• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perubahan Mutu Organoleptik Biskuit Selama Penyimpanan

Uji kesukaan dan mutu hedonik merupakan salah satu cara untuk uji sensori suatu produk. Uji kesukaan dan mutu hedonik dilakukan setiap 2 minggu sekali selama 28 minggu penyimpanan biskuit. Hal ini dilakukan karena perubahan mutu sensori biskuit selama penyimpanan lebih cepat dideteksi daripada perubahan mutu zat gizinya. Baigrie (2003) menyatakan bahwa uji sensori menghasilkan respon yang lebih cepat dalam mendeteksi off flavor dari suatu produk. Penurunan signifikan pada kualitas sensori makanan berprotein dapat terjadi selama penyimpanan dengan minimal perubahan zat gizi (Taub & Singh 1998).

Secara umum selama penyimpanan 28 minggu terjadi penurunan penerimaan panelis dan skor mutu hedonik terhadap warna, rasa, aroma, tekstur, dan keseluruhan biskuit kedua jenis kemasan (K). Persentase penerimaan dan rerata skor mutu hedonik biskuit S selama penyimpanan cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Keseluruhan biskuit S dan NS masih dapat diterima pada penyimpanan 28 minggu. Berikut ini uraian tiap parameter organoleptik.

Warna. Hasil penilaian penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan berfluktuasi. Penerimaan panelis terhadap warna biskuit S sebanyak 65% sampai 100% dengan deskripsi warna biskuit normal sampai cerah (rerata skor mutu 5.4 sampai 7.1), sedangkan untuk biskuit NS penerimaan panelis terhadap warna sebesar 70% sampai 100% dengan deskripsi warna biskuit agak gelap sampai agak cerah (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.5) (Gambar 2 dan Tabel 4). Biskuit bermutu baik jika berwarna normal (kuning kecoklatan). Selama penyimpanan, penerimaan panelis terhadap warna biskuit mengalami penurunan dengan deskripsi warna biskuit cenderung lebih gelap daripada warna awalnya. Berdasarkan parameter warna biskuit dapat dikatakan bahwa warna biskuit uji sampai akhir penyimpanan 28 minggu masih diterima oleh panelis. Sebagian besar panelis memberi skor suka untuk warna biskuit.

Gambar 2 Penerimaan panelis terhadap warna biskuit selama penyimpanan Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap warna kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Berdasarkan uji lanjut Dunn, tingkat kesukaan panelis untuk biskuit S tidak berbeda nyata selama penyimpanan, sedangkan untuk biskuit NS kesukaan panelis pada minggu ke-0 dan 28 berbeda nyata (Lampiran 11a dan 11b). Penilaian panelis terhadap mutu warna biskuit menunjukkan bahwa sampel biskuit pada minggu ke-28 berwarna agak gelap.

Tabel 4 Hasil uji organoleptik terhadap warna biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 4 4 3 4 3 4 3 3 4 4 4 4 3

NS 4 3 3 3 3 3 3 4 3 3 4 4 4 4 3

Rerata S 6.4 7.1 6.5 6.4 7.0 5.4 6.0 6.0 5.6 6.3 6.6 5.8 6.9 5.9 5.9

NS 6.4 5.5 5.8 5.1 6.5 5.6 4.9 5.8 5.7 5.5 4.5 5.1 6.0 6.3 5.1

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak berpengaruh nyata terhadap mutu warna biskuit, sedangkan faktor kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu warna biskuit (p<0.05) (Lampiran 17). Hal ini sesuai dengan pernyataan Taub dan Singh (1998) bahwa warna makanan antara lain dipengaruhi oleh pengolahan, kemasan, dan cahaya.

Warna biskuit dapat dipengaruhi oleh faktor pengolahan. Kondisi oven mempengaruhi suhu dan waktu pemanggangan biskuit. Menurut Manley (2000), pemanggangan biskuit dalam oven akan menghasilkan warna coklat pada permukaan biskuit akibat reaksi Maillard. Pemanggangan dalam suhu tinggi dan waktu terlalu lama akan menyebabkan kelembaban biskuit rendah dan warnanya

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 stoples 10 95 10 10 90 80 10 95 90 85 80 75 75 65 85 nonstoples 10 85 95 10 90 95 10 90 95 85 70 80 80 90 75 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Penerimaan (%)

menjadi lebih gelap. Biskuit uji ini dipanggang selama 20 menit dengan suhu awal pemanggangan 140 0C dan suhu akhir 160 0C.

