• Tidak ada hasil yang ditemukan

Biskuit yang Diperkaya dengan Tepung Ikan Lele Dumbo dan Isolat Protein Kedelai

Biskuit yang diperkaya dengan tepung ikan lele dumbo dan isolat protein kedelai merupakan salah satu makanan fungsional berbasis protein ikan yang digunakan untuk meningkatkan daya tahan tubuh anak balita rawa gizi (Kusharto 2008). Biskuit ini mempunyai kadar air 4.13% (bk), kadar abu 2.52% (bk), kadar protein 19.55% (bk), kadar lemak 21.99% (bk) dan kadar karbohidrat 55.94% (bk). Biskuit juga mengandung 480 kkal energi per 100 gram biskuit. Daya cerna

protein biskuit secara in vitro sebesar 89.34%. Rendemen biskuit sebesar

84,29%, daya serap air 1.79 ml/g, kerenyahan 246.60 sedangkan untuk kekerasan adalah 397.82. Secara umum tekstur biskuit renyah dan tidak terlalu rapuh (Mervina 2009).

Biskuit ini dapat dikatakan sebagai pangan tinggi protein karena dapat memenuhi target 20% protein berdasarkan AKG balita. Untuk memenuhi target tersebut, jumlah yang harus dikonsumsi balita setiap harinya adalah 4 keping biskuit atau setara dengan 50 gram biskuit, yang dapat memberikan 280 kkal energi, 9.8 gram protein, 26.9 gram karbohidrat dan 10.6 gram lemak (Mervina 2009).

Tepung ikan lele dumbo yang ditambahkan ke dalam biskuit ini mempunyai karakteristik, yaitu untuk tepung kepala ikan kadar air 9.63% (bk), Aw 0.6612, kadar abu 18.10% (bk), kadar protein 56.04% (bk), kadar lemak 9.39% (bk), kadar karbohidrat 7.84% (bk), densitas kamba 0.45 g/ml, dan derajat putih 29%, sedangkan untuk tepung badan ikan adalah kadar air 8.68% (bk), Aw 0.7068, kadar abu 4.83% (bk) kadar protein 63.83% (bk), kadar lemak 10.83% (bk), kadar karbohidrat 11.83% (bk), densitas kamba 0.37 g/ml, dan derajat putih 30.96% (Mervina 2009).

Isolat protein kedelai merupakan bentuk protein kedelai yang paling murni, karena kadar protein minimumnya 95% dalam berat kering. Isolat protein kedelai hampir bebas dari karbohidrat, serat, dan lemak sehingga sifat fungsionalnya jauh lebih baik dibandingkan dengan konsentrat protein maupun tepung atau bubuk kedelai (Koswara 1995).

Syarat Mutu Biskuit

Syarat mutu biskuit yang ditetapkan SNI 01-2973-1992 seperti yang terdapat dalam Tabel 1. Selain itu biskuit umumnya berwarna coklat keemasan,

permukaan agak licin, bentuk dan ukuran seragam, kering, renyah, dan ringan serta aroma yang menyenangkan. Menurut Standar Malaysia MS 1434:1998

untuk semi-sweet biscuits and cookies syarat mutu biskuit antara lain kadar air

maks. 4%, kadar protein min. 4.5%, kadar lemak 7% - 18%, kadar asam lemak bebas maks. 1%, dan kadar peroksida maks. 6 mEq/kg.

Tabel 1 Syarat mutu biskuit SNI 1992 01-2973-1992

Komponen Syarat mutu

Air Maks. 5%

Protein Min. 9%

Lemak Min. 9.5%

Karbohidrat Minimum 70%

Abu Maks. 1.5%

Logam Berbahaya Negatif

Serat Kasar Maks. 0.5%

Kalori (per 100 gr) Min. 400

Jenis Tepung Terigu

Bau dan Rasa Normal

Warna Tekstur Cemaran mikroba (TPC) Normal Normal Maks 104

Menurut Vail et al (1978) mutu biskuit tergantung pada komponen

pembentuknya dan penanganan bahan sebelum dan sesudah proses produksi. Penyimpangan mutu produk akhir dapat terjadi akibat penggunaan bahan-bahan yang tidak sesuai dengan proporsi dan cara pembuatan yang tepat.

