• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pertumbuhan PDRB Provinsi-provinsi di Indonesia

Berdasarkan data yang diperoleh, diketahui bahwa pertumbuhan PDRB di setiap provinsi di Indonesia cenderung bervariasi.Kebanyakan provinsi mengalami pertumbuhan PDRB di atas 5% per tahun. Data pertumbuhan PDRB provinsi-provinsi di Indonesia tersaji dalam Gambar 6.

Sumber: BPS 2014 (diolah)

Gambar 6 Pertumbuhan PDRB Provinsi-provinsi di Indonesia

Berdasarkan Gambar 6 diketahui bahwa Provinsi Papua Barat mencatatkan pertumbuhan PDRB-nya tertinggi selama tiga tahun berturut-turut, yakni sebesar 13.20% pada tahun 2009, sebesar 28.33% pada tahun 2010, serta 25.96% pada tahun 2011. Tingginya pertumbuhan PDRB Papua Barat disebabkan fakta bahwa

-0.05 0.00 0.05 0.10 0.15 0.20 0.25 0.30 Indonesia Aceh Kaltim Riau DIY Jateng Papua NTT Babel Kalbar Lampung NTB Sumsel Bengkulu Sumbar Maluku Jabar Kalsel Sumut Kalteng Banten Bali Kepri Jatim Malut Jambi Sulut Sulsel Gorontalo Sulteng Sultra Sulbar Pabar Pertumbuhan PDRB (%) 2011 2010 2009

Provinsi Papua Barat adalah provinsi yang baru berjalan secara definitif pada tahun 2006 dan pengalihan aset-aset daerah dari provinsi induknya, yakni Provinsi Papua, berjalan secara bertahap setelah pemerintahan berdiri. Proses pengalihan aset daerah tersebut diduga mendorong pertumbuhan PDRB Papua Barat menjadi sangat tinggi.

Pertumbuhan PDRB yang cukup tinggi juga dialami Sulawesi Barat. Pada tahun 2011, kenaikan PDRB Sulawesi Barat mencapai 10.41%. Menurut Berita Resmi Statistik yang dirilis BPS Provinsi Sulawesi Barat (2012), seluruh sektor ekonomi di Sulawesi Barat pada tahun 2011 mengalami pertumbuhan positif, dengan pertumbuhan tertinggi di sektor listrik, gas, dan air bersih yang tumbuh 34.54%. Sementara pertumbuhan terendah terjadi di sektor keuangan, persewaan dan jasa perusahaan senilai 3.36%.5

Sebaliknya, Provinsi Papua yang harus mengalihkan banyak asetnya ke Provinsi Papua Barat mengalami pertumbuhan PDRB negatif pada tahun 2010 (2.87%) dan tahun 2011 (4.77%). Selain itu, penjelasan dari Kementerian Kehutanan RI (2013) menyatakan, nilai PDRB Papua pada tahun 2010 dan 2011 mengalami penurunan karena penurunan harga dan nilai ekspor produk tambang yang selama ini memberikan kontribusi lebih dari setengah nilai PDRB Papua.6

Pertumbuhan PDRB negatif sebesar minus 2.22% juga dialami provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) pada tahun 2011. Menurut berita resmi statistik dari BPS Provinsi NTB (2013), penurunan pertumbuhan PDRB tersebut disebabkan kontraksi pada sektor pertambangan dan penggalian pada 2011 yang cukup tinggi, yakni tumbuh negatif sebesar 26.36%. Kontraksi ini disebabkan turunnya produksi tambang nonmigas sejak tahun 2010.7

Gambar 6 menunjukan pula bahwa terdapat 10 provinsi yang mengalami pertumbuhan PDRB di bawah 5% pada tahun 2011, yaitu Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Bangka Belitung, Nusa Tenggara Timur, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Bali Kalimantan Timur, dan Aceh. Kebanyakan provinsi lainnya memiliki nilai pertumbuhan PDRB di kisaran 5% sampai 10% per tahun.

