• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hasil

Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA dengan Berbagai Tingkatan pH

Hasil pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada media PDA menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi tersebut tidak tumbuh. Hal ini ditunjukkan dengan tidak adanya pertumbuhan miselia. Selain itu pada pH 2, media PDA tidak berbentuk padat (Gambar 2). Pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. pada pH 4, 6, 8, dan kontrol (pH 6.8) sama-sama memenuhi cawan petri pada 3 hst (hari setelah tanam), selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1 Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai tingkatan pH

Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. meski sama-sama memenuhi cawan petri pada 3 hst namun pertambahan panjang diameternya berbeda antara pH yang satu dengan yang lain. Pertumbuhan pertambahan panjang diameter paling maksimal adalah pada media PDA dengan pH 4, yaitu sebesar 4.93 cm kemudian pH 6, pH kontrol (6.8), dan pH 8 dengan nilai pertambahan panjang masing-masing sebesar 4.60 cm, 4.53 cm, dan 4.08 cm. Sedangkan untuk pH 2 tidak mengalami pertumbuhan.

Pertumbuhan Botryodiplodia sp. pada media PDA, mula-mula terlihat adanya koloni yang tumbuh seperti benang atau rambut halus berwarna putih keabu-abuan. Koloni yang dimaksud merupakan kumpulan dari miselia (miselium) yang berkembang. Hari berikutnya miselium berubah warna menjadi abu-abu keruh, semakin lama miselium semakin tebal dan berubah warna menjadi hitam. Pertumbuhan miselium terhitung cepat, karena dalam waktu 3 hst telah memenuhi cawan petri (Gambar 2).

13 Pertumbuhan diameter koloni Botryodiplodia sp. pada beberapa tingkatan pH, secara visual lebih baik pada media PDA dengan pH kontrol (6.8). Pada media ini, miselium yang tumbuh terlihat halus, kompak dan paling tebal, serta pertumbuhannya menyebar secara merata bila dibandingkan dengan pertumbuhan diameter koloni pada media PDA dengan pH yang lain. Selengkapnya dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3 Pertumbuhan miselium Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan berbagai

tingkatan pH setelah 3 hst: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol (6.8)

Pengamatan secara mikroskopis, menggunakan mikroskop dengan perbesaran 4 x 10 menunjukkan bahwa fungi ini memiliki ciri-ciri konidia berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder, dan memiliki sekat, seperti yang terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4 Konidia Botryodiplodia sp., berbentuk jorong dan tunggal: (a) konidia muda hyalin dan tidak memiliki sekat, (b) konidia tua berwarna gelap dan memiliki sekat

Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan pH

Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia

sp. pada media PDB menunjukan bahwa perlakuan pH pada media PDB berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 2). Respon tertinggi ditunjukkan pada media PDB dengan pH 6 dengan biomassa miselia sebesar 0.197 gram diikuti pada media PDB pH 8, pH 4, pH kontrol (6.25), dan pH 2 berturut-turut dengan bobot 0.195 gram, 0.189 gram, 0.184 gram, dan 0.118 gram. Berat kering miselia pada media PDB dengan pH 2 adalah berat kering inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 5.

a

b

14 Tabel 2 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian pH terhadap biomassa miselia

Botryodiplodia sp.

pH media Rata-rata biomassa (g)1

Kontrol (6.25) 0.184a

2 0.118b

4 0.189a

6 0.197a

8 0.195a

1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan

Gambar 5 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan pH setelah di

inkubasi selama 6 hari: (a) pH 2, (b) pH 4, (c) pH 6, (d) pH 8, dan (e) pH kontrol (6.25)

Pertumbuhan In Vitro Biomassa Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan

Hasil analisis ragam pertumbuhan in vitro biomassa miselia Botyrodiplodia

sp. di media PDB menunjukan bahwa perlakuan penggoyangan pada media PDB berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia (Tabel 3).

Tabel 3 Hasil uji Duncan pengaruh pemberian tingkatan shaker terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp.

