• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Keluarga

Karakteristik keluarga yang dikaji dalam penelitian ini antara lain besar keluarga, total pendapatan, tingkat pendidikan dan pekerjaan orang tua.

Besar Keluarga

Sebaran balita berdasarkan besar keluarga berkisar dari 3-9 anggota rumah tangga dalam satu keluarga, Contoh dikategorikan berdasarkan besar keluarga kecil (≤4 anggota rumah tangga), sedang (5-6 anggota rumah tangga), dan besar

(≥7 anggota rumah tangga). Berikut sebaran balita berdasarkan besar keluarga dapat dilihat pada Tabel 4.

12

Tabel 4 Sebaran balita berdasarkan besar keluarga

Besar Keluarga n %

Kecil 23 71.9

Sedang 7 21.9

Besar 2 6.2

Total 32 100.0

Tabel 4 menunjukkan bahwa rata-rata besar keluarga contoh tergolong kecil, yaitu 4.28±1.55. Keluarga contoh sebagian besar berjumlah empat orang. Contoh dalam penelitian ini rata-rata merupakan anak pertama dari pasangan umur subur.

Tingkat Pendidikan orang tua

Tingkat pendidikan orang tua contoh dikategorikan menjadi tingkat Sekolah Dasar (SD), Sekolah Menengah Pertama (SMP), Sekolah Menengah Atas (SMA), dan Perguruan Tinggi. Berikut sebaran contoh berdasarkan tingkat pendidikan ayah pada tingkat pendidikan ibu dapat dilihat pada Tabel 5.

Table 5 Sebaran balita berdasarkan pendidikan ayah dan ibu

Tingkat Pendidikan Pendidikan Ayah Pendidikan Ibu

n % n %

SD 17 53.1 18 56.25

SMP 7 21.9 12 37.50

SMA 8 25.0 2 6.25

Total 32 100.0 32 100.0

Tabel 5 menunjukkan bahwa persentase pendidikan ayah pada tingkat SMA lebih tinggi dibanding persentase pendidikan ibu pada tingkat SMA dan persentase pendidikan ayah pada tingkat pendidikan SD lebih rendah dibanding persentase pendidikan ibu pada tingkat pendidikan SD. Rata-rata tingkat pendidikan ayah dan ibu adalah Sekolah Dasar (SD) dengan standar deviasi masing-masing 0.85 dan 0.62. Sebanyak 61.1 persen contoh berada pada pendidikan ayah dan ibu tingkat SD.

Pekerjaan orang tua

Pekerjaan ayah contoh dikategorikan menjadi buruh tani dan selain buruh tani. Sedangkan pekerjaan ibu dikategorikan menjadi tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga). Berikut sebaran jenis pekerjaan ayah dan jenis pekerjaan ibu dapat dilihat pada Tabel 6.

13

Tabel 6 Sebaran balita berdasarkan pekerjaan ayah dan ibu

Pekerjaan Ayah Pekerjaan Ibu

n % n %

Buruh Tani 23 71.9 0 0

Buruh Tani dan lainnya 9 28.1 0 0

Ibu Rumah Tangga 0 0 31 96.9

Lainnya 0 0 1 3.1

Total 32 100.0 32 100.0

Tabel 6 menunjukkan bahwa pekerjaan ayah sebagian besar sebagai buruh tani dan ibu sebagian besar tidak bekerja (Ibu Rumah Tangga). Pekerjaan ayah mayoritas buruh tani, namun ada juga yang mempunyai pekerjaan sampingan lainnya seperti buruh bangunan, pedagang dan sopir. Menurut Suhanda et al. (2009) menyatakan bahwa rumah tangga petani yaitu rumah tangga dengan pekerjaan utama anggota rumah tangganya sebagai petani dan umumnya hidup dan tinggal di pedesaan. Ibu contoh mayoritas tidak bekerja (ibu rumah tangga), terdapat satu contoh dengan pekerjaan ibu sebagai pedagang.

Total Pendapatan

Total pendapatan orang tua contoh dikategorikan berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Jawa Barat No.561/Kep.1636-Bangsos/2004. Total pendapatan tergolong dibawah standar Upah Minimum Regional (UMR) Kabupaten Bogor apabila kurang dari Rp2 250 000. Sedangkan total pendapatan tergolong diatas standar UMR Kabupaten Bogor apabila lebih dari atau sama dengan Rp2 250 000. Berikut sebaran keluarga contoh berdasarkan kategori total pendapatan pada setiap rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 7.

