• Tidak ada hasil yang ditemukan

Parameter oseanografi

Salinitas memiliki kecenderungan semakin tinggi menuju ke arah laut lepas. Kecerahan di setiap stasiun masih mampu menembus dasar perairan. Kandungan TSS pada stasiun yang dekat dengan aliran sungai lebih tinggi dibandingkan stasiun yang jauh dari aliran sungai. Stasiun 1 dan 2 memiliki nilai rerata TSS yang sama akan tetapi fluktuasi secara periodik berbeda. Konsentrasi TSS paling rendah terdapat pada Stasiun 3. Berbeda dengan parameter lainnya, kandungan ortofosfat paling tinggi justru ditemukan di Stasiun 4. Hal ini kemungkinan disebabkan pengukuran dilakukan pada lokasi yang dekat dengan aktifitas penduduk. Kecepatan arus paling tinggi terdapat di Stasiun 3 sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1. Hasil pengukuran-pengukuran tersebut selanjutnya disajikan dalam bentuk Tabel 7 di bawah ini.

Tabel 7. Rerata dan standar deviasi parameter oseanografi pada masing-masing stasiun pengamatan

Parameter Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

Rerata St.dev Rerata St.dev Rerata St.dev Rerata St.dev

Suhu (ºC) 29,567 0,058 29,833 0,321 29,933 0,513 30,133 0,709 Salinitas (ppt) 29,833 0,874 30,267 0,208 31,467 0,503 31,833 0,777 Kecerahan (m) 5,237 0,071 8,893 0,430 5,993 0,190 7,173 0,162 TSS (mg/l) 12,667 5,508 12,667 9,018 6,667 2,309 5,000 4,359 NO3(mg/l) 0,182 0,115 0,167 0,105 0,068 0,071 0,128 0,077 PO4-orto (mg/l) 0,004 0,005 0,003 0,004 0,004 0,005 0,039 0,065 Kec. Arus (m/s) 0,207 0,043 0,238 0,064 0,290 0,028 0,284 0,064 Suhu

Pengukuran suhu sangat tergantung dari waktu pengukuran dan cuaca pada saat itu. Berdasarkan tabel diatas terlihat bahwa secara umum suhu di Kepulauan Derawan memiliki kisaran yang tidak terlalu lebar, yaitu berkisar antara 29,567 oC – 30,133 oC. Kisaran tersebut masih termasuk dalam kriteria suhu dimana terumbu karang dapat tumbuh dan berkembang. Menurut Sukarno et al. (1983) suhu yang paling baik untuk pertumbuhan karang berkisar antara 25 oC – 30 oC . Selanjutnya Nybakken (1993) mengatakan bahwa terumbu karang masih dapat mentolerir suhu tahunan maksimum 36 oC – 40 oC dan tahunan minimum 18 oC. Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan karang. Kebanyakan karang kehilangan

kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33,5 oC dan dibawah 16

o

C (Mayor, 1918 dalam Supriharyono, 2000).

Coles dan Jokiel (1978) dan Neudecker (1981) dalam Supriharyono (2000) mengatakan bahwa perubahan suhu secara mendadak sekitar 4 oC – 6 oC dibawah atau diatas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan mematikannya. Selanjutnya Tomascik et al. (1997) mengemukakan bahwa terumbu karang pada suatu lokasi hanya dapat mentolelir perubahan suhu sekitar 2

o

C – 3 oC.

Salinitas

Tabel 4 memperlihatkan salinitas paling tinggi terdapat di Stasiun 4 (31,833 ± 0,777 ppt) sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1 (29,833 ± 0,874 ppt). Semakin tingginya salinitas pada stasiun yang menjauhi Sungai Berau memperlihatkan adanya pengaruh dari Sungai Berau terhadap distribusi salinitas di Kepulauan Derawan.