Selama penyimpanan, biskuit yang dikemas dengan kemasan NS mempunyai warna lebih gelap dibandingkan dengan biskuit S. Hal ini diduga karena oksidasi lemak pada biskuit NS lebih besar daripada biskuit S. Oksidasi lemak menyebabkan makanan berwarna coklat atau gelap. Oksidasi ini dapat terjadi selama penyimpanan dan pengolahan produk (Ketaren 2008).

Kerusakan lemak terutama akibat oksidasi terjadi jika produk kontak dengan oksigen dan bila ditambah kontak dengan uap air maka kerusakan lemak akan semakin besar karena terjadi pula hidrolisis lemak. Oksidasi lemak selama penyimpanan sangat erat hubungannya dengan kemasan. Perbedaan jenis kemasan mempengaruhi kontak atau penetrasi uap air dan oksigen dari luar kemasan ke dalam kemasan. Wadah yang terbuat dari plastik kurang baik karena secara perlahan-lahan masih terjadi perembesan udara melalui pori-pori plastik (Winarno 1980). Penetrasi gas maupun uap air dalam kemasan S lebih lambat karena terhalang oleh kemasan sekunder. Hal ini didukung dengan hasil uji kadar air biskuit S yang cenderung lebih rendah daripada biskuit NS (Lampiran 21).

Rasa. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu rasa biskuit selama penyimpanan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penyimpanan dengan deskripsi rasa biskuit semakin tidak enak. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu rasa biskuit S selama penyimpanan cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Panelis yang menyukai rasa biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 60% sampai 100% dengan deskripsi rasa biskuit agak tidak enak sampai agak enak (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.9), sedangkan penerimaan untuk biskuit NS berkisar antara 35% sampai 100% dengan deskripsi rasa biskuit tidak enak sampai agak enak (rerata skor mutu 3.7 sampai 6.5) (Gambar 3 dan Tabel 5). Biskuit bermutu baik jika rasanya normal (enak). Rasa biskuit NS pada minggu ke-18 sampai minggu ke-24 dapat dikatakan tidak diterima (penerimaan kurang dari 50%).

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap rasa kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit S pada lama penyimpanan minggu ke-14 dengan minggu ke-0, 2, 4, dan 12 serta minggu ke-28 dengan minggu ke-0, 2, dan 12 berbeda nyata berdasarkan uji

lanjut Dunn. Berdasarkan penilaian panelis terhadap mutu rasa biskuit S, pada titik awal penyimpanan biskuit mempunyai rasa agak enak, minggu ke-28 mempunyai rasa normal, dan pada minggu ke 14 biskuit mempunyai rasa agak tidak enak.

Gambar 3 Penerimaan panelis terhadap rasa biskuit selama penyimpanan Uji lanjut Dunn pada penyimpanan biskuit NS menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap rasa biskuit minggu ke-0 dengan minggu ke-16, 18, 20, 22, 24, dan 28, minggu ke-2 dan 4 dengan minggu ke-20, 22, dan 24, minggu ke-18 dengan minggu ke-4, minggu ke-24 dengan minggu ke-6 dan 10 berbeda nyata (Lampiran 12a dan 12b). Uji mutu rasa biskuit NS menunjukkan bahwa biskuit mempunyai rasa agak enak pada minggu ke-0, 2, dan 4, rasa normal pada minggu ke-6, 10, dan 14, serta rasa agak tidak enak pada minggu ke-16 sampai akhir penyimpanan.

Tabel 5 Hasil uji organoleptik terhadap rasa biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 3 4 3 3 4 3 3 3 4 4 4 3 3

NS 4 4 4 4 3 4 3 3 2 2 2 2 2 3 3

Rerata S 6.3 7.0 6.9 5.0 6.4 5.7 5.9 4.4 5.6 5.5 5.6 6.0 5.7 5.6 5.3

NS 6.3 6.5 6.1 5.0 6.0 5.5 4.5 5.2 4.7 4.6 3.8 4.4 4.1 4.8 4.7

Perbedaan mutu rasa biskuit dapat dipengaruhi oleh faktor pengolahan dan penyimpanan. Pemanggangan berlebih akan menyebabkan pengeringan pada produk berlanjut, warna produk akan semakin gelap, dan rasa produk berkembang menjadi pahit (Manley 2000).

