• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Sistem Pengawinan(Alami dan IB)< Paritas dan Frekuensi Pengawinan terhadap Laju Kebuntingan Ternak Babi di Usaha Peternakan Babi PT. Adhi Farm, Solo

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Sistem Pengawinan(Alami dan IB)< Paritas dan Frekuensi Pengawinan terhadap Laju Kebuntingan Ternak Babi di Usaha Peternakan Babi PT. Adhi Farm, Solo"

Copied!
72
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

FITRIA NEGARA SIHOMBING

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

PENGARUH SISTEM PENGAWINAN (ALAMI DAN IB), PARITAS DAN

FREKUENSI PENGAWINAN TERHADAP LAJU KEBUNTINGAN

(2)

RINGKASAN

FITRIA NEGARA SIHOMBING. D14102004. 2006. Pengaruh Sistem Pengawinan (Alami dan IB), Paritas dan Frekuensi Pengawinan terhadap Laju Kebuntingan Ternak Babi di Usaha Peternakan Babi PT. Adhi Farm, Solo. Skripsi. Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor

Pembimbing utama : Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS.

Pembimbing anggota : Dr. drh. Ligaya I.T.A. Tumbelaka, SpMP, MSc.

Penelitian ini dilakukan di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm, Solo, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan pada awal bulan Juli sampai dengan akhir bulan Agustus 2005. Latar belakang dari penelitian ini adalah ternak babi memiliki daya reproduksi dan litter size yang tinggi jika dibandingkan dengan ternak lain seperti sapi, domba, kerbau dan kuda. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh dari sistem pengawinan (alami dan IB), paritas dan frekuensi pengawinan terhadap laju kebuntingan ternak babi di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm, Solo.

Teknik pengumpulan data dilakukan dengan dua cara yaitu primer dan sekunder. Data primer diperoleh dari pengamatan langsung yang meliputi penampungan semen, evaluasi semen, pengawinan secara alami dan IB serta pemeriksaan kebuntingan. Data sekunder diperoleh dari catatan induk babi. Materi yang digunakan adalah 56 ekor babi betina, 10 ekor pejantan (data primer) dan 116 ekor induk babi (data sekunder).

Rancangan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap pola faktorial dengan tiga faktor. Faktor pertama adalah sistem pengawinan (alami dan IB), kedua adalah paritas (1-5) dan ketiga adalah frekuensi pengawinan (1 dan 2 kali). Data dianalisis dengan prosedur General Linear Model (GLM). Jika perlakuan berpengaruh nyata terhadap parameter yang diukur, maka akan dilakukan uji lanjut Tukey.

Hasil penelitian menunjukkan, bahwa sistem pengawinan mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi (P<0,01), paritas dan frekuensi pengawinan tidak mempengaruhi laju kebuntingan (P>0,05) dan tidak ada interaksi. Kesimpulan dari penelitian adalah pengawinan secara alami menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan pengawinan secara IB dan frekuensi pengawinan sebanyak dua kali dapat meningkatkan laju kebuntingan ternak babi. Paritas tidak mempengaruhi laju kebuntingan, hal ini menunjukkan, bahwa induk babi sampai paritas kelima masih dapat dipertahankan.

(3)

ABSTRACT

Effect of Mating System (Natural Service and Artificial Insemination), Parity and Mating Frequency to Swine Conseption Rate at Commercial Piggery Farm

PT. Adhi Farm , Solo.

Sihombing, F.N., P.H. Siagian and L.I.T.A. Tumbelaka

This research has been held at a commercial piggery farm PT. Adhi Farm, Solo, Central Java on July until August 2005. The background of this research was the swine has a higher reproduction ability and high litter size compare to other livestock such as cow, sheep, buffalo and horse. The purpose of the research is to get a knowledge about the effect of mating system (natural service and artificial insemination), parity and mating frequency to swine conception rate at PT. Adhi Farm, Solo. Data were collected primary from a direct observation of semen collection, evaluation, artificial insemination, natural service and conception detection. Whereas the secondary data was obtained from the sow recording. Fifty six sows, ten boars (primary data) and one hundred and sixteen sows (secondary data) were used for the research. The result was analyzed with completely randomized design (CRD) with three factorial method. The first factor is mating system (natural service and artificial insemination), the second is parity (1-5) and third is mating frequency (1 and 2 time). All data are analyzed using general linear model (GLM) procedure. Tukey test will be used to check the significantly effect of the experiment. The result showed that mating system has high significantly effect on swine conception rate (P<0.01), parity and mating frequency had not significantly effect on swine conception rate and there is no interaction. The conception rate of natural mating system (93.23%) is higher than artificial insemination system (81.64%). Two time mating frequency can increase swine conception rate. The parity do not influence the conception rate of the swine moreover, sows with fifth parity still be maintained.

(4)

FITRIA NEGARA SIHOMBING D14102004

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada

Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PRODUKSI TERNAK FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2006

PENGARUH SISTEM PENGAWINAN (ALAMI DAN IB), PARITAS DAN

FREKUENSI PENGAWINAN TERHADAP LAJU KEBUNTINGAN

(5)

Oleh :

FITRIA NEGARA SIHOMBING D14102004

Skripsi ini telah disetujui dan disidangkan di hadapan Komisi Ujian Lisan pada Tanggal 15 Maret 2006

Pembimbing Utama

Dr. Ir. Pollung H. Siagian, MS NIP. 130 674 521

Pembimbing Anggota

Dr. drh. Ligaya I.T.A. Tumbelaka SpMP. MSc NIP: 131 473 990

Dekan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur Sc NIP. 131 624 188

PENGARUH SISTEM PENGAWINAN (ALAMI DAN IB), PARITAS DAN

FREKUENSI PENGAWINAN TERHADAP LAJU KEBUNTINGAN

(6)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan tanggal 25 April 1984 di Saribudolok, Kecamatan Silimakuta, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara. Penulis adalah anak keempat dari delapan bersaudara, dari pasangan bapak Edward Sihombing dan ibu Rosmaulina Saragih.

Pendidikan dasar diselesaikan pada tahun 1996 di SD Negeri 1 Silimakuta, pendidikan lanjutan tingkat pertama pada tahun 1999 di SLTP RK Bunda Mulia dan pendidikan menengah umum tahun 2002 di SMU Negeri 1 Silimakuta.

Penulis diterima sebagai mahasiswi pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2002.

(7)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan karunia yang telah dilimpahkan pada Penulis, sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan baik moril maupun material selama penyusunan skripsi ini dan selama Penulis menjalankan masa kuliah di IPB.

Penelitian ini dilaksanakan di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm, Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Solo, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian berlangsung selama dua bulan yang dimulai pada awal bulan Juli sampai dengan akhir bulan Agustus 2005.

Skripsi ini berjudul Pengaruh Sistem Pengawinan (Alami dan IB), Paritas dan Frekuensi Pengawinan terhadap Laju Kebuntingan Ternak Babi di Usaha Peternakan Babi PT. Adhi Farm, Solo. Hasil penelitian yang diperoleh pada usaha peternakan ini adalah sistem pengawinan sangat mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi. Paritas, frekuensi pengawinan dan interaksinya tidak mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada yang membutuhkan mengenai laju kebuntingan ternak babi dan faktor yang mempengaruhinya. Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Program Studi Teknologi Produksi Ternak, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa hasil penelitian ini masih jauh dari sempurna, akan tetapi terlepas dari kekurangan yang ada, Penulis harapkan semoga tulisan ini bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan.