Salinitas permukaan air laut dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain runoff, presipitasi, epavorasi, dan pola arus permukaan. Fluktuasi salinitas permukaan terutama di perairan pantai berkaitan erat dengan keberadaan sungai dan hujan lebat. Salinitas akan mempengaruhi distribusi terumbu karang. Menurut Tomascik et al. (1997) terumbu karang yang dekat dengan sungai besar seperti Sungai Berau akan memperlihatkan keragaman rendah yang didominasi oleh beberapa spesies karang. Spesies dominan antara lain Porites lobata, P. lutea, P. cylindrica, Montipora turlensis, M. mollis, M. hispida, Goniastrea favulus, G. aspera, Goniopora djibuotiensis, G. stokesi, dan G. lobata. Spesies-spesies tersebut merupakan spesies karang yang umumnya toleran terhadap salinitas yang rendah dan turbiditas yang tinggi.

Kecerahan

Hasil pengukuran memperlihatkan terdapat perbedaan kecerahan antara masing-masing stasiun penelitian. Hal ini terlihat pada saat penyelaman, dimana visibilitas perairan di Stasiun 1 dan 2 lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Kondisi seperti ini kemungkinan disebabkan jarak kedua stasiun tersebut yang

lebih dekat dengan muara Sungai Berau. Namun demikian secara umum kecerahan pada masing-masing stasiun selama tiga periode pengamatan masih mampu menembus dasar perairan. Perubahan nilai kecerahan pada masing-masing periode pengamatan terjadi karena pengaruh waktu pengukuran yang terkait dengan pasang surut. Meskipun demikian nilai tersebut masih berkisar di sekitar nilai kedalaman perairan

Dalam ekosistem terumbu karang, kecerahan erat kaitannya dengan cahaya matahari. Cahaya matahari sangat diperlukan terutama oleh alga simbion karang zooxanthellae untuk melakukan fotosintesis, selanjutnya hasil dari fotosintesis dimanfaatkan oleh karang untuk melakukan proses respirasi dan kalsifikasi (Hubbard, 1997). Kecerahan berbanding terbalik dengan padatan tersuspensi (TSS), dimana semakin meningkat TSS maka kecerahan dan penetrasi cahaya matahari semakin berkurang. Hal ini menurut Hubbard (1997) dapat berpengaruh terhadap morfologi karang.

Padatan tersuspensi (TSS)

Selain berpengaruh terhadap salinitas, aliran sungai Berau juga mempengaruhi total padatan tersuspensi (TSS) perairan Kepulauan Derawan. Di perairan, TSS berpengaruh terhadap penetrasi cahaya matahari yang masuk ke dasar perairan dimana terumbu karang berada. Pengaruh ini berbanding terbalik dengan kecerahan, yaitu semakin tinggi nilai TSS maka penetrasi cahaya semakin berkurang. Kaitannya dengan keberadaan terumbu karang, TSS menyebabkan terhalangnya penetrasi cahaya matahari . Sebagaimana disebutkan diatas bahwa cahaya matahari sangat diperlukan untuk pertumbuhan karang terkait dengan fotosintesis alga simbion zooxanthellae. Menurut Hubbard (1997) dengan tingginya nilai TSS maka kemampuan karang untuk tumbuh dan berkembang akan terhambat, selanjutnya TSS juga dapat menyebabkan kematian karang secara individu, serta pada akhirnya dapat membangun pola zonasi secara alami.

Konsentrasi TSS paling tinggi terdapat di Stasiun 1 dan 2. Di Stasiun 1 TSS sebesar 12,677 ± 5,508 mg/l dan Stasiun 2 sebesar 12,677 ± 9,018 mg/l. Sedangkan konsentrasi TSS paling rendah dijumpai di Stasiun 4 (5,000 ± 4,359 mg/l). Pada Stasiun 1 tidak terdapat aktifitas penduduk sehingga sumber utama

pasokan TSS berasal dari Sungai Berau. Pada Stasiun 2 selain masukan dari Sungai Berau, pada stasiun ini terdapat perkampungan penduduk yang sedikit banyak dapat menyumbangkan konsentrasi TSS ke perairan di sekitarnya.