Tingkatan shaker (rpm) Rata-rata biomassa (g)1

Kontrol (0) 0.085b

50 0.233a

100 0.209a

150 0.092b

Pada tingkat penggoyangan media menggunakan shaker 50 rpm menunjukkan biomassa miselia tertinggi dengan nilai 0.233 gram. Selanjutnya biomassa miselia tertinggi yaitu pada tingkat penggoyangan 100 rpm, 150 rpm, dan 0 rpm (tanpa penggoyangan) dengan nilai berturut-turut yaitu 0.209 gram, 0.092 gram, dan 0.085 gram. Biomassa miselia Botryodiplodia sp. yang tercatat pada media PDB dengan tingkatan shaker 0 rpm adalah berat kering inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung (Gambar 6).

a a

a

e

d

d e b

c

c

b

b

d

c

e

15

Gambar 6 Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDB dengan berbagai tingkatan penggoyangan

media setelah di inkubasi selama 6 hari. Pada kecepatan 0 rpm, miselia tidak mengalami pertumbuhan seperti yang ditunjukkan dengan anak panah

Patogenisitas Botryodiplodia sp.

Kejadian penyakit dapat diamati dari gejala yang timbul pada tanaman yang terserang. Berdasarkan hasil pengamatan selama 14 hari, serangan penyakit mati pucuk hanya terjadi pada tanaman jabon dengan inokulasi fungi patogen. Seluruh tanaman yang di inokulasi fungi patogen, baik yang berumur 3, 4, maupun 5 bulan menunjukkan gejala penyakit. Tanaman jabon tanpa inokulasi fungi patogen sama sekali tidak menunjukkan gejala penyakit.

Gejala penyakit mati pucuk yang dijumpai pada saat pengamatan, awalnya menyerang daun yang paling dekat dengan batang yang diinokulasi fungi patogen. Daun akan berubah warna, dari kekuningan sampai kecoklatan kemudian kerusakan akan terus meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat sehingga tulang daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran infeksi pada pucuk dan batang, mengakibatkan seluruh bagian tanaman menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Bagian luar dan dalam batang juga mengalami perubahan warna menjadi cokelat (Lampiran 1). Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7 Gejala yang nampak pada bibit jabon yang ditunjukkan dengan anak panah: (a) tanpa inokulasi fungi patogen, batang yang dilukai tidak menimbulkan gejala penyakit namun terlihat adanya kumpulan getah yang menutupi luka sebagai struktur bertahan, (b) dengan inokulasi fungi patogen, daun dan batang menunjukkan gejala

16 Berdasarkan hasil analisis ragam yang telah dilakukan, diketahui bahwa faktor dengan inokulasi fungi patogen berpengaruh nyata terhadap intensitas serangan penyakit mati pucuk yang ditimbulkan, sedangkan faktor tanpa inokulasi fungi patogen dan faktor umur serta interaksi kedua faktor tidak memberikan pengaruh yang nyata, seperti yang terlihat pada Tabel 4.

Tabel 4 Hasil uji Duncan pengaruh inokulasi patogen terhadap gejala penyakit

Perlakuan Kejadian penyakit1

Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0b

Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0b

Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0b

Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen 100a

Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen

100a 100a

1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan

Setelah diketahui kejadian penyakit berdasarkan gejala yang ditunjukkan oleh tanaman yang terserang, setiap umur tanaman memiliki nilai keparahan yang berbeda. Keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon pada perlakuan dengan inokulasi fungi patogen, hingga akhir pengamatan yang memiliki nilai tertinggi mencapai 61% yaitu pada perlakuan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 3 bulan. Selanjutnya pada bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 5 bulan dengan tingkat keparahan mencapai 54% dan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 4 bulan dengan tingkat keparahan 42%. Pada perlakuan tanpa inokulasi fungi patogen, semai yang berumur 3 bulan sampai 5 bulan tidak menunjukkan gejala serangan penyakit hingga akhir pengamatan, maka nilai keparahannya adalah 0%.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa faktor dengan inokulasi fungi patogen dan faktor umur berpengaruh nyata terhadap keparahan penyakit (Tabel 5). Secara tunggal, gejala penyakit terjadi pada bibit yang di inokulasi fungi patogen. Bibit tanpa inokulasi fungi patogen tidak ada yang terserang.

