• Tidak ada hasil yang ditemukan

Produksi Telur

Tatalaksana pemeliharaan selama periode produksi sangat menentukan kemampuan puyuh dalam memproduksi telur. Hasil pencatatan produksi telur selama penelitian diperoleh bahwa rataan produksi berkisar antara 52% sampai 72,22%. Rataan produksi telur selengkapnya disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Rataan Produksi Telur selama Penelitian

Lama Pencahayaan Produksi Telur --- jam/hari --- --- % --- 16 62,27 ± 5,12ab 18 58,62 ± 7,69 a 20 66,13 ± 4,36ab 22 67,47 ± 4,28 b 24 59,29 ± 2,35ab

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama pencahayaan berpengaruh nyata terhadap rataan produksi telur. Uji Tukey perlakuan terhadap rataan persentase produksi telur diperoleh bahwa pemberian cahaya 18 jam/hari berbeda dengan pemberian cahaya 22 jam/hari. Pemberian cahaya 18 jam/hari tidak berbeda dengan pemberian cahaya 16, 20 dan 24 jam/hari. Pemberian cahaya 22 jam/hari tidak berbeda dengan pemberian cahaya 16, 20 dan 24 jam/hari.

Uji kontras polynomial ortogonal menunjukkan berbeda nyata pada kurva respon berbentuk kubik dengan titik maksimum pada pemberian cahaya 22 jam/hari. Pemberian cahaya 22 jam/hari menghasilkan produksi yang lebih baik dari pemberian cahaya 16, 18, 20 dan 24 jam/hari, berarti kebutuhan optimal cahaya pada puyuh selama penelitian adalah sebesar 22 jam/hari. Pada pencahayaan 24 jam/hari, produksi telurnya sebesar 59,29%, lebih rendah dibandingkan pencahayaan 22 jam/hari yaitu 67,47%. Hal tersebut disebabkan karena kebutuhan cahaya untuk pembentukan hormon sudah berlebih, sehingga berdampak pada aktifitas puyuh yang berlebih dan puyuh kurang mendapat kesempatan untuk istirahat, akibatnya puyuh kelelahan dan mudah stress. Dalam keadaan tersebut maka produksi telur mengalami penurunan. Hal ini sesuai pendapat Gordon (1994) yang menyatakan bahwa pada

ayam, pemberian cahaya secara terus-menerus selama 24 jam/hari dapat mengganggu kenyamanan, mengurangi kesempatan untuk istirahat, mengakibatkan stres serta mengganggu kesehatan.

Produksi telur sangat ditentukan oleh konsumsi pakan, kandungan protein pakan dan faktor hormonal dalam proses pembentukan telur. Pada periode layer,

kebutuhan cahaya sangat penting untuk proses pembentukan dan pelontaran ovum. Cahaya yang diberikan pada unggas akan diterima oleh mata dan kemudian diolah oleh bagian otak yang disebut hypotalamus. Hypotalamus ini berperan dalam merangsang pituitary anterior untuk mensekresikan hormon LH (Luteinizing Hormone) yang berperan dalam proses pelontaran ovum dan FSH (Follicle Stimulating Hormone) yang berperan dalam proses pematangan ovum. Kecukupan cahaya akan mempengaruhi produksi hormon dan selanjutnya akan menentukan produksi ovum. Produksi ovum yang optimal akan menyebabkan produksi telur juga akan optimal.

Dari hasil penelitian ini, hubungan antara lama pencahayaan (X) dengan produksi telur (Y) yang dicapai selama 7 minggu produksi pertama dapat dilihat pada gambar 3.

Gambar 3. Hubungan antara Lama Pencahayaan (jam/hari) dengan Produksi Telur (%)

Hubungan antara lama pencahayaan (X) dengan produksi telur (Y) dapat dinyatakan dalam persamaan kurva polynomial berbentuk kubik Y = -1,7233 X3 + 14,422 X2 – 33,855 X + 83,226 dengan koefisien determinasi 95,57%. Koefisien

50 55 60 65 70 16 18 20 22 24 Lama Pencahayaan (jam/hari)

Y = -1,7233 X3 + 14,422 X2 – 33,855 X + 83,226 R2 = 95,57% Pro duksi Tel u r (% )

determinasi 95,57% menunjukkan bahwa 95,57% keragaman produksi telur selama penelitian disebabkan oleh keragaman lama pencahayaan.