Kajian yang dilakukan oleh TNC mengemukakan bahwa berbagai aktifitas di sepanjang Sungai Berau seperti penggundulan hutan, penambangan batubara dan penambangan pasir diduga merupakan faktor utama kontribusi TSS pada kedua stasiun tersebut.

Nutrien

Nutrien merupakan suatu elemen mikro yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh semua makhluk hidup. Di perairan pesisir, dua nutrien yaitu nitrogen and fosfor hadir dengan konsentrasi rendah sehingga mereka akan menghalangi pertumbuhan yang penuh (full growth). Nitrat (NO3) adalah bentuk utama nitrogen di perairan yang merupakan nutrien utama bagi pertumbuhan tanaman dan algae, dimana keberadaannya sangat mudah larut dalam air dan bersifat stabil. Fosfor dalam bentuk ortofosfat merupakan elemen yang dapat dimanfaatkan secara langsung oleh alga dan tumbuhan air, sedangkan polifosfat harus mengalami hidrolisis terlebih dahulu membentuk ortofosfat sebelum dapat dimanfaatkan sebagai sumber fosfor. Keberadaan fosfor secara berlebihan dengan diiringi keberadaan nitrogen dapat menstimulir ledakan pertumbuhan algae.

Kadar nitrogen dalam bentuk nitrat di Kepulauan Derawan paling tinggi terjadi di Stasiun 1 (0,182 ± 0,115 mg/l) sedangkan paling rendah ditemukan di Stasiun 3 (0,068 ± 0,071 mg/l). Menurut Effendi (2003) kadar nitrat di perairan alami hampir tidak pernah melebihi 0,1 mg/l. Kadar nitrat lebih dari 5 mg/l menandakan telah terjadi pencemaran anthropogenik dari aktifitas manusia. Kadar nitrat lebih dari 0,2 mg/l berpotensi untuk dapat menyebabkan terjadinya eutrofikasi dan selanjutnya memicu pertumbuhan algae dan tumbuhan air secara pesat. Kadar nitrat di beberapa stasiun yang melebihi 0,1 mg/l bersumber dari masukan Sungai Berau dan aktifitas penduduk setempat.

Meskipun kandungan nitrat di pada beberapa stasiun di Kepulauan Derawan mencapai nilai yang berpeluang menyebabkan terjadinya pertumbuhan alga dan tumbuhan air secara pesat, namun hal ini tidak terjadi karena tidak

diimbangi dengan tingginya nilai ortofosfat. Kadar ortofosfat di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,003 ± 0,004 mg/l (stasiun 2) hingga 0,039 ± 0,065 mg/l (Stasiun 4).

Nutrien seperti nitrogen dan fosfor dibutuhkan dalam jumlah sedikit oleh terumbu karang terkait dengan kebutuhan alga simbion zooxanthellae. Secara alami terumbu karang mampu mengkonservasi keberadaan nutrien dengan memiliki katabolisme protein yang rendah serta mengkatabolis lipid dan karbohidrat. Dalam jumlah yang cukup banyak justru akan membahayakan bahkan dapat menyebabkan kematian terumbu karang. Terumbu karang tidak dapat beradaptasi pada saat pengkayaan nutrien terjadi, umumnya mereka tidak mampu berkompetisi dengan makroalga bentik. Pengkayaan nutrien juga dapat menurunkan laju kalsifikasi karena fosfat akan mengikat kristal aragonite pada saat proses kalsifikasi (Parker and D’Elia, 1997).