IPM di Provinsi-provinsi di Indonesia

Pembangunan manusia diukur dengan IPM di provinsi-provinsi di Indonesia berdasarkan penghitungan BPS. IPM merupakan indeks komposit yang dihitung sebagai rata-rata sederhana dari indeks harapan hidup, indeks pendidikan (angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah), dan indeks standar hidup layak. Nilai IPM provinsi-provinsi di Indonesia, selama periode 2009-2011, ditunjukan pada Tabel 4.

Berdasarkan Tabel 4, tampak nilai IPM provinsi di kawasan Sumatera, Jawa, dan Bali umumnya berada di atas rata-rata nasional. Sementara IPM provinsi- provinsi lain, umumnya dibawah rata-rata nasional, kecuali Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur dan Sulawesi Utara. Bahkan, Provinsi Sulawesi Utara mencatatkan IPM tertinggi selama tahun 2009 sampai 2011 (Sulawesi Utara berada di peringkat kedua setelah DKI Jakarta yang tidak dimasukan dalam

5http://sulbar.bps.go.id/?r=site/page&view=brs&list=detail&id=190 diakses tanggal 2 September 2014

6http://www.dephut.go.id/uploads/files/4845ef25c3d411f751d44d64ef3069a7.pdf diakses tanggal 2 September 2014 7http://ntb.bps.go.id/index.php?page=brs&act=view&brs_id=24 diakses tanggal 2 September 2014

penelitian ini). Sementara Provinsi Papua tercatat selalu memiliki nilai IPM terendah pada periode yang sama.

Tabel 4 Indeks Pembangunan Manusia di Provinsi-provinsi di Indonesia

Provinsi Nilai IPM

2009 2010 2011 Sulut 75.68 76.09 76.54 Riau 75.60 76.07 76.53 DIY 75.23 75.77 76.32 Kaltim 75.11 75.56 76.22 Kepri 74.54 75.07 75.78 Kalteng 74.36 74.64 75.06 Sumut 73.80 74.19 74.65 Sumbar 73.44 73.78 74.28 Sumsel 72.61 72.95 73.42 Bengkulu 72.55 72.92 73.40 Babel 72.55 72.86 73.37 Jambi 72.45 72.74 73.30 Jateng 72.10 72.49 72.94 Bali 71.52 72.28 72.84 Jabar 71.64 72.29 72.73 Jatim 71.06 71.62 72.18 Aceh 71.31 71.70 72.16 Sulsel 70.94 71.62 72.14 Lampung 70.93 71.42 71.94 Maluku 70.96 71.42 71.87 Sulteng 70.70 71.14 71.62 Banten 70.06 70.48 70.95 Gorontalo 69.79 70.28 70.82 Sultra 69.52 70.00 70.55 Kalsel 69.30 69.92 70.44 Sulbar 69.18 69.64 70.11 Kalbar 68.79 69.15 69.66 Pabar 68.58 69.15 69.65 Malut 68.63 69.03 69.47 NTT 66.60 67.26 67.75 NTB 64.66 65.20 66.23 Papua 64.53 64.94 65.36 INDONESIA 71.76 72.27 72.77 Sumber: BPS, 2014

BPS juga mengklasifikasikan IPM suatu daerah ke dalam empat kategori, yaitu kategori tinggi (nilai IPM di atas 70), menengah tinggi (nilai IPM 66 70), menengah rendah (nilai IPM antara 60 65) dan rendah (nilai IPM di bawah 60). Berdasarkan klasifikasi tersebut, data pada tabel 3 sebelumnya menunjukkan bahwa ada 12 provinsi yang berkategori IPM tinggi yaitu Sulawesi Utara, Riau, DI Yogyakarta, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jambi, Bangka Belitung, dan Sumatera Selatan.