Tabel 7 Sebaran balita berdasarkan pendapatan keluarga

Total Pendapatan Total

n %

<Rp2 250 000 31 96.9

≥Rp2 250 000 1 3.1

Total 32 100.0

Total pendapatan orang tua contoh rata-rata di bawah standar upah minimum regional, hal ini sesuai dengan Riskesdas (2010) bahwa penduduk miskin banyak dipedesaan. Rata-rata total pendapatan orang tua contoh adalah Rp1 230 000 ± 494 200. Pendapatan keluarga di Kecamatan Pamijahan melebihi jumlah penduduk miskin yang terdapat di Kabupaten Bogor yang mencapai 24.15 persen. Rata-rata pendapatan keluarga berasal dari pendapatan ayah, hal ini dikarenakan ibu contoh sebagian besar merupakan ibu rumah tangga. Sedangkan total pendapatan keluarga contoh yang tergolong tinggi merupakan pendapatan berasal dari ayah dan anak mereka yang sudah bekerja.

Keluarga dengan total pendapatan rendah sebagian besar mempunyai besar keluarga tergolong kecil (<4 orang). Sebanyak 95.7 persen total pendapatan

14

rendah pada golongan keluarga kecil dan 4.3 persen total pendapatan rendah pada golongan keluarga besar.

Karakteristik Contoh Umur

Balita yang menjadi contoh dalam penelitian ini adalah balita berumur 3 –

5 tahun dan tinggal satu rumah dengan orang tuanya. Menurut Uripi (2004) dalam Muqni et al. (2012) balita dikategorikan menjadi dua kategori, yaitu batita (1-3 tahun) dan anak umur prasekolah (3-5 tahun). Berikut sebaran balita berdasarkan umur dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8 Sebaran balita berdasarkan umur

Umur n % 3-4 tahun 4-5 tahun 8 24 25.0 75.0 Jumlah 32 100.0

Masa balita merupakan masa yang rentan terhadap masalah gizi sehingga memerlukan perhatian khusus agar balita tetap hidup sehat. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada umur 3-5 tahun pertumbuhan balita mulai melambat. Balita pada umur ini sudah mulai mempunyai respon untuk setiap pengalamannya dengan mental. Mereka lebih imajinatif dalam bermain tanpa memperdulikan lingkungannya. Mulai suka main guru-guruan, boneka dan mulai suka menonton televisi atau maen game dan seringkali lupa makan. Menurut Ramli et al. (2009) menunjukkan bahwa prevalensi stunting tertinggi terjadi pada saat anak berumur 24-59 bulan (2-5 tahun).

Jenis Kelamin

Balita yang berpartisipasi dalam penelitian ini sebanyak 32 orang. Sebaran balita menurut kategori jenis kelamin pada setiap umur dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Sebaran balita berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin Total

n % Laki-Laki Perempuan 15 17 46.9 53.1 Total 32 100.0

Contoh terdiri dari 15 orang laki-laki berumur 37-59 bulan dan 17 orang perempuan berumur 40-59 bulan. Rata-rata balita dalam penelitian ini berumur 48-59 bulan. Balita laki-laki dibedakan menjadi umur 36-48 bulan dan 48-59 bulan dengan banyak balita masing-masing 6 dan 9 anak, sedangkan perempuan umur 36-48 bulan berjumlah 2 anak dan umur 48-59 bulan berjumlah 15 anak. Berat Badan Lahir

Kelompok berat badan lahir contoh dikelompokkan menjadi dua kelompok yaitu kelompok berat badan lahir rendah (BBLR <2.5 kg) dan normal

15

(≥2.5 kg). Berikut sebaran balita berdasarkan berat badan lahir dapat dilihat pada Tabel 10.

