakuan ZPT belum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 3-4).

Rataan persentase terbentuknya kalus dari perlakuan ZPT dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap persentase munculnya kalus (%)

Perlakuan % Terbentuk Kalus

A1 22,22 A2 0,00 A3 25,00 A4 85,71 A5 66,67 A6 87,50 A7 25,00

Keterangan: Angka 0,00 menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk kalus

Gambar eksplan sebelum dan sesudah membentuk kalus pada salah satu perlakuan dapat dilihat pada gambar 2.

a b Gambar 2. a. Eksplan sebelum membentuk kalus

b. Eksplan setelah membentuk kalus Umur Munculnya Akar (hari)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter umur muncul akar pada perlakuan ZPT belum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 5-6).

Rataan umur muncul akar dari perlakuan ZPT dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap umur muncul akar (hari)

Perlakuan Umur Muncul Akar (hari)

A1 14,83 A2 11,33 A3 14,50 A4 12,00 A5 14,00 A6 - A7 15,57

Keterangan: Tanda (-) menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk akar Umur Munculnya Kalus (hari)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap parameter umur muncul kalus pada perlakuan ZPT belum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 7-8).

Tabel 4. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap umur muncul kalus (hari)

Perlakuan Umur Muncul Kalus (hari)

A1 18,00 A2 - A3 13,33 A4 17,17 A5 15,00 A6 16,57 A7 14,50

Keterangan: Tanda (-) menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk kalus Berat Segar Akar (gram)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap berat segar akar pada perlakuan ZPT menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 9-10).

Rataan berat segar akar dari perlakuan ZPT dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap berat segar akar (g)

Perlakuan Berat Segar Akar (g)

A1 0,05c A2 0,06b A3 0,08a A4 0,01d A5 0,01d A6 0,00d A7 0,02d

Keterangan: -Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

-Angka 0,00 menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk akar

Pada Tabel 5, memperlihatkan berat segar akar tertinggi pada perlakuan A3 (MS + 3 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan (0,08) dan terendah pada perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan (0,00). Berat Segar Kalus (gram)

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap berat segar kalus pada perlakuan ZPT belum menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 11-12).

Tabel 6. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap berat segar kalus (g)

Perlakuan Berat Segar Kalus (g)

A1 0,004 A2 0,00 A3 0,01 A4 0,01 A5 0,02 A6 0,02 A7 0,002

Keterangan: Angka 0,00 menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk kalus Jumlah Akar

Berdasarkan hasil pengamatan dan sidik ragam terhadap jumlah akar pada perlakuan ZPT menunjukkan pengaruh yang berbeda nyata (Lampiran 13-14).

Rataan jumlah akar dari perlakuan ZPT dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap jumlah akar (akar)

Perlakuan Jumlah Akar

A1 11,11b A2 12,83b A3 22,25a A4 2,14e A5 2,67d A6 0,00f A7 9,00c

Keterangan: -Angka-angka yang diikuti huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada Uji Jarak Berganda Duncan pada taraf 5%

-Angka 0,00 menunjukkan eksplan tumbuh steril tetapi tidak terbentuk akar

Pada Tabel 7, memperlihatkan jumlah akar tertinggi pada perlakuan A3 (MS + 3 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan (22,25) dan terendah pada perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan (0,00).

Warna Kalus

Semua kalus yang terbentuk dari perlakuan ZPT memiliki warna putih kecoklatan. Warna kalus yang terbentuk dapat diamati secara visual.

Tekstur Kalus

Semua kalus yang terbentuk dari perlakuan ZPT adalah kalus bertekstur remah (friable).

Tabel 8. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap tekstur kalus

Perlakuan Tekstur Kalus

A1 Remah A2 Remah A3 Remah A4 Remah A5 Remah A6 Remah A7 Remah Morfogenesis

Morfogenesis pada eksplan terjadi secara langsung dan tidak langsung (melalui kalus terlebih dahulu).

a b

Gambar 3. Morfogenesis eksplan, a. Kemunculan akar langsung dari eksplan, b. Kemunculan akar tidak langsung dari eksplan

Kandungan β-Sitosterol

Berdasarkan uji kualititatif pada perlakuan ZPT menunjukkan tidak adanya perubahan warna.