Tipikal biskuit dalam kemasan biasanya mempunyai umur simpan 6 bulan, tapi sebenarnya umur simpan produk cenderung jauh lebih besar. Biskuit yang berbahan baku sumber lemak biasanya berusia 6 bulan. Biskuit yang mengandung banyak gula berumur satu tahun dan yang berbahan baku tepung biji-bijian dapat disimpan sampai satu tahun atau lebih (Baigrie 1993 dan Manley 2000).

Penyimpanan Pangan

Cara penyimpanan bahan pangan selama berbagai proses pengolahan dan tingkat penjualan merupakan hal yang utama dalam menentukan keamanan dan mutu dari aspek mikrobiologi. Bakteri patogen yang berhubungan dengan

bahan pangan tidak dapat tumbuh di luar kisaran suhu antara 4–600C, sehingga

bahan pangan yang berada di luar kisaran tersebut akan aman. Penyimpanan pangan harus dilakukan dengan tepat sesuai dengan karakteristik masing- masing pangan (Syarief & Halid 1993).

Kondisi penyimpanan produk pangan dapat menyebabkan susut zat gizi pangan tersebut, selain itu juga mempengaruhi spesies mikroorganisme yang mungkin berkembang dan menyebabkan kerusakan. Faktor penyimpanan yang perlu diperhatikan adalah suhu penyimpanan. Kondisi penyimpanan ini sedikit mempengaruhi aktivitas air dan potensial redoks. Aktivitas air dari bahan pangan dapat naik oleh keadaan penyimpanan yang lembab. Permukaan bahan pangan yang berhubungan dengan udara akan memungkinkan perkembangan jenis-jenis mikroorganisme oksidatif, sedangkan pengemasan secara vakum akan memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme anaerob atau falkutatif anaerob (Syarief & Halid 1993).

1. Suhu Penyimpanan

Suhu merupakan salah satu faktor lingkungan terpenting yang mempengaruhi kehidupan dan pertumbuhan organisme. Jika suhu naik, kecepatan metabolisme naik dan pertumbuhan dipercepat. Sebaliknya jika suhu turun, kecepatan metabolisme turun dan pertumbuhan diperlambat. Jika suhu naik atau turun, tingkat pertumbuhan mungkin terhenti, komponen sel menjadi

tidak aktif dan sel-sel dapat mati (Buckle et al 1985).

Berdasarkan hal di atas, beberapa hal sehubungan dengan suhu bagi setiap organisme dapat digolongkan menjadi suhu minimum, suhu optimum, dan suhu maksimum. Jika suhu di bawah suhu minimum dan di atas suhu maksimum pertumbuhan mikroorganisme tidak terjadi lagi. Suhu optimum adalah suhu dimana pertumbuhan mikrooragnisme paling cepat. Suhu ini selalu lebih mendekati suhu maksimum daripada suhu minimum. Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2 Klasifikasi mikroorganisme berdasarkan suhu pertumbuhannya

Kelompok Suhu pertumbuhan

minimum (0C) Suhu pertumbuhan optimum (0C) Suhu pertumbuhan maksimum (0C) Psikrofil Psikrotrof Mesofil Thermofil Thermotrof -15 -5 5 smpai 10 40 15 10 25 30 sampai 37 45 sampai 55 42 sampai 46 20 35 45 60 sampai 80 50 Sumber: Buckle et al 1985

Suhu simpan membantu menghasilkan umur simpan yang diperlukan untuk tingkat gizi tertentu. Suhu simpan maksimum bergantung pada zat gizi, karena setiap zat gizi mempunyai energi pengaktifan tertentu.