Tabel 10 Sebaran balita berdasarkan berat badan lahir Berat Badan Lahir Total n % BBLR 3 9.4 Normal 29 90.6 Total 32 100.0

Balita laki-laki dan perempuan rata-rata mempunyai berat badan lahir

normal (≥2.5 kg), yaitu 3.08±0.42 kg. Presentase berat badan normal balita laki-laki lebih tinggi dibandingkan dengan balita perempuan, berurut-urut yaitu 93.3 persen dan 88.2 persen. Sedangkan presentase berat badan lahir rendah pada laki-laki lebih rendah dibanding perempuan, berurut urut yaitu 6.7 persen dan 11.8 persen. Hal ini diduga orang tua contoh mengetahui masa kehamilan dan rutin menimbang berat badan di posyandu selama hamil sehingga perkembangan janin dapat dipantau oleh petugas kesehatan.

Analisis Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Penyakit Infeksi, Konsumsi Pangan, serta Kejadian Gizi Kurang dan Stunting pada Balita Perilaku Hidup Bersih dan Sehat pada Balita

Perilaku hidup bersih dan sehat pada balita dilihat berdasarkan sepuluh kriteria PHBS, yaitu persalinan ditolong oleh tenaga kesehatan, memberi bayi ASI eksklusif, menimbang balita setiap bulan, menggunakan air bersih, mencuci tangan dengan air bersih dan sabun, menggunakan jamban sehat, memberantas jentik dirumah sekali seminggu, makan buah dan sayur setiap hari, melakukan aktivitas fisik setiap hari, dan tidak merokok didalam rumah (Kemenkes RI 2011).

Perilaku hidup bersih dan sehat setiap anggota keluarga diperlukan untuk kesehatan balita sejak dalam kandungan terutama hingga umur dua tahun kelahiran harus diperhatikan dan rutin ditimbang setiap bulan. Sebesar 93.75 persen persalinan kehamilan ditolong oleh tenaga kesehatan dan bayi ditimbang secara rutin setiap bulan, selain itu persalinan ditolong oleh tenaga bukan tenaga kesehatan dan bayi tidak ditimbang setiap bulan. Sebesar 71.88 persen ibu memberikan ASI ekslusif kepada balita sedangkan 28.12 persen balita tidak diberi ASI ekslusif, artinya bayi sudah diberi makanan selain ASI sebelum umur 6 bulan. Hasil penelitian Riset Kesehatan Dasar (2010) menunjukkan bahwa sebesar 29.3 persen masyarakat pedesaan memberi ASI ekslusif kepada balita. Hasil penelitian di Gunung Picung lebih tinggi dibanding hasil Riskesdas, hal ini diduga adanya peran tenaga kesehatan yang cukup baik.

Sebesar 75 persen masyarakat Gunung Picung menggunakan air PAM untuk keperluan rumah tangga dan sebesar 25 persen masyarakat masih menggunakan air sungai atau air sumur gali tangan untuk keperluan rumah tangga seperti mencuci baju, mencuci piring, mandi dan masak. Menurut Riskesdas (2010) menunjukkan bahwa 53.9 persen di pedesaan menggunakan air baik dengan kriteria tidak berbau, tidak berwarna, tidak keruh, tidak berasa dan tidak

16

berbusa, serta sebesar 29.6 persen dipedesaan melakukan kegiatan rumah tangga dengan menggunakan air sumur gali terlindung. Sebesar 93.75 persen balita tidak melakukan kegiatan mencuci tangan menggunakan sabun sebelum makan atau setelah makan terutama apabila memakan dengan menggunakan sendok. Sebesar 50 persen menggunakan jamban sendiri dirumah dan tersedia septictank, sebesar 21.88 persen menggunakan jamban bersama tanpa septictank dan 28.12 persen tidak menggunakan jamban, hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil Riskesdas (2010) bahwa di pedesaan sebesar 59 persen menggunakan jamban sendiri, 8.3 persen menggunakan jamban bersama, 7.2 persen menggunakan jamban umum dan 25.5 persen tidak menggunakan jamban.