Bogor, Maret 2006

(8)

DAFTAR ISI Klasifikasi Zoologi Ternak Babi ... 3

Alat Reproduksi Ternak Babi ... 3

Dewasa Kelamin ... 5

Berahi ... 6

Siklus Berahi ... 7

Kebuntingan ... 8

Frekuensi Pengawinan Pejantan... 8

Frekuensi Pengawinan Babi Betina ... 9

Pengawinan Secara Alami ... 9

Keunggulan dan Kelemahan Teknik Inseminasi Buatan ... 10

Penampungan Semen ... 11

Pemeriksaan Semen ... 12

Pengawinan Secara Inseminasi Buatan ... 13

(9)

Analisis Data ... 21

Prosedur ... 21

Penampungan Semen ... 21

Evaluasi Semen ... 22

Pengawinan Secara Alami ... 23

Pengawinan Secara Inseminasi Buatan ... 24

Pemeriksaan Kebuntingan ... 24

HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian ... 25

Laju Kebuntingan ... 28

Sistem Pengawinan ... 28

Paritas ... 30

Sistem Pengawinan dan Paritas ... 30

Frekuensi Pengawinan ... 32

Sistem dan Frekuensi Pengawinan ... 32

Paritas dan Frekuensi Pengawinan ... 32

Sistem Pengawinan, Paritas dan Frekuensi Pengawinan ... 33

Pejantan ... 35

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 38

Saran ... 38

UCAPAN TERIMAKASIH ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... ... 40

LAMPIRAN ... 43

(10)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Komposisi Ransum dari Berbagai Kelas Ternak Babi... 26 2. Distribusi Jumlah Induk (ekor) yang Diamati... 28 3. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Sistem

Pengawinan, Paritas, Frekuensi Pengawinan dan Interaksinya... 29 4. Rataan Laju Kebuntingaan (%) Ternak Babi Berdasarkan Pejantan

(11)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Organ Reproduksi Betina (Sterle dan Safranski, 2005) ... 4

2. Organ Reproduksi Jantan (Sihombing, 1997) ... 5

3. Siklus Berahi pada Babi Betina (Sihombing, 1997)... 14

4. Cara Memasukkan Kateter Kedalam Alat Reproduksi Betina (McIntosh, 2005)……….. 15

5. Cara Memutar Kateter (McIntosh, 2005)... 15

6. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian... 20

7. Tahapan Penampungan Semen dengan Bantuan Babi Berahi ... 22

8. Tahapan Penampungan Semen dengan Bantuan Dummy ... 22

9. Tahapan Evaluasi Semen ... 23

10.Pengawinan Secara Alami ... 23

11.Pengawinan Secara Inseminasi Buatan... ... 24

12.Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan dan Paritas... 31

13.Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Frekuensi Pengawinan dan Paritas... 33

14. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan, Frekuensi Pengawinan dan Paritas... 34

(12)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Analisis Data ……… 43 2. Kartu Pelaksanaan Pengawinan ………... 44 3. Rataan dan Standar Deviasi Sistem Pengawinan dan Paritas…….. 45 4. Rataan dan Standar Deviasi Sistem dan Frekuensi Pengawinan

Serta Paritas yang Berbeda……… 46 5. Pencatatan Data Pengawinan Selama Penelitian ……….... 47 6. Data Suhu (0C) dan Kelembaban (%) di Kandang Selama

(13)

PENDAHULUAN Latar Belakang

Babi peliharaan (Sus scrofa) merupakan ternak non ruminansia dari famili Suidae. Babi sebagai ternak mamalia, memiliki kemampuan reproduksi yang tinggi dan menghasilkan banyak anak dalam tiap kelahiran dengan interval generasi yang singkat dibandingkan dengan ternak lain seperti sapi, kambing, domba, kerbau dan kuda, sehingga dengan adanya sifat ini ternak tersebut sangat berpotensi untuk memenuhi kebutuhan daging.

Bangsa babi yang populer diternakkan saat ini adalah Landrace, Duroc, Yorkshire, Hampshire, Berkshire dan bangsa hasil persilangannya. Bangsa babi ini dapat dibudidayakan dengan sistem pengawinan alami dan inseminasi buatan (IB). Sistem pengawinan alami merupakan suatu cara mengawinkan ternak babi, dimana pejantan memasukkan semennya kedalam alat reproduksi betina dan terjadi kontak langsung antara kedua jenis kelamin. Inseminasi buatan (IB) merupakan suatu sistem pengawinan dimana jenis kelamin jantan dan betina tidak mengalami kontak langsung, tetapi pengawinan dilakukan dengan cara memasukkan semen pejantan yang terpilih kedalam alat kelamin betina dengan bantuan suatu alat.

Pengawinan yang dilakukan secara alami dan IB pada babi diharapkan mempunyai laju kebuntingan yang tinggi. Laju kebuntingan diperoleh dengan cara meningkatkan keberhasilan kebuntingan pada babi betina yang dikawinkan. Usaha peternakan babi akan mengalami kerugian besar apabila laju kebuntingan babi rendah. Sistem pengawinan, paritas dan frekuensi pengawinan merupakan faktor yang mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi. Pengawinan baik secara alami maupun IB harus dilakukan pada waktu yang tepat, untuk meningkatkan keberhasilan kebuntingan sehingga meningkatkan laju kebuntingan dan sebaliknya pengawinan yang tidak dilakukan dengan waktu yang tepat dapat menurunkan laju kebuntingan pada ternak babi.

(14)

Perumusan Masalah

Laju kebuntingan ternak babi adalah persentase dari jumlah babi yang bunting dari seluruh jumlah babi betina yang dikawinkan. Laju kebuntingan yang rendah disebabkan karena tingginya jumlah induk yang gagal bunting. Hal ini dapat memberikan kerugian yang besar bagi suatu perternakan baik waktu maupun materi. Cara yang digunakan untuk meningkatkan laju kebuntingan ternak babi adalah mengetahui faktor yang mempengaruhinya antara lain sistem pengawinan, paritas dan frekuensi pengawinan pada setiap kali berahi.

Tujuan

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui dan memahami pengaruh sistem pengawinan (alami dan IB), paritas dan frekuensi pengawinan terhadap laju kebuntingan ternak babi di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm, Solo.

Manfaat

Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah:

1. memberikan informasi bagi peternak mengenai laju kebuntingan ternak babi dan faktor yang mempengaruhinya,

2. memberikan informasi kepada pihak-pihak yang terjun di usaha peternakan babi,

3. memberikan informasi kepada pihak-pihak yang ingin mengembangkan usaha peternakan babi, dan

4. informasi ini dapat digunakan oleh peneliti selanjutnya.