Tabel 5 Hasil uji Duncan nilai keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon

Perlakuan Tingkat keparahan1

Bibit jabon berumur 3 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0.00b

Bibit jabon berumur 4 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0.00b

Bibit jabon berumur 5 bulan tanpa inokulasi fungi patogen 0.00b

Bibit jabon berumur 3 bulan dengan inokulasi fungi patogen 61.00a

Bibit jabon berumur 4 bulan dengan inokulasi fungi patogen Bibit jabon berumur 5 bulan dengan inokulasi fungi patogen

42.00a 54.00a

1) Angka yang diikuti huruf yang berbeda menyatakan berbeda nyata pada selang kepercayaan 95% berdasarkan uji jarak berganda Duncan

Pembahasan

Pertumbuhan In Vitro Diameter Koloni Botryodiplodia sp. pada Media PDA dengan Berbagai Tingkatan pH

Fungi pada umumnya mempunyai kemampuan bertahan hidup pada selang pH 3 sampai dengan 9 (Tarr 1972). Selang pH yang demikian besar bagi fungi

17 untuk bertahan hidup merupakan hal penting yang harus diperhatikan. Tindakan pengaturan pH media diarahkan untuk memberikan gambaran kondisi pH untuk menekan pertumbuhan patogen. Berdasarkan pengujian pertumbuhan in vitro Botryodiplodia sp. pada media PDA menunjukkan bahwa pada pH 2 fungi tersebut nyata tidak tumbuh. Tetapi pengendalian patogen dengan perlakuan pengaturan pH kurang dari 2 tidak mungkin dilakukan, karena pada kondisi ini kemungkinan hidup bagi inang atau tanaman juga sangat kecil. Kisaran pH untuk tanaman jabon yaitu antara pH 4 sampai dengan pH 7.5.

Koloni Botryodiplodia sp. berdasarkan pengamatan, dapat memenuhi cawan petri pada 3 hst. Secara makroskopis, koloni mula-mula berwarna putih seperti kapas atau rambut halus kemudian berubah menjadi abu-abu keruh dan lama kelamaan menghitam. Ciri-ciri tersebut sesuai dengan pernyataan Gandjar et al. (1999), yang menyebutkan bahwa koloni B. theobromae tumbuh cepat pada media PDA dengan membentuk miselia aerial yang lebat dan berwarna coklat kehitaman.

Pengamatan secara mikroskopis menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp. memiliki konidia yang berpencar secara tunggal, berbentuk jorong atau silinder, konidia muda hyalin dan konidia tua memiliki sekat. Hal ini sesuai dengan ciri-ciri yang diungkapkan oleh Gandjar et al. (1999) bahwa B. theobromae memiliki konidia bersel dua, berbentuk elips, berwarna coklat tua. Akan tetapi pematangan konidia berjalan lambat, sehingga sering ditemukan konidia bersel satu dan berwarna hyalin.

Miselia Botryodiplodia sp. pada media PDA dengan pH 4, 6, 8, dan kontrol (6.8) sama-sama memenuhi cawan petri yang berdiameter 9 cm pada 3 hst, namun pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni per harinya berbeda antar perlakuan pH. Pertumbuhan miselia pada media PDA dengan pH 4 mengalami pertambahan panjang paling tinggi dibandingkan yang lainnya. Pada media PDA dengan pH 2, miselia Botryodiplodia sp. tidak mengalami pertambahan panjang karena Botryodiplodia tumbuh pada kisaran pH 3.5-8 dengan pH optimum untuk pertumbuhannya antara pH 5.5-6.5 (Saha etal. 2008) sehingga pada media PDA dengan pH 2 tidak mengalami pertumbuhan.

Secara visual, penampakan pertumbuhan miselia Botryodiplodiai sp. pada media PDA berbeda antara pH kontrol (6.8) dan yang lainnya. Berdasarkan pengamatan, pada pH kontrol (6.8) menunjukkan penampakan yang paling baik dengan miselia terlihat halus, kompak dan paling tebal serta pertumbuhannya merata dibandingkan dengan pH yang lainnya.