Pembuangan sampah di Kelurahan Gunung Picung masih kurang baik, sebanyak 59.38 persen sampah dibakar, sebesar 40.62 persen sampah dibuang ketempat pembuangan sampah yang nantinya diangkut oleh petugas kebersihan. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Riskesdas (2010) bahwa di pedesaan sebesar 64.1 persen sampah dibakar, sebesar 14.1 persen dibuang sembarangan dan sebesar 9.6 persen masyarakat pedesaan mengolah sampah dengan baik. Menurut Riskesdas (2010), pengolahan sampah yang baik adalah ditimbun dalam tanah, diangkut petugas atau dibuat kompos. Hasil penelitian juga menunjukkan limbah rumah tangga sebesar 71.88 persen dibuang di selokan atau di sungai. Menurut Riskesdas (2010), pembuangan air limbah dipedesaan tanpa penampungan sebesar 30.6 persen, disungai 29.1 persen.

Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 78.12 persen anggota keluarga tidak memberantas jentik nyamuk dan sebanyak 21.88 persen memberantas jentik nyamuk sebulan sekali. Sebesar 15.63 persen rumah tangga memakan buah atau sayur setiap hari, sedangkan sebesar 84.37 persen jarang memakan buah dan sayur. Sebesar 37.5 persen anggota rumah tangga melakukan aktivitas fisik jalan kaki lebih dari atau sama dengan 30 menit setiap hari, sedangkan 62.5 persen tidak melakukan aktivitas fisik setiap hari. Sebesar 78.12 persen anggota rumah tangga merokok didalam rumah, sedangkan sebesar 21.88 persen tidak merokok. Hal ini tidak jauh berbeda dengan hasil Riskesdas (2010) bahwa perokok dipedesaan sebesar 37.4 persen dan 83.5 persen adalah merokok didalam rumah bersama anggota keluarga lainnya.

Rumah sehat menurut Riskesdas (2010) merupakan rumah yang mempunyai atap berplafon, dinding permanen, lantai bukan tanah, tersedia jendela, ventilasi cukup, penerangan alami cukup, tidak padat huni (8 m2/orang). Berdasarkan hasil penelitian di Desa Gunung Picung sebanyak 90.62 persen rumah tangga masih dalam kriteria kurang sehat. Hal ini tidak jauh berbeda dengan Riskesdas (2010) bahwa kondisi rumah di pedesaan sebesar 83.2 persen kurang sehat.

Perilaku hidup bersih dan sehat pada penelitian ini dikategorikan menurut Depkes (2008) digolongkan menjadi 4 golongan, yaitu Sehat Pratama (3 dari 10 kriteria terpenuhi), Sehat Madya (4-5 dari 10 kriteria terpenuhi), Sehat Purnama (6-7 dari 10 kriteria terpenuhi), Sehat Mandiri (8-10 dari 10 kriteria terpenuhi). Berikut sebaran balita berdasarkan perilaku hidup bersih dan sehat dapat dilihat pada Tabel 11.

17

Table 11 Sebaran balita berdsarkan perilaku hidup bersih dan sehat

Kategori PHBS n % Sehat pratama 0 .0 Sehat madya 11 34.4 Sehat purnama 14 43.8 Sehat mandiri 7 21.9 Total 32 100.0

Keluarga contoh pada penelitian ini, rata-rata mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat pada kategori sehat purnama. Rata-rata balita dengan status gizi stunting mempunyai perilaku hidup bersih dan sehat kategori sehat madya. Sedangkan status gizi normal rata-rata pada kategori sehat purnama. Perilaku hidup bersih dan sehat keluarga balita pada kategori sehat madya rata-rata pendapatan dibawah UMR Kabupaten Bogor. Hal ini diduga karena kurangnya alokasi uang untuk keperluan hidup bersih dan sehat seperti membeli peralatan rumah tangga. Selain itu keluarga dengan kategori sehat madya rata-rata pada keluarga dengan tingkat pendidikan ayah dan ibu adalah SD.

Penyakit Infeksi pada Balita

Keluarga dengan perilaku hidup bersih dan sehat akan terhindar dari penyakit infeksi. Menurut WHO (2007) indikator penyakit infeksi antara lain kebersihan tangan, pembersihan peralatan dan permukaan, pengendalian sumber infeksi dan ventilasi ruangan. Penyebaran dan dampak penyakit infeksi berkaitan dengan kondisi lingkungan (misalnya, polutan udara, kepadatan anggota keluarga, kelembaban, kebersihan, musim dan temperatur), ketersediaan dan efektivitas pelayanan kesehatan dan langkah pencegahan infeksi untuk mencegah penyebaran (misalnya, vaksin dan akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan), faktor lain, seperti umur, kebiasaan merokok keluarga, kemampuan keluarga menularkan infeksi, status kekebalan, status gizi, infeksi sebelumnya atau infeksi serentak yang disebabkan oleh patogen lain, kondisi kesehatan umum dan karakteristik patogen, seperti cara penularan dan daya tular.