Arus permukaan

Berdasarkan Tabel 4 diatas, arus permukaan di Kepulauan Derawan berkisar antara 0,207 ± 0,043 m/detik (Stasiun 1) hingga 0,290 ± 0,028 m/detik (Stasiun 3). Gerakan air di permukaan laut terutama dipengaruhi oleh adanya angin yang bertiup di atasnya. Dalam kenyataannya hubungan tersebut tidak sesederhana itu, karena pergerakan arus juga dipengaruhi paling tidak oleh beberapa faktor, yaitu topografi dasar dan pulau-pulau yang ada di sekitarnya, serta adanya gaya coriolis dan arus ekman. Menurut Wiryawan et al. (2005) secara umum arah angin di perairan laut Berau mengikuti musim yang ada di Indonesia, yaitu musim barat dan musim timur. Pada musim barat di perairan laut Berau akan memicu terjadinya angin utara, sedangkan pada musim timur bertiup angin selatan. Kecepatan angin yang paling rendah terjadi pada bulan Oktober dan November, sedangkan kecepatan angin paling tinggi terjadi pada bulan Juli dan Agustus. Selanjutnya Wiryawan et al. (2005) juga mengemukakan bahwa kondisi oseanografi laut Berau dipengaruhi oleh arus musiman dan Arus Lintas indonesia (Arlindo). Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh TNC secara umum pergerakan arus Laut Sulawesi yang melintasi perairan Kepulauan Derawan memiliki kecenderungan menuju ke bagian selatan (Gambar 10)

Dalam kaitannya dengan penelitian ini, arus berperan terutama dalam transport sedimen. Hal ini sesuai dengan apa yang dikemukakan Wibisono, 2005 dimana disamping ukuran partikel sedimen, arus juga merupakan komponen yang sangat penting dalam distribusi sedimen baik secara vertikal maupun horizontal. Makin kecil ukuran partikel yang akan diendapkan maka pengaruh arus laut akan semakin besar. Hal ini berarti tempat terjadinya sedimentasi partikel yang lebih kecil mungkin terletak cukup jauh dari sumber dimana partikel tersebut berasal. Biasanya sedimen lithogenous akan diendapkan di daerah sekitar muara sungai .

Sedimen

Analisis ukuran butir

Sedimen merupakan microscale control bagi terumbu karang, yaitu suatu faktor yang mempengaruhi perkembangan terumbu karang dalam area yang relatif sempit. Pengaruh sedimen terhadap perkembangan terumbu karang umumnya adalah pengaruh negatif dimana melalui shading dan covering dapat menyebabkan perkembangan terumbu karang terhambat atau bahkan mematikannya. Keseluruhan pengaruh tersebut dapat berperan bersama-sama sebagai kontrol alami dalam penyebaran karang (Hubbard, 1997).

Dalam ekosistem terumbu karang terutama di daerah tropis dan subtropis sedimen yang dominan adalah endapan kalsium karbonat (CaCO3). Sedimen tersebut berasal dari biogenik berupa pecahan halus terumbu karang, moluska, serta coralline algae. Kondisi seperti ini ditandai dengan perairan yang hangat dan cukup jernih seperti yang dibutuhkan oleh terumbu karang untuk tumbuh dan berkembang. Pasir karbonat dan lumpur anorganik dapat juga eksis di daerah ini, sebagai hasil presipitasi secara langsung kalsium karbonat dari air laut yang hangat. Di daerah lintang tinggi karbonat anorganik tidak terbentuk akan tetapi karbonat biogenik masih dapat terbentuk (Bearman, 1999). Dominasi pasir karbonat terjadi apabila terrigenous sedimen sebagai masukan dari darat sedikit. Pada area terumbu karang yang dekat dengan muara sungai besar dimana suplai terrigenous sedimen cukup besar maka sedimen yang lebih halus juga dapat eksis dengan jumlah yang cukup banyak.

