• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Responden

Responden pada penelitian ini merupakan mahasiswa tingkat pertama pada Universitas Andalas jurusan Peternakan. Jumlah responden pada penelitian ini adalah sebanyak 74 orang yang terdiri dari 37 laki-laki dan 37 perempuan. Responden penelitian ini memiliki rentang usia antara 17 tahun hingga 20 tahun.

Menurut Hurlock (2004) usia remaja merupakan masa transisi dari usia anak-anak menjadi dewasa. Remaja dapat dibagi menjadi dua yaitu remaja awal (usia 13 hingga 17 tahun), dan remaja akhir (usia 18 hingga 21 tahun). Berdasarkan hasil wawancara dengan responden didapatkan sebaran umur mahasiswa perempuan sebagian besar berusia 18 tahun, sedangkan mahasiswa laki-laki memiliki sebaran usia yang merata pada usia 18 dan 19 tahun. Jika dirata-ratakan maka didapatkan hasil rata-rata usia responden laki-laki dan perempuan berkisar pada usia 18 hingga 19 tahun atau masuk pada kategori remaja akhir.

Karakteristik responden juga meliputi besar keluarga, pekerjaan ayah, pekerjaan ibu, pendidikan ayah, pendidikan ibu, dan pendapatan per kapita. Keluarga adalah mereka yang mempunyai hubungan fisik, sosial, dan emosi yang paling rapat dengan individu sejak dia dilahirkan (Luddin 2010). Besar keluarga

adalah banyaknya anggota keluarga yang terdiri atas ayah, ibu, anak, dan anggota keluarga lain yang hidup dari pengelolaan sumberdaya yang sama. Besar keluarga menurut BKKBN (2009) dikategorikan menjadi tiga, yaitu keluarga kecil (≤4 orang), keluarga sedang (5-7 orang), dan keluarga besar (>7 orang). Sebaran besar keluarga responden dapat dilihat pada tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik responden berdasarkan besar keluarga dan pekerjaan orang tua Karakteristik Responden Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Besar Keluarga Kecil (≤ 4 orang) 11 29.7 10 27.0 21 28.4 Sedang (5-7 orang) 20 54.1 26 70.3 46 62.2 Besar (>7 orang) 6 16.2 1 2.7 7 9.5 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Rata-rata ± SD 5.49 ± 1.84 4.97 ± 1.62 5.23 ± 1.7 Pekerjaan Ayah PNS 7 18.9 4 10.8 11 14.9 Pegawai Swasta 1 2.7 2 5.4 3 4.1 Petani, Nelayan 10 27.0 21 56.8 31 41.9 Wiraswasta/Pedagang 9 24.3 4 10.8 13 17.6 Polisi/ABRI 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Lainnya 10 27.0 6 16.2 16 21.6 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Pekerjaan Ibu PNS 5 13.5 3 8.1 8 10.8 Pegawai Swasta 0 0.0 1 2.7 1 1.4 Petani, Nelayan 4 10.8 6 16.2 10 13.5 Wiraswasta/Pedagang 4 10.8 1 2.7 5 6.8 Polisi/ABRI 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Lainnya/Tidak bekerja 24 64.9 26 70.3 50 67.6 Jumlah 37 100 37 100 74 100

Dari tabel 3 dapat dijelaskan rata-rata besar keluarga responden sebesar 5.23±1.74 orang atau berada pada kategori sedang (5-7 orang). Menurut Sanjur (1982), besar keluarga akan mempengaruhi pengeluaran rumah tangga. Semakin besar keluarga maka semakin kecil peluang terpenuhinya kebutuhan individu. Hal ini dapat disebabkan karena besarnya anggota keluarga berkaitan dengan pemenuhan kebutuhan individu. Besarnya keluarga dapat mempengaruhi belanja pangan. Pendapatan perkapita dan belanja pangan akan menurun sejalan dengan meningkatnya jumlah anggota keluarga.

