• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keaadan Umum Lokasi Penelitian

Usaha peternakan babi PT. Adhi Farm didirikan sejak tahun 1994 dengan populasi awal sebanyak ± 150 ekor. Hasil perhitungan saat penelitian jumlah induk adalah 215 ekor, dara 8 ekor, pejantan 10 ekor, sapihan 241 ekor, grower dan finisher 865 ekor. Bangsa babi yang dipelihara adalah Landrace, Duroc, Yorkshire dan persilangannya.

Lokasi usaha peternakan babi PT. Adhi Farm terletak pada dua tempat yaitu di dusun Sepreh dan di daerah Jomboran Palur. Adapun tempat penelitian dilakukan adalah di lokasi peternakan yang beralamat di Dusun Sepreh , Kelurahan Sroyo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah. Jarak lokasi peternakan ke Kecamatan ± 6 km, ke Kotamadya ± 12 km, ke Ibukota Provinsi ± 116 km dan ke Ibukota Negara ± 535 km. Jarak lokasi peternakan dengan jalan raya ± 6 km dengan luas lahan peternakan 5 Ha. Letak geografis peternakan berada pada dataran rendah dengan kisaran suhu udara adalah 26-310C dan dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun.

Suhu dan kelembaban di peternakan ini berdasarkan hasil pengukuran selama dua bulan masing-masing adalah 28,13oC dan 72,06%. Berdasarkan data klimatologi dari Badan Meteorologi dan Geofisika setempat, suhu pada bulan Juli yaitu 26,6oC, kelembaban 75,0%, curah hujan enam kali, sedangkan bulan Agustus suhu 26,5oC, kelembaban 70, 6% dan tanpa curah hujan.

Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dipeternakan tersebut meliputi pembersihan kandang, memandikan ternak babi, pencampuran pakan, pemberian pakan, sensus, pengawinan baik secara alami maupun secara inseminasi buatan (IB), pemeliharaan induk beranak, penyapihan dan kastrasi serta kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pemberian obat-obatan dan vaksinasi. Jumlah pekerja yang ada dipeternakan ini 23 orang, yang terbagi atas pekerja dikandang dan dikantor. Pekerja yang dikandang kebanyakan adalah lulusan dari SD, SLTP dan SMU sedangkan pekerja yang dikantor kebanyakan adalah lulusan Diploma. Menurut informasi yang diperoleh, bahwa para pekerja yang khusus melakukan pengawinan ternak tidak

mendapatkan pendidikan atau pelatihan khusus dalam hal pengawinan ternak babi melainkan mereka banyak belajar dari pengalaman.

Pembersihan kandang dan memandikan ternak babi dilakukan tiap hari, yaitu pada pagi dan sore hari. Perkandangan dipeternakan ini mengunakan sistem individu, ukuran kandang untuk pejantan yaitu 2,2 x 2,26 x 1,46 m3, babi betina yaitu 2,14 x 0,70 x 0,73 m3 dan kandang penampungan semen 3,66 x 2,14 x 0,78 m3. Pencampuran pakan dilakukan di gudang yang letaknya tidak jauh dari perkandangan, bahan baku yang digunakan untuk menyusun ransum adalah katul, jagung, gandum, bungkil kelapa dan gaplek. Jenis pakan dibedakan untuk babi sapihan (genjik), tanggung (grower), babi besar (babi siap jual), babi pejantan, induk menyusui, babi bunting dan pakan untuk babi dara. Komposisi ransum untuk babi pejantan sama dengan induk babi menyusu dan komposisi ransum untuk babi dara sama dengan induk babi yang bunting, seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Ransum dari Berbagai Kelas Ternak Babi

Bahan Makanan Jenis Ransum

GK TG BS BPIM BBDR Katul (kg) 70 110 145 235 320 K.52 (kg) 125 - - - - Jagung 2M (kg) 150 50 175 150 75 K.57 (kg) - - - 75 - Gandum (kg) - - 50 - - K.152 (kg) - - 90 - 65 Bungkil kelapa (kg) - 25 35 35 35 Jagung 1M (kg) 150 - - - - Mineral (kg) 5 5 5 5 5 Biovet (ons) 5 5 5 5 5 Jumlah (kg) 350,5 190,5 500,5 500,5 500,5 Keterangan :

GK : Genjik (babi sapihan) TG : Tanggung (grower) BS : Besar (babi siap jual)

BPIM : Babi pejantan dan induk babi menyusu BBDR : Babi bunting dan babi dara.