Berdasarkan hasil pengamatan, Botryodiplodia sp. dapat tumbuh baik pada pH 4, 6, 8, dan kontrol (pH 6.8) karena pH media masih dalam kisaran tumbuh

Botryodiplodia sp. sedangkan pada media PDA dengan pH 2, Botryodiplodia sp. tidak dapat tumbuh karena dibawah kisaran pH untuk pertumbuhan

Botryodiplodia sp. Pertumbuhan pertambahan panjang diameter koloni

Botryodiplodia sp. terbaik ditunjukkan pada media PDA dengan pH 4, sedangkan penampakan visual pertumbuhan miselia Botryodiplodia sp. yang terbaik adalah pada media PDA dengan pH kontrol (6.8).

18

Pertumbuhan In Vitro Biomassa Miselia Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan pH

Fungi adalah heterotrof yang mendapatkan nutrisinya melalui penyerapan (absorption) molekul-molekul organik kecil dari medium di sekitarnya. Fungi akan mencerna makanan diluar tubuhnya dengan cara mensekresikan enzim-enzim hidrolitik yang sangat ampuh ke dalam makanan tersebut. Enzim-enzim-enzim itu akan menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh fungi (Campbell et al. 2003). Menurut Moore (1972) enzim tidak dapat aktif pada pH yang ekstrem, tetapi mereka mempunyai tingkat pH optimum yang berbeda untuk aktivitasnya. Derajat kemasaman (pH) optimum untuk enzim adalah kisaran pH 4-8 dan pH yang tidak menguntungkan dapat mengubah kemampuan normal dari sel.

Seperti yang telah diketahui bahwa pH optimum untuk pertumbuhan

Botryodiplodia sp. adalah pH 5.5-6.5 (Saha et al. 2008) sehingga pertumbuhan yang baik bagi Botryodiplodia sp. adalah pada media PDB dengan pH 6, karena berada pada kisaran pH optimum untuk aktivasi enzim dan pH optimum untuk pertumbuhan Botryodiplodia sp. jika dibandingkan pH yang lain.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan pH pada media PDB berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan biomassa miselia Botryodiplodia sp. Pertumbuhan terbaik bagi fungi yaitu pada media PDB dengan pH 6, ditunjukkan dengan berat kering miselia tertinggi, diikuti dengan media PDB pH 8, pH 4, dan pH kontrol (6.25). Media PDB dengan pH 2 tidak mendukung untuk pertumbuhan fungi karena pH terlalu ekstrem sehingga enzim tidak dapat aktif dan tidak dapat menguraikan molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana yang dapat diserap dan digunakan oleh fungi untuk pertumbuhan. Berat kering yang tercatat pada pH 2 adalah berat kering inokulum yang tidak mengalami pertumbuhan miselia selama pengamatan berlangsung.

Pertumbuhan In Vitro Biomassa Miselia Botryodiplodia sp. pada Media PDB dengan Berbagai Tingkatan Penggoyangan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan penggoyangan pada media PDB berpengaruh nyata terhadap biomassa miselia Botryodiplodia sp. Hasil inkubasi Botryodiplodia sp. pada media PDB yang diberi perlakuan penggoyangan menggunakan shaker, menunjukkan bahwa pada tingkat penggoyangan 50 rpm memiliki biomassa miselia tertinggi, selanjutnya diikuti pada tingkat penggoyangan 100 rpm, 150 rpm dan 0 rpm (tanpa penggoyangan). Hal ini menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp. tumbuh lebih baik dengan perlakuan penggoyangan, karena menurut Stakman dan Harrar (1957) sebagian besar patogen tanaman adalah aerob dan oleh karena itu persediaan oksigen yang cukup sangat diperlukan agar pertumbuhan maksimum.

Perlakuan penggoyangan dapat meningkatkan sporulasi Botryodiplodia sp. sehingga dapat tumbuh dengan baik. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pada kecepatan 50 rpm dan 100 rpm dihasilkan miselia dengan biomassa miselia yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa Botryodiplodia sp. tumbuh dengan baik, namun pada kecepatan penggoyangan 150 rpm dan 0 rpm (tanpa penggoyangan) biomassa miselia mengalami penurunan. Kondisi ini menunjukkan bahwa oksigen

19 memang sangat diperlukan untuk pertumbuhan, namun tetap memiliki ambang batas untuk pertumbuhan yang optimal.

Patogenisitas Botryodiplodia sp.