Jenis pekerjaan yang dimiliki seseorang merupakan faktor yang paling menentukan kualitas dan kuantitas makanan karena jenis pekerjaan memiliki hubungan dengan pendapatan yang diterima (Soehardjo 1989). Jenis pekerjaan orang tua dibedakan berdasarkan 6 jenis yaitu PNS, Pegawai swasta, Petani/nelayan, Wiraswasta, Polisi/ABRI, Lainnya(tidak bekerja). Berdasarkan tabel 3 dapat terlihat pekerjaan ayah paling banyak pada responden perempuan yaitu petani atau nelayan sebesar 56.8% ,pada responden laki-laki pekerjaan ayah yang paling banyak juga petani atau nelayan yaitu sebesar 27%. Hal ini

menunjukkan bahwa sebagian besar responden berasal dari daerah pedesaan yang masih memiliki lahan untuk bertani.

Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui pula baik responden laki-laki maupun perempuan memiliki ibu yang tidak bekerja, hanya sebagai ibu rumah tangga yaitu sebesar 67.6%. Sebanyak 13.5% ibu responden bekerja sebagai petani atau nelayan merupakan pekerjaan dalam membantu suami mereka yang juga bekerja sebagai petani atau nelayan.

Tingkat pendidikan orang tua yang baik akan memungkinkan orang tua dapat memantau dan menerima informasi tentang kesehatan anaknya. Semakin tinggi tingkat pendidikan seseorang maka diasumsikan bahwa kemampuannya akan semakin baik dalam mengakses dan menyerap informasi demi memenuhi kebutuhan gizinya (Isnani 2011).

Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui bahwa sebagian besar ayah responden baik laki-laki maupun perempuan memiliki pendidikan setingkat SMA yaitu sebesar 41.9%. Akan tetapi, baik pada responden laki-laki dan perempuan terdapat ayah yang tidak sekolah yaitu sebesar 5.4%, hal ini disebabkan karena responden berasal dari desa sehingga beberapa ayah masih memiliki status pendidikan tidak sekolah.

Tabel 4 Karakteristik responden berdasarkan pendidikan orang tua dan pendapatan perkapita

Karakteristik Responden Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Pendidikan Ayah Tidak Sekolah 1 2.7 3 8.1 4 5.4 SD/Sederajat 7 18.9 10 27.0 17 23.0 SMP/Sederajat 7 18.9 6 16.2 13 17.6 SMA/Sederajat 15 40.5 16 43.2 31 41.9 PT/Sederajat 7 18.9 2 5.4 9 12.2 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Pendidikan Ibu Tidak Sekolah 3 8.1 8 21.6 11 14.9 SD/Sederajat 6 16.2 11 29.7 17 23.0 SMP/Sederajat 4 10.8 6 16.2 10 13.5 SMA/Sederajat 18 48.6 8 21.6 26 35.1 PT/Sederajat 6 16.2 4 10.8 10 13.5 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Pendapatan per kapita Ekonomi rendah 19 51.4 26 70.3 45 60.8 Ekonomi cukup 18 48.6 11 29.7 29 39.2 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Rata-rata 400378±375685 400470±551503 400424±468612 Berdasarkan tabel 4 diketahui pendidikan ibu pada responden laki-laki paling banyak adalah pendidikan setingkat SMA/sederajat (48.6%), responden perempuan paling banyak juga memiliki ibu dengan pendidikan SMA/sederajat (21.6%). Sebaran pendidikan ibu pada responden perempuan cukup merata jika dibandingkan dengan responden laki-laki. Campbell (2002) dalam Marzuki (2006) menyatakan bahwa ibu yang berpendidikan tinggi cenderung akan memberikan

makanan yang sehat kepada anaknya, sedangkan ibu yang berpendidikan rendah akan cenderung memberikan makanan yang enak tetapi kurang sehat

Menurut Rahmawati (2006), tingkat pendidikan terakhir ibu contoh merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pola asuh anak termasuk status gizi. Hal ini karena pendidikan ibu sangat penting dalam mendidik anak-anak dalam keluarganya. Menurut Hardinsyah et al (2002), orang yang memiliki pendidikan yang tinggi cenderung untuk memilih bahan makanan yang baik daripada mereka yang berpendidikan rendah.