Sulawesi Utara mencetak kenaikan indeks pembangunan manusia (IPM) tertinggi di Indonesia selepas otonomi 1999. Data BPS memperlihatkan bahwa pada tahun 1999, atau awal diterapkannya otonomi daerah, IPM Sulawesi Utara hanya berada di angka 67.10. Namun pembangunan manusia di provinsi Sulawesi Utara terus meningkat dari tahun ke tahun dan sudah berada di atas nilai indeks 75 selama periode 2009-2011. Baiknya kondisi IPM Provinsi Sulawesi Utara dilatari oleh lebih baiknya pencapaian Provinsi Sulawesi Utara pada komponen angka harapan hidup, persentase angka melek huruf dan rata-rata lama sekolah.8

Selanjutnya, terdapat 15 provinsi berkategori IPM menengah tinggi yaitu Jawa Barat, Bali, Jawa Tengah, Lampung, Maluku, NAD, Banten, Sulawesi Tengah, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Selatan, Maluku Utara, dan Kalimantan Barat.

Terdapat pula tiga provinsi berkategori IPM menengah rendah yaitu Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, dan Papua. Tidak ada satu provinsi pun yang berkategori rendah. Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa terdapat sembilan provinsi yang selalu memiliki nilai IPM di atas rata-rata nasional, yaitu Sulawesi Utara, Riau, Daerah Istimewa Yogyakarta, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan.

Rendahnya nilai IPM di sejumlah provinsi di Indonesia umumnya disebabkan oleh indeks kesehatan yang masih rendah. Selain itu, kondisi pendidikan penduduk usia 25 tahun ke atas masih rendah akibat kondisi awal tingkat pendidikan masyarakat Indonesia yang rendah. Di sisi lain, Pendapatan per kapita yang masih rendah relatif terhadap negara lain.

Papua memiliki nilai IPM paling rendah di Indonesia. Rendahnya kualitas hidup di Papua menjadi penyebab utama dari rendahnya peringkat IPM tersebut. Survei Demografi Kesehatan di Papua (1997) menunjukkan tingkat kematian bayi di Papua mencapai 65 per 1000 kelahiran hidup, dan kematian anak sekitar 30 per 1000. Indikator kesehatan ibu melahirkan, persentase kelahiran dengan bantuan tenaga kesehatan yang terlatih hanya 50.50%. Sensus BPS tahun 2000 juga menunjukkan bahwa hanya 82% anak-anak di Papua bersekolah di SD, 47% di SLTP, dan 19% di SMU. Angka-angka tersebut menempatkan Papua jauh di bawah tingkat nasional dan menggambarkan situasipembangunan yang jauh lebih serius dari pada data PDRB di atas.9

Hal yang sama terjadi di NTB. Rendahnya IPM NTB terutama disebabkan oleh tingkat harapan hidup yang relatif rendah dan tingkat buta huruf yang relatif tinggi. Rata-rata harapan hidup penduduk NTB adalah 62.7 tahun, lebih rendah dibanding rata-rata harapan hidup Indonesia yang sebesar 69.87. Hal ini

8http://storage.jak-stik.ac.id/ProdukHukum/BankIndonesia/KERProvinsiSulawesiUtaraQ32008.pdf 9http://www.undp.or.id/papua/docs/pna_indo.pdf

menunjukkan tingkat kesehatan atau kualitas kesehatan warga NTB masih relatif rendah dibanding nasional.10

Pertumbuhan IPM Provinsi-provinsi di Indonesia

Pertumbuhan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) menggambarkan perkembangan pembangunan manusia berjalan dari tahun ke tahun. Gambar 7 memperlihatkan pertumbuhan IPM seluruh provinsi pada periode tahun 2009 sampai 2011 secara persentase.

Gambar 7 Perbandingan Pertumbuhan IPM Provinsi di Indonesia Sumber: BPS, diolah

10http://diperta.ntbprov.go.id/data_base2/kajian_ekonomi_trw_2_2014.pdf

0.00 0.25 0.50 0.75 1.00 1.25 1.50 1.75

Nusa Tenggara Barat Kalimantan Barat Kalimantan Selatan Jawa Timur Bali Sulawesi Barat Papua Barat Nusa Tenggara Timur Sumatera Selatan Sulawesi Selatan Maluku Papua Banten Maluku Utara Sulawesi Tengah Bengkulu Lampung Sulawesi Tenggara Gorontalo Jambi Sumatera Utara Kalimantan Timur Jawa Tengah Sumatera Barat DI Yogyakarta Bangka Belitung Kep Riau Sulawesi Utara Kalimantan Tengah Jawa Barat Aceh Riau INDONESIA Pertumbuhan IPM (%) 2011 2010 2009