Rataan produksi telur seluruh perlakuan selama penelitian adalah 62,76%. Produksi telur tersebut lebih baik dari hasil penelitian Eishu, et al. (2005) yang dilakukan pada burung puyuh yang berumur 6-10 minggu dengan pemberian pakan yang mengandung protein 22% menghasilkan produksi telur 51,3%. Perbedaan tersebut disebabkan karena pada penelitian ini dipelihara sampai umur 13 minggu, sedangkan penelitian Eishu hanya sampai 10 minggu. Pada awal bertelur, produksi telur masih sedikit dan semakin meningkat sesuai pertambahan umur hingga mencapai puncak produksi pada minggu ke-15. Pada umur 11-13 minggu produksi telur sudah stabil dan mendekati puncak produksi, sehingga rataan produksi telurnya lebih tinggi. Rataan produksi telur per minggu dari minggu ke-7 sampai ke-13 disajikan pada Gambar 4.

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 7 8 9 10 11 12 13 Umur (minggu) P roduks i T el ur ( % ) P1(16) P2(18) P3(20) P4(22) P5(24) Gambar 4. Grafik Produksi Telur Mingguan

Produksi telur seluruh perlakuan mengalami peningkatan dari minggu ke-7 sampai ke-13, masing-masing 7,77%, 41,25%, 68,8%, 79,84%, 82,06%, 85,78% dan 88,52%. Pada permulaan bertelur, telur yang dihasilkan masih sangat sedikit dan semakin meningkat. Dari minggu ke-10 mulai stabil sampai minggu ke-13. Pemberian cahaya selama 22 jam memberikan efek peningkatan produksi telur pada dua minggu pertama bertelur sampai dua kali lebih banyak dari yang lain dan produksi telur pada minggu selanjutnya relatif sama.

Bobot Telur

Hasil pencatatan bobot telur selama penelitian diperoleh rataan bobot telur berkisar antara 9,78 gram/butir sampai 10,95 gram/butir. Rataan bobot telur selengkapnya disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rataan Bobot Telur selama Penelitian

Lama Pencahayaan Bobot Telur

--- jam/hari --- --- gram/butir --- 16 10,33 ± 0,05 18 10,37 ± 0,17 20 10,38 ± 0,14 22 10,27 ± 0,33 24 10,53 ± 0,42

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama pencahayaan tidak berpengaruh terhadap rataan bobot telur yang dihasilkan. Bobot telur merupakan salah satu tampilan produksi yang dipengaruhi oleh faktor genetik. Hal tersebut tercermin dari nilai heritabilitas (h2) yang tinggi pada unggas yaitu sebesar 60% untuk bobot telur (Noor, 2000). Muir dan Agrey (2003) juga menyatakan bahwa sifat bobot telur pada ayam petelur strain pure memiliki nilai heritabilitas 75%. Nilai heritabilitas 75% menunjukkan bahwa sifat bobot telur, 75% ditentukan oleh faktor genetik ternak tersebut dan 25% ditentukan oleh faktor lingkungan. Cahaya merupakan sebagian kecil dari faktor lingkungan, sehingga lama pemberian cahaya kurang mempengaruhi bobot telur.

North dan Bell (1990) menyatakan bahwa bobot telur biasanya seragam, hanya pada telur double yolk dan telur abnormal lainnya yang tidak seragam. Bobot telur dari hasil penelitian ini cukup seragam dengan koefisien keragaman 2,13%. Faktor yang menyebabkan variasi bobot telur antara lain pola alami produksi telur, akibat pakan dan menajemen serta faktor lain yang berhubungan dengan genetik. Pola alami produksi telur yaitu telur yang dihasilkan ketika baru mulai bertelur, telur yang dihasilkan berukuran kecil dan semakin besar sampai bobot telur yang stabil.