Pendapatan merupakan faktor yang menentukan kuantitas dan kualitas makanan yang dikonsumsi. Semakin tinggi pendapatan maka semakin besar peluang untuk memilih pangan yang baik. Meningkatnya pendapatan perorangan mengakibatkan terjadinya perubahan-perubahan dalam susunan makanan (Suhardjo 1989). Pendapatan per kapita dihitung berdasarkan pendapatan orang tua dibagi jumlah anggota keluarga. Badan Pusat Statistik (BPS) menggolongkan pendapatan penduduk Indonesia menjadi dua yaitu ekonomi rendah (≤ Rp 350 000) dan ekonomi cukup (>Rp 350 000). Pendapatan ini digunakan BPS sebagai indikator untuk menentukan tingkat kemiskinan suatu keluarga. Berdasarkan tabel 4 dapat diketahui sebanyak 60.8% responden memiliki tingkat pendapatan yang rendah (≤ Rp 350 000). Masih rendahnya tingkat pendapatan tersebut karena pekerjaan orang tua responden sebagian besar adalah petani dan nelayan, sehingga penghasilan mereka masih tergolong rendah.

Tingkat pendapatan seseorang akan berpengaruh terhadap jenis dan jumlah bahan pangan yang dikonsumsinya (Martianto dan Ariani 2004). Pendapatan keluarga berhubungan dengan penyediaan pangan di dalam keluarga. Apabila penghasilan di dalam keluarga meningkat, maka biasanya pengadaan lauk pauk pun akan meningkat mutunya. Akan tetapi, pengeluaran uang yang lebih banyak untuk pangan tidak menjamin lebih beragamnya konsumsi pangan. Kadang-kadang perubahan utama yang terjadi dalam kebiasaan makan ialah pangan yang dikonsumsi itu lebih mahal. Akan tetapi, karena bukti menunjukkan bahwa kebiasaan makan cenderung berubah bersama dengan naiknya pendapatan (Soehardjo 1989).

Status Gizi

Status gizi adalah suatu kondisi tubuh akibat asupan, penyerapan dan penggunaan zat gizi dari makanan dalam jangka waktu yang lama (Supariasa et al. 2001). Penilaian status gizi dapat ditentukan dengan berbagai cara, di antaranya secara antropometri, biologi, klinis, konsumsi pangan, dan faktor ekologi (Gibson 2005).

Metode yang paling sering digunakan adalah pengukuran antropometri. Indikator antropometri antara lain adalah IMT atau Indeks Massa Tubuh (IMT=BMI, Body Mass Index). IMT merupakan pembagian berat badan (dalam kilogram) terhadap kuadrat tinggi badan (dalam meter) (Pasanea 2011). Status gizi ini dibedakan menjadi empat yaitu kurus (<18.5), normal (18.5-22.99), overweight (23.0-24.99), dan obesitas (≥ 25.0)

Status gizi menjadi penting karena merupakan salah satu faktor risiko untuk terjadinya kesakitan dan kematian. Status gizi yang baik pada seseorang akan berkontribusi terhadap kesehatannya dan juga terhadap kemampuan dalam proses pemulihan (Sondari 2013). Berdasarkan tabel 5 dapat dilihat sebagian besar (54.1%) responden laki-laki memiliki status gizi normal, sedangkan pada responden

perempuan sebagian besar (45.9%) memiliki status gizi kurus. Secara keseluruhan rata-rata IMT yang dimiliki kedua responden adalah sama yaitu 19.7 kg/m2

Tabel 5 Sebaran mahasiswa menurut status gizi

Status Gizi Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Kurus 11 29.7 17 45.9 28 37.8 Normal 20 54.1 14 37.8 34 45.9 Overweight 5 13.5 4 10.8 9 12.2 Obesitas 1 2.7 2 5.4 3 4.1 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Rata-rata±SD 19.7±2.75 19.7±3.07 19.7±2.89

Menurut Weiss et al (2007) diacu pada Meriyanti 2013 peningkatan status gizi berhubungan dengan penurunan aktivitas fisik jangka panjang, dimana antara status gizi dan aktivitas fisik memiliki hubungan yang saling memengaruhi. Kurang aktivitas fisik dapat meningkatkan status gizi. Menurut Riyadi (2003) status gizi dipengaruhi oleh faktor langsung seperti intake makanan dan status kesehatan serta faktor tidak langsung berupa faktor pertanian, ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

Kebiasaan Makan

Menurut Khumaidi (1989) kebiasaan (habit) adalah pola perilaku yang diperoleh dari pola praktek yang terjadi berulang-ulang. Kebiasaan makan merupakan tingkah laku manusia atau kelompok manusia dalam memenuhi kebutuhannya akan makan yang meliputi sikap, kepercayaan dan pemilihan makanan. Persepsi seseorang terhadap bentuk tubuhnya dan terhadap kegemukan akan berpengaruh terhadap perilaku makannya.