Gambar 7 juga menjelaskan, semua provinsi di Indonesia terus mengalami pertumbuhan nilai IPM dengan kenaikan rata-rata sebesar 0.57 per tahun. Berdasarkan Gambar 7 juga tampak bahwa provinsi-provinsi yang mengalami peningkatan IPM yang cukup tinggi adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Bali. Sedangkan yang mengalami stagnansi adalah provinsi Kalimantan Tengah. Pada 2011, terjadi peningkatan IPM di atas satu poin pada Provinsi NTB (naik 1.56 poin).

NTB mencatakan pertumbuhan yang relatif tinggi di saat nilai IPM provinsi tersebut berada di peringkat yang rendah. Besarnya nilai pertumbuhan IPM Provinsi NTB Peningkatan di salah satu sektor tersebut dapat mendorong peningkatan IPM. Peningkatan dalam sektor tersebut meliputi akses masyarakat terhadap pendidikan yang mudah, yakni dari segi menjangkau dan mengenyam pendidikan.11

Peran Sektor Pertambangan di Provinsi-provinsi di Indonesia

Sektor pertambangan memegang peran penting bagi perekonomian di sejumlah daerah di Indonesia. Kontribusi sektor pertambangan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) acap kali sangat menonjol dan berada di atas kontribusi sektor-sektor lainnya. Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Dewan Internasional Pertambangan dan Mineral (2013) melaporkan nilai produksi tambang Indonesia tahun 2010 mencapai US$12.22 miliar atau 10.6% dari total ekspor barang Indonesia. Indonesia berada di urutan ke-11 dalam urutan nilai produksi tambang di dunia. Gambar 8 menjelaskan perbandingan proporsi sektor pertambangan terhadap PDRB atas dasar harga konstan di provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2009-2011.

Data pada Gambar 8 juga menunjukan bahwa perbandingan proporsi sektor pertambangan terhadap PDRB di setiap provinsi di Indonesia bisa dikategorikan menjadi tiga kelompok. Pertama, kelompok yang mendapatkan kontribusi sektor pertambangan di bawah 5% PDRB, yaitu Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Sumatera Barat, Bengkulu, Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Lampung, NTT, Gorontalo, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Barat, Maluku, DI Yogyakarta, Bali, dan Banten. Kelompok kedua adalah provinsi- provinsi yang menerima kontribusi sektor pertambangan senilai 5%-15% dari PDRB-nya. Termasuk dalam kelompok ini adalah Bangka Belitung, Jambi, Papua Barat, Aceh, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kepulauan Riau, dan Sulawesi Utara. Kelompok ketiga adalah provinsi yang mendapat proporsi sektor pertambangan di atas 15% bagi PDRB. Provinsi yang termasuk kelompok ini adalah Provinsi Riau, Kalimatan Timur, Papua, Nusa Tenggara Barat (NTB), Sumatera Selatan, dan Kalimantan Selatan.

Berdasarkan Gambar 8 tampak bahwa Provinsi Riau mendapatkan kontribusi terbesar dari sektor pertambangan terhadap PDRB tahun 2009-2011 atas dasar harga konstan tahun 2000. Pada tahun 2009, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Riau mencapai 50.14%. Namun, pada tahun 2010 dan 2011, kontribusi itu mengalami penurunan menjadi 48.69% dan 48.01%.