Tabel 9. Pengaruh perlakuan ZPT terhadap kandungan β-sitosterol

Perlakuan

Hasil Reagen Sterol

(Liebermand-Burchard)

Keterangan Akar Kalus

A1 Coklat Coklat Tidak ada sterol

A2 Coklat - Tidak ada sterol

A3 Coklat Coklat Tidak ada sterol

A4 Coklat Coklat Tidak ada sterol

A5 Coklat Coklat Tidak ada sterol

A6 - Coklat Tidak ada sterol

A7 Coklat Coklat Tidak ada sterol

Keterangan: Coklat = tidak ada kandungan sterol; hijau = terdapat kandungan sterol; tanda (-) tidak ada biomassa

a b

Gambar 4. a. Sebelum penambahan asam asetat anhidrida dan asam sulfat b. Sesudah penambahan asam asetat anhidrida dan asam sulfat Pembahasan

Pengaruh Zat Pengatur Tumbuh pada Eksplan Daun P. amboinicus terhadap Pertumbuhan Biomassa Secara In Vitro

Dari hasil analisis data secara statistik diketahui bahwa perlakuan ZPT memberikan pengaruh nyata terhadap berat segar akar dan jumlah akar tetapi belum memberikan pengaruh nyata terhadap peubah amatan lain.

Pada peubah amatan berat segar akar terdapat perlakuan A3 (MS + 3 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan tertinggi (0,08) dan perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan terendah (0,00). Hasil penelitian

menunjukkan bahwa bobot segar akar dipengaruhi oleh kombinasi auksin dan sitokinin jenis tertentu dalam konsentrasi tertentu. Menurut Wattimena, et al (1992) auksin berperan dalam berbagai aspek pertumbuhan dan perkembangan tanaman antara lain pembesaran sel, penghambatan mata tunas samping, aktivitas sel kambium, dan pertumbuhan akar. Auksin sintentik yang biasa digunakan dalam kultur in vitro adalah 2,4 D, NAA, dan pikloram. Sedangkan sitokinin mempengaruhi berbagai proses fisiologis di dalam tanaman terutama mendorong pembelahan sel.

Pada peubah amatan jumlah akar terdapat perlakuan A3 (MS + 3 mg/l

NAA + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan tertinggi (22,25) dan perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan terendah (0,00).

Penambahan auksin atau sitokinin ke dalam media kultur dapat meningkatkan induksi akar eksplan daun. Penambahan 3 ppm NAA pada taraf perlakuan tertinggi pada P. amboinius berpengaruh terhadap jumlah akar. Lestari (2011) menyatakan bahwa penambahan auksin atau sitokinin dapat meningkatkan konsentrasi zat pengatur tumbuh endogen di dalam sel, sehingga menjadi faktor pemicu dalam proses tumbuh dan perkembangan jaringan. Pada penelitian Mahadi, et al (2013) menunjukkan bahwa NAA dan kinetin berpengaruh nyata terhadap jumlah akar eksplan buah Naga (Hylocereus costaricensis). Rataan jumlah akar eksplan buah naga tertinggi pada perlakuan 0,4 ppm NAA dan 4 ppm kinetin. Hal ini diduga bahwa interaksi antagonis antara auksin dan sitokinin merupakan salah satu cara tumbuhan dalam mengatur derajat pertumbuhan akar.

Persentase terbentuknya akar tertinggi pada perlakuan A1 (MS + 1 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dan A3 (MS + 3 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dengan

rataan (66,67) % dan terendah pada perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan terendah (0,00). Pada pengamatan persentase tumbuh, terdapat eksplan yang mengalami browning. Browning mulai terlihat pada 2 MST yang ditandai dengan perubahan warna pada eksplan dari hijau menjadi cokelat dimulai dari tepi yang mengalami pelukaan hingga akhirnya menyebar ke seluruh bagian eksplan. Hal ini diakibatkan oleh senyawa fenolik yang berasal dari bagian tanaman yang luka dan dapat menyebabkan kematian. Menurut Wetherell (1982), browning merupakan terjadinya warna cokelat pada jaringan yang baru dipotong. Hal ini disebabkan karena terjadinya reaksi antara senyawa fenolik yang diproduksi jaringan dengan oksigen.