Tabel 6 Sebaran mahasiswa menurut frekuensi sarapan

Kebiasaan sarapan Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Setiap hari 19 51.4 25 67.6 44 59.5 3-5 kali/minggu 7 18.9 8 21.6 15 20.3 1-2 kali/minggu 5 13.5 4 10.8 9 12.2 Tidak pernah 6 16.2 0 0.0 6 8.1 Jumlah 37 100 37 100 74 100

Kebiasaan makan pada remaja saat ini lebih sering diamati dibandingkan kebiasaan makan pada orang dewasa ataupun pada usia lain. Hal ini dikarenakan pada remaja seringkali ditemui kebiasaan makan yang tidak biasa seperti konsumsi camilan yang berlebihan, seringnya makan di luar rumah khususnya konsumsi fast food, penerapan diet yang salah, dan meal skiping (Stang 2002).

Berdasarkan tabel 6 dapat diketahui sebanyak 59.5% keseluruhan responden melakukan sarapan setiap hari. Akan tetapi pada responden laki-laki masih terdapat 16.2% yang tidak pernah sarapan, sedangkan responden perempuan tidak ada yang tidak pernah sarapan. Hal ini disebabkan karena responden perempuan sebagian besar memasak sendiri sarapannya, baik di rumah maupun di tempat kos. Kebiasaan sarapan erat kaitannya terhadap konsentrasi belajar, khususnya bagi para pelajar

yang membutuhkan energi untuk menuntut ilmu. Penelitian Lestari (2009) mengenai konsentrasi belajar, didapatkan hasil bahwa sebagian besar contoh (70%) yang melakukan sarapan setiap hari memiliki konsentrasi positif ketika belajar dalam kelas, sedangkan sebagian besar (78%) contoh yang tidak terbiasa sarapan pagi memiliki konsentrasi yang negatif ketika belajar dalam kelas. Selain berkaitan terhadap konsentrasi belajar, kebiasaan sarapan memiliki pengaruh terhadap status gizi. Penelitian Mariza (2012) diketahui contoh yang tidak terbiasa sarapan akan mengganti sarapannya dengan membeli makanan cepat saji yang memiliki kalori lebih tinggi dari menu sarapan pada umumnya, hal ini mengakibatkan status gizi contoh cenderung obesitas.

Penelitian Pasanea (2011) menunjukkan adapun alasan remaja melewatkan waktu sarapannya bermacam-macam mulai dari sibuk, untuk mencegah rasa kantuk saat sekolah/kuliah, serta menurunkan berat badan dengan membatasi asupan kalori. Menurut Khomsan (2005), sarapan adalah suatu kegiatan makan yang penting sebelum melakukan aktivitas fisik pada pagi hari. Pada penelitian ini sebagian besar alasan mahasiswi melewatkan sarapan adalah karena tidak sempat sarapan (terlambat bangun untuk berangkat ke kampus) dan terbiasa tidak sarapan pagi.

Tabel 7 Frekuensi makan/hari mahasiswa Frekuensi

Makan/Hari

Laki-laki Perempuan Total

n % n % n %

2 kali/hari 6 16.2 12 32.4 18 24.3

3 kali/hari 29 78.4 25 67.6 54 73.0

4 kali/hari 2 5.4 0 0.0 2 2.7

Jumlah 37 100 37 100 74 100

Tabel 7 menjelaskan tentang frekuensi makan responden selama sehari, dari data yang tersajikan dapat diketahui sebanyak 73% mahasiswa makan sebanyak 3 kali per hari. Menurut Khomsan (2003) bahwa frekuensi makan yang baik adalah 3 kali dalam sehari untuk menghindarkan kekosongan lambung. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Priyanto (2007) terbukti bahwa kelebihan frekuensi makan makanan utama dan kelebihan asupan energi merupakan faktor risiko kejadian kegemukan.