Berdasarkan hasil analisis ukuran butir diperoleh sebaran fraksi sedimen di Kepulauan Derawan adalah sebagai berikut: pasir sangat kasar (VCS) dengan kisaran 3,8 – 7,3%; pasir kasar (CS) dengan kisaran 13,9 – 18,5%; pasir sedang (MS) dengan kisaran 27,2 – 35,1%; pasir halus (FS) dengan kisaran 30,0 – 36,8%; pasir sangat halus (VFS) dengan kisaran 1,4 – 4,2%; Lumpur sangat kasar (VCSi) dengan kisaran 0,3 – 2,5%; Lumpur kasar (CSi) dengan kisaran 0,5 – 2,2%; Lumpur sedang (MSi) dengan kisaran 0,5 – 2,5%; Lumpur halus (FSi) dengan kisaran 3,7 – 7,6%. Lebih lengkap sebaran persentase fraksi sedimen serta jenis sedimen pada masing-masing stasiun dapat dilihat pada Tabel 8.

Tabel 8. Sebaran persentase fraksi sedimen pada masing-masing stasiun pengamatan

Stasiun Fraksi Sedimen (%) Jenis Sedimen

VCS CS MS FS VFS VCSi CSi MSi FSi

1 7,3 18,5 27,9 30,0 4,2 2,5 0,5 1,4 7,6 Fine Sand

2 6,1 15,8 27,2 36,8 4,1 2,4 1,3 2,5 3,7 Fine Sand

3 5,0 16,2 35,1 33,6 1,4 1,9 1,2 0,5 5,1 Medium Sand

4 3,8 13,9 33,1 36,2 2,9 0,3 2,2 1,5 6,1 Fine Sand

Keterangan:

VCS : Very Coarse Sand VCSi : Very Coarse Silt

CS : Coarse Sand CSi : Coarse Silt

MS : Medium Sand MSi : Medium Silt

FS : Fine Sand FSi : Fine Silt

VFS : Very Fine Sand

Pada keempat stasiun memiliki jenis sedimen hampir sama, mulai dari pasir halus (fine sand) hingga pasir sedang (medium sand). Stasiun 1, 2, dan 4 memiliki jenis sedimen yang sama yaitu pasir halus sedangkan stasiun 3 memiliki jenis sedimen pasir sedang. Secara umum di semua stasiun pengamatan memiliki fraksi sedimen yang bervariasi mulai dari pasir sangat kasar hingga lumpur halus, akan tetapi komposisinya tidak merata. Pada Stasiun 1, 2, dan 4 lebih didominasi oleh pasir halus dengan komposisi masing-masing 30,0%, 36,8%, dan 36,2%. Pada Stasiun 3 lebih didominasi pasir sedang dengan komposisi 35,1%.

Indikasi terjadinya masukan sedimen dari darat dapat dilihat dari komposisi fraksi lumpur yang terdapat pada masing-masing stasiun. Pada Stasiun 1 fraksi lumpur paling banyak ditemukan, yaitu sebesar 12,0% dengan komposisi lumpur sangat kasar 2,5%, lumpur kasar 0,5%, lumpur sedang 1,4%, dan lumpur

halus 7,6%. Hal ini dimungkinkan karena Stasiun 1 jaraknya paling dekat dengan daratan utama dimana terdapat muara Sungai Berau. Pada saat musim hujan dengan sirkulasi arus yang kurang kuat (paling lemah dibanding stasiun lainnya) maka sedimen yang terbawa melalui Sungai Berau akan terdeposit di daerah ini.

Stasiun yang memiliki fraksi lumpur paling sedikit adalah Stasiun 3 di Pulau Sangalaki. Fraksi lumpur pada stasiun ini sebesar 8,7% dengan komposisi lumpur sangat kasar sebesar 1,9% , lumpur kasar 1,2% , lumpur sedang 0,5%, dan lumpur halus 5,1%. Pada stasiun ini selain cukup jauh dari daratan, juga tidak terdapat pemukiman penduduk melainkan hanya terdapat resort penyelaman dan stasiun monitoring penyu. Dengan sirkulasi arus yang cukup baik, sedimen yang terbawa menuju daerah ini akan lebih sulit untuk terdeposit.