Rataan bobot telur selama penelitian umur 7-13 minggu adalah 10,37 gram/butir. Rataan bobot telur tersebut lebih tinggi dari hasil penelitian yang dilakukan Eishu, et al. (2005) pada burung puyuh yang berumur 8-9 minggu dengan

pemberian pakan yang mengandung protein 22% yaitu 9,2 gram. Hal itu disebabkan karena bobot telur semakin tinggi sejalan dengan bertambahnya umur sampai bobot yang stabil. Bobot telur per minggu disajikan pada Gambar 5.

0.00 2.00 4.00 6.00 8.00 10.00 12.00 7 8 9 10 11 12 13 Umur (minggu) B obot T el ur ( gr am /but ir ) a P1(16) P2(18) P3(20) P4(22) P5(24) Gambar 5. Grafik Bobot Telur Mingguan

Telur yang dihasilkan pada saat permulaan produksi berukuran kecil, ukuran telur membesar sesuai pertambahan umur dan mencapai besar yang stabil. Bobot telur pada minggu ke-7 masih sangat rendah karena puyuh baru belajar bertelur sehingga ukurannya kecil. Pada minggu ke-9 sampai ke-13, ukuran telur sudah stabil diatas 10 gram/butir.

Konsumsi Pakan

Hasil pencatatan konsumsi pakan selama penelitian diperoleh konsumsi pakan berkisar antara 20,96 gram/ekor/hari sampai 23,82 gram/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan selengkapnya disajikan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Konsumsi Pakan selama Penelitian

Lama Pencahayaan Konsumsi Pakan

--- jam/hari --- --- gram/ekor/hari --- 16 21,78 ± 0,72 18 22,02 ± 0,68 20 22,47 ± 0,40 22 22,45 ± 0,33 24 22,50 ± 0,99 Keterangan:

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama pencahayaan tidak berpengaruh terhadap rataan konsumsi pakan. Pada ternak unggas, ada faktor pembatas konsumsi pakan yaitu kapasitas tembolok dan kebutuhan energi (North dan Bell, 1990). Burung puyuh yang mendapatkan cahaya lebih lama akan mempunyai kesempatan untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada yang lain, tetapi adanya faktor pembatas tersebut menyebabkan burung puyuh akan berhenti makan ketika kebutuhan energinya telah terpenuhi. Pakan yang diberikan selama penelitian sudah sesuai dengan kebutuhan puyuh yang telah ditetapkan dalam SNI (1995) dengan kandungan energi 2900 Kkal/kg. Burung puyuh yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai umur yang sama yaitu enam minggu sehingga kapasitas temboloknya tidak jauh berbeda. Hal tersebut menyebabkan konsumsi pakan seluruh perlakuan tidak berbeda.

Rataan konsumsi pakan tiap ekor per hari selama penelitian adalah 22,24 g/ekor/hari. Rataan konsumsi pakan ini hampir sama dengan penelitian yang dilakuakan Kusumoastuti (1992) pada puyuh petelur umur 13-19 minggu yaitu 18,16-23,59 gram/ekor/hari, tetapi masih lebih rendah dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Makund (2006) yaitu 30,02 gram/ekor/hari. Pada penelitian ini, konsumsi pakan meningkat tiap minggu, sehingga sangat memungkinkan konsumsi pakannya akan sama dengan penelitian Makund jika dipelihara sampai umur 19 minggu. Konsumsi pakan tiap perlakuan per minggu dapat dilihat pada Gambar 6.