Gambar 8. Proporsi sektor pertambangan terhadap PDRB Provinsi atas dasar harga konstan tahun 2000

Sumber: BPS, diolah

Provinsi Riau terus mengalami penurunan dalam proporsi sektor pertambangan terhadap PDRB. Publikasi yang dirilis BPS Provinsi Riau (2012) menyatakan, penurunan kontribusi disebabkan masalah teknis berupa kekentalan minyak di Riau, sehingga mengurangi nilai ekspor dan produksi minyak di provinsi tersebut sepanjang tahun 2010 dan 2011.12 Riau terutama memiliki cadangan sumberdaya alam berupa minyak dan gas. Tabel 5 menunjukan produksi sumberdaya alam utama di Riau pada periode tahun 2010 sampai 2012.13

12http://riau.bps.go.id/index.php?hal=publikasi_detil&id=1408 diakses tanggal 2 September 2014 13http://riau.bps.go.id/index.php?hal=tabel&id=17 diakses tanggal 28 September 2014

0.00 0.10 0.20 0.30 0.40 0.50 Indonesia Banten Bali DIY Maluku Sulbar Sumut Jateng Gorontalo NTT Lampung Kalbar Jatim Jabar Bengkulu Sumbar Malut Sulteng Kalteng Sulut Kepri Sultra Sulsel Aceh Pabar Jambi Babel Kalsel Sumsel NTB Papua Kaltim Riau Proporsi (%) 2011 2010 2009

Tabel 5 Produksi sumberdaya alam utama Riau 2010-2012

Jenis Satuan

Produksi

2010 2011 2012

Minyak Bumi Juta Barel 133.59 140.05 135.47

Gas Bumi Juta MSCF 3.08 6.08 5.72

Batu Bara KiloMetrik Ton 2.74 1.95 1.89

Sumber: BPS Provinsi Riau 2013

Selain Riau, provinsi yang banyak mendapatkan kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB-nya adalah Kalimantan Timur. Namun, cadangan SDA di sektor pertambangan yang paling dominan di Kalimantan Timur adalah batu bara. Data dari BPS Kalimantan Timur14 yang tampak pada Gambar 9 menunjukan produksi batu bara Kalimantan Timur.

Gambar 9 Produksi batu bara Kalimantan Timur 2008-2012 Sumber: BPS, diolah

Gambar 9 tidak hanya menunjukan besarnya produksi batu bara di Kalimantan Timur, tapi juga pertumbuhan produksinya yang terus menanjak. Hal itu membuat kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Kalimantan Timur terus meningkat. Tabel 3 menjelaskan, pada tahun 2010, kontribusi sektor pertambangan Kalimantan Timur ke PDRB mencapai 40.14%. Angka itu bertambah di tahun 2010 menjadi 41.32% dan naik lagi ke level 42.66% pada tahun 2011.

Provinsi berikutnya yang mendapatkan kontribusi besar dari sektor pertambangan terhadap PDRB adalah Papua. Provinsi ini dikenal sebagai basis PT Freeport Indonesia, pemegang konsesi pertambangan emas terbesar di dunia di Ladang Grasberg.15 Ladang Grasberg mengandung cadangan tembaga yang

14http://kaltim.bps.go.id/?page_id=1842&menutab=3 diakses tanggal 28 September 2014 15http://ptfi.co.id/id/about/overview diakses tanggal 28 September 2014

122.87 146.47 178.45 208.07 216.67 0 50 100 150 200 250 2008 2009 2010 2011 2012 Ju ta T o n Tahun

terbesar di dunia. Pada tahun 2013, Freeport mencatakan produksi 1.3 juta troy ons. Itu artinya naik dari produksi tahun 2012 yang sebesar 915 ribu troy ons emas. Pada tahun 2011, penjualan emas Freeport mencapai 1.76 juta troy ons. Cadangan mineral Papua yang dikuasai PT Freeport dijelaskan dalam Tabel

Tabel 6 Cadangan Mineral Papua Tahun 2005

Rata-rata Kadar per Metrik Ton Cadangan Terbukti dan Terkira, Dapat Diambil

Bijih (juta metrik ton) Tembaga (%) Emas (gram) Perak (gram) Tembaga (miliar pons) Emas (juta ons) Perak (juta ons)

Telah Dikembangkan & Tengah Diproduksi

Tambang Grasberg 638 1.09 1.21 2.56 13.3 20.8 23.7 Deep One Zone 163 0.87 0.60 4.91 2.6 2.3 13.1