Fraksi lumpur pada Stasiun 2 dan Stasiun 4 hampir sama, yaitu masing-maing sebesar 9,9% dan 10,1%. Diduga pada Stasiun 2 selain masukan dari Sungai Berau, sedikit banyak terdapatnya pemukiman penduduk juga turut memberikan kontribusi pasokan sedimen. Pada Stasiun 4 jarak dari Sungai Berau paling jauh serta sirkulasi arus yang cukup kuat, sehingga kontribusi sedimen paling besar disinyalir berasal dari aktifitas penduduk yang terdapat di pulau tersebut.

Menurut Wiryawan et al. (2005) peningkatan pasokan sedimen ke dalam ekosistem perairan pesisir Kepulauan Derawan disebabkan oleh tingginya laju erosi tanah akibat penggundulan hutan, pertanian dan kontruksi bangunan di sepanjang hulu Sungai Berau. Dengan kondisi penyangga sempadan sungai yang memprihatinkan maka masalah sedimentasi akan menjadi ancaman yang serius terhadap ekosistem pesisir dan laut di Kepulauan Derawan.

Selanjutnya berdasarkan citra Sea Wifs (Lampiran 2) dapat dilihat secara umum sedimen dari Sungai Berau terdistribusi hingga mencapai Stasiun 1 dan 2. Pada bulan-bulan tertentu sedimen mencapai Stasiun 3 akan tetapi dengan konsentrasi yang cukup kecil, yaitu sekitar 2 – 3 mg/l. Pada bulan Juni dan Juli 2001, yaitu pada saat debit air sungai minimum, batas sedimen (sedimen plume) telah mendekati sekitar 20 km, atau setengah jalan menuju Kepulauan Derawan

dengan kisaran 40 – 150 mg/liter. Sekitar 9 – 12 mg/l terdistribusi hingga Pulau Panjang dan Pulau Derawan.

Laju sedimentasi

Sedimentasi dapat didefinisikan sebagai suatu proses pengendapan sedimen yang tersuspensi dalam air laut atau sebagai suatu proses pembentukan dan akumulasi sedimen pada lapisan permukaan dasar perairan (Tomascik et al. 1997). Laju sedimentasi dari bahan tersuspensi tergantung dari struktur fisik bahan itu sendiri (volume, permukaan, densitas, dan porositas), sifat fisik air laut (densitas), kondisi hidrologi dari area yang bersangkutan (velositas arus, shear stress, turbulensi). Umumnya efek smothering terhadap terumbu karang adalah akibat dari terjadinya pengendapan sedimen tersuspensi ke dasar perairan dimana terumbu karang berada. Besar kecilnya efek tersebut terhadap kondisi terumbu karang tergantung dari banyaknya sedimen yang terdeposit serta lamanya peristiwa itu berlangsung (Hubbard, 1997).

Laju sedimentasi rata-rata di lokasi penelitian berkisar antara 8,67 – 30,50 mg/cm2/hari (Tabel 9). Laju sedimentasi yang paling tinggi terjadi Stasiun 1 sebesar 30,50 mg/cm2/hari. Nilai tersebut menurut kategori Pastorok dan Bilyard (1985) memiliki dampak sedang sampai berat terhadap terumbu karang. Di Stasiun 3 laju sedimentasi paling rendah dibanding stasiun lainnya, yaitu sebesar 8,67 mg/cm2/hari. Hal ini berarti laju sedimentasi memiliki dampak yang ringan sampai sedang terhadap terumbu karang.