(15)

TINJAUAN PUSTAKA Klasifikasi Zoologi Ternak Babi

Ternak babi termasuk dalam kelas mamalia, ordo Artiodactyla, genus Sus dan spesies terdiri dari Sus scrofa, Sus vittatus, Sus cristatus, Sus leucomystax, Sus celebensis, Sus verrucosus dan Sus barbatus (Sihombing, 1997). Berikut adalah penyebaran spesies tersebut diatas:

1) S. srcofa, di Jerman terdapat 10 subspesies,

2) S. vittatus, di Asia Timur terndapat 13 supspesies antara lain terdapat di Sumatera, Jawa, Flores dan Malaysia, S. scrofa dan S. vittatus disebut juga S. Strozii,

3) S. cristatus, terdapat tiga subspesies di pantai Malabar India, 4) S. leocomystax, terdapat dua subspesies di Jepang,

5) S. celebensis, terdapat delapan subspesies di Sulawesi, 6) S. verrucosus, terdapat di Jawa, dan

7) S. barbatus, terdapat enam subspesies di Kalimantan.

Alat Reproduksi Ternak Babi Betina

(16)

reproduksi yang lokasinya tepat dibawah anus (Sihombing, 1997). Organ reproduksi babi betina diperlihatkan pada Gambar 1.

Gambar 1. Organ Reproduksi Betina (Sterle dan Safranski, 2005)

Jantan

Alat reproduksi jantan terdiri dari testis, epididymis dan uretra, kelenjar asesoris dan penis (Partodihardjo dan Manggung, 1978). Testis merupakan alat reproduksi primer pada pejantan. Fungsi utamanya adalah menghasilkan sel-sel sperma dan hormon-hormon jantan. Kedua testis terbungkus dalam skrotum yang melindungi testis dan membantu mempertahankan temperatur testis 9oC dibawah temperatur tubuh. Epididymis adalah tempat pendewasaan, konsentrasi dan penyimpanan sel-sel sperma sebelum dikeluarkan. Didalam uretra spermatozoa bercampur dengan plasma seminalis yang disekresikan oleh kelenjar asesoris. Gabungan plasma seminalis dan spermatozoa disebut semen dan campuran inilah yang didepositkan kedalam alat reproduksi betina. Kelenjar asesoris terdiri dari vesika seminalis, prostata dan cowper. Penis adalah organ jantan untuk kawin. Lembaran yang membungkus bagian penis yang bebas bila dalam keadaan tidak ereksi disebut preputsium (Sihombing, 1997). Alat reproduksi jantan diperlihatkan pada Gambar 2.

folikel

(17)

Dewasa Kelamin

Dewasa kelamin pada jantan ditandai dengan sudah dihasilkannya spermatozoa aktif sewaktu ejakulasi. Beberapa pejantan berumur lima bulan dapat melontarkan sejumlah spermatozoa dan sudah dapat dikawinkan dengan betina, tetapi disarankan pejantan tersebut dikawinkan pada umur delapan bulan (Siagian, 1999).

Dewasa kelamin pada babi betina ditandai dengan sudah adanya sel telur matang yang diovulasikan dan mengalami berahi untuk pertama kalinya. Dewasa kelamin berbeda–beda pada setiap babi betina, rata–rata dimulai pada umur 200 hari. Kebanyakan babi dara mencapai dewasa kelamin pada umur enam bulan tetapi pada umur ini babi tersebut tidak dikawinkan sebelum berumur delapan bulan atau pada berat badan kira–kira 90-100 kg (Siagian, 1999).

Menurut Toelihere (1993), pejantan dikawinkan pada saat umur sudah mencapai delapan sampai sembilan bulan dan babi betina mencapai pubertas pada umur lima sampai delapan bulan, disarankan dikawinkan pada umur 8 sampai 10 bulan.

Menurut Anderson (1980), beberapa faktor yang dapat mempengaruhi dewasa kelamin pada ternak babi adalah tingkat kualitas dan kuantitas makanan, lingkungan sosial, berat badan, musim, bangsa, penyakit dan parasit serta cara pemeliharaan. Dewasa kelamin pada ternak babi akan terjadi lebih awal jika dipelihara secara berkelompok daripada secara individu (Mavrogenis dan Rabinson,

(18)

1976; Kirkwood dan Hughes, 1980). Menurut Paterson dan Lindsay (1980), babi dara berumur 160 hari yang dipelihara bersama pejantan dapat mencapai dewasa kelamin pada umur yang lebih muda dan berat badan yang lebih kecil jika dibandingkan dengan babi umur yang sama yang dipelihara tidak bersama jantan. Jantan yang sudah dewasa kelamin berumur enam sampai sepuluh bulan akan dikandangkan dekat dengan babi dara ataupun induk (Gardner etal., 1990).

Berahi

Berahi adalah periode yang ditandai oleh keinginan kelamin dan penerimaan pejantan oleh ternak betina. Tanda–tanda berahi yang dapat dilihat pada babi betina adalah perubahan tingkah laku (gelisah, menaiki babi betina lain, diam apabila dilakukan penekanan pada bagian punggung), perubahan pada vulva (membengkak, warna merah muda) dan kadang–kadang adanya sekresi dari vagina (Anderson, 1966). Menurut Siagian (1999), babi betina berahi apabila menunjukkan beberapa tanda sebagai berikut:

1) alat kelamin berwarna kemerahan dan agak basah, 2) keluar cairan kental dari lobang alat kelamin, 3) gelisah dan sering bergerak,

4) kalau ada pejantan sering mengeluarkan air kencing,

5) diam atau dalam posisi siap dikawinkan apabila dilakukan uji penekanan pada punggung,

6) daun telinga tegak, kaki menjadi kaku dan gemetar pada otot paha atau pinggang,

7) menaiki ternak babi yang lain dan diam jika dinaiki dan 8) babi betina sulit dipindahkan atau disatukan dengan cara biasa.

(19)

menggunakan pejantan. Persentase keberhasilan deteksi berahi dengan menggunakan uji penekanan pada punggung dan babi pejantan yaitu 100%. Persentase babi betina yang dideteksi berahi selama lebih dari satu hari dengan menggunakan uji penekanan pada punggung adalah 94% dan dengan menggunakan babi jantan adalah 83% (Gardner etal., 1990).

Lama berahi pada babi betina berkisar antara satu sampai empat hari (Day, 1972), 50 jam atau berkisar antara 24-72 jam (Alexander, Signoret dan Hafez, 1980), 47 jam pada babi dara dan 56 jam pada babi induk (Anderson, 1980). Menurut Toelihere (1993), berahi pada babi betina berlangsung dua sampai tiga hari dengan variasi antara satu sampai empat hari. Bangsa, paritas dan gangguan hormonal dapat mempengaruhi lamanya berahi. Babi dara sering tidak memperlihatkan berahi lebih dari satu hari, sedangkan babi induk pada umumnya menunjukkan berahi selama dua hari atau lebih dan rataan periode berahi adalah 12 sampai 18 jam lebih lama daripada babi dara. Berahi biasanya terjadi tiga sampai delapan hari sesudah penyapihan apabila anak–anak babi dipisahkan enam sampai delapan minggu sesudah partus.

Siklus Berahi

Siklus berahi adalah interval waktu antara timbulnya satu berahi dengan berahi yang berikutnya. Panjang siklus berahi rata–rata 21 hari (19-23 hari). Jika hewan bunting atau mengalami gangguan hormon maka siklus berahi yang normal tidak terjadi lagi (Anderson, 1980). Menurut Toelihere (1993), siklus berahi pada babi mencapai 19 sampai 23 hari, rata – rata 21 hari dan relatif konstan. Perubahan suhu dan musim tidak mempengaruhi siklus berahi, tetapi gangguan endokrin dan perubahan patogenik pada organ kelamin betina dapat mengakibatkan bertambah panjangnya siklus berahi.