2. Umur Simpan

Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi

kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan irreversible

(tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa. Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa, yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.

Beberapa negara maju telah menetapkan peraturan bahwa produk makanan harus menentukan tanggal minimum dimana produk tersebut mulai

rusak. Best before merupakan tanggal yang menunjukkan jangka waktu

minimum dari produk diproduksi sampai produk tidak dapat diterima lagi secara

fisik dan kualitasnya, sedangkan use by date merupakan tanggal yang

menunjukkan jangka waktu minimum dari produk diproduksi sampai mengalami kerusakan mikrobiologis yang berbahaya bagi kesehatan (Ellis 1994 di dalam Kusumaningrum 2002).

Menurut Ellis (1994) di dalam Kusumaningrum (2002), penentuan umur simpan suatu produk dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen. Faktor- faktor yang menyebabkan perubahan pada produk pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Syarief dan Halid (1993), menyatakan bahwa perubahan mutu makanan terutama dapat diketahui dari perubahan faktor mutu tersebut, oleh karenanya dalam menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap atribut mutu produk tersebut.

Menurut Syarief et al (1989) faktor-faktor yang mempengaruhi umur

simpan bahan pangan yang dikemas adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen, dan kemungkinan terjadinya perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungannya dengan volume, kondisi atmosfer (terutama suhu dan kelembaban) dimana kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan dan kemasan keseluruhan terhadap keluar masuknya air, gas, dan bau, termasuk perekatan, penutupan, dan bagian-bagian yang terlipat.

3. Penentuan Umur Simpan

Menurut Syarief et al (1989), secara garis besar umur simpan dapat

ditentukan dengan menggunakan metode konvensional (Extended Storage

Studies, ESS) dan metode akselerasi kondisi penyimpanan (Accelerated Storage Studies, ASS atau Accelerated Storage Shelf Life ). Umur simpan produk pangan dapat diduga kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya dengan menggunakan dua konsep tersebut (Floros 1993).

Penentuan umur simpan dengan metode konvensional atau ESS adalah penentuan tanggal kadaluarsa dengan cara menyimpan satu seri produk pada kondisi lingkungan sehari-hari sambil dilakukan pengamatan terhadap penurunan mutunya hingga mencapai tingkat mutu kadaluarsa. Metode ini akurat dan tepat, namun pada awal penentuan dan penggunaan metode ini dianggap memerlukan waktu yang panjang dan análisis parameter mutu yang relatif banyak. Dewasa ini metode ini sering digunakan untuk produk yang mempunyai masa kadaluarsa kurang dari tiga bulan. Metode ESS ini dapat juga diterapkan pada produk yang mempunyai waktu kadaluarsa lebih dari tiga bulan, tetapi akan lebih baik jika

digunakan bersamaan dengan metode ASS dengan bantuan Weibull Hazard

Analysis, dengan demikian akan dapat menyingkat waktu penentuan kadaluarsa. Metode ini biasanya juga digunakan untuk mengukur produk yang telah siap edar atau produk yang masih dalam tahap penelitian (Arpah 2001).

Penentuan umur simpan produk dengan metode ASS dilakukan dengan menggunakan parameter kondisi lingkungan yang dapat mempercepat proses penurunan mutu produk pangan (deteriorasi). Keuntungan dari metode ini adalah waktu pengujian yang relatif singkat (3-4 bulan), serta ketepatan dan akurasinya tinggi, tetapi relatif mahal. Metode ini dapat dilakukan dengan mengontrol semua lingkungan produk dan mengamati parameter perubahan yang berlangsung. Kesempurnaan model ini secara teoritis ditentukan oleh kedekatan hasil yang diperoleh dengan nilai ESS. Hasil yang bervariasi dapat terjadi akibat ketidaksempurnaan model dalam mendeskripsikan sistem, yang terdiri atas produk, bahan, pengemas, dan lingkungan (Arpah 2001).