Tabel 9. Laju sedimentasi pada masing-masing stasiun pengamatan Stasiun Laju sedimentasi

(mg/cm2/hari)

Tingkat dampak

Kategori Pastorok & Bilyard 1985

1 30,50 sedang-berat 10 - 50 mg

2 22,72 sedang-berat 10 - 50 mg

3 8,67 ringan - sedang 0 - 10 mg

4 9,91 ringan - sedang 0 - 10 mg

Pada penelitian kali ini laju sedimentasi berbanding terbalik dengan kecepatan arus. Stasiun 1 dengan kecepatan arus paling rendah memiliki nilai laju sedimentasi paling tinggi. Stasiun 1 di Pulau Panjang merupakan daerah yang

terlindung dan menghadap ke daratan utama, dengan kecepatan arus paling rendah ketika mendapat masukan sedimen kemungkinan terjadi pengendapan lebih besar. Sementara Stasiun 3 dengan kecepatan arus paling tinggi, laju sedimentasi yang terjadi lebih rendah dibanding stasiun lainnya. Celah antara Pulau Sangalaki dengan Karang Baliulin menyebabkan kecepatan arus pada daerah ini relatif tinggi, sehingga sedimen yang masuk akan lebih sulit untuk mengendap. Pada area karang dengan arus dan turbulent mixing dalam keadaan baik maka sedimen dan nutrien akan dilewatkan sehingga pertumbuhan karang akan lebih baik (Hubbard, 1997). Sebaliknya dalam keadaan energi mekanik dari arus dan gelombang yang rendah, sedimen akan terdeposit ke dasar perairan dan menutupi permukaan terumbu karang dan organisme lainnya (Phillip dan Febricius, 2003).

Terumbu Karang

Persentase penutupan dan tingkat kematian karang batu

Terumbu karang di Kepulauan Derawan tersebar luas diantara pulau dan gosong terumbu karang. Atoll yang terdapat di Kepulauan Derawan telah berkembang membentuk daratan dan danau air asin. Secara umum kondisi terumbu karang di Kepulauan Derawan masih baik dengan keanekaragaman yang cukup tinggi. Pada daerah yang dekat daratan dengan tingkat kekeruhan tinggi banyak ditemukan karang lunak dan gorgonian serta beberapa karang eksotis yang memiliki tentakel dengan ukuran besar. Dalam perkembangannya karang lunak masih mampu mentolelir kondisi perairan dengan tingkat kekeruhan yang tinggi, demikian juga dengan terumbu karang yang memiliki tentakel lebih besar memiliki kemampuan yang lebih untuk membersihkan sedimen yang menutupinya.

Persentase penutupan karang keras di daerah penelitian berkisar antara 41, 72 – 90,1% pada pengamatan pertama bulan Mei 2005; Pada pengamatan ke dua bulan September 2005 penutupan karang keras berkisar antara 39,50 – 90,36%; dan pada pengamatan ke tiga bulan Februari 2006 penutupan karang keras berkisar antara 41,97 – 91,57% (Tabel 10).

Tabel 10. Penutupan karang batu (%) pada masing-masing stasiun pengamatan. Periode

Pengamatan

Penutupan karang batu (%)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4

T1 41,72 47,80 90,10 48,21

T2 39,50 49,35 90,36 47,33

T3 41,97 48,78 91,57 46,94

Keterangan:

T1: Bulan Mei 2005 T2: Bulan September 2005 T3: Bulan Februari 2006

Berdasarkan tabel diatas secara umum terlihat bahwa kondisi terumbu karang paling tinggi terdapat di Stasiun 3 dengan penutupan berkisar antara 90,10 – 91,57% sedangkan paling rendah terdapat di Stasiun 1 dengan penutupan 39,50 – 41,97%. Kondisi penutupan karang keras di Stasiun 2 dan Stasiun 3 relatif sama berkisar pada angka 47%.

Untuk mengukur tingkat kematian karang batu didekati dengan indeks mortalitas (MI). Indeks mortalitas merupakan perbandingan antara karang mati dan patahan karang dengan karang hidup yang menunjukkan besarnya resiko kematian karang. Secara umum resiko kematian karang lebih tinggi terjadi pada stasiun yang dekat dengan pemukiman penduduk, yaitu Stasiun 2 dan 4. Tingkat kematian karang paling tinggi terdapat di Stasiun 2 dengan nilai MI berkisar 0,21 – 0,22, sedangkan paling rendah di Stasiun 3 dengan nilai MI berkisar 0,06 – 0,08 (Tabel 11).