Kejadian penyakit dapat diamati ketika timbul gejala pada tanaman. Gejala penyakit merupakan informasi penting dalam mengetahui penyebab suatu tanaman menjadi sakit. Menurut Martoredjo (1984), gejala (symptom) adalah perubahan yang ditunjukkan oleh tanaman itu sendiri sebagai reaksi terhadap patogen.

Perkembangan penyakit dimulai dengan inokulasi, yaitu jatuhnya inokulum pada tanaman inang. Pada penelitian ini, inokulasi terjadi ketika dilakukan penempelan isolat fungi patogen pada batang bibit jabon yang telah dilukai. Patogen kemudian masuk ke dalam jaringan tanaman inang, dinamakan penetrasi. Setelah patogen masuk ke dalam jaringan tanaman, akan terjadi interaksi antara tanaman inang dan patogen yang disebut dengan infeksi. Di dalam jaringan tanaman, patogen terus berkembang yang disebut invasi. Pada tahap invasi ini, gejala mulai muncul berupa bercak pada daun atau batang yang telah dilukai.

Gejala penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang diamati disebabkan oleh faktor biotik yaitu fungi. Penyakit ini menunjukkan gejala nekrotis karena perlukaan pada batang yang diinokulasi fungi patogen dapat menyebar luas sehingga menyebabkan kematian sel pada seluruh organ tanaman.

Hasil inokulasi pada bibit jabon, fungi ini dapat menyebabkan mati pucuk. Hal yang sama juga terjadi sejak akhir 1980, dilaporkan bahwa pada area perkebunan kakao di Kamerun mengalami kejadian penyakit mati pucuk yang parah yang disebabkan oleh B. theobromae. Di beberapa perkebunan, penyakit ini dapat merugikan tanaman kakao sampai 100%, hal ini menjadi pembatas produksi kakao di Kamerun (Mbenoun et al. 2008). Pada tahun 1998 B. theobromae

ditemukan pada pohon karet di Vietnam dan menyebabkan mati pucuk pada pembibitan, fungi patogen terus berkembang dan menyebabkan kerusakan yang serius sehingga menekan produksi perkebunan di Dau Tieng Rubber Company (Pha etal. 2009).

Berdasarkan hasil pengamatan, serangan penyakit mati pucuk hanya terjadi pada tiga perlakuan dengan inokulasi fungi patogen sedangkan pada perlakuan tanpa inokulasi fungi patogen sama sekali tidak menunjukkan gejala penyakit. Hal ini membuktikan bahwa patogen memiliki kemampuan untuk menyebabkan penyakit atau bersifat virulen.

Perkembangan penyakit didukung oleh tiga faktor, yaitu inang yang rentan, patogen yang virulen, dan lingkungan yang mendukung. Bibit jabon sebagai inang dapat dikatakan rentan, dengan catatan apabila terjadi perlukaan. Menurut Semangun (2007) B. theobromae merupakan cendawan yang memiliki kisaran inang yang luas. Patogen ini merupakan parasit lemah yang melakukan infeksinya melalui luka-luka mekanis seperti akibat pemangkasan atau luka akibat serangga. Hal tersebut terbukti bahwa pada bibit jabon yang dilakukan perlukaan dan diinokulasi patogen, gejala penyakit muncul pada semua tanaman yang diinokulasi patogen (100%). Daya virulensi patogen terbukti dengan terjadinya gejala penyakit. Kondisi lingkungan yang mendukung menurut Henuk (2010) yaitu pada kondisi dimana kelembaban, nutrisi dan suhu tinggi, patogen akan

20 segera berkecambah dan kemudian melakukan penetrasi ke dalam jaringan tanaman. Kondisi suhu lingkungan yang berbeda sangat tinggi antara siang dan malam terutama pada musim kemarau merupakan lingkungan yang mempermudah perkembangan fungi ini, seperti yang terjadi selama penelitian berlangsung.

Gejala yang teramati mulai dari daun yang paling dekat dengan batang yang diinokulasi isolat patogen. Daun akan berubah warna, dari kekuningan sampai kecoklatan kemudian kerusakan akan terus meluas ke bagian tangkai dan helai daun yang terdekat sehingga tulang daun menjadi hitam, layu dan kadang-kadang rontok. Penyebaran infeksi pada pucuk dan batang, mengakibatkan seluruh bagian tanaman menghitam dan mati sampai pada pangkal batang. Bagian luar dan dalam batang juga mengalami perubahan warna menjadi cokelat. Hal tersebut dapat diduga sebagai akibat dari substansi-substansi yang disekresikan oleh patogen dalam mekanisme penyerangannya untuk melumpuhkan inang.