Pengemasan

Biskuit merupakan produk yang mudah menyerap air dan oksigen, oleh sebab itu bahan pengemasnya harus memenuhi beberapa syarat antara lain kedap air, kedap oksigen, kedap terhadap komponen volatil, terutama bau- bauan, kedap terhadap sinar, dan mampu melindungi produk dari kerusakan

mekanis. Kemasan pangan adalah bahan yang digunakan untuk mewadahi dan atau membungkus pangan, baik yang bersentuhan langsung dengan pangan maupun tidak (Manley 1998).

Pengemasan produk untuk memberikan perlindungan yang aman hingga penyajian. Beberapa sifat fisika-kimia produk dipastikan akan sangat erat berkaitan dengan penyimpanan dan masa simpan. Aspek keamanan pangan yang mungkin terjadi berkaitan dengan pengemasan adalah bahan kimia

pengawet, kebocoran, kegagalan pengawetan, kontaminasi container, pengaruh

atmosfer bebas, dan kemungkinan respirasi produk (Syarief et al 1989).

Fungsi-fungsi suatu kemasan antara lain harus dapat mempertahankan produk agar bersih dan memberikan perlindungan terhadap kotoran, pencemaran lainnya, kerusakan fisik, air, oksigen, dan sinar, harus berfungsi secara benar, efisien, dan ekonomis dalam proses pengepakan, harus mempunyai suatu tingkat kemudahan untuk dibentuk menurut rancangan (bentuk, ukuran, dan berat pangan), dan harus memberi pengenalan,

keterangan, dan daya tarik penjualan (Syarief et al 1989).

Kemasan mempengaruhi nilai gizi bahan pangan dengan cara mengatur derajat sejumlah faktor yang berkaitan dengan pengolahan, penyimpanan, dan penanganan zat yang dapat bereaksi dengan komponen bahan pangan. Faktor- faktor tersebut antara lain cahaya, konsentrasi oksigen, kadar air, pemindahan

panas, kontaminasi, dan serangan makhluk hayati (Syarief et al 1989).

Bahan pengemas yang digunakan antara lain plastik, aluminium foil,

kertas minyak, karton berlipat dan kaleng berbentuk persegi atau bulat. Aluminium foil, plastik, dan kertas minyak termasuk dalam kemasan primer, yaitu kemasan yang melapisi, melindungi atau kontak langsung dengan produk, sedangkan karton berlipat termasuk kemasan sekunder, yaitu kemasan yang melapisi, melindungi kemasan primer. Fungsi kemasan kaleng dapat dikategorikan sebagai kemasan primer maupun sekunder. Jenis-jenis plastik antara lain selofan, selulosik, poliolefin, turunan vinil, poliester, pliofilm, dll (Syarief et al 1989).

Polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utama dari polipropilen antara lain ringan (densitas 0,9

g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang dan jernih dalam bentuk film, tidak

transparan dalam bentuk kemasan kaku. Polipropilen mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari polietilen (PE). Pada suhu rendah akan rapuh, dalam bentuk

murni pada suhu -300C mudah pecah sehingga perlu ditambahkan PE atau bahan lain untuk memperbaiki ketahanannya terhadap benturan. Tidak dapat digunakan untuk kemasan beku. Polipropilen bersifat lebih kaku dari PE dan tidak mudah sobek sehingga mudah dalam penanganan dan distribusi. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang, tidak baik untuk makanan yang peka terhadap oksigen. Tahan terhadap suhu tinggi sampai

dengan 1500C, sehingga dapat dipakai untuk makanan yang harus disterilisasi.

Titik leburnya tinggi, sehingga sulit dibuat kantung dengan sifat kelim yang bagus. Mengeluarkan benang-benang plastik pada suhu tinggi. Tahan terhadap asam kuat, basa, dan minyak. Baik untuk kemasan sari buah dan minyak. Tidak terpengaruh oleh pelarut pada suhu kamar kecuali HCl. Pada suhu tinggi PP akan bereaksi dengan benzene, silikon, toluene, terpentin, dan asam nitrat kuat

(Syarief et al 1989).