Jenis dan Frekuensi Konsumsi

Jenis dan frekuensi konsumsi merupakan jenis pangan yang dianalisis berdasarkan golongan makanan yang paling sering dikonsumsi contoh. Golongan makanan yang dibahas pada penelitian ini adalah golongan jajanan, fast food, dan golongan soft drink.

Berdasarkan tabel 8 jenis jajanan yang biasa dikonsumsi responden baik ketika kuliah maupun libur adalah bakso, mie ayam, siomay, gorengan, snack gurih dan snack manis. Jenis jajanan yang paling sering dikonsumsi responden adalah gorengan dengan frekuensi rata-rata sebesar 16.32 ± 22.5kali/bulan kemudian snack gurih 15.69 ± 21.16 kali/bulan. Jajanan jenis gorengan dan snack gurih lebih sering dikonsumsi karena lingkungan kuliah dan tempat tinggal mereka lebih banyak menjual jenis makanan seperti itu.

Tabel 8 Frekuensi konsumsi jajanan mahasiswa

Jenis Jajanan Frekuensi makan (kali/bulan)

L P Total Gorengan 18.0 ± 28.59 14.65 ± 14.25 16.32 ± 22.5 Snack gurih 9.89 ± 14.69 21.49 ± 24.97 15.69 ± 21.16 Snack manis 11.95 ± 21.85 11.84 ± 19.46 11.89 ± 20.55 Bakso 3.41 ± 5.24 3.92 ± 6.39 3.66 ± 5.81 Mie Ayam 1.86 ± 1.97 2.19 ± 4.88 2.03 ± 3.70 Siomay 1.41 ± 2.31 1.03 ± 2.55 1.22 ± 2.43

Fast food adalah makanan yang mengandung gula dan lemak tinggi, tetapi kandungan seratnya rendah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Kestler (1995) bahwa sebagian besar fast food tinggi kandungan kalori, lemak, garam, dan gulanya, akan tetapi rendah kandungan gizinya. Berdasarkan tabel 13 jenis fast food yang paling sering dikonsumsi oleh mahasiswa dan mahasiswi adalah ayam kentucky dengan total 2.07 ± 5.16 kali/bulan sedangkan fast food yang paling jarang dikonsumsi adalah jenis bento atau makanan Jepang.

Tabel 9 Frekuensi konsumsi fast food mahasiswa

Jenis Fast Food Frekuensi makan (kali/bulan)

L P Total Ayam Kentucky 2.14 ± 5.16 2.0 ± 5.23 2.07 ± 5.16 Burger 1.11 ± 3.57 0.59 ± 1.46 0.85 ± 2.72 Doughnuts 0.05 ± 0.23 0.95 ± 4.62 0.5 ± 3.28 Pizza 0.62 ± 2.70 0.19 ± 0.74 0.41 ± 1.98 Bento 0.11 ± 0.52 0.11 ± 0.66 0.11 ± 0.59

Menurut Stang (2002), alasan remaja banyak mengonsumsi fast food adalah harganya yang murah, jarak restoran fast food yang dekat dengan kampus/sekolah mereka, kenyamanan, serta rasa dari fast food yang cocok dengan selera remaja. Selain itu para remaja menganggap makanan fast food merupakan makanan yang modern yang dianggap mengikuti zaman. Nilai kunjungan tertinggi remaja ke restoran fast food yaitu pada waktu pulang sekolah/kuliah, kemudian saat ahkir pekan dan pada saat makan malam.

Tabel 10 Frekuensi konsumsi soft drink mahasiswa

Jenis Soft Drink Frekuensi makan (kali/bulan)

L P Total

Teh Kemasan 10.24 ± 16.03 10.32 ± 20.59 10.28 ± 18.33 Minuman Rasa Buah 9.65 ± 23.81 2.70 ± 6.65 6.18 ± 17.71

Minuman Bersoda 3.30 ± 5.66 2.54 ± 6.44 2.92 ± 6.03 Minuman Isotonik 3.14 ± 6.24 1.70 ± 6.41 2.42 ± 6.32