K.52 : Pakan konsentrat tepung untuk babi 20 kg – dijual K.57 : Pakan konsentrat tepung untuk babi bunting – menyusu K.152 : Pakan konsentrat tepung untuk babi kecil hingga dijual

Pemberian pakan pada tiap kelas ternak babi sesuai dengan campuran yang telah ditentukan. Pakan genjik (babi yang sudah disapih) diberikan 0,4-0,6 kg/hari, pakan untuk babi tanggung diberikan 1,8-2 kg/hari, pakan untuk babi besar 2-2,5

kg/hari, pakan babi dara dan babi bunting diberikan 2,3-2,5 kg/hari dan pakan babi pejantan 3,5-4 kg/hari.

Pendataan ternak babi dilakukan setiap hari oleh petugas pencatat khusus. Tujuan pendataan adalah untuk mengetahui berapa jumlah babi yang lahir, dijual, diafkir dan jumlah babi yang mati. Ternak yang kawin, beranak dan menyapih pada waktu tertentu juga dilakukan pencatatan dan biasanya ternak-ternak tersebut memiliki kartu individu masing-masing.

Sistem pengawinan yang dilakukan pada usaha peternakan ini ada dua cara, yaitu pengawinan secara alami dan secara inseminasi buatan (IB). Pengawinan alami dilakukan secara individu, dimana betina yang sedang berahi dibawa ke kandang pejantan. Pengawinan secara inseminasi buatan biasanya dilakukan pada beberapa kelompok induk yang menyapih pada waktu yang sama sehingga waktu berahinya sama. Sebelum inseminasi, dilakukan penampungan dan evaluasi semen. Penampungan semen dapat dilakukan di kandang khusus penampungan semen dengan bantuan dummy (babi betina tiruan) dan di kandang pejantan dengan bantuan babi betina berahi. Rataan volume semen pada setiap penampungan berkisar antara 250-300 ml dan tidak berwarna (bening). Frekuensi pengawinan pada babi yang berahi biasanya satu atau dua kali dan jadwal pengawinan pada ternak dilakukan pada pagi dan sore hari.

Satu minggu sebelum tanggal perkiraan beranak, induk babi tersebut harus dipindahkan dari kandang bunting ke kandang khusus induk beranak. Hal ini bertujuan untuk mencegah induk babi tersebut tidak beranak di kandang babi bunting dan mengurangi stres yang disebabkan pindah kandang. Pemeliharaan induk beranak harus diperhatikan setiap saat untuk mencegah tingginya kematian anak yang disebabkan tertindih induk.

Setelah induk beranak, satu bulan kemudian akan dilakukan penyapihan. Penyapihan biasanya dilakukan secara kelompok, hal ini bertujuan untuk efisiensi tenaga kerja, waktu dan efisiensi penggunaan kandang. Biasanya satu minggu sebelum anak babi disapih, juga dilakukan kastrasi bagi anak babi jantan.

Vaksinasi dilakukan secara rutin sesuai jadwal yang telah ditentukan dan pemberian obat sesuai dosis. Jenis vaksin yang biasanya diberikan adalah Mycoplasma dan Cholera. Jenis obat yang sering digunakan adalah Ferro 2000 yang

bertujuan untuk mencegah anemia pada anak babi, Levaminthic untuk obat cacing dan Daimeton untuk obat diare.