Kerusakan Pangan 1. Deteriorasi

Kerusakan pangan dimulai dengan penyimpangan suatu produk dari mutu awalnya, yang disebut sebagai deteriorasi. Produk pangan mengalami deteriorasi segera setelah diproduksi. Reaksi deteriorasi dimulai dengan persentuhan produk dengan udara, oksigen, uap air, cahaya, atau akibat perubahan suhu. Reaksi ini dapat pula diawali dengan hentakan mekanis seperti vibrasi, kompresi, dan abrasi (Arpah 2001). Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 3 Pengaruh beberapa faktor terhadap reaksi deteriorasi pada produk pangan

Faktor Utama Effek Deterioratif

Oksigen Oksidasi lipid, kerusakan vitamin, kerusakan

protein, dan oksidasi pigmen

Uap air Kehilangan/kerusakan vitamin, perubahan

organoleptik, reaksi pengcoklatan (browning),

dan oksidasi lipid

Cahaya Oksidasi, pembentukan bau/perubahan flavor,

kerusakan vitamin, dan kerusakan pigmen/perubahan warna

Mikroorganisme Pembentukan racun, kehilangan nutrisi, dan

keracunan/alergi Kompresi/bantingan, vibrasi,

abrasi, dan penanganan secara kasar

Perubahan organoleptik dan kebocoran pada pengemas

Bahan kima toksik/bahan

kimia off-flavour

Off-flavour, perubahan organoleptik, perubahan kimia, dan pembentukan racun

2. Penyebab Kerusakan Pangan

Penyebab kerusakan pangan dapat dibagi menjadi dua golongan, yaitu yang secara alamiah sudah ada dalam produk dan tidak dapat dicegah hanya dengan pengemasan saja, dan yang tergantung dari lingkungan sekitar dan mungkin dapat dikendalikan hampir semuanya oleh pengemasan. Penyebab utama kerusakan pangan adalah pertumbuhan mikroba, kegiatan enzim, dan

perubahan kimia (Buckle et al 1985).

Golongan pertama penyebab kerusakan pangan meliputi perubahan fisik karena suhu dan perubahan-perubahan biokimia dan kimia karena mikroorganisme atau karena interaksi antara berbagai komponen dalam produk pangan. Golongan kedua penyebab kerusakan pangan meliputi kerusakan secara mekanis, perubahan kadar air pangan, penyerapan dari dan interaksi dengan oksigen, dan hilang atau bertambahnya cita rasa. Mikroorganisme dapat mengakibatkan berbagai perubahan fisik dan kimiawi dari suatu bahan pangan. Bentuk-bentuk kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme antara lain adalah berjamur, pembusukan, berlendir, perubahan warna, berlendir kental seperti tali,

kerusakan fermentatif, dan pembusukan bahan-bahan berprotein (Buckle et al

1985).

Populasi mikroorganisme yang berada dalam suatu bahan pangan umumnya bersifat sangat spesifik dan tergantung pada jenis bahan pangan dan kondisi tertentu dari penyimpanannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan mikroorganisme dalam bahan pangan dapat bersifat fisik, kimia,

atau biologis. Menurut Mossel dalam Buckle et al 1985 faktor-faktor tersebut

dibagi menjadi 4, yaitu faktor intrinsik (sifat-sifat dari bahan pangan itu sendiri), faktor pengolahan, perubahan dari mikroflora awal sebagai akibat dari cara pengolahan bahan pangan (pemanasan, pengeringan, pengawetan, dan pembekuan), faktor ekstrinsik (kondisi lingkungan dari penanganan dan penyimpanan bahan pangan), dan faktor implisit sifat-sifat dari organisme itu sendiri (laju pertumbuhan spesifik, simbiosis, dan antagonisme antarmikroorganisme).