Minuman ringan (soft drink) memiliki kandungan gula yang tinggi sehingga berat badan akan cepat bertambah bila mengonsumsi minuman ini. Jika kita lihat pada tabel 10 dapat diketahui jenis minuman ringan yang paling sering dikonsumsi oleh responden merupakan teh kemasan sebanyak 10.28 ± 18.33 kali/bulan, teh kemasan ini dapat berupa teh dalam kotak, gelas, maupun dalam botol. Responden

banyak mengonsumsi ini dikarenakan harga yang relatif murah dan rasa yang menyegarkan sehingga terhindar dari mengantuk ketika kuliah

Pengetahuan Gizi

Pengetahuan gizi adalah kemampuan seseorang untuk mengingat kembali kandungan gizi makanan serta kegunaan zat gizi tersebut dalam tubuh (Camire & Dougherty 2005). Pengetahuan gizi sangat erat kaitannya dengan baik buruknya kualitas gizi dalam makanan yang dikonsumsi. Pengetahuan yang benar mengenai gizi, maka orang akan tahu dan berupaya mengatur pola makannya dengan seimbang, beragam, tidak kekurangan dan tidak berlebihan. Hasil penelitian Anggraeni (1998) memperlihatkan semakin baik pengetahuan seseorang, akan semakin positif sikapnya terhadap gizi. Menurut Harper et al(1988) diacu pada Yusra (1998), pengetahuan gizi dapat mempengaruhi seseorang dalam jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi. Tabel 11 menunjukkan sebaran pengetahuan gizi responden.

Tabel 11 Sebaran mahasiswa berdasarkan pengetahuan gizi

Pengetahuan Gizi Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Kurang 2 5.4 2 5.4 4 5.4 Sedang 16 43.2 10 27.0 26 35.1 Baik 19 51.4 25 67.6 44 59.5 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Rata-rata±SD 77.3±14.1 77.7±10.6 77.5±12.4

Berdasarkan tabel 11 dapat diketahui sebanyak 59.5% responden memiliki pengetahuan gizi yang baik, akan tetapi masih ada responden yang memiliki pengetahuan gizi yang kurang yaitu sebesar 5.4% responden. Cukup banyaknya responden yang memiliki pengetahuan gizi yang baik karena meskipun mereka tidak mempelajari ilmu gizi secara khusus akan tetapi mereka mengaku sering membaca buku terkait masalah gizi yang ada.

Pengetahuan tentang gizi dan kesehatan seseorang akan mempengaruhi komposisi dan konsumsi pangan seseorang, akan tetapi seseorang yang memiliki pengetahuan gizi belum tentu mengubah kebiasaan makannya (Khomsan 2000). Menurut Geilser (2005) dalam Sebayang (2012), pada umumnya seseorang dengan pengetahuan gizi akan memiliki asupan yang lebih baik, akan tetapi hanya dengan meningkatkan pengetahuan, kebiasaan makan belum tentu menjadi sehat. Kurangnya dukungan dari lingkungan, sulitnya mendapatkan makanan yang sehat, maupun kendala lainnya merupakan hambatan seseorang tidak merubah kebiasaan makannya kearah yang lebih baik.

Aktivitas Fisik

Aktivitas fisik menentukan kondisi kesehatan seseorang. Aktivitas fisik adalah gerakan yang dilakukan otot-otot tubuh dan sistem penunjangnya. Selama melakukan aktivitas fisik, otot membutuhkan energi untuk menghantarkan zat-zat gizi dan oksigen ke seluruh tubuh dan mengeluarkan sisa-sisa tubuh. Kelebihan energi karena rendahnya aktivitas fisik dapat meningkatkan risiko kegemukan dan obesitas (Mahardikawati 2008). Banyaknya energi yang dibutuhkan tergantung

pada berapa banyak otot yang bergerak, berapa lama dan berapa berat pekerjaan yang dilakukan (Almatsier 2002).

Tabel 12 Sebaran mahasiswa berdasarkan aktivitas fisik

PAL Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Sangat Ringan 1 2.7 3 8.1 4 5.4 Ringan 22 59.5 34 91.9 56 75.7 Sedang 14 37.8 0 0.0 14 18.9 Berat 0 0.0 0 0.0 0 0.0 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Rata-rata±SD 1.65±0.14 1.48±0.07 1.57±0.14

Tabel 12 di atas menunjukkan sebaran aktivitas fisik mahasiswa yang menjadi responden baik laki-laki maupun perempuan. Hasil penelitian menunjukkan rata-rata level aktivitas fisik responden laki-laki lebih besar dibandingkan responden perempuan yaitu sebesar 1.65±0.14 sedangkan untuk perempuan sebesar 1.48±0.07. Jika dikategorikan, maka baik laki-laki maupun perempuan masuk pada kategori aktivitas fisik yang ringan (1.40 ≤ PAL ≤ 1.69).