Keadaan lingkungan contoh dilihat berdasarkan keadaan dalam rumah dan diluar rumah. Kondisi didalam rumah meliputi kondisi dinding, atap, lantai, ventilasi tempat tidur, keberadaan serangga dirumah, sarana pembuangan kotoran, penyediaan air bersih, lubang asap dapur, tempat mencuci piring dan keadaan kamar mandi. Menurut Bomela (2007) menunjukkan bahwa faktor lingkungan yang meliputi sumber air, tipe rumah dan lokasi toilet mempengaruhi status gizi anak. Sedangkan kondisi diluar rumah meliputi pekarangan rumah, letak kandang, sumber polusi udara, pembuangan limbah, pembuangan sampah dan septic tank.

Penyakit infeksi dalam penelitian ini meliputi penyakit diare dan infeksi saluran pernafasan atas. Penyakit diare yang dilihat dari konsistensi buang air besar cair dan dengan frekuensi tiga kali atau lebih dalam sehari. Penyakit infeksi saluran pernafasan atas dalam penelitian ini meliputi panas, pilek, batuk dan sesak nafas. Penyakit infeksi yang diderita contoh pada penelitian ini didapat dengan cara menanyakan lama sakit dan frekuensi sakit dalam tiga bulan terakhir. Rata-rata contoh pada penelitian ini mengalami penyakit infeksi dengan lama sakit ISPA lebih dari 3 hari dengan frekuensi sekali dalam sebulan. Sedangkan lama

18

sakit diare rata-rata kurang dari 3 hari dengan frekuensi sekali dalam sebulan. Penyakit infeksi pada penelitian ini dikategorikan menjadi diare dan infeksi saluran pernafasan atas (ISPA). Berikut sebaran balita berdasarkan penyakit infeksi dilihat pada Tabel 12.

Table 12 Sebaran balita berdasarkan penyakit infeksi balita

Kategori Penyakit Infeksi Sakit Tidak Sakit Total

n % n % n %

Diare 12 37.5 20 62.5% 32 100.0

ISPA 25 78.1 7 21.9% 32 100.0

Rata-rata balita tidak mengalami diare selama sebulan, selisih balita sakit dan tidak sakit, yaitu 25 persen. Berdasarkan lama sakit diare, balita sakit diare sebesar 37.5 persen dapat dijelaskan 12.5 persen adalah balita sakit diare ≤3 hari,

21.9 persen balita sakit diare 4-7 hari dan sebesar 3.1 persen balita sakit diare lebih dari 7 hari. Berdasarkan frekuensi sakit, balita sakit diare sebesar 37.5 persen dapat dijelaskan 25.0 persen balita sakit diare sekali dalam sebulan, sebesar 9.4 persen balita sakit diare 2 kali dalam sebulan dan sebesar 3.0 persen

balita sakit diare ≥3 kali dalam sebulan.

Hasil studi Indonesia Sanitation Sector Development Program (ISSDP) tahun 2006, menunjukkan 47% masyarakat masihberperilaku buang air besar ke sungai, sawah, kolam, kebun dan tempat terbuka. Sementara studi BHS terhadap perilaku pengelolaan air minum rumah tangga menunjukan 99,20% merebus air untuk mendapatkan air minum, tetapi 47,50 % dari air tersebut masih mengandung Eschericia coli. Kondisi ini berkontribusi terhadap tingginya angka kejadian diare di Indonesia. Hal ini terlihat dari angka kejadian diare nasional pada tahun 2006 sebesar 423 per seribu penduduk pada semua umur dan 16 provinsi mengalami Kejadian Luar Biasa (KLB) diare dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 2,52.