Belum Dikembangkan

Grasberg Block Cave 852 0.98 0.74 2.94 15.6 13.5 43.0 Kucing Liar 579 1.20 1.06 5.40 13.2 9.5 38.4 Deep Mill Level Zone 249 1.14 0.88 5.65 5.4 5.5 28.6 Ertsberg Stockwork Zone 147 0.50 0.86 1.75 1.4 3.1 5.5 Mill Level Zone 96 0.85 0.70 3.60 1.5 1.7 7.0 Big Gossan 53 2.31 1.10 14.75 2.5 1.3 15.9 Tambang Terbuka Dom 24 2.03 0.43 12.13 0.6 0.2 3.3 Dom Block Cave 22 1.37 0.36 8.82 0.5 0.2 2.3

TOTAL 2.822 1.07 0.92 4.02 56.6 58.0 180.8

Bagian PT Freeport 40.3 43.9 127.0

Sumber: PT Freeport Indonesia

Pada tahun 2009, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB Papua mencapai 48.96%. Namun, angka itu menurun tajam menjadi 41.63% pada tahun 2010 dan melemah lagi di tahun 2011 menjadi 32.82%. Rilis publikasi dari BPS Papua (2012) menyatakan, kontribusi sector pertambangan menurun karena berkurangnya nilai produksi, permintaan dan harga emas dan tembaga yang merupakan salah satu komoditas tambang terpenting dari Papua. Selain itu, adanya regulasi baru untuk mengolah terlebih dahulu hasil tambang mineral membuat produksi tambang Papua juga menurun.16

Provinsi lain yang memiliki banyak cadangan sumberdaya alam pertambangan adalah Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Jenis bahan tambang yang banyak terdapat di NTB adalah mineral seperti emas, tembaga, mangan, dan perak. Data dari BPS NTB17 yang tampak pada Tabel 7 menunjukan produksi tambang mineral NTB tahun 2011 dan 2012.

16http://papua.bps.go.id/index.php?hal=publikasi_detil&id=24 diakses tanggal 2 September 2014

Tabel 7 Produksi Pertambangan NTB (juta ton)

Sumber: BPS NTB 2013

Pada periode 2099-2011, kontribusi sektor pertambangan terhadap PDRB menurun. Awalnya, pada tahun 2009, kontribusi sektor pertambangan kepada PDRB NTB mencapai 26.19%. Angka itu sempat naik menjadi 27.46% di tahun 2010. Namun, di tahun 2011, kontribusi sektor pertambangan NTB menurun hingga menjadi 20.72%. BPS NTB (2012) menjelaskan, kontraksi yang terjadi pada sektor pertambangan di NTB tidak terlepas dari turunnya produksi tambang nonmigas pada tahun 2010 dan tahun 2011 dibandingkan tahun sebelumnya.18

Indeks Demokrasi Provinsi-provinsi di Indonesia

Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) digunakan sebagai proxy atas kualitas kelembagaan di Indonesia. Pentingnya kelembagaan dalam kehidupan bermasyarakat dinyatakan Koentjaraningrat (1986) yang menjelaskan bahwa kelembagaan ialah suatu sistem tata kelakuan dan hubungan yang berpusat kepada aktivitas aktivitas untuk memenuhi kompleksitas kebutuhan khusus dalam kehidupan masyarakat. Soekanto (1990) menyatakan, kelembagaan juga dimaknai sebagai himpunan norma-norma dari segala tingkatan yang berkisar pada suatu kebutuhan pokok di dalam kehidupan masyarakat.

Penyusunan IDI, yang dimanfaatkan sebagai salah satu ukuran kualitas kelembagaan dalam penelitian ini, diprakarasai dan dikembangkan bersama oleh sebuah lembaga bernama IDI Project yang didukung Kementerian Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) dan Badan Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (United Nations Development Programme/UNDP). IDI Project melakukan kegiatan dengan tujuan untuk mengukur tingkat perkembangan demokrasi di tingkat provinsi di Indonesia.