Hasil pada tabel juga menjelaskan bahwa sebesar 91.9% responden perempuan memiliki aktivitas fisik yang ringan. Berdasarkan hasil wawancara diketahui responden perempuan jarang melakukan olahraga dan juga lebih banyak menghabiskan waktu untuk mengobrol sambil duduk dan tidak banyak bergerak, sedangkan pada laki-laki yang memiliki aktivitas ringan sebesar 59.5%. Pada perempuan tidak ada responden yang memiliki aktivitas yang sedang, sedangkan pada laki-laki sebanyak 37.8% memiliki aktivitas sedang. Hal ini dikarenakan responden laki-laki memiliki rutinitas berolahraga seperti futsal, basket, dan joging. Hasil uji beda didapatkan nilai p=0.000 yang berarti terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara responden laki-laki dan perempuan berdasarkan aktivitas fisiknya.

Body Image

Menurut Germov & Williams (2004), body image adalah gambaran seseorang mengenai bentuk dan ukuran tubuhnya sendiri; gambaran ini dipengaruhi oleh bentuk dan ukuran tubuh aktualnya, perasaannya tentang bentuk tubuhnya serta harapan terhadap bentuk dan ukuran tubuh yang diinginkannya. Sedangkan menurut Lightstone (2002) yang diacu pada Pasanea 2011 body image meliputi persepsi, imajinasi, emosi dan sensasi fisik seseorang dari dan terhadap tubuhnya. Hal ini tidak bersifat statis, melainkan akan senantiasa berubah, terutama dipengaruhi oleh mood, lingkungan dan pengalaman fisik.

Body image pada umumnya dialami oleh mereka yang menganggap bahwa penampilan adalah faktor yang paling penting dalam kehidupan. Hal ini terutama terjadi pada usia remaja. Mereka beranggapan bahwa tubuh yang kurus dan langsing adalah yang ideal bagi wanita, sedangkan tubuh yang kekar dan berotot adalah yang ideal bagi pria (Germov & Williams 2004).

Persepsi tubuh terdiri atas tiga bagian, yaitu perasaan dan pikiran subjektif tentang tubuh, serta perasaan cemas terhadap tubuh dan perilaku atas ketidaknyamanan terhadap tubuh (Abramson 2007).

Figure Rating Scale (FRS)

Berdasarkan data pada tabel 13 didapatkan hasil bahwa sebanyak 33.8% responden menganggap bentuk tubuh mereka masing-masing berada pada skala 3 dan 4. Bentuk tubuh untuk skala 3 dan 4 merupakan bentuk tubuh yang normal atau ideal. Akan tetapi terdapat responden yang menilai bentuk tubuh mereka dengan penilaian gemuk yaitu pada skala gambar 5 (8.1%) dan 6 (1.4%), begitu pula dengan penilaian bentuk tubuh yang kurus yaitu pada skala gambar 2 sebesar 2.7%. Berdasarkan hasil uji beda menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan yang nyata (p>0.05) antara responden laki-laki dan perempuan mengenai persepsi bentuk tubuh aktual responden (p=0.870)

Tabel 13 Sebaran mahasiswa berdasarkan persepsi bentuk tubuh aktual, ideal, dan harapan