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap mutu rasa biskuit, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (Lampiran 18a). Hasil uji

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 stoples 10 10 10 75 85 80 80 60 70 75 65 80 75 70 60 nonstoples 10 90 95 85 65 85 90 70 50 45 35 40 40 75 55 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Penerimaan (%)

lanjut Duncan memperlihatkan bahwa mutu rasa biskuit pada minggu ke-10 sampai minggu ke-28 tidak berbeda nyata. Mutu rasa biskuit minggu ke-0, 2, 4, dan 8 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-10 sampai ke-28 (Lampiran 18b).

Faktor kemasan berpengaruh terhadap penurunan mutu rasa. Biskuit NS mempunyai rasa yang lebih tidak enak daripada biskuit S. Seperti yang telah dipaparkan sebelumnya, hal ini diduga akibat perbedaan jenis kemasan yang mempengaruhi kontak atau penetrasi uap air dan oksigen dari luar kemasan ke dalam kemasan yang menyebabkan kerusakan lemak dan akhirnya mempengaruhi rasa biskuit.

Penurunan mutu rasa biskuit diduga akibat kerusakan lemak selama penyimpanan, terutama oksidasi lemak. Hasil uji kadar asam lemak bebas dan peroksida biskuit menunjukkan bahwa telah terjadi kerusakan lemak secara signifikan selama penyimpanan. Menurut Ketaren (2008), asam lemak bebas, walaupun berada dalam jumlah kecil dapat mengakibatkan rasa tidak lezat. Ketika proses ketengikan dimulai, rasa getir juga mulai muncul pada produk. Aroma. Persentase penerimaan panelis dan skor mutu aroma biskuit berfluktuasi dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penelitian dengan deskripsi aroma biskuit semakin amis. Sebanyak 60% sampai 100% panelis menyukai aroma biskuit S dengan deskripsi aroma biskuit dari agak amis sampai tidak amis (rerata skor mutu 4.6 sampai 7.1), sedangkan penerimaan untuk biskuit NS berkisar antara 35% sampai 100% panelis dengan deskripsi aroma biskuit agak amis sampai tidak amis (rerata skor mutu 4.1 sampai 7.1) (Gambar 4 dan Tabel 6). Biskuit dikatakan bermutu baik jika beraroma normal (beraroma menyenangkan).

Gambar 4 Penerimaan panelis terhadap aroma biskuit selama penyimpanan 0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 stoples 100 100 100 65 65 80 60 65 90 75 65 85 75 70 65 nonstoples 100 95 100 75 75 80 65 70 60 60 40 35 55 60 65 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Penerimaan (%)

Secara umum, setelah minggu ke-4 persentase penerimaan terhadap aroma biskuit menurun pada kedua jenis biskuit, tetapi persentase penerimaan terhadap aroma biskuit S cenderung lebih tinggi daripada biskuit NS. Pada minggu ke-20 dan 22 persentase penerimaan terhadap aroma biskuit NS kurang dari 50%. Hal ini didukung oleh skor mutu aroma biskuit yang kurang dari 5 pada minggu tersebut.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap tingkat kesukaan panelis terhadap aroma kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Hasil uji lanjut Dunn tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit S menunjukkan bahwa lama penyimpanan 0 minggu berbeda nyata dengan lama penyimpanan 14 dan 20 minggu. Uji mutu hedonik terhadap aroma biskuit S memperlihatkan bahwa biskuit beraroma tidak amis pada minggu ke-0, agak amis pada minggu ke-14, dan beraroma normal pada minggu ke-20.

Pada biskuit NS, tingkat kesukaan panelis terhadap aroma biskuit pada lama penyimpanan 0 minggu berbeda nyata dengan 12, 16, 18, 20, 24, dan 26 minggu, demikian juga lama penyimpanan 22 minggu berbeda nyata dengan minggu ke-0, 2, dan 4 (Lampiran 13a dan 13b). Berdasarkan penilaian mutu aroma biskuit NS, pada minggu ke-0 biskuit beraroma tidak amis dan pada minggu ke-22 beraroma agak amis.