(20)

Kebuntingan

Pengawinan pada babi betina sebaiknya dilakukan sebelum ovulasi terjadi. Menurut Foote (1980), saat melakukan pengawinan yang paling baik adalah pada akhir hari pertama atau pada permulaan hari kedua, karena ovulasi terjadi kira-kira 30 sampai 36 jam dari permulaan berahi. Daya hidup spermatozoa pada saluran alat kelamin betina terbatas, sehingga pengawinan harus disesuaikan dengan waktu ovulasi. Menurut Dziuk (1970), bahwa waktu pengawinan yang optimal pada babi betina adalah 12 jam sebelum ovulasi. Tempat sperma disemprotkan oleh pejantan adalah pada daerah serviks dan uterus. Pengawinan yang dilakukan tidak tepat pada waktunya, pengawinan terlalu dini atau saat berahi yang terlewatkan dapat menyebabkan kegagalan pembuahan sehingga persentase kebuntingan rendah (Baker dan Polge, 1976). Jika pengawinan dilakukan terlalu awal, sperma tiba di tuba fallopii terlalu awal dan mungkin mati sebelum ada telur yang lepas. Bila dikawinkan terlalu lambat, telur terlalu masak (lebih dari enam jam) dan akan berakibat lebih dari satu sperma masuk kedalam satu telur dan akan menyebabkan polyspermy (Sihombing, 1997).

Kebuntingan terjadi apabila adanya fertilisasi yaitu bila satu sperma bersatu dengan sel telur untuk membentuk zigot dan didalam uterus terdapat pertumbuhan embrio dan fetus. Menurut Toelihere (1993), lama kebuntingan ternak babi berkisar antara 111-117 hari atau rata-rata 114 hari dan menurut Eusebio (1980), lama kebuntingan ternak babi berkisar antara 112-120 hari atau rata-rata 114 hari.

Frekuensi Pengawinan Pejantan

Frekuensi pengawinan pejantan yang memberikan hasil yang terbaik adalah tiga kali per minggu, jika dibandingkan dengan empat atau enam kali per minggu. Frekuensi penggunaan pejantan per minggu dapat dilakukan dua kali bagi pejantan yang baru berumur delapan sampai sembilan bulan, lima sampai tujuh kali bagi yang telah berumur 10 sampai 12 bulan, tujuh sampai delapan kali bagi yang telah berumur 13 sampai 18 bulan (Cordores et al., 1981).

(21)

pengawinan sebanyak lima kali per minggu, pejantan umur sembilan sampai 12 bulan sebanyak lima sampai tujuh kali per minggu, pejantan umur 12 sampai 18 bulan sebanyak tujuh sampai delapan kali per minggu dan pejantan yang berumur >18 bulan digunakan sebanyak sembilan sampai 10 kali per minggu.

Menurut Sihombing (1997), pejantan harus diberikan perhatian yang serius karena pejantan mewakili setengah susunan genetik ternak dan oleh karenanya berpengaruh besar terhadap kualitas ternak. Pejantan harus teruji dalam hal performan, fisik, kesehatan dan manajemen pemeliharaannya memenuhi standar. Menurut Devendra dan Fuller (1979), genetik dari babi pejantan separuhnya diwariskan pada keturunannya sehingga pejantan harus diperhatikan dengan baik, selain itu pemeliharaan pejantan cukup mahal. Ada dua metode untuk seleksi pejantan yaitu pertama uji keturunan dan kedua adalah uji penampilan.

Frekuensi Pengawinan Babi Betina

Frekuensi pengawinan babi betina dapat dilakukan sebanyak satu dan dua kali setiap kali berahi. Menurut McIntosh (2005), apabila frekuensi pengawinan babi betina hanya dilakukan sebanyak satu kali pada tiap kali berahi, maka dapat dilakukan 24-32 jam setelah awal siap kawin dan apabila dilakukan sebanyak dua kali, pengawinan pertama dilakukan 8-12 jam setelah diketahui awal siap kawin dan pengawinan kedua dilakukan 8-16 jam kemudian. Menurut Sihombing (1997), dengan frekuensi pengawinan sebanyak dua kali pada tiap kali berahi dapat meningkatkan laju kebuntingan ternak babi karena ovum yang tidak dibuahi pada pengawinan pertama kemungkinan besar akan terbuahi pada pengawinan yang kedua.

Pengawinan Secara Alami

(22)

berahi dan mulai menaiki betina yang menunjukkan gejala berahi. Pengawinan secara alami dapat dilakukan dengan pengawinan individu dan kelompok. Pengawinan secara individu sebaiknya dengan membawa betina kekandang jantan dan pengawinan kelompok dengan cara membiarkan pejantan dikandang sekelompok betina. Menurut Sihombing (1997), bahwa tingkah laku kawin pada ternak babi sebagai berikut :

1) kontak cungur ke cungur, 2) pejantan menciumi vulva betina, 3) betina mencium alat kelamin jantan,

4) kontak antar kepala, tingkah bercanda, pejantan menggerut dan mulut berbuih dan kencing secara ritmik,

5) betina menolak ketika pejantan berusaha naik,

6) pejantan berusaha meraih betina, mencungur legok dan bawah perut disertai tingkah bercanda,

7) betina memperlihatkan respon tidak bergerak, dan

8) pejantan naik dan berkopulasi, perkawinan berlangsung 10 sampai 20 menit.

Keunggulan dan Kelemahan Teknik IB

Inseminasi buatan (IB) merupakan suatu teknik inseminasi pada ternak yang diterapkan secara efisien pada peternakan yang maju (Toelihere, 1993). Menurut Hafez (1980), inseminasi buatan merupakan teknik yang dirancang dan penting dalam peningkatan genetik pada hewan atau ternak. Inseminasi buatan pada babi sudah dilakukan diberbagai negara (Perry, 1960).

(23)

mengawini lebih banyak betina dalam sekali ejakulasi dan dapat mengatasi masalah ukuran tubuh yang tidak memungkinkan dalam pengawinan secara alami (Eusebio, 1980).

Kesulitan utama IB pada babi adalah, bahwa setiap babi betina harus diinseminasi dengan 50 sampai 100 ml semen encer, dan satu ejakulat hanya dapat dipakai untuk menginseminasi 10 sampai 20 ekor betina. Lama penyimpanan semen cair singkat, hanya 24 sampai 48 jam, untuk mendapatkan hasil yang memuaskan sebaiknya penampungan dilakukan dengan interval tiga sampai enam hari atau dua kali seminggu. Secara umum kelemahan dari teknik IB adalah jika tidak dilakukan dengan benar, maka akan menurunkan efisiensi reproduksi sehingga dalam pelaksanaannya harus dilakukan secara terlatih dan terampil dan teknik IB tidak dapat digunakan untuk semua jenis hewan (Toelihere, 1993).