Laju Kebuntingan

Laju kebuntingan merupakan persentase dari babi betina yang tidak kembali berahi atau babi yang berhasil bunting dari seluruh jumlah babi yang dikawinkan (Siagian, 1999). Jumlah babi betina yang diamati berdasarkan paritas, sistem dan frekuensi pengawinan selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Jumlah Induk (ekor) yang Diamati

Paritas Sistem Pengawinan Alami IB 1x 2x 1x 2x 1 25 37 25 45 2 38 28 28 47 3 23 15 44 26 4 19 13 19 26 5 10 11 13 12 Jumlah 115 104 129 156

Total Pengawinan Induk 219 285

Rataan umum laju kebuntingan yang diperoleh di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm selama penelitian adalah 87,43% dengan koefisien keragaman sebesar 31,20%. Nilai rataan dan simpangan baku dari laju kebuntingan ternak babi berdasarkan sistem pengawinan, paritas, frekuensi pengawinan dan interaksinya diperlihatkan pada Tabel 3.

Sistem Pengawinan

Berdasarkan hasil sidik ragam, bahwa sistem pengawinan (alami dan IB) mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi secara sangat nyata (P<0,01). Tabel 3 menunjukkan, pengawinan secara alami menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi (93,23%) dibandingkan dengan pengawinan secara IB (81,64%). Hal ini dapat berbeda disebabkan oleh waktu inseminasi yang kurang tepat, sehubungan dengan ovulasi atau kegagalan menempatkan sperma motil dalam jumlah yang memadai didalam volume pengencer yang cukup besar dalam uterus. Jumlah sperma yang diperlukan untuk menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi adalah 10 milyar dalam minimal 50 ml pengencer ( Toelihere, 1993). Kegagalan kebuntingan dapat juga disebabkan inseminasi yang dilakukan terlalu dini atau saat berahi yang terlewatkan

(Baker, 1976). Pengawinan harus disesuaikan dengan waktu ovulasi, saat melakukan pengawinan yang paling baik adalah pada akhir hari pertama atau pada permulaan hari kedua berahi karena ovulasi terjadi kira-kira 30-36 jam dari permulaan berahi (Foote, 1980).

Menurut Toelihere (1993), bahwa secara umum sistem pengawinan secara IB dapat menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi apabila inseminasi buatan pada ternak dilaksanakan oleh inseminator yang terlatih dan terampil dalam hal penampungan semen, penilaian, pengenceran, pembekuan, dan pengangkutan semen dan inseminasi pada hewan betina. Inseminasi harus dilakukan dengan teknik yang benar dan waktu yang tepat untuk mendapatkan laju kebuntingan yang tinggi (Sterle dan Safranski, 2005).

Tabel 3. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan, Paritas, Frekuensi Pengawinan dan Interaksinya SP/FP Paritas (P) Rataan 1 2 3 4 5 Alami 1x 100,0±0,00 73,68±44,62 78,26±42,17 94,74±22,94 100,0±0,00 89,34±21,95 2x 89,18±31,48 96,43±18,90 100,0±0,00 100,00±0,00 100,0±0,00 97,12±10,08 IB 1x 88,00±33,16 82,14±39,00 75,00±43,80 84,21±37,46 84,61±37,55 82,79±38,19 2x 95,55±20,84 78,72±43,37 80,76±40,19 80,76±40,19 66,67±51,64 80,49±38,91 Rataan P 93,18±21,37 82,73±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28 Rataan PxSP 93,18±21,37 82,73±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28 Alami 94,60±15,74 85,05±31,76 89,15±21,08 97,37±11,47 100,0±0,00 93,23±16,01A IB 91,75±27,00 80,40±41,18 77,85±41,99 82,48±38,82 75,64±44,59 81,64±38,55B Rataan PxFP 93,18±21,37 82,74±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28 1x 94,00±16,58 77,91±41,81 76,63±42,98 89,47±30,20 92,31±18,77 86,06±30,07 2x 92,36±26,16 87,57±31,13 90,38±20,09 90,38±20,09 83,34±25,82 88,80±24,49 Rataan Umum 93,18±21,37 82,74±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01)

SP : Sistem Pengawinan FP : Frekuensi Pengawinan

Paritas

Keadaan induk yang sudah beranak atau telah menghasilkan anak disebut paritas. Induk yang beranak pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima masing- masing disebut induk paritas 1, paritas 2, paritas 3, paritas 4 dan paritas 5. Umumnya induk yang dipelihara di usaha peternakan ini dapat mencapai paritas 5 atau beranak kelima, sehingga taraf perlakuan paritas yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak lima.