Tabel 6 Hasil uji organoleptik terhadap aroma biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 4 2 2 3 2 3 3 3 3 3 3 3 4

NS 4 4 4 3 3 3 3 4 3 2 2 2 2 3 3

Rerata S 7.2 7.1 6.4 5.5 5.3 6.0 5.3 4.6 6.3 5.7 5.3 5.2 6.1 6.3 6.1

NS 7.2 6.4 6.2 5.1 5.8 4.7 5.2 5.2 5.6 4.2 4.6 4.9 6.4 5.9 5.3

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata terhadap mutu aroma biskuit (p<0.05), tetapi tidak terdapat pengaruh nyata antara interaksi keduanya terhadap mutu aroma biskuit (Lampiran 19a). Hasil uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa mutu aroma biskuit berbeda nyata pada minggu-minggu tertentu. Minggu ke-0 dengan minggu ke-2 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan ke-4 sampai ke-28 penyimpanan. Minggu ke-2, 4, dan 24 tidak berbeda nyata tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 6 sampai 22 serta minggu ke-28 penyimpanan. Minggu ke-4, 16, 24, 26, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-

0, 8, 6, 10, 12, 14, 18, 20, dan 22. Minggu ke-8, 16, 24, 26, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-0, 2, 4, 6, 10, 12, 14, 18, 20, dan 22. Minggu ke-6, 8, 10, 12, 16, dan 28 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 0, 2, 4, 14, dan minggu ke-18 sampai ke-26. Minggu ke-6, 8, 10, 12, 28 dan 22 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke 0, 2, 4, 16, 24, dan 26. Minggu ke-6, 8, 10, 12, 14, 18, 20, dan 22 tidak berbeda nyata, tetapi berbeda nyata dengan minggu ke-0, 2, 4, 16, 24, 26, dan 28 (Lampiran 19b).

Aroma yang tidak enak diduga disebabkan oleh kerusakan lemak akibat oksidasi selama penyimpanan. Bau amis antara lain ditimbulkan dari terbentuknya trimetil amin dari lesitin mentega dan susu bubuk yang digunakan sebagai bahan pembuatan biskuit ini. Pembentukan trimetil amin dari lesitin bersumber pada pemecahan ikatan C-N gugus choline dalam molekul lesitin yang disebabkan oleh zat pengoksidasi, seperti gugus peroksida dalam lemak (Ketaren 2008).

Penurunan aroma juga diduga disebabkan oleh kemasan biskuit yang digunakan. Selain lama penyimpanan, permeabilitas kemasan dan volume gas dalam kemasan turut mempengaruhi kadar air sehingga kualitas lemak juga akan terpengaruh. Menurut Wijaya dkk (1994), pada plastik, uap air masih dapat menembus kemasan ini sehingga selama penyimpanan produk menyerap air cukup tinggi yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan lemak karena hidrolisis yang akhirnya dapat mempengaruhi aroma biskuit.

Tekstur. Selama penyimpanan, penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit berfluktuasi, tetapi cenderung menurun dibanding dengan titik awal penyimpanan (Gambar 5) dengan deskripsi tekstur biskuit semakin tidak renyah. Tekstur biskuit NS mempunyai penerimaan dan skor mutu yang lebih rendah daripada biskuit S. Panelis yang dapat menerima tekstur biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 60% sampai 100% dengan deskripsi tekstur biskuit normal sampai agak renyah (rerata skor mutu 5.5 sampai 6.8), sedangkan penerimaan biskuit NS berkisar antara 25% sampai 100% dengan deskripsi tekstur biskuit agak keras sampai agak renyah (rerata skor mutu 4.4 sampai 6.5) (Tabel 8). Hal ini mengindikasikan bahwa biskuit S lebih renyah daripada biskuit NS. Biskuit dikatakan bermutu baik jika teksturnya normal (renyah). Mulai minggu ke-20 penerimaan tekstur biskuit NS kurang dari 50%, sehingga dapat dikatakan bahwa tekstur tersebut tidak diterima oleh panelis.

Gambar 5 Penerimaan panelis terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap tekstur kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Hasil uji lanjut Dunn menunjukkan bahwa tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit S tidak berbeda nyata selama penyimpanan, sedangkan tingkat kesukaan panelis terhadap tekstur biskuit NS berbeda nyata pada minggu ke-0, 4, dan 8 dengan minggu ke-20, 26, dan 28, demikian pula minggu ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-26 (Lampiran 14a dan 14b). Hasil penilaian mutu tekstur biskuit NS menunjukkan bahwa biskuit bertekstur agak renyah pada minggu ke-0 sampai ke-4, agak tidak renyah pada minggu ke-20, dan normal pada minggu ke-26.