Penampungan Semen

Penampungan semen babi dapat menggunakan beberapa metode diantaranya adalah metode vagina buatan, pengurutan (massage) dan elektroejakulator (Eusebio, 1980). Vagina buatan yang digunakan dalam penampungan semen dimodifikasi sedemikian rupa dan suhunya disesuai dengan vagina babi betina yang sebenarnya. Vagina buatan yang akan digunakan diisi dengan 300 ml air dengan suhu 50oC, kemudian dilicinkan dengan tragacanth. Sepotong karet busa dengan lubang kecil berbentuk Y, yang dipasang dan diikatkan pada mulut vagina buatan, berguna untuk membersihkan penis sewaktu memasuki vagina buatan dan mencegah pemasukan kotoran dan kuman dari preputium kedalam botol penampung. Pada ujung lain dari vagina buatan dipasang suatu corong atau selongsong karet tipis yang relatif panjang dan diujung corong dipasang botol plastik berukuran 500 ml. Botol penampung tersebut mempunyai tutup berganda dengan lubang–lubang berukuran dua mm. Suatu lubang dibuat pada pangkal corong karet untuk tempat keluarnya sekresi– sekresi preputium selama penampungan agar tidak bercampur dengan semen. Suatu metal penunjang yang dipasang dibawah vagina buatan berguna untuk menahan botol penampung bersama corong karet sebelum ejakulasi untuk mencegah pengaliran sekresi preputium kedalam botol penampung (Toelihere, 1993).

(24)

(2005), biasanya pejantan dikawinkan dengan babi induk sebelum dilatih menaiki dummy, setelah dilatih pejantan tersebut tidak digunakan lagi untuk mengawini babi betina. Pejantan yang dilatih menaiki dummy membutuhkan proses yang lama. Saat penampungan penis diarahkan dan dimasukkan melaui lubang yang berbentuk Y pada karet busa dimulut vagina buatan. Inseminator berjongkok atau duduk diatas bangku pendek disebelah kanan pemancing dengan vagina buatan pada tangan kiri dan tangan kanan memegang corong karet. Tangan kanan memegang ujung distal penis yang melalui vagina buatan memasuki corong karet. Pejantan akan menggerakkan penisnya kedepan dan kebelakang beberapa kali. Saat berejakulasi selama 5 sampai 20 menit , pejantan akan diam selama itu ujung penis harus dipijat dan semen ditampung (Toelihere, 1993).

Metode pengurutan (massage) yang dilakukan adalah mengurut kelenjar-kelenjar vesikularis dan ampula melalui rektum dari depan kebelakang. Pengurutan biasanya dilakukan selama dua menit. Tujuan pengurutan adalah untuk merangsang pengeluaran urin yang bersifat racun terhadap sperma, dengan demikian urin tidak akan keluar lagi sewaktu pengurutan ampula. Metode pengurutan umumnya dilakukan pada pejantan yang unggul tetapi tidak sanggup berkopulasi secara alami. Metode ini biasanya tidak bersih dan mengandung banyak kuman dan bakteri, sehingga untuk mencegah hal tersebut diatas, preputium dan sekitarnya dibersihkan dengan NaCl fisiologis. Metode elektroejakulator merupakan metode penampungan semen yang menggunakan rangsangan listrik dan biasanya digunakan untuk ternak yang unggul tetapi dalam keadaan lumpuh, lamban, impoten dan tidak sanggup menaiki pemancing (Parsonson et al., 1971).

Pemeriksaan Semen

(25)

Pengenceran semen babi didasarkan pada jumlah sperma motil yang diperlukan untuk mencapai angka kebuntingan yang tinggi. Jumlah tersebut berkisar 2 sampai 10 milyar, rata–rata 5 milyar (5 x 109) sperma motil per inseminasi. Jumlah babi yang dapat diinseminasi per ejakulat 10 sampai 20 ekor. Angka konsepsi dan jumlah litter size juga dipengaruhi oleh volume semen yang sudah diencerkan dan lama waktu penyimpanan sebelum inseminasi. Volume minimal yang diperlukan untuk inseminasi adalah 50 ml semen encer. Perlu volume yang lebih besar lagi yaitu 100 sampai 150 ml semen encer per inseminasi karena dalam prosedur inseminasi buatan sebagian semen akan terbuang. Hal ini berarti pengenceran sebaiknya dilakukan sedemikian rupa sehingga satu ml semen encer mengandung paling sedikit 30 sampai 40 juta spermatozoa (Toelihere, 1993).

Pengenceran semen babi dengan perbandingan 1:1 sampai 1:5, tergantung pada konsentrasi sperma motil dan volume ejakulat, dengan pengenceran hangat pada suhu 37oC segera sesudah penampungan. Pendinginan secara berlahan-lahan dan penambahan fosfolipida kedalam semen akan melindungi sel sperma dan mempertahankan hidupnya. Pengenceran lebih dari 1:5 dapat mempengaruhi fertilitas sperma (First, 1970). Pengencer yang dianjurkan untuk mengencerkan semen adalah sitrat-kuning telur atau susu skim segar yang telah dipanaskan (Melrose, 1963).

Pemakaian semen beku kurang memuaskan walaupun terdapat motilitas sperma yang cukup baik sesudah pencairan kembali. Inseminasi dengan semen beku pada babi memberi angka konsepsi yang rendah (Melrose, 1966).

Pengawinan Secara Inseminasi Buatan

(26)

1993). Menurut Sihombing (1997), periode yang efektif untuk menginseminasi adalah sekitar 24 jam, antara 24 hingga 36 jam setelah puncak berahi. Inseminasi yang pertama harus komplit 12 sampai 16 jam setelah dideteksi awal siap kawin (puncak berahi) dan sekali lagi 12 sampai 14 jam kemudian. Inseminasi yang kedua harus dilakukan walaupun induk tidak memperlihatkan tanda siap kawin dan jangan menggunakan dosis yang kedua untuk menginseminasi induk lain, sebab kemungkinan dapat menyebabkan anak yang lahir sedikit, meskipun induk akan bunting. Siklus berahi pada babi betina dapat diperlihatkan pada Gambar 3, sehingga dapat diketahui waktu yang tepat saat melakukan inseminasi.

Menurut McIntosh (2005), syarat supaya inseminasi dapat berhasil adalah pendeteksian saat babi berahi, waktu inseminasi yang tepat, menggunakan teknik yang benar, penyimpanan semen dan penanganan semen dengan benar. Teknik dalam melaksanakan inseminasi dapat dilakukan sebagai berikut:

1) semen yang telah ditampung langsung dievaluasi untuk dilihat motilitas, kemudian dilakukan pengenceran dan evaluasi kembali,

2) sebelum inseminasi dilakukan, vulva babi betina dan sekitarnya dibersihkan dengan air bersih, hal ini bertujuan untuk mengurangi infeksi didalam uterus,

(27)

4) masukkan kateter secara perlahan kedalam alat kelamin betina dengan cara ujung kateter agak diangkat keatas untuk menghindari kontak dengan kandung kemih, seperti tertera pada Gambar 4,

5) Kateter dimasukkan dalam serviks dan diputar berlawanan arah jarum jam,

seperti tertera pada Gambar 5,

6) setelah kateter masuk dan yakin serviks telah terkunci, maka ujung pembungkus semen digunting kemudian sambungkan pada ujung kateter dan sedikit diangkat agar semen dapat mengalir kedalam alat reproduksi betina.