Berdasarkan hasil sidik ragam, bahwa paritas tidak mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan, bahwa laju kebuntingan pada paritas pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima, berturut-turut 93,18%; 82,73%; 83,50%; 89,93% dan 87,82%. Hasil ini memperlihatkan, bahwa laju kebuntingan pada paritas pertama lebih tinggi daripada paritas kedua dan yang lainnya. Hasil ini berbeda dengan pendapat Siagian (1999) yang menyatakan, bahwa babi dara memiliki laju kebuntingan 10-15% lebih rendah daripada babi induk. Hal ini mungkin disebabkan pejantan yang digunakan dalam mengawini betina pada paritas satu dan dua adalah berbeda, sehingga dengan menggunakan pejantan yang berbeda dapat menghasilkan laju kebuntingan yang berbeda pula. Faktor menurunnya kesuburan induk babi setelah beranak pertama dan uterus induk belum pulih kembali akibat proses kelahiran pertama juga dapat menyebabkan penurunan laju kebuntingan pada paritas kedua, sehingga waktu tersebut tidak tepat untuk melakukan pengawinan.

Sistem Pengawinan dan Paritas

Berdasarkan hasil sidik ragam, bahwa tidak ada interaksi sistem pengawinan dan paritas, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan, pengawinan secara alami pada paritas pertama mengahasilkan laju kebuntingan yang tinggi (94,60%) dan mulai menurun pada paritas kedua (85,05%), tetapi mengalami peningkatan pada paritas ketiga (89,15%), keempat (97,37%) sampai pada paritas kelima (100,0%), seperti tertera pada Gambar 12. Hasil ini menunjukkan, bahwa laju kebuntingan yang dihasilkan pada setiap paritas cenderung meningkat sampai paritas kelima, sehingga induk tersebut masih tetap dapat dipertahankan dan baru akan diafkir setelah terjadi penurunan laju kebuntingan pada paritas selanjutnya. Paritas kedua menghasilkan laju kebuntingan paling rendah dibandingkan dengan

paritas pertama, ketiga, keempat dan kelima. Hal ini mungkin disebabkan faktor menurunnya kesuburan induk babi setelah beranak pertama dan uterus induk belum pulih kembali akibat proses kelahiran pertama, sehingga waktu tersebut tidak tepat untuk melakukan pengawinan. Menurut Sihombing (1997), laju ovulasi meningkat terus hingga paritas ketujuh tapi pada umumnya induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Salah satu penyebab induk diafkir adalah karena daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah.

Tabel 3 menunjukkan, bahwa pengawinan secara IB pada paritas pertama menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi (91,75%) dan mengalami penurunan pada paritas kedua (80,40%) sampai paritas ketiga (77,85%), tetapi mulai meningkat pada paritas keempat (82,48%), kemudian kembali menurun pada paritas kelima (75,64%). Hubungan sistem pengawinan (alami dan IB) dan paritas diperlihatkan pada Gambar 12. 0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 Paritas La ju K e bun ti nga n (% ) Alami IB

Gambar 12. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan dan Paritas

Hasil pada Gambar 12 menunjukkan, bahwa laju kebuntingan pada setiap paritas cenderung turun naik. Pengawinan secara alami pada setiap paritas menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan IB. Hal ini dapat disebabkan kegagalan pada saat inseminasi induk babi pada setiap paritas dan waktu inseminasi yang dilakukan terlalu dini atau saat berahi yang terlewatkan (Baker, 1976).

Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa frekuensi pengawinan induk (satu dan dua kali) tiap kali berahi tidak mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan, bahwa frekuensi pengawinan sebanyak dua kali menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi (88,80%) dibandingkan dengan satu kali (86,06%) seperti tertera pada Tabel 3. Hal ini disebabkan kegagalan kebuntingan pada pengawinan pertama kemungkin dapat berhasil pada pengawinan yang kedua. Pengawinan sebanyak dua kali memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai keberhasilan kebuntingan pada saat pengawinan, sehingga akan memperoleh laju kebuntingan yang tinggi. Hasil ini didukung oleh pendapat Sihombing (1997) yang menyatakan, bahwa pengawinan pada ternak babi yang dilakukan sebanyak dua kali akan menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi, karena ovum yang tidak dibuahi pada pengawinan pertama kemungkinan besar akan terbuahi pada pengawinan yang kedua.

Sistem dan Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa tidak ada interaksi antara sistem pengawinan dan frekuensi pengawinan, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan, laju kebuntingan yang dihasilkan dengan pengawinan secara alami sebanyak dua kali (97,12%) lebih tinggi daripada satu kali (89,34%). Laju kebuntingan yang dihasilkan dengan pengawinan secara IB sebanyak satu dan dua kali masing-masing 82,79 dan 80,49%. Pengawinan secara IB sebanyak dua kali justru menghasilkan laju kebuntingan yang lebih rendah dibandingkan dengan satu kali. Hal ini disebabkan inseminasi pertama yang dilakukakan menghasilkan kegagalan kebuntingan karena inseminasi dilakukan tidak pada waktu yang tepat. Menurut McIntosh (2005), bahwa untuk meningkatkan keberhasilan inseminasi yang tinggi harus memperhatikan deteksi berahi dengan tepat dan waktu inseminasi dilakukan dengan tepat, menggunakan teknik yang benar, penyimpanan dan penanganan semen dengan benar.

Paritas dan Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa tidak ada interaksi antara paritas dengan frekuensi pengawinan, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel

3 menunjukkan, bahwa pengawinan sebanyak satu kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebuntingan berturut-turut yaitu 94,0%; 77,91%; 76,63%; 89,47% dan 92,31% dengan rataan 86,06%. Pengawinan sebanyak dua kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebutingan berturut- turut 92,36%; 87,57%; 90,38%; 90,38% dan 83,34% dengan rataan 88,80%. Laju kebuntingan tertinggi terdapat pada pengawinan satu kali pada paritas pertama (94,0%) dan laju kebuntingan paling rendah terdapat pada pengawinan satu kali paritas ketiga (76,63%). Rendahnya laju kebuntingan tersebut disebabkan ovum gagal dibuahi sehingga banyak ternak yang tidak bunting dan tidak dilakukan pengawinan ulang. Apabila dibandingkan antara frekuensi pengawinan dengan setiap paritas, maka pengawinan sebanyak dua kali lebih menghasilkan laju kebuntingan yang cenderung tinggi pada setiap paritas daripada pengawinan sebanyak satu kali kecuali pada paritas satu dan lima. seperti diperlihatkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Frekuensi Pengawinan dan Paritas

Sistem Pengawinan, Paritas dan Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa tidak ada interaksi antara sistem pengawinan, paritas dan frekuensi pengawinan, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan, bahwa pengawinan secara alami dengan frekuensi pengawinan satu kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebuntingan yang cenderung naik turun walaupun pada akhirnya

0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 1 2 3 4 5 Paritas La ju K e b unt inga n (% ) 1X 2X

meningkat sampai 100% pada paritas kelima, seperti tertera pada Gambar 14. Hasil ini menunjukkan, bahwa pada paritas kedua dan ketiga dengan pengawinan secara alami dengan frekuensi pengawinan satu kali memperoleh laju kebuntingan yang menurun dari paritas pertama. Penurunan laju kebuntingan pada paritas ini disebabkan kegagalan kebuntingan pada saat pengawinan pertama dan tidak dilakukan kawin ulang sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah. Pengawinan dua kali secara alami menghasilkan laju kebuntingan semakin meningkat dari paritas satu sampai paritas kelima berturut-turut 89,18%; 94,43%; 100%;100% dan 100%. Hasil ini menunjukkan, bahwa laju kebuntingan meningkat dengan pengawinan secara alami sebanyak dua kali, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sihombing (1997), bahwa laju kebuntingan ternak babi akan meningkat terus sampai paritas ketujuh.