Tabel 8 Hasil uji organoleptik terhadap tekstur biskuit selama penyimpanan

Hedonik K Lama Penyimpanan (minggu)

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28

Modus S 4 4 3 3 3 4 3 4 3 3 2 4 4 2 3

NS 4 4 3 3 4 3 3 2 2 2 1 2 2 2 2

Rerata S 6.6 6.6 6.9 5.9 5.8 6.4 5.7 5.7 5.7 5.5 6.0 6.2 6.5 5.9 5.9

NS 6.6 6.6 6.1 5.7 6.2 5.9 5.0 5.3 4.7 5.1 4.4 5.3 5.1 5.5 5.4

Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan berpengaruh nyata (p<0.05) terhadap mutu tekstur biskuit, sedangkan interaksi antara kedua faktor tidak berpengaruh nyata (p>0.05) (Lampiran 20a). Hasil uji lanjut Duncan memperlihatkan bahwa mutu tekstur biskuit pada minggu ke-0, 2, dan 4 tidak berbeda nyata. Minggu ke-12, 14, 16, 18, dan 20 tidak berbeda nyata. Mutu tekstur biskuit pada lama penyimpanan 0, 2, dan 4 berbeda nyata dengan minggu ke-12, 14, 16, 18, dan 20 (Lampiran 20b).

Penurunan mutu tekstur diduga disebabkan oleh pertambahan kelembaban biskuit selama penyimpanan. Menurut Taub dan Singh (1998),

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 stoples 90 95 95 100 85 75 90 60 85 75 60 75 90 60 60 nonstoples 90 80 100 80 80 70 75 65 50 55 40 40 35 25 35 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Penerimaan (%)

pertambahan kelembaban pada makanan kering akan menyebabkan hilangnya kerenyahan dan bertambahnya kekerasan (kurang mudah untuk dipatahkan). Peningkatan kelembaban biskuit uji dapat dilihat dari peningkatan kadar airnya. Penurunan skor mutu tekstur (kerenyahan menurun) biskuit secara signifikan terjadi pada minggu ke-12, dimana pada minggu tersebut terjadi pula peningkatan kadar air secara signifikan. Kemasan S lebih dapat menghambat penurunan mutu tekstur daripada kemasan NS karena penetrasi uap air ke dalam biskuit menjadi lebih terhambat.

Penerimaan keseluruhan. Modus tingkat kesukaan panelis terhadap penerimaan keseluruhan biskuit S dan NS selama penyimpanan berkisar antara 2 sampai 4 (Lampiran 9a dan 9b). Penilaian organoleptik keseluruhan biskuit ini merupakan penilaian yang menyeluruh terhadap warna, aroma, rasa, tektur, serta penampakan biskuit. Menurunnya penilaian terhadap minimal satu faktor di atas diduga akan mempengaruhi penilaian organoleptik secara keseluruhan. Persentase panelis yang menerima keseluruhan parameter organoleptik biskuit selama penyimpanan disajikan pada Gambar 6.

Gambar 6 Penerimaan panelis terhadap keseluruhan biskuit selama penyimpanan

Kesukaan panelis terhadap keseluruhan parameter organoleptik kedua biskuit berfluktuasi selama penyimpanan dan cenderung menurun jika dibandingkan dengan titik awal penelitian. Penerimaan terhadap keseluruhan parameter sensori biskuit NS lebih rendah daripada biskuit S. Panelis yang menerima keseluruhan parameter organoleptik biskuit S selama penyimpanan berkisar antara 60% sampai 100%, sedangkan untuk biskuit NS berkisar antara 40% sampai 100%. Keseluruhan parameter sensori biskuit NS mempunyai

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 stoples 100 100 100 95 95 80 90 65 90 85 60 80 80 75 70 nonstoples 100 90 100 100 80 85 75 90 55 55 45 40 50 65 60 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 Penerimaan (%)

penerimaan kurang dari 50% pada minggu ke-20 dan 22. Pada akhir penyimpanan kedua jenis biskuit masih diterima oleh panelis.