Luka merupakan salah satu jalan masuknya patogen. Penetrasi patogen akan lebih cepat dengan adanya luka. Berdasarkan pengamatan, pada bibit jabon yang di inokulasi patogen yang artinya dilakukan perlukaan terlebih dahulu seluruh tanaman (100%) menunjukkan gejala penyakit. Bibit jabon tanpa inokulasi patogen, meski dilakukan perlukaan pada batang tidak menunjukkan gejala penyakit sama sekali.

Sel dan jaringan tanaman akan bereaksi terhadap kerusakan, baik yang disebabkan oleh patogen atau karena mekanik dan kimia melalui serangkaian reaksi biokimia untuk mengisolasi gangguan dan menyembuhkan luka (Mert-Turk 2002).Tanaman jabon yang dilukai tanpa inokulasi fungi patogen, dapat bereaksi dengan cepat terhadap kerusakan sel tanaman yang terjadi. Hal ini ditunjukkan terbentuknya lapisan getah yang menutupi sayatan akibat perlukaan pada batang.

Secara umum tumbuhan akan memberikan respon terhadap serangan patogen dan respon tersebut akan bertanggung jawab terhadap resistensi tanaman terhadap patogen. Tanaman akan mempertahankan diri dengan dua cara, pertama dengan adanya sifat-sifat struktural pada tanaman yang berfungsi sebagai penghalang fisik dan akan menghambat patogen untuk masuk dan menyebar di dalam sel tanaman. Kedua, respon biokimia berupa reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam sel dan jaringan tanaman sehingga patogen dapat mati atau terhambat pertumbuhannya (Groenewald 2005).

Tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon yang terserang, hingga akhir pengamatan yang tertinggi mencapai 61% yaitu pada perlakuan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 3 bulan. Selanjutnya pada bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 5 bulan dan bibit jabon dengan inokulasi fungi patogen berumur 4 bulan dengan tingkat keparahan penyakit mencapai 54% dan 42%. Bibit dengan perlakuan tanpa inokulasi patogen tidak ada yang menunjukkan gejala terserang penyakit, maka nilai keparahan serangan penyakit adalah 0%.

Hasil perhitungan tingkat keparahan penyakit mati pucuk pada bibit jabon menunjukkan bahwa bibit yang berumur 4 bulan memiliki nilai keparahan yang lebih rendah dari bibit yang berumur 3 atau 5 bulan. Hal ini menunjukkan bahwa bibit jabon berumur 4 bulan memiliki mekanisme pertahanan inang yang lebih kuat terhadap serangan penyakit mati pucuk dibandingkan dengan bibit yang berumur 3 atau 5 bulan. Namun belum diketahui secara pasti mekanisme

21 pertahanan inang yang digunakan, baik pertahanan struktural maupun biokimia. Serangan penyakit terjadi hanya pada periode umur tertentu, karena senyawa biokimia yang digunakan dalam mekanisme pertahanan inang dapat berubah sesuai dengan umur dan tempat tumbuh. Menurut Agrios (1997), ketahanan biokimia yang terdapat pada tanaman ditentukan oleh tersedianya senyawa bagi patogen sebagai nutrisi atau senyawa yang bersifat toksik. Senyawa tersebut antara lain adalah protein, gula dan fenol kompleks yang dapat berubah-ubah konsentrasinya dalam jaringan tanaman sesuai dengan umur dan faktor lingkungan tempat tanaman tumbuh. Sumaraw (1999) menyebutkan bahwa pada tanaman tomat, semakin tua tanaman maka semakin tinggi tingkat keparahan penyakitnya. Berbeda dengan tanaman pinus, menurut Achmad (2012) semakin tua semai, ketahanan terhadap serangan patogen lodoh semakin meningkat. Serangan lodoh pada semai Pinus merkusii terjadi dari benih hingga semai berumur tujuh minggu, semai berumur delapan minggu telah bebas dari penyakit.

Dokumen terkait