Pengawinan secara IB sebanyak satu dan dua kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebuntingan yang cenderung turun naik (Tabel 3). Laju kebuntingan terendah terdapat pada pengawinan sebanyak dua kali pada paritas kelima (66,67%), seperti tertera pada Gambar 14.

0 20 40 60 80 100 120 1 2 3 4 5 Paritas La ju K e b unt in ga n ( % )

A1x A2x IB1x IB2x

Gambar 14. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan, Frekuensi Pengawinan dan Paritas

Rendahnya laju kebuntingan pada paritas ini dapat disebabkan oleh faktor induk yang menunjukkan adanya tanda-tanda penurunan reproduksi karena bertambahnya umur sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah. Faktor

semen pejantan juga dapat mempengaruhi rendahnya laju kebuntingan pada paritas ketiga pengawinan secara IB sebanyak satu kali (75,0%), karena adanya kesalahan dalam penanganan semen dan kurangnya jumlah sperma motil yang didepositkan kedalam organ reproduksi betina. Menurut Walker (1972), jumlah sperma motil pada saat inseminasi adalah 2-10 milyar atau rata-rata 5 milyar, sehingga yang perlu diperhatikan adalah pada saat pengenceran dilakukan yaitu jumlah pengencer harus disesuaikan dengan jumlah sperma yang motil untuk mencapai laju kebuntingan yang tinggi. Penurunan laju kebuntingan kemungkinan juga disebabkan karena deteksi berahi yang salah, sehingga waktu penginseminasian tidak tepat dilakukan.

Periode yang efektif untuk menginseminasi ternak babi betina adalah sekitar 24 jam (24-36 jam) setelah awal berahi. Apabila pengawinan dilakukan sebanyak dua kali pada tiap kali berahi, inseminasi yang pertama harus dilakukan 12-16 jam setelah diketahui awal siap kawin (puncak berahi) dan diulangi lagi 12-14 jam kemudian. Inseminasi yang kedua harus dilakukan walaupun induk tidak memperlihatkan tanda siap kawin (Sihombing, 1997). Menurut Sterle dan Safranski (2005), untuk mendapatkan laju kebuntingan yang tinggi, deteksi berahi harus dilakukan secara hati-hati dan tanpa kegagalan karena hal yang paling penting dalam pengawinan adalah deteksi berahi. Deteksi berahi yang paling efektif dapat dilakukan sebanyak dua kali per hari. Lama berahi pada ternak babi berkisar antara satu sampai empat hari (Day, 1972). Informasi yang diperoleh di perternakan tersebut, bahwa deteksi berahi tidak dilakukan secara teratur dan tidak ada waktu khusus untuk mendeteksi berahi pada ternak babi betina. Pengawinan ternak babi dilakukan apabila memperlihatkan tanda-tanda berahi yaitu babi betina tersebut gelisah, tidak nafsu makan dan diam kalau ditekan bagian punggungnya.

Pejantan

Pejantan harus mempunyai penampilan yang baik dan catatan reproduksi individu harus diperhatikan secara teratur (Siagian, 1999). Pejantan yang sering digunakan di PT. Adhi Farm sebanyak 10 ekor. Pejantan yang biasanya digunakan untuk pengawinan secara alami sebanyak lima ekor yaitu TK 6, TK 8, TK 9, TK 10 dan TK 11 dan pejantan yang biasanya digunakan untuk pengawinan secara IB sebanyak lima ekor yaitu TK 7, D3147, DP9003, LSKH dan JKT IB.