Faktor intrinsik pada kerusakan bahan pangan, antara lain aktivitas air, derajat keasaman, potensial redoks, zat-zat gizi, dan struktur biologis. Bahan pangan dengan kadar air tinggi (aw 0,95 – 0,99) dapat ditumbuhi oleh semua jenis mikroorganisme, tetapi karena bakteri dapat tumbuh lebih cepat daripada kapang dan khamir, maka kerusakan akibat bakteri lebih banyak dijumpai. Bahan

pangan dengan kadar gula tinggi sering dirusak oleh khamir. Bahan pangan yang lebih kering cenderung mengalami kerusakan akibat kapang yang dapat tumbuh pada nilai aktivitas air yang lebih rendah lagi. Nilai pH bahan pangan umumnya berkisar antara 3,0 sampai 8,0. Kebanyakan mikroorganisme tumbuh pada pH sekitar 5,0-8,0, maka hanya jenis-jenis tertentu saja yang ditemukan pada bahan

pangan yang mempunyai nilai pH rendah (Buckle et al 1985).

Potensial redoks dari suatu sistem biologis adalah suatu indeks dari tingkat oksidasinya. Potensial redoks ini berhubungan dengan komposisi kimia dari bahan pangan dan tekanan parsial oksigen selama penyimpanan. Zat-zat gizi yang digunakan untuk pertumbuhan mikroorganisme adalah zat hidrat arang, lemak, dan protein. Zat-zat ini dipecah oleh mikroorganisme dengan enzim amilolitik, lipolitik, dan proteolitik yang dihasilkannya. Struktur biologis seperti lapisan kulit dan kulit telur, testa dari biji-bijian, dan kutikula dari bagian-bagian tanaman mencegah masuknya mikroorganisme ke dalam bahan pangan (Buckle et al 1985).

3. Ketengikan

Ketengikan diartikan sebagai kerusakan atau perubahan bau dan flavor dalam lemak atau bahan pangan berlemak. Kemungkinan kerusakan atau ketengikan dalam lemak dapat disebabkan oleh 4 faktor, yaitu absorbsi bau oleh lemak, aksi oleh enzim dalam jaringan bahan mengandung lemak, aksi mikroba, dan oksidasi oleh oksigen udara atau kombinasi dari dua atau lebih dari penyebab kerusakan tersebut (Ketaren 2008).

Tipe penyebab ketengikan dalam lemak dibagi atas tiga golongan, yaitu ketengikan oleh oksidasi, ketengikan oleh enzim, dan ketengikan oleh proses hidrolisa. Sebelum proses ketengikan berbagai jenis minyak dan lemak akan

mengalami perubahan flavor dan bau. Hal ini dikenal dengan reversion. Faktor-

faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan dari reversion adalah suhu,

cahaya/penyinaran, tersedianya oksigen, dan adanya logam-logam yang bersifat sebagai katalisator pada proses oksidasi. Jika suhu penyimpanan lemak atau

minyak dinaikkan, maka waktu untuk menghasilkan flavor reversion akan lebih

singkat (Ketaren 2008).

Ketengikan oleh oksidasi (oxidative rancidity) terjadi karena proses

oksidasi oleh oksigen udara terhadap asam lemak tidak jenuh dalam lemak dan sejumlah kecil persenyawaan yang merupakan konstituen yang cukup penting. Sebagai contoh adalah persenyawaan yang membuat bahan pangan menjadi

menarik, misalnya persenyawaan yang menimbulkan aroma, flavor, warna, dan sejumlah vitamin. Proses oksidasi oleh oksigen udara secara spontan dapat terjadi jika bahan pangan yang berlemak dibiarkan kontak dengan udara. Kecepatan proses oksidasi tergantung dari tipe lemak dan kondisi penyimpanan, misal suhu dan cahaya (Ketaren 2008).