IDI merujuk pada skala 0-100 yang mengindikasikan tingkatan perkembangan demokrasi di semua provinsi di Indonesia. Semakin tinggi nilai indeks menunjukan semakin baik kualitas demokrasi di daerah yang diteliti. Tingkatan perkembangan demokrasi diukur berdasarkan implementasi dan perkembangan sejumlah aspek demokrasi, meliputi:

1. Kebebasan Sipil (Civil Liberties)

Kebebasan berkumpul dan berserikatKebebasan berpendapat

Kebebasan berkeyakinanKebebasan dari diskriminasi

18http://ntb.bps.go.id/index.php?page=brs&act=view&brs_id=24 diakses tanggal 2 September 2014

Tahun Emas Tembaga Mangan Perak

2012 5.39 4.84 0.82 0.03

2. Hak-Hak Politik (Political Rights)  Hak memilih dan dipilih

Partisipasi Politik dalam Pengambilan Keputusan dan Pengawasan 3. Lembaga-lembaga Demokrasi (Institutions Of Democracy)

Pemilu yang bebas dan adilPeran DPRD

Peran Partai Politik

Peran Birokrasi Pemerintah DaerahPeran Peradilan yang independen

Tabel 8 menyajikan nilai IDI di provinsi-provinsi pada periode 2009-2011. Tampak bahwa nilai IDI di seluruh provinsi mengalami fluktuasi yang cukup tajam setiap tahunnya. Sejumlah provinsi bisa mendapatkan nilai IDI yang baik pada tahun 2009, lalu menurun tajam di tahun 2010, dan naik di tahun 2011. Gejala seperti ini, misalnya, dialami oleh Provinsi Kalimatan Tengah. Pada tahun 2009, nilai IDI Kalimatan Tengah tercatat 77.6. Setahun kemudian, nilai ini menurun menjadi 71.1 dan naik lagi ke level 76.3.

Tabel 8 juga menunjukan, fluktuasi serupa dialami Provinsi Kalimatan Barat yang mendapat nilai 72.4 di tahun 2009 lalu menurun menjadi 69.3 pada tahun 2010 dan naik lagi menjadi 74.9 di tahun 2011. Demikian pula dengan Sulawesi Utara yang mendapat nilai 70.9 pada tahun 2009, menurun menjadi 65,9 di tahun 2010, dan naik lagi ke posisi 71.2 di tahun 2011.

Dua provinsi di Sumatera juga mengalami fluktuasi hampir serupa. Jambi mendapat nilai 71.0 di tahun 2009. Pada 2010 nilai IDI Jambi turun ke level 65.9 dan naik kembali di tahun 2011 ke posisi 70.5. Begitu pula Kepulauan Riau yang sempat mendapat nilai 73.6 di tahun 2009 kemudian turun menjadi 62.9 (tahun 2010) dan naiki lagi ke level 70.8 di tahun 2011. Sejumlah provinsi lain mengalami pola fluktuasi yang berbeda. Kalimatan Selatan mendapatkan nilai 66.6 pada tahun 2009 dan naik menjadi 70.9 pada tahun 2010. Setahun kemudian, nilai IDI Kalimantan Selatan turun lagi menjadi 66.5. DI Yogyakarta juga mendapat nulai 67.6 pada 2009 dan naik ke level 74.3 di tahun 2010 lantas kembali turun ke level 71.7 di tahun 2011. Sebagian provinsi lainnya memiliki kecenderungan nilai IDI yang terus menurun dari tahun ke tahun. Papua mendapatkan nilai 63.8 pada tahun 2009, lalu menjadi 60.3 pada tahun 2010, dan 59.1 pada tahun 2011. Aceh mendapatkan nilai 66.3 pada tahun 2009, lalu menjadi 65.4 pada tahun 2010, dan menjadi 55.5 pada 2011. Begitu juga Maluku Utara yang mendapat nilai 67.2 pada tahun 2009, menjadi 59.9 pada tahun 2010, dan 59.2 pada tahun 2011.