Rata-rata balita mengalami ISPA selama sebulan dengan selisih balita sakit dan tidak sakit, yaitu 56.2 persen. Berdasarkan lama ISPA, balita sakit ISPA sebesar 78.1 persen dapat dijelaskan sebesar 6.3 persen balita menderita ISPA ≤3

hari, 40.6 persen balita menderita ISPA 4-7 hari dan sebesar 31.2 persen balita menderita ISPA lebih dari 7 hari. Berdasarkan frekuensi sakit, balita sakit ISPA sebesar 78.1 persen dapat dijelaskan sebesar 43.7 persen balita menderita ISPA sekali dalam sebulan, sebesar 25.0 persen balita menderita ISPA 2 kali dalam sebulan dan sebesar 9.3 persen balita menderita ISPA ≥3 kali dalam sebulan. Hal ini dapat dikarenakan kondisi lingkungan yang kurang sehat terutama pada lingkungan udara. Pada balita yang terserang ISPA adalah balita yang hidup pada rumah dengan salah satu anggota keluarga sering merokok di dalam rumah. Pada umumnya tubuh mempunyai sistem kekebalan yang dapat menjaga tubuh dari pengaruh luar yang buruk. Namun dalam kondisi sistem imun yang menurun, seseorang dapat terserang penyakit terutama penyakit infeksi (Saroso 2007). Intake Zat Gizi Balita

Konsumsi pangan balita diperlukan dalam pertumbuhan dan sistem kekebalan tubuh. Konsumsi pangan yang rendah dapat menyebabkan terganggunya aktivitas balita dan membuat balita lama berkembang. Konsumsi pangan balita yang diperoleh dengan recall 2x24 jam. Konsumsi pangan

19

menunjukkan intake energi dan protein pada balita. Tingkat kecukupan energi dan protein digolongkan menjadi defisit berat (<70 persen Angka Kecukupan Energi), defisit sedang (70-79 persen Angka Kecukupan Energi), defisit ringan (80-89 persen Angka Kecukupan Energi), normal (90-120 persen Angka Kecukupan Energi) dan lebih (≥120 persen Angka Kecukupan Energi). Berikut sebaran balita berdasarkan tingkat kecukupan energi dan protein pada balita dapat dilihat pada Tabel 13.

Tabel 13 Sebaran balita berdasarkan tingkat kecukupan gizi balita

Tingkat Kecukupan Energi Tingkat Kecukupan Protein

n % n % Lebih 3 9.4 15 46.9 Normal 6 18.8 7 21.9 Def.ringan 1 3.1 3 9.4 Def.sedang 6 18.8 2 6.2 Def.berat 16 50.0 5 15.6 Total 32 100.0 32 100.0

Rata-rata tingkat kecukupan energi balita pada Tabel 13 tergolong defisit sedang (70-79 persen Angka Kecukupan Energi), yaitu 74.72±27.10 %AKE. Sedangkan tingkat kecukupan protein balita rata-rata tergolong lebih (≥120 persen

Angka Kecukupan Protein), yaitu 123.76±51.51 %AKP. Sumber protein yang dikonsumsi contoh, antara lain berasal dari ikan segar, ikan asin, sosis, baso, telur, dan sebagainya. Berdasarkan hasil uji korelasi pearson menunjukkan tingkat kecukupan energi berhubungan dengan tingkat kecukupan protein (P<0.05). Rata-rata contoh dalam penelitian ini mempunyai status gizi normal dan tidak stunting. Kejadian Gizi Kurang dan Stunting pada Balita

Masalah gizi di Indonesia tidak hanya masalah gizi kurang dan lebih, namun kependekan merupakan masalah gizi yang dapat terjadi dalam jangka panjang. Masalah gizi kurang dapat terjadi akibat konsumsi makan yang rendah sehingga mengakibatkan kurangnya intake energi yang dibutuhkan oleh tubuh. Kurangnya konsumsi makan dalam jangka panjang menyebabkan terganggunya metabolisme tubuh dan memperlambat pertumbuhan.

Lambatnya pertumbuhan dalam jangka panjang menyebabkan stunting dan selama ini stunting jarang menarik perhatian masyarakat terutama masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan pada umumnya menganggap stunting merupakan keturunan dari orang tua dan tidak menjadi masalah bagi balita. Padahal, stunting merupakan masalah yang berjangka panjang pada saat dewasa. Menurut penelitian yang dilakukan Hanum (2014) bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara tinggi badan ibu dan status gizi (TB/U) (r=0.062, p=0.562). Selain itu, menurut Amigo et al. (1997) orang tua pendek yang diakibatkan karena malnutrisi tidak akan diturunkan kepada anak. Apabila seorang anak yang mempunyai orang tua pendek, namun jika gizi anak terpenuhi maka anak tersebut masih dapat tumbuh dengan ideal (Witjaksono 2009).