Menurut Toelihere (1993), keberhasilan inseminasi pada babi induk lebih tinggi daripada babi dara. Angka konsepsi inseminasi pertama memakai semen fertil

Gambar 4. Cara Memasukkan Kateter Kedalam Alat Reproduksi Betina (McIntosh, 2005)

(28)

yang diinseminasikan pada waktu yang optimal berkisar antara 50 sampai 70% dan angka konsepsi pengawinan alam adalah 80 sampai 90%. Perbedaan ini disebabkan waktu inseminasi yang tidak tepat sehubungan dengan ovulasi dan kegagalan menempatkan sperma motil dalam jumlah yang memadai didalam volume pengencer yang cukup besar kedalam uterus. Jumlah spermatozoa 10 milyar akan menghasilkan angka konsepsi yang tinggi dan jumlah ini harus ada dalam volume minimal 50 ml. Volume 10 sampai 20 ml memberi 80 sampai 90% ova yang dibuahi pada hari ketiga sesudah inseminasi, namun angka tersebut menurun menjadi 8% pada hari ke-25 (Polge, 1956). Inseminasi dengan semen yang baru ditampung memberi hasil yang berbeda dengan inseminasi dengan semen yang sudah disimpan salama 72 jam. Angka fertilisasi pada inseminasi dengan semen yang baru ditampung adalah 88% dan fertilisasi pada inseminasi dengan semen yang sudah disimpan adalah 36% dan pada hari ke-35 dari masa kebuntingan 70% babi yang diinseminasi dengan semen segar tetap mengandung embrio didalam uterusnya.

Laju Kebuntingan

Menurut Siagian (1999), laju kebuntingan merupakan persentase dari babi betina yang tidak kembali berahi kira-kira tiga minggu setelah dikawinkan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi laju kebuntingan antara lain

1) waktu pengawinan sebagai faktor utama penentu laju kebuntingan. Pengawinan harus terjadi 12 jam sebelum dan dua jam setelah terjadi pelontaran sel telur untuk mendapatkan pembuahan yang normal. Laju pembuahan dan laju kebuntingan akan berkurang bila spermatozoa tiba ditempat pembuahan sebelum atau setelah pelontaran sel telur. Sebaiknya induk dikawinkan kira-kira 18 sampai 36 jam setelah mulai berahi, yang mana pada babi induk kemungkinan berahi lebih lama daripada babi dara, pelontaran sel telur pada induk dapat terjadi lebih lambat pada periode berahi. Pengawinan babi dara 12 jam dan 25 jam setelah mulai berahi, 2) musim dapat mempengaruhi kesuburan pada ternak babi sehingga

(29)

3) pejantan harus mempunyai penampilan yang baik dan catatan reproduksi individu pejantan harus diperhatikan secara teratur,

4) umur dan bangsa babi, babi dara memiliki laju kebuntingan 10 sampai 15% lebih rendah daripada babi induk dan laju kebuntingan babi bangsa murni biasanya lebih rendah daripada babi bangsa persilangan,

5) lingkungan sosial, babi yang sejak menyapih hingga dikawinkan berada dalam kandang atau dikerangkeng individu atau diikat, mempunyai laju kebuntingan yang rendah apabila dibandingkan dengan babi yang dikandangkan secara kelompok kecil. Akan tetapi, babi yang dikandangkan dalam kelompok yang besar (20 ekor atau lebih) dengan ruangan yang tidak memadai (kurang dari 1,4 m2 per ekor) mempunyai pengaruh yang semakin rendah terhadap laju kebuntingan.

Menurut Sihombing (1997), laju kebuntingan pada babi dara berbeda untuk babi yang dikandangkan secara individu dan secara kelompok. Persentase laju kebuntingan babi dara yang dikandangkan secara individu yaitu 83,0% dan babi dara yang dikandangkan secara kelompok yaitu 94,0%. Menurut Sterle dan Safranski (2005), untuk mendapatkan laju kebuntingan yang tinggi, deteksi berahi harus dilakukan secara hati-hati dan tanpa kegagalan karena hal yang paling penting dalam pengawinan khususnya pengawinan secara IB adalah deteksi berahi. Deteksi berahi yang paling efektif dapat dilakukan sebanyak dua kali per hari.

Uji Kebuntingan

(30)

Paritas

Jumlah sel telur rata–rata yang diovulasikan oleh babi dara adalah 8 sampai 10 sel telur pada berahi yang pertama dan bertambah menjadi 12 sampai 14 sel telur pada berahi yang ketiga. Babi induk, jumlah sel telur yang diovulasikan adalah berkisar antara 15 sampai 20 sel telur (Dziuk, 1977). Menurut Paterson, Barker dan Lindsay (1981), jumlah ovulasi rata–rata pada babi dara adalah 10,9 ± 0,14 sel telur dan jumlah rata–rata anak 8,0 ± 0,12 ekor. Menurut Toelihere (1993), ovulasi terjadi selama berahi dan sebagian ova dilepaskan 38 sampai 42 jam sesudah permulaan berahi. Lama proses ovulasi adalah 3,8 jam. Ovulasi pada babi induk lebih cepat daripada babi dara, ovulasi pada babi induk kira–kira empat jam lebih cepat daripada babi dara. Babi induk mengovulasikan lebih banyak ova daripada babi dara dan jumlah ova makin meningkat dengan setiap berahi, peningkatannya rata–rata dua ova. laju ovulasi akan meningkat terus hingga paritas ketujuh tetapi pada umumnya induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Salah satu penyebab induk diafkir adalah karena daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah (Sihombing, 1997).

Menurut Sihombing (1997), kondisi babi dara atau induk yang terlampau gemuk atau kurus dapat mempengaruhi laju kebuntingan. Setelah anak babi disapih, berahi kembali pada babi paritas pertama, sangat tidak menentu dan umumnya lebih lama dibanding dengan babi induk. Babi induk juga bisa mengalami keterlambatan berahi ketika bobot badannya banyak turun selama laktasi, untuk mengatasi hal ini perlu pemberian ransum yang layak. Bila induk ditahan beranak lima atau enam kali maka 40% induk harus diganti setiap tahun. Beberapa petunjuk untuk mengafkir babi betina bibit yaitu :

1) tidak bunting setelah dikawinkan dua kali berturut-turut, 2) melahirkan dua kali berturut-turut tetapi hasilnya tidak baik,

3) mengasilkan anak dengan laju pertumbuhan dan kualitas karkas dibawah rataan,

4) terlalu gemuk dan besar, karena akan mengalami kesulitan beranak, 5) bila ada kelenjar susu atau puting tidak berfungsi dengan baik, dan

(31)

METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu

Penelitian ini dilakukan di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm, berlokasi di Desa Sepreh, Kelurahan Sroyo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karanganyar, Solo, Propinsi Jawa Tengah. Penelitian dilaksanakan selama dua bulan yang dimulai pada awal bulan Juli sampai dengan akhir bulan Agustus 2005.

Materi

Materi yang digunakan dalam penelitian adalah 56 ekor babi betina yang siap kawin baik secara alami dan inseminasi buatan (IB) sejak tanggal 04 Juli sampai dengan tanggal 25 Agustus 2005 dan 10 ekor pejantan (data primer) serta 116 ekor babi betina yang diambil data sebelumnya (data sekunder). Pejantan yang digunakan dalam penelitian sebanyak 10 ekor, masing-masing lima ekor pejantan khusus untuk pengawinan secara alami dan IB.

Alat yang digunakan adalah gunting, kateter, dummy, penampung semen, penangas air (water bath), mikroskop, termometer, gelas objek, flat pack, kertas saring, beaker glass, pendingin, termos dan alat untuk sterilisasi.