Persentase terbentuknya kalus tertinggi pada perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin ) dengan rataan (87,50) % dan terendah pada perlakuan A2 (MS + 2 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin ) dengan rataan terendah (0,00). Pada pengamatan 2 MST eksplan ditandai dengan perubahan warna dari hijau menjadi cokelat dimulai dari tepi yang mengalami pelukaan hingga akhirnya menyebar ke seluruh bagian eksplan. Hal ini diakibatkan oleh senyawa fenolik yang berasal dari bagian tanaman yang luka. Menurut Collin dan Edwards (1998) senyawa fenolik diproduksi sebagai respon atas kondisi stress yang dialami oleh tanaman. Senyawa ini bersifat racun dan dapat menyebabkan kematian pada jaringan tanaman.

Umur munculnya akar adalah waktu yang dibutuhkan untuk melihat respon tanaman dalam menghasilkan akar baru. Dalam penelitian ini umur munculnya akar paling lama adalah 17 hari dan umur munculnya akar paling cepat adalah 7 hari. Umur munculnya akar 7 hari terdapat pada perlakuan A2

(MS + 2 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat proses pertumbuhan akar eksplan. Menurut Conger (1980) faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan perbanyakan dengan eksplan yaitu genotip eksplan, ukuran eksplan, jaringan asal eksplan dan umur fisiologi eksplan. Tidak semua jaringan tanaman memiliki kemampuan yang sama untuk berdiferensiasi. Wetherell (1982) menyatakan bahwa tanaman yang memiliki hubungan kekerabatan yang dekat pun belum tentu menunjukkan respon in vitro yang sama.

Dalam penelitian ini umur munculnya kalus paling lama adalah 23 hari dan umur munculnya kalus paling cepat adalah 6 hari. Umur munculnya kalus 6 hari terdapat pada perlakuan A3 (MS + 3 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin). Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor yang menghambat proses pertumbuhan kalus eksplan seperti jaringan asal eksplan dan umur fisiologi eklspan. Menurut Shofiyani dan Purnawanto (2010) kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung dari umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi, musim pada waktu bahan tanaman diisolasi, bagian tanaman yang dipakai, dan jenis tanaman. Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi hanya sel di lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di tengah tetap quiscent.

Pada peubah amatan berat segar kalus terdapat perlakuan A5 (MS + 2 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l

kinetin) dengan rataan tertinggi (0,02) dan terendah pada perlakuan A2 (MS + 2 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dengan rataan terendah (0,00). Biomassa kalus

adalah bobot yang didapat pada kalus dengan pemberian ZPT sehingga perlu kesesuaian jenis dan taraf konsentrasi dari ZPT tersebut. Puteri (2014) menyatakan bahwa perbedaan tersebut memiliki pengaruh yang berbeda terhadap eksplan yang ditanam pada media MS yang dimodifikasi dengan pemberian konsentrasi zat pengatur tumbuh yang berbeda dan terdapat sifat determinasi yang berbeda dari setiap sel eksplan. Pengaruh tersebut terlihat pada biomassa kalus yang ditimbang dari masing-masing perlakuan.

Pada kalus yang terbentuk adalah kalus bertekstur remah (friable). Kalus tumbuh menjadi fragmen-fragmen yang kecil. Hal ini diduga dipengaruhi oleh medium, keseimbangan ZPT maupun jenis tanaman. Shofiyani dan Purnawanto (2010) menyatakan beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian dikenal dengan kalus remah (friable). Santoso dan Nursandi (2004) menambahkan bahwa kalus freabel dapat diperoleh dengan memanipulasi medium, misalnya dengan mengatur macam dan perbandingan zat pengatur tumbuh, dapat pula dengan pergantian medium cair dan lain sebagainya. Tentu saja semua itu sangat tergantung pada jenis tanaman, macam bahan, medium dasar dan lingkungan lain.

Kalus yang terbentuk memiliki warna putih kecoklatan. Kalus yang terbentuk dapat menunjukkan bahwa keberadaan kalus mempunyai aktifitas pembelahan. Hal ini bisa dilihat dari penyerapan warna yang cukup tinggi. Shofiyani dan Purnawanto (2010) menyatakan warna kalus dapat

bermacam-macam tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambil, seperti warna kekuning-kuningan, putih, hijau, kuning kejingga-jinggaan.