Hasil uji Kruskal Wallis menunjukkan lama penyimpanan berpengaruh nyata terhadap penerimaan panelis terhadap keseluruhan parameter organoleptik kedua biskuit uji (p<0.05) (Lampiran 10a dan 10b). Berdasarkan uji lanjut Dunn penerimaan panelis terhadap biskuit S berbeda nyata pada minggu ke-2 dan 4 dengan minggu ke-14 dan 28, minggu ke-0 dengan minggu ke-14, serta minggu ke-2 dengan minggu ke-20 penyimpanan. Pada biskuit NS, penerimaan panelis minggu ke-0 berbeda nyata dengan minggu ke-16, 18, 20, 22, 24, 26, dan 28, minggu ke-2 berbeda nyata dengan minggu ke-22 dan 24, minggu ke-4 berbeda nyata dengan minggu ke-16, 20, 22, 24, dan 28, serta minggu ke-22 dengan minggu ke-6 dan 10 penyimpanan (Lampiran 15a dan 15b). Karena penilaian hedonik keseluruhan ini meliputi semua parameter organoleptik dan penampakan biskuit, maka perbedaan penilaian yang signifikan beberapa parameter organoleptik biskuit selama penyimpanan turut mempengaruhi penilaian organoleptik keseluruhan biskuit.

Perubahan Sifat Kimia Biskuit Selama Penyimpanan Kandungan Zat Gizi

Kadar Air. Mutu bahan pangan selama penyimpanan dipengaruhi oleh kandungan airnya. Kandungan air dalam bahan pangan ikut menentukan penerimaan, kesegaran, dan daya tahan pangan. Winarno (1997) menyatakan bahwa kadar air umumnya berbanding lurus dengan aw. Semakin kecil kadar air,

maka semakin kecil aw, sehingga semakin awet bahan pangan tersebut karena

pertumbuhan mikroba menjadi terhambat.

Selama penyimpanan, kadar air biskuit yang disimpan dalam kemasan S maupun NS mengalami peningkatan. Kadar air biskuit selama penyimpanan 28 minggu pada suhu ruang dengan kemasan NS berkisar antara 3,30% sampai 6,92% (bb), sedangkan untuk biskuit kemasan S berkisar antara 3,69% sampai 5,76% (bb) (Gambar 7).

Syarat kadar air biskuit pada SNI 01-2973-1992

adalah maksimum sebesar 5% (bb), sehingga dapat dikatakan kadar air

biskuit mulai minggu ke-12 sampai pada akhir titik penyimpanan tidak

memenuhi persyaratan tersebut.

Gambar 7 Kadar air biskuit selama penyimpanan

Peningkatan kadar air selama penyimpanan ini diduga akibat faktor lama penyimpanan dan kemasan yang digunakan. Semakin lama waktu penyimpanan maka kadar air kedua biskuit cenderung meningkat, dengan peningkatan kadar air biskuit NS yang lebih tinggi. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air biskuit (p<0,05), sedangkan interaksi antara lama penyimpanan dengan kemasan tidak memberikan pengaruh nyata terhadap kadar air biskuit (Lampiran 22a). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air biskuit menunjukkan bahwa peningkatan signifikan kadar air biskuit terjadi pada penyimpanan 12 minggu dan pada kedua kemasan (Lampiran 22b). Kadar air biskuit pada minggu ke-12 sampai 28 pada kemasan NS lebih tinggi daripada kemasan S.

Biskuit merupakan makanan yang telah mengalami pemanggangan sehingga bersifat lebih higroskopis. Hal ini akan memungkinkan biskuit lebih mudah menyerap uap air dari lingkungannya sampai terjadi keseimbangan dengan kelembaban tempat penyimpanannya. Hal ini diduga dapat meningkatkan kadar air biskuit. Selain itu permeabilitas kemasan dan volume udara yang tersedia juga akan mempengaruhi kadar air bahan pangan. Plastik jenis polipropilen mempunyai permeabilitas uap air rendah dan permeabilitas gas sedang (Syarief et al 1989). Tetapi meskipun demikian lama penyimpanan akan memungkinkan perembesan udara melalui pori-pori plastik. Winarno (1980) menyatakan bahwa wadah yang terbuat dari plastik kurang baik karena secara perlahan-lahan masih terjadi perembesan udara melalui pori-pori plastik. Permeabilitas kemasan yang kurang baik akan dapat memudahkan penetrasi uap air dan gas dari luar ke dalam kemasan, sehingga kadar air akan meningkat.