Bahan yang digunakan adalah semen, aquabides, media hidup sperma atau Artificial Insemination Products (AIP). Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian diperlihatkan pada Gambar 6.

(a) beaker glass, termometer, penampung semen, kateter, (b) alat pendingin (lemari es)

flat pack, kertas saring, termos, gunting, aquabides, AIP dan gelas objek.

(32)

(e) mikroskop (f) dummy

Gambar 6. Alat dan Bahan yang Digunakan dalam Penelitian

Rancangan Perlakuan

Laju kebuntingan ternak babi berdasarkan sistem pengawinan, paritas dan frekuensi pengawinan akan dianalisis dengan menggunakan rancangan acak lengkap pola faktorial 2 x 5 x 2. Faktor pertama adalah sistem pengawinan (alami dan IB), kedua adalah paritas (1-5) dan faktor ketiga adalah frekuensi pengawinan (1x dan 2x) tiap kali babi betina berahi.

Model

Model matematika yang digunakan menurut Steel dan Torrie (1995) adalah Yijkl = μ + αi + j + (α )ij + k + (α )ik + ( )jk + (α )ijk + εijkl Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan pada faktor 1 taraf ke i, faktor 2 taraf ke j dan faktor 3 taraf ke k

μ = rataan umum

αi = pengaruh faktor pertama (sistem pengawinan) pada taraf ke i yaitu 1 (alami) dan 2 (IB)

j = pengaruh faktor kedua (paritas) pada taraf ke j yaitu 1, 2, 3, 4 dan 5

(α )ij = interaksi antara faktor pertama dan kedua

k = pengaruh faktor ketiga (frekuensi pengawinan) pada taraf ke k yaitu 1 dan 2 kali

(α )ik = interaksi antara faktor pertama dan ketiga ( )jk = interaksi antara faktor kedua dan ketiga

(α )ijk= interaksi antara faktor pertama, kedua dan ketiga

(33)

Peubah

Penelitian ini dilakukan dengan cara pengumpulan data primer dan sekunder. Date primer diperoleh dari pengamatan langsung yang meliputi penampungan semen, evaluasi semen, pengawinan secara alami dan IB masing-masing satu dan dua kali tiap kali babi betina berahi serta pemeriksaan kebuntingan. Data sekunder diperoleh dari hasil pencatatan sebelumnya. Peubah yang diamati adalah laju kebuntingan ternak babi berdasarkan sistem pengawinan (alami dan IB), paritas (1-5) dan frekuensi pengawinan (1x dan 2x) . Laju kebuntingan diperoleh dari rumus:

Analisis Data

Data dianalisa dengan sidik ragam ANOVA (Analysis of Variance) menggunakan program minitap release 13, prosedur General Linear Model (GLM) dan apabila ada perbedaan yang nyata (P< 0,05) antara perlakuan maka dilanjutkan

dengan uji Tukey.

Prosedur Penampungan Semen

Sebelum penampungan semen dilakukan, terlebih dahulu dipersiapkan aquabides, penampung semen dan kertas saring. Penampungan semen dilakukan dengan metode pemijatan (massage) dengan bantuan babi betina berahi atau dengan menggunakan dummy. Apabila penampungan semen dilakukan dengan menggunakan babi betina yang sedang berahi, maka babi betina tersebut dibawa ke kandang pejantan. Apabila penampungan semen dilakukan dengan menggunakan dummy, maka pejantan dibawa ke kandang penampungan semen, tetapi sebelumnya dummy diolesi dengan cairan yang diambil dari vulva betina yang sedang berahi. Pejantan dibiarkan mencumbui dan menaiki babi betina berahi atau dummy tersebut, sampai mengeluarkan penisnya. Kemudian penis pejantan dipegang dan ditarik kearah samping oleh inseminator dan diarahkan pada tabung penampung semen dan dilakukan pemijatan pada ujung penis. Rataan volume setiap penampungan semen

Jumlah babi yang bunting (ekor)

(34)

adalah 250-300 ml dan tidak berwarna (bening). Tahapan proses penampungan semen dengan bantuan babi betina berahi dan dummy masing-masing diperlihatkan pada Gambar 7 dan Gambar 8.

(a) pejantan menaiki betina (b) penis pejantan dibersihkan (c) penampungan semen

Gambar 7. Tahapan Penampungan Semen dengan Bantuan Babi Betina Berahi

(a) pejantan menaiki dummy (b) penis pejantan dibersihkan (c) penampungan semen

Gambar 8. Tahapan Penampungan Semen dengan Bantuan Dummy

Evaluasi Semen

(35)

(a) aquabides dipanaskan (b) semen dalam gelas ukur (c) pengenceran

(d) melihat motilitas semen (e) pengemasan

Gambar 9. Tahapan Evaluasi Semen

Pengawinan Secara Alami

Babi betina yang berahi digiring dan dimasukkan ke kandang pejantan untuk dikawinkan. Pejantan dibiarkan mencumbui babi betina tersebut sambil mengeluarkan urin, pada saat pejantan menaiki betina, penis pejantan diarahkan kedalam alat kelamin betina. Hal ini bertujuan untuk mencegah agar penis tidak masuk kedalam anus betina tersebut. Proses pengawinan secara alami berlangsung sekitar 10 menit. Bagaimana terjadinya pengawinan secara alami diperlihatkan pada Gambar 10.

(a) pejantan menaiki betina (b) penis pejantan diarahkan kedalam alat kelamin betina

(36)

Pengawinan Secara Inseminasi Buatan

Babi betina yang akan diinseminasi adalah babi yang sedang berahi. Sebelum inseminasi dilakukan, alat dan bahan seperti gunting, kateter, aquabides dan semen dipersiapkan. Bersihkan vulva babi betina dengan aquabides, ujung kateter dibasahi dengan aquabides, kemudian kateter dimasukkan secara perlahan-lahan kedalam alat kelamin betina yang diputar berlawanan dengan arah jarum jam. Setelah kateter masuk dan serviks telah terkunci, maka penutup bungkus semen digunting dan dimasukkan kedalam kateter. Kateter agak diangkat keatas supaya semen dapat mengalir kedalam alat kelamin betina. Proses inseminasi berlangsung selama satu hingga lima menit. Pengawinan secara IB diperlihatkan pada Gambar 11.

(a) pembersihan vulva (b) pelaksanaan inseminasi buatan

Gambar 11. Pengawinan Secara Inseminasi Buatan

Pemeriksaan Kebuntingan

(37)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keaadan Umum Lokasi Penelitian

Usaha peternakan babi PT. Adhi Farm didirikan sejak tahun 1994 dengan populasi awal sebanyak ± 150 ekor. Hasil perhitungan saat penelitian jumlah induk adalah 215 ekor, dara 8 ekor, pejantan 10 ekor, sapihan 241 ekor, grower dan finisher 865 ekor. Bangsa babi yang dipelihara adalah Landrace, Duroc, Yorkshire dan persilangannya.