Bahan pangan berlemak dengan kadar air dan kelembaban udara tertentu merupakan medium yang baik bagi pertumbuhan jamur. Jamur tersebut

mengeluarkan enzim, seperti enzim lipoclastic yang dapat menguraikan

trigliserida menjadi asam lemak bebas dan gliserol. Semua enzim yang termasuk golongan lipase mampu menghidrolisa lemak netral (trigliserida) sehingga menghasilkan asam lemak bebas dan gliserol, namun enzim tersebut inaktif oleh panas. Enzim peroksida dapat mengoksidasi asam lemak tidak jenuh sehingga terbentuk peroksida yang dapat menyebabkan ketengikan. Selain itu enzim ini

juga dapat mengoksidasi asam lemak jenuh pada ikatan karbon atom β,

sehingga membentuk asam keton dan akhirnya membentuk metil keton (Ketaren 2008).

Mutu Pangan

Mutu pangan didefinisikan sebagai kelompok sifat atau faktor pada pangan yang membedakan tingkat pemuas atau aseptabilitas (penerimaan) dari pangan tersebut bagi pembeli atau konsumen. Mutu bahan pangan yang dinyatakan tidak dapat diterima oleh seorang konsumen, mungkin masih dapat diterima oleh konsumen lainnya, sehingga definisi dari kerusakan bahan pangan oleh mikroorganisme menjadi sangat subyektif. Menurut Syarief dan Halid (1993) mutu pangan dapat dibedakan menjadi:

1. Mutu Organoleptik Pangan

Mutu organoleptik pangan merupakan sifat-sifat produk pangan yang hanya dikenali atau diukur dengan proses penginderaan, yaitu dengan menggunakan pancaindera. Mutu organoleptik ini meliputi bentuk, ukuran, warna, tekstur, aroma, dan rasa. Pengujian indrawi/organoleptik ini penting dan harus dilakukan pada produk pangan untuk pemeriksaan mutu pangan, pengendalian proses selama pengolahan berlangsung, dan sebagai metode pengukuran sifat mutu dalam penelitian. Perubahan organoleptik dan zat gizi terjadi selama penyimpanan, yang besarnya tergantung pada suhu penyimpanan, sistem pengemasan, dan sifat produknya.

2. Mutu Kimiawi Pangan

Mutu kimiawi pangan berhubungan dengan zat-zat kimia baik makro maupun mikro yang menyusun pangan tersebut. Zat kimia makro penyusun pangan adalah karbohidrat, protein, dan lemak. Komponen kimia lain yang juga penting dalam mempengaruhi mutu stabilitas, terutama pada produk pangan kering adalah air.

Sifat-sifat kimia yang penting dalam pengawasan pangan meliputi komposisi kimia dan gizi, kandungan kimia aktif, zat kimia yang berhubungan dengan kesehatan, zat tambahan, zat kimia yang berkaitan dengan pengolahan, dan zat kimia yang berhubungan dengan pencemaran. Karena zat kimia mempengaruhi mutu produk pangan maka perlu adanya pengawasan mutu yang dapat dilakukan baik dengan metode kuantitatif maupun kualitatif.

3. Mutu Mikrobiologik

Mikroba dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan dan penurunan mutu produk pangan, tetapi tidak semua mikroba merugikan. Pada produk pangan basah dan semibasah mikroba berada dalam bentuk vegetatif, sedangkan bentuk spora mikroba terdapat pada hampir semua produk pangan. Produk pangan kering biasanya tidak atau sedikit mengandung bakteri tetapi dapat mengandung kapang dalam jumlah besar, terutama dalam bentuk spora yang memberi pengaruh negatif pada mutu pangan.

Suatu produk yang ditumbuhi mikroba mula-mula akan mengalami perubahan sifat-sifat produk. Perubahan sifat ini tergantung pada jenis produk

Dokumen terkait