0 4 8 12 16 20 24 28 stoples 3.79 3.78 3.69 5.41 5.39 5.70 5.57 5.76 nonstoples 3.79 3.82 3.30 5.96 6.23 6.92 6.55 6.32 0 1 2 3 4 5 6 7 8 Kadar Air (% bb)

Biskuit yang dikemas dengan kemasan S mempunyai kadar air lebih rendah diduga karena volume udara yang tersedia di dalam S terbatas dan penetrasi gas maupun uap air lebih lambat karena terhalang oleh kemasan sekunder selain oleh kemasan plastik biskuit itu sendiri.

Kadar Abu. Kadar abu dalam bahan pangan dapat menjadi indikator kandungan mineral dalam bahan pangan. Fowale et al (2007) menyebutkan bahwa mineral yang banyak terdapat dalam ikan lele dumbo adalah kalsium, fosfor, dan kalium. Kandungan kalsium pada tepung ikan lele dumbo sebesar 6.22% (bk) dan fosfor 4.14% (bk) (Ferazuma 2009).

Kadar abu biskuit selama penyimpanan cenderung tetap. Kadar abu biskuit S berkisar antara 2.78% sampai 2.99% (bk), sedangkan untuk biskuit NS 2.78% sampai 3.01% (bk) (Gambar 8). Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan, kemasan, maupun interaksi kedua faktor tidak berpengaruh nyata terhadap kadar abu biskuit selama penyimpanan (Lampiran 24). Menurut Desroiser (1979), kadar abu merupakan mineral-mineral anorganik yang memiliki ketahanan cukup tinggi terhadap suhu maupun waktu penyimpanan sehingga keberadaannya dalam pangan walaupun bisa mengalami perubahan namun cenderung tetap.

Gambar 8 Kadar abu biskuit selama penyimpanan

Syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar abu maksimum pada biskuit adalah 1.5% (bb). Kadar abu biskuit S dan NS selama penyimpanan tetap berada di atas persyaratan mutu SNI biskuit, yaitu berkisar antara 2.3% sampai 2.8% (bb). Hal ini disebabkan karena kadar abu awal penyimpanan biskuit yang sudah tinggi akibat penambahan tepung ikan dan tepung kedelai dalam formula biskuit tersebut. Kadar abu tepung kepala ikan

0 4 8 12 16 20 24 28 stoples 2.78 2.83 2.82 2.89 2.99 2.91 2.86 2.86 nonstoples 2.78 2.86 2.79 2.94 2.87 3.01 2.90 2.91 0 1 2 3 4 Kadar Abu (% bk)

adalah 16.52% (bb), kadar abu tepung badan ikan 4.44% (bb), dan kadar abu isolat protein kedelai adalah 4.36% (bb) (Mervina 2009).

Kadar Protein. Kandungan protein di dalam bahan pangan umumnya ikut menentukan mutu bahan pangan itu sendiri. Semakin tinggi kadar protein suatu bahan pangan maka akan semakin baik pula mutunya. Biskuit uji dibuat dengan penambahan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai yang merupakan bahan pangan tinggi protein, sehingga kadar protein biskuit inipun lebih tinggi jika dibandingkan dengan biskuit biasa yang berbahan baku tepung terigu saja.

Kadar protein biskuit selama penyimpanan berkisar antara 18,30% sampai 19,95% (bk) untuk biskuit dengan kemasan S dan 18,15% sampai 19,83% (bk) untuk biskuit dengan kemasan NS (Gambar 9). Menurut syarat mutu biskuit berdasarkan SNI 01-2973-1992, kadar protein minimum dalam biskuit adalah 9.00% (bb). Kadar protein biskuit sampai akhir penyimpanan berkisar 17% sampai 19% (bb) yang berarti tetap lebih tinggi daripada yang disyaratkan SNI.

Gambar 9 Kadar protein biskuit selama penyimpanan

Kerusakan protein dapat disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain faktor pemanasan, reaksi kimia dengan asam atau basa, aktivitas mikroba, dan lama penyimpanan. Kerusakan protein biasanya dapat menyebabkan protein terdenaturasi atau terdegradasi (Winarno 1997). Kadar protein biskuit uji sedikit mengalami penurunan pada minggu ke-4 sampai 16. Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa faktor lama penyimpanan dan kemasan, serta interaksi

Dokumen terkait