18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 24.00 7 8 9 10 11 12 13 Umur (minggu) K ons um si P ak an (g ra m /e k o r/ h ari ) P1(16) P2(18) P3(20) P4(22) P5(24) Gambar 6. Grafik Konsumsi Pakan Mingguan

Pakan pada puyuh petelur digunakan untuk maintenance dan produksi telur. Kebutuhan pakan untuk maintenance dalam keadaan lingkungan yang stabil hampir sama pada setiap minggu, tetapi untuk produksi telur semakin meningkat seiring peningkatan produksi telur. Hal tersebut menyebabkan konsumsi pakan semakin meningkat dari minggu ke-7 sampai ke-13. Konsumsi pakan pada pemberian cahaya 24 jam/hari terlihat sedikit lebih tinggi dari perlakuan lain karena waktu untuk mengkonsumsi pakan lebih lama dari yang lain.

Konversi Pakan

Hasil perhitungan konversi pakan selama penelitian diperoleh rataan konversi pakan berkisar antara 3,07 sampai 4,09. Rataan konversi pakan selengkapnya disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Konversi Pakan selama Penelitian

Lama Pencahayaan Konversi Pakan --- jam/hari --- --- 16 3,38 ± 0,25 18 3,67 ± 0,47 20 3,28 ± 0,18 22 3,25 ± 0,16 24 3,61 ± 0,22

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa lama pencahayaan tidak berpengaruh terhadap rataan konversi pakan. Konversi pakan dipengaruhi oleh beberapa hal diantaranya adalah strain unggas, manajemen, penyakit dan pakan yang digunakan (Ensminger, 1992). Lama pencahayaan merupakan salah satu faktor manajemen pada pemeliharaan puyuh. Lama pencahayaan mempengaruhi konversi pakan melalui jumlah pakan yang dikonsumsi. Burung puyuh yang mendapatkan cahaya lebih lama akan mempunyai kesempatan untuk mengkonsumsi pakan lebih banyak dari pada yang lain, tetapi adanya faktor pembatas konsumsi menyebabkan burung puyuh akan berhenti makan ketika kebutuhan energinya telah terpenuhi. Hal itu menyebabkan konversi pakan perlakuan satu dengan yang lain tidak berbeda.

Pada ayam, pemberian cahaya minimal adalah 16 jam/hari, pemberian cahaya secara terus-menerus selama 24 jam perhari dapat mengganggu kenyamanan,

mengurangi kesempatan untuk istirahat, mengakibatkan stress serta mengganggu kesehatan (North dan Bell, 1990). Burung puyuh sangat rentan terhadap penyakit dan kematian pada umur dua minggu pertama dan menjelang afkir. Pada dua minggu pertama, puyuh sangat rentan terhadap lingkungan. Hal itu disebabkan karena bulu belum tumbuh sempurna. Penyakit yang sering menyerang pada dua minggu pertama antaralain Burung puyuh yang digunakan dalam penelitian ini berumur 6 minggu sehingga jarang terserang penyakit.

Konversi pakan pada unggas adalah konversi pakan semu karena pakan selain digunakan untuk produksi telur juga untuk pertumbuhan. Pada penelitian ini, pertumbuhan yang terjadi tidak berbeda untuk seluruh perlakuan sehingga konversi dihitung dari produksi telur. Konversi pakan dari produksi telur yang dicapai dalam penelitian ini adalah 3,44. Konversi pakan ini hampir sama dengan hasil penelitian Sumbawati (1992) yaitu 3,00-3,61 serta penelitian Makund (2006) yaitu 3,34. Pada penelitian Makund (2006) lebih baik karena burung puyuh yang digunakan lebih mendekati puncak produksi sehingga prroduksi telur lebih banyak. Konversi pakan tiap perlakuan per minggu dapat dilihat pada Gambar 7.

0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 9.000 10.000 7 8 9 10 11 12 13 Umur (minggu) Ko n v e rs i Pa k a n P1(16) P2(18) P3(20) P4(22) P5(24)

Gambar 7. Grafik Konversi Pakan Mingguan

Pada permulaan produksi, konversi pakan kurang baik karena pada produksi telur masih sangat rendah. Konversi pakan mulai stabil pada minggu ke-9 yang mencapai sekitar 3,5.

Dokumen terkait