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4), bahwa pejantan yang digunakan dalam pengawinan secara alami yaitu TK 8, TK 6, TK 11, TK 9 dan TK 10 menghasilkan laju kebuntingan berturut-turut dari paling tinggi sampai paling rendah adalah 97,37%; 94,12%; 91,67%; 88,0% dan 87,88%. Laju kebuntingan ternak babi berdasarkan pejantan dengan sistem pengawinan secara alami diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Pejantan Dengan Sistem Pengawinan Secara Alami

Identitas Pejantan Jumlah Pengawinan (ekor) Jumlah Keberhasilan (ekor) Jumlah Kegagalan (ekor) Laju Kebuntingan (%) TK 6 TK 8 TK 9 TK 10 TK 11 34 38 25 33 24 32 37 22 29 22 2 1 3 4 2 94,12±23,88 97,37±16,22 88,00±33,17 87,88±33,14 91,67±28,23 Rataan 154 142 12 91,81±20,29

Menurut Sihombing (1997), pejantan harus diberikan perhatian yang serius karena pejantan mewakili setengah susunan genetik ternak dan oleh karenanya berpengaruh besar terhadap kualitas ternak. Pejantan harus teruji dalam hal performan, fisik, kesehatan dan manajemen pemeliharaannya memenuhi standar. Menurut Devendra dan Fuller (1979), sifat genetik dari babi pejantan separuhnya diwariskan pada keturunannya, sehingga pejantan harus diperhatikan dengan baik. Hasil pada Tabel 4 menunjukkan, bahwa TK 8, TK 6 dan TK 11 harus dipertahankan kualitasnya, karena menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi, sehingga harus diperhatikan penggunaannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, bahwa pejantan yang digunakan di peternakan ini berumur kira-kira dua tahun, sedangkan frekuensi penggunaan pejantan hanya dua kali per minggu. Keadaan ini sangat bertentangan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Siagian (1999), bahwa frekuensi penggunaan pejantan yang berumur >18 bulan yaitu 9-10 kali per minggu.

Pejantan tidak boleh terlalu sering atau kurang digunakan karena dapat menurunkan fertilitas. Frekuensi penggunaan pejantan per minggu dapat dilakukan dua kali bagi pejantan yang baru berumur delapan sampai sembilan bulan, lima ssampai tujuh kali bagi yang telah berumur 10 sampai 12 bulan, tujuh sampai delapan kali bagi yang telah berumur 13 sampai 18 bulan (Cordoves, et al., 1981).

Berdasarkan Tabel 5, pejantan yang menghasilkan laju kebuntingan yang tertinggi dengan pengawinan secara IB adalah JKT IB (96,05%), kemudian TK 7 (88,23%), LSKH (81,25%), D3147 (74,60%) dan DP9003 (55,0%). Rataan laju kebuntingan ternak babi berdasarkan pejantan dengan sistem pengawinan secara IB diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Pejantan Dengan Sistem Pengawinan Secara Inseminasi Buatan

Identitas Pejantan Jumlah Pengawinan (ekor) Jumlah Keberhasilan (ekor) Jumlah Kegagalan (ekor) Laju kebuntingan (%) TK 7 D3147 DP9003 LSKH JKT IB 51 63 20 48 76 45 47 11 39 73 6 16 9 9 3 88,23±32,54 74,60±43,88 55,00±51,04 81,25±39,44 96,05±19,60 Rataan 258 215 43 79,03±37,30

Laju kebuntingan yang dihasilkan oleh pejantan dengan pengawinan secara IB lebih rendah, apabila dibandingkan dengan laju kebuntingan yang dihasilkan oleh pejantan yang dikawinkan secara alami. Hasil ini bukan berarti pejantan yang digunakan dengan sistem IB (Tabel 5) adalah tidak baik. Hasil ini menunjukkan, bahwa meskipun pejantan yang digunakan berbeda, sistem pengawinan secara alami tetap memberikan laju kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengawinan secara IB. Hal ini berarti sistem pengawinan secara IB di usaha peternakan ini belum dilakukan dengan baik sehingga masih menghasilkan laju kebuntingan yang rendah.

Dokumen terkait