Dari berbagai jenis perlakuan terlihat adanya variasi kemunculan akar P. amboinicus yang dipengaruhi oleh ZPT ke dalam media kultur. Kemunculan

akar pada penelitian ini ada 2 macam yaitu akar yang muncul langsung dari eksplan dan akar yang muncul bukan dari eksplan. Akar yang muncul langsung dari eksplan terdapat pada perlakuan A2 (MS + 2 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin) dan A5 (MS + 2 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin), sedangkan kemunculan akar melalui kalus terlebih dahulu (yang muncul bukan dari eksplan) yaitu kalus mengalami diferensiasi menjadi akar pada perlakuan A1 (MS + 1 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin), A3 (MS + 3 mg/l NAA + 0.1 mg/l kinetin), A4 (MS + 1 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) dan A7 (MS + 0,1 mg/l kinetin). Pada perlakuan A6 (MS + 3 mg/l 2,4 D + 0.1 mg/l kinetin) tidak adanya terbentuknya akar tetapi eksplan tumbuh menjadi kalus. Kemunculan akar merupakan morfogenesis dari kalus. Adanya penambahan auksin secara eksogen mengakibatkan eksplan mampu berdediferensiasi menjadi kalus atau tumbuh menjadi akar. Morfogenesis terbentuk tergantung dari rasio konsentrasi sitokinin dan auksin. Wattimena, et al

(1992) menyatakan bahwa untuk pertumbuhan akar hanya diperlukan auksin tanpa sitokinin atau sitokinin dalam konsentrasi rendah. Marlin (2005)

menambahkan bahwa pada saat level auksin relatif tinggi daripada taraf sitokinin, maka morfogenesis jaringan akan lebih mengarah pada pembentukan akar.

Penggunaan ZPT Terhadap Kandungan β-Sitosterol pada Biomassa In Vitro P. amboinicus

Berdasarkan analisis sterol menggunakan reagen Liebermand-Burchard diperoleh bahwa ekstrak akar dan kalus P. amboinicus tidak mengandung senyawa sterol/beta sitosterol. Hasil negatif ini diduga karena kandungan senyawa sterol yang sedikit, sehingga saat diekstraksi dan dianalisis tidak dapat terdeteksi dengan pendekatan reagen Liebermand-Burchard. Faktor-faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder adalah ekspresi sintesis senyawa metabolit sekunder, asal eksplan dan kondisi yang mempengaruhi kultur in vitro. Fancy dan Rumpel (2008) menyatakan bahwa sintesis senyawa metabolit sekunder dipengaruhi banyak faktor antara lain: faktor genetik, faktor di dalam kultur atau di luar kultur dan tahap perkembangan organ yang menghasilkannya.

Pada penelitian ini, ekstrak akar dan kalus P. amboinicus tidak mengandung sterol yang disebabkan tidak terlokalisasinya sterol pada bagian akar dan kalus. Hal ini diduga karena jenis eksplan yang bersumber dari daun dan perbedaan morfologi pada tanaman berpengaruh terhadap kandungan sterol secara in vitro. Pada penelitian Aminah (2016) sterol dapat terlokalisasi pada bagian daun tanaman P. amboinicus secara konvensional, maka kemungkinan akumulasinya di dalam kultur in vitro tidak dapat terjadi karena biomassa dalam organ penyimpanannya yang berupa akar dan kalus sangat sedikit. Dalimoenthe (1987) menyatakan reserpin terlokalisasi sebagian besar pada bagian akar tanaman R. serpentina di alam, maka kemungkinan akumulasinya di dalam kultur in vitro tidak dapat terjadi karena organ penyimpanannya yang berupa akar tidak tersedia di dalam kultur kalus tersebut. Perbedaan morfologi pada tanaman yaitu ada

senyawa-senyawa tertentu yang disintesis atau diakumulasikan hanya oleh organ atau jaringan tertentu. Misalnya nikotin disintesis oleh bagian akar tembakau, kemudian diangkut (ditranslokasikan) ke daun untuk disimpan. Pembentukan morfin tidak dapat terjadi, karena bentuk sel yang tidak teratur pada kultur tersebut.

Dokumen terkait