Tabel 8 juga menunjukan, terdapat pula sebagian provinsi yang mengalami kecenderungan peningkatan nilai IDI dari tahun ke tahun. Lampung mendapat nilai 67.5 pada 2009, naik menjadi 67.8 pada 2010, dan 74.1 pada 2011. NTT berturut-turut naik dari level 71.6 (tahun 2009) menjadi 72.1 (tahun 2010) dan 72.3 (tahun 2011). Sumatera Utara juga memilki nilai IDI yang terus meningkat dari 60.2 (tahun 2009) menjadi 63.5 (tahun 2010) dan 66.2 (tahun 2011).

Temuan lain dari komposisi nilai IDI provinsi-provinsi di Indonesia tahun 2009-2011 adalah terdapatnya penurunan nilai yang tajam yang dialami sejumlah provinsi dalam rentang satu tahun penilaian. Jawa Barat mendapat nilai 73.5 pada

tahun 2009 lalu menurun 16.64% menjadi 59.4 pada tahun 2010. Jawa Timur mengalami penurunan 11.84% dari tahun 2009 (nilai 62.5) ke tahun 2010 (55.1). Gorontalo juga menghalami penurunan sebesar 11.56% pada kurun 2009-2010 setelah nilainya merosot dari 73.5 menjadi 65.

Tabel 8 Perbandingan Nilai IDI

Provinsi Nilai Indeks Demokrasi Indonesia

2009 2010 2011 Kalteng 77.6 71.1 76.3 Riau 75.9 71.5 70.7 Bali 70.4 72.4 74.2 Kalbar 72.4 69.3 74.9 NTT 71.6 72.1 72.3 Sumsel 72.5 73.7 67.9 DIY 67.6 74.3 71.7 Kaltim 72.3 73.0 66.4 Lampung 67.5 67.8 74.1 Sulut 70.9 65.9 71.2 Jambi 71.0 65.9 70.5 Kepri 73.6 62.9 70.8 Maluku 69.1 69.5 68.4 Bengkulu 64.8 70.8 71.4 Kalsel 66.6 70.9 66.5 Sulbar 68.0 67.6 66.4 Gorontalo 73.5 65.0 62.8 Babel 67.0 65.9 67.1 Jabar 71.1 59.4 66.2 Sulteng 66.0 66.6 64.0 Banten 68.0 60.3 67.4 Jateng 66.5 63.4 65.6 Papua Barat 63.1 67.8 61.8 Sumut 60.2 63.5 66.2 Sumbar 60.3 63.0 65.0 Aceh 66.3 65.4 55.5 Malut 67.2 59.9 59.2 Sulsel 61.5 56.7 65.3 Papua 63.8 60.3 59.1 Sultra 64.3 54.8 57.6 Jatim 62.5 55.1 56.0 NTB 58.1 58.1 54.5 INDONESIA 67.3 63.2 65.5

Tabel 8 memperlihatkan bahwa nilai IDI provinsi-provinsi yang berada di Pulau Jawa ternyata tidak lebih baik daripada provinsi-provinsi lainnya. Padahal, provinsi-provinsi di Pulau Jawa diyakini memiliki perekonomian, tingkat pendidikan, dan teknologi yang lebih baik daripada provinsi di luar Jawa.

Rauf (2012) menjelaskan, faktor yang paling sering menentukan naik- turunnya indeks demokrasi di Indonesia adalah kekerasan yang semakin meningkat, perlakuan tak adil pada kelompok tertentu, dan kekerasan dalam demonstrasi. Fluktuatifnya IDI juga disebabkan belum matangnya perilaku dan sikap masyarakat dan pelaku politik dalam berdemokrasi.

Mariana (2013) juga menyatakan, penyusunan IDI masih perlu diperbaiki terus-menerus agar mampu memberikan informasi berharga bagi para pemangku kepentingan, termasuk pemerintah pusat dan pemerintah provinsi. Dengan demikian, IDI bisa dijadikan masukan dan rujukan di dalam penyusunan kebijakan dan perencanaan pada level provinsi. IDI juga harus dipahami tidak hanya oleh kepentingan di rumpun politik, pemerintahan, hukum, dan hak asasi

Dokumen terkait