Persepsi tubuh Laki-laki Perempuan Total

n % n % n % Aktual Gambar 1 1 2,7 1 2,7 2 2,7 Gambar 2 6 16,2 9 24,3 15 20,3 Gambar 3 15 40,5 10 27,0 25 33,8 Gambar 4 11 29,7 14 37,8 25 33,8 Gambar 5 3 8,1 3 8,1 6 8,1 Gambar 6 1 2,7 0 0,0 1 1,4 Gambar 7 0 0 0 0 0 0 Gambar 8 0 0 0 0 0 0 Gambar 9 0 0 0 0 0 0 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Harapan Gambar 1 0 0 0 0 0 0 Gambar 2 0 0,0 6 16,2 6 8,1 Gambar 3 7 18,9 11 29,7 18 24,3 Gambar 4 25 67,6 17 45,9 42 56,8 Gambar 5 5 13,5 3 8,1 8 10,8 Gambar 6 0 0 0 0 0 0 Gambar 7 0 0 0 0 0 0 Gambar 8 0 0 0 0 0 0 Gambar 9 0 0 0 0 0 0 Jumlah 37 100 37 100 74 100 Ideal Gambar 1 0 0 0 0 0 0 Gambar 2 1 2,7 4 10,8 5 6,8 Gambar 3 9 24,3 13 35,1 22 29,7 Gambar 4 23 62,2 19 51,4 42 56,8 Gambar 5 4 10,8 1 2,7 5 6,8 Gambar 6 0 0 0 0 0 0 Gambar 7 0 0 0 0 0 0 Gambar 8 0 0 0 0 0 0 Gambar 9 0 0 0 0 0 0 Jumlah 37 100 37 100 74 100

Persepsi bentuk tubuh harapan merupakan penilaian responden terhadap gambar yang memiliki bentuk tubuh yang diinginkan menurut responden. Berdasarkan tabel dapat diketahui sebanyak 67.6% responden laki-laki memilih skala gambar 4 sebagai bentuk tubuh harapan mereka, dan sebanyak 45.9% responden perempuan juga memilih gambar 4 sebagai bentuk tubuh harapan mereka. Berdasarkan hasil uji beda didapatkan nilai p=0.011 sehingga terdapat perbedaan yang nyata (p<0.05) antara laki-laki dan perempuan berdasarkan bentuk tubuh harapan responden. Hal ini disebabkan karena responden perempuan beranggapan bentuk tubuh yang baik adalah bentuk tubuh yang langsing dan kurus menjadi harapan perempuan, oleh sebab itu sekitar 16.2% responden perempuan memilih gambar 2.

Persepsi tubuh ideal dijelaskan sebagai penilaian bentuk tubuh ideal berdasarkan persepsi dari responden. Sebanyak 62.2% responden laki-laki memilih gambar 4 sebagai bentuk tubuh ideal seorang laki-laki, dan 51.4% responden perempuan juga memilih gambar 4 sebagai bentuk tubuh yang ideal. Hasil uji beda menunjukkan p=0.042 atau p<0,05 sehingga terdapat perbedaan yang nyata antara laki-laki dan perempuan berdasarkan bentuk tubuh ideal bagi persepsi mereka. Hal ini sesuai menurut pendapat Germov & Williams 2004 dimana seseorang beranggapan bahwa tubuh yang kurus dan langsing adalah yang ideal bagi wanita, sedangkan tubuh yang kekar dan berotot adalah yang ideal bagi pria.

Selain itu bentuk tubuh aktual mahasiswa dibandingkan dengan status gizi mereka saat ini. Berikut Tabel 14 dan 15 sebaran persepsi tentang bentuk tubuh aktual mahasiswa terhadap status gizi.

Tabel 14 Sebaran persepsi bentuk tubuh aktual responden laki-laki terhadap status gizi Persepsi Bentuk Tubuh Status Gizi Kurus Status Gizi Normal Status Gizi Overweight Status Gizi Obesitas n % n % n % n % Kurus 4 36,4 3 15 0 0 0 0 Normal 7 63,6 15 75 4 80 0 0 Overweight 0 0 2 10 1 20 1 100 Obesitas 0 0 0 0 0 0 0 0 Jumlah 11 100 20 100 5 100 1 100

Tabel 14 menjelaskan mengenai perbandingan persepsi tubuh aktual responden berdasarkan gambar yang diberi terhadap status gizi aktual yang telah diukur sebelumnya. Sebanyak 63.6% responden dengan status gizi kurus menilai tubuh mereka sudah normal, begitu pun responden yang memiliki status gizi gemuk sebanyak 80% menganggap tubuh mereka sudah normal. Perbedaan penilaian ini nantinya dapat mempengaruhi persepsi body image responden tersebut. Untuk

Dokumen terkait