Tabel 11. Indeks mortalitas karang batu pada masing-masing stasiun pengamatan Periode

Pengamatan

Indeks mortalitas (MI)

Stasiun 1 Stasiun 2 Stasiun 3 Stasiun 4 T1 0,15 0,21 0,07 0,18 T2 0,19 0,22 0,08 0,21 T3 0,19 0,21 0,06 0,21

Keterangan:

T1: Bulan Mei 2005 T2: Bulan September 2005 T3: Bulan Februari 2006

Kematian karang akibat sedimentasi terjadi melalui dua mekanisme. Pertama, sedimen yang tersuspensi menghalangi penetrasi cahaya yang diperlukan untuk fotosintesis zooxanthellae. Densitas zooxanthellae dan konsentrasi klorofil per unit area menjadi berkurang akibat adanya ekspos sedimen, selanjutnya terjadi

pemutihan yang diikuti kematian pada beberapa koloni karang (Phillip dan Fabricius, 2003). Kedua, sedimen menutupi permukaan koloni karang dan menyebabkan kerusakan pada jaringan yang kemudian diikuti oleh kematian. Mekanisme untuk menghilangkan sedimen dari permukaan koloni melalui silia, pergerakan tentakel dan sekresi mukus memerlukan waktu dan energi yang lebih sehingga akan berpengaruh terhadap aktifitas menangkap makanan ( Barnes dan Lough, 1999).

Pada penelitian kali ini ditemukan karang yang ditutupi sedimen pada bagian permukaan koloni dan mengalami kematian secara lokal. Beberapa jenis karang ditemukan mengalami pemutihan (bleaching) akibat hilangnya zooxanthellae (Gambar 11).

Gambar 11. Karang batu yang mengalami kematian pada bagian tertentu akibat sedimen

Analisis bentuk pertumbuhan karang batu

Bentuk pertumbuhan karang batu di Stasiun 1 ditemukan sebanyak 12 jenis dengan persentase penutupan karang massive yang paling tinggi (9,15 – 9,38%) kemudian diikuti karang bentuk foliose dengan penutupan berkisar antara 8,14 – 8,97%. Karang bentuk branching baik Acropora maupun non-Acropora ditemukan dengan penutupan yang relatif sama, yaitu antara 6 – 7%. Bentuk pertumbuhan karang batu yang lainnya ditemukan dengan penutupan dibawah 5%. Secara lengkap persentase penutupan bentuk pertumbuhan karang di stasiun 1 tersaji dalam grafik berikut (Gambar 12). Banyak karang masif yang ditemukan memiliki pertumbuhan ke arah samping dan membentuk microatoll, sementara pada bagian atas koloni mengalami kematian dan ditutupi partikel sedimen.

0 5 10 15 20 25 30 35 40 % P e nu tupa n T1 7,88 0,17 0,16 1,90 7,74 2,99 8,97 9,16 0,47 0,11 1,49 0,70 T2 6,58 0,32 0,18 1,72 7,65 3,12 8,14 9,38 0,31 0,16 1,12 0,82 T3 7,15 1,36 0,15 1,88 6,25 3,04 8,74 9,25 0,48 1,62 1,37 0,68 ACB ACD ACS ACT CB CE CF CM CS CM R CHL CTU

Gambar 12. Grafik persentase penutupan karang batu di Stasiun 1

Di stasiun 1 banyak ditemukan karang lunak terutama genus Sarcophyton, Lobophytum, Sinularia, Nephthea, dan Xenia. Karang lunak pada stasiun ini ditemukan mencapai 21,68 – 24,65%. P2O LIPI (2003) mengemukakan jumlah genera karang lunak di perairan Berau menunjukkan kesamaan dengan perairan Sulawesi dan Ambon. Pada perairan dangkal kurang dari 15 meter , dekat muara

Dokumen terkait