Keadaan gizi kurang pada balita di Kecamatan Pamijahan cukup mendapat perhatian dari petugas kesehatan, namun status gizi (TB/U) jarang diperhatikan.

20

Hal ini dilihat dari proses posyandu yang ada di daerah tersebut hanya menimbang berat badan saja, sedangkan tinggi badan tidak dilakukan penimbangan pada balita. Keadaan status gizi (BB/U dan TB/U) pada balita dapat dilihat pada Tabel 14.

Tabel 14 Sebaran balita berdasarkan status gizi balita

Status Gizi n % BB/U Normal 26 81.2 Kurang 6 18.8 Total 32 100.0 TB/U Normal 17 53.1 Kurang 15 46.9 Total 32 100.0

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata balita mempunyai status gizi (BB/U) normal, yaitu -1.19±0.86 z skor dengan selisih 62.4 persen. Status gizi (TB/U) pada balita rata-rata dalam kategori normal, yaitu -1.74±0.78 z skor, namun selisih antara normal dan stunting kurang dari 10 persen (6.2 persen). Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa responden dengan status gizi (TB/U) rendah banyak ditemukan pada balita perempuan. Hal ini cukup membuat perhatian agar rata-rata status gizi (TB/U) tetap dalam rata-rata normal. Sedangkan responden dengan status gizi kurang banyak ditemukan pada balita jenis kelamin laki-laki. Hal ini sejalan dengan Laporan Nasional Riskesdas 2010 yang menunjukkan bahwa prevalensi nasional gizi kurang pada balita laki-laki yaitu 13.9 persen dan perempuan 12.1 persen.

Analisis Pengaruh Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, Tingkat Kecukupan Gizi serta Tinggi Badan Ibu terhadap Gizi Kurang dan Stunting pada Balita Pengaruh PHBS terhadap Gizi Kurang dan Stunting

Uji statistik regresi linier sederhana digunakan untuk mengetahui faktor-faktor yang berpengaruh terhadap status gizi (BB/U dan TB/U). Variabel dependen yang dianalisa adalah skor BB/U dan TB/U. Sedangkan variabel independen adalah penyakit infeksi (diare dan ISPA), tingkat kecukupan energi dan protein dan tinggi badan ibu. Hasil uji regresi pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi (BB/U dan TB/U) dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Pengaruh penyakit infeksi terhadap status gizi (BB/U dan TB/U) Variabel

yang diteliti

Status Gizi (BB/U) Status Gizi (TB/U)

b R2 p b R2 p

Penyakit

Diare -0.233 0.023 0.027 -0.106 0.022 0.019

Penyakit

21

Hasil uji regresi menunjukkan bahwa penyakit diare memiliki nilai R square sebesar 0.023. Nilai R square 0.023 memiliki arti sebesar 2.3 persen status gizi (BB/U) balita dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi (diare). Selebihnya dapat dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti. Hasil uji regresi menunjukkan bahwa penyakit diare secara nyata berpengaruh terhadap penurunan status gizi (BB/U) (p=0.027). Variabel diare dengan koefisien regresi (b) sebesar -0.233 menunjukkan setiap kenaikan satu poin diare, maka akan menurunkan 0.233 poin status gizi (BB/U). Menurut Assiss et al. (2005) menyatakan bahwa diare merupakan penyebab utama menurunnya pertumbuhan pada anak dibawah umur lima tahun.

Hasil uji regresi juga menunjukkan bahwa diare secara nyata berpengaruh terhadap penurunan status gizi (TB/U) (p=0.019). Nilai R square sebesar 0.022 memiliki arti sebesar 2.2 persen status gizi (TB/U) balita dapat dipengaruhi oleh penyakit infeksi (diare). Selebihnya dapat dipengaruhi oleh faktor yang tidak diteliti. Variabel diare dengan koefisien regresi (b) sebesar -0.106 menunjukkan

Dokumen terkait