Lokasi usaha peternakan babi PT. Adhi Farm terletak pada dua tempat yaitu di dusun Sepreh dan di daerah Jomboran Palur. Adapun tempat penelitian dilakukan adalah di lokasi peternakan yang beralamat di Dusun Sepreh , Kelurahan Sroyo, Kecamatan Jaten, Kabupaten Karang Anyar, Jawa Tengah. Jarak lokasi peternakan ke Kecamatan ± 6 km, ke Kotamadya ± 12 km, ke Ibukota Provinsi ± 116 km dan ke Ibukota Negara ± 535 km. Jarak lokasi peternakan dengan jalan raya ± 6 km dengan luas lahan peternakan 5 Ha. Letak geografis peternakan berada pada dataran rendah dengan kisaran suhu udara adalah 26-310C dan dengan curah hujan 2000-3000 mm/tahun.

Suhu dan kelembaban di peternakan ini berdasarkan hasil pengukuran selama dua bulan masing-masing adalah 28,13oC dan 72,06%. Berdasarkan data klimatologi dari Badan Meteorologi dan Geofisika setempat, suhu pada bulan Juli yaitu 26,6oC, kelembaban 75,0%, curah hujan enam kali, sedangkan bulan Agustus suhu 26,5oC, kelembaban 70, 6% dan tanpa curah hujan.

(38)

mendapatkan pendidikan atau pelatihan khusus dalam hal pengawinan ternak babi melainkan mereka banyak belajar dari pengalaman.

Pembersihan kandang dan memandikan ternak babi dilakukan tiap hari, yaitu pada pagi dan sore hari. Perkandangan dipeternakan ini mengunakan sistem individu, ukuran kandang untuk pejantan yaitu 2,2 x 2,26 x 1,46 m3, babi betina yaitu 2,14 x 0,70 x 0,73 m3 dan kandang penampungan semen 3,66 x 2,14 x 0,78 m3. Pencampuran pakan dilakukan di gudang yang letaknya tidak jauh dari perkandangan, bahan baku yang digunakan untuk menyusun ransum adalah katul, jagung, gandum, bungkil kelapa dan gaplek. Jenis pakan dibedakan untuk babi sapihan (genjik), tanggung (grower), babi besar (babi siap jual), babi pejantan, induk menyusui, babi bunting dan pakan untuk babi dara. Komposisi ransum untuk babi pejantan sama dengan induk babi menyusu dan komposisi ransum untuk babi dara sama dengan induk babi yang bunting, seperti diperlihatkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Ransum dari Berbagai Kelas Ternak Babi

Bahan Makanan Jenis Ransum

GK TG BS BPIM BBDR K.57 : Pakan konsentrat tepung untuk babi bunting – menyusu K.152 : Pakan konsentrat tepung untuk babi kecil hingga dijual

(39)

kg/hari, pakan babi dara dan babi bunting diberikan 2,3-2,5 kg/hari dan pakan babi pejantan 3,5-4 kg/hari.

Pendataan ternak babi dilakukan setiap hari oleh petugas pencatat khusus. Tujuan pendataan adalah untuk mengetahui berapa jumlah babi yang lahir, dijual, diafkir dan jumlah babi yang mati. Ternak yang kawin, beranak dan menyapih pada waktu tertentu juga dilakukan pencatatan dan biasanya ternak-ternak tersebut memiliki kartu individu masing-masing.

Sistem pengawinan yang dilakukan pada usaha peternakan ini ada dua cara, yaitu pengawinan secara alami dan secara inseminasi buatan (IB). Pengawinan alami dilakukan secara individu, dimana betina yang sedang berahi dibawa ke kandang pejantan. Pengawinan secara inseminasi buatan biasanya dilakukan pada beberapa kelompok induk yang menyapih pada waktu yang sama sehingga waktu berahinya sama. Sebelum inseminasi, dilakukan penampungan dan evaluasi semen. Penampungan semen dapat dilakukan di kandang khusus penampungan semen dengan bantuan dummy (babi betina tiruan) dan di kandang pejantan dengan bantuan babi betina berahi. Rataan volume semen pada setiap penampungan berkisar antara 250-300 ml dan tidak berwarna (bening). Frekuensi pengawinan pada babi yang berahi biasanya satu atau dua kali dan jadwal pengawinan pada ternak dilakukan pada pagi dan sore hari.

Satu minggu sebelum tanggal perkiraan beranak, induk babi tersebut harus dipindahkan dari kandang bunting ke kandang khusus induk beranak. Hal ini bertujuan untuk mencegah induk babi tersebut tidak beranak di kandang babi bunting dan mengurangi stres yang disebabkan pindah kandang. Pemeliharaan induk beranak harus diperhatikan setiap saat untuk mencegah tingginya kematian anak yang disebabkan tertindih induk.

Setelah induk beranak, satu bulan kemudian akan dilakukan penyapihan. Penyapihan biasanya dilakukan secara kelompok, hal ini bertujuan untuk efisiensi tenaga kerja, waktu dan efisiensi penggunaan kandang. Biasanya satu minggu sebelum anak babi disapih, juga dilakukan kastrasi bagi anak babi jantan.

(40)

bertujuan untuk mencegah anemia pada anak babi, Levaminthic untuk obat cacing dan Daimeton untuk obat diare.

Laju Kebuntingan

Laju kebuntingan merupakan persentase dari babi betina yang tidak kembali berahi atau babi yang berhasil bunting dari seluruh jumlah babi yang dikawinkan (Siagian, 1999). Jumlah babi betina yang diamati berdasarkan paritas, sistem dan frekuensi pengawinan selama penelitian diperlihatkan pada Tabel 2.

Tabel 2. Distribusi Jumlah Induk (ekor) yang Diamati

Paritas

Total Pengawinan Induk 219 285

Rataan umum laju kebuntingan yang diperoleh di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm selama penelitian adalah 87,43% dengan koefisien keragaman sebesar 31,20%. Nilai rataan dan simpangan baku dari laju kebuntingan ternak babi berdasarkan sistem pengawinan, paritas, frekuensi pengawinan dan interaksinya diperlihatkan pada Tabel 3.

Sistem Pengawinan

(41)

(Baker, 1976). Pengawinan harus disesuaikan dengan waktu ovulasi, saat melakukan pengawinan yang paling baik adalah pada akhir hari pertama atau pada permulaan hari kedua berahi karena ovulasi terjadi kira-kira 30-36 jam dari permulaan berahi (Foote, 1980).

Menurut Toelihere (1993), bahwa secara umum sistem pengawinan secara IB dapat menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi apabila inseminasi buatan pada ternak dilaksanakan oleh inseminator yang terlatih dan terampil dalam hal penampungan semen, penilaian, pengenceran, pembekuan, dan pengangkutan semen dan inseminasi pada hewan betina. Inseminasi harus dilakukan dengan teknik yang benar dan waktu yang tepat untuk mendapatkan laju kebuntingan yang tinggi (Sterle dan Safranski, 2005).

Tabel 3. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan, Paritas, Frekuensi Pengawinan dan Interaksinya

SP/FP Paritas (P) Rataan

1 2 3 4 5 Alami 1x 100,0±0,00 73,68±44,62 78,26±42,17 94,74±22,94 100,0±0,00 89,34±21,95 2x 89,18±31,48 96,43±18,90 100,0±0,00 100,00±0,00 100,0±0,00 97,12±10,08 IB 1x 88,00±33,16 82,14±39,00 75,00±43,80 84,21±37,46 84,61±37,55 82,79±38,19 2x 95,55±20,84 78,72±43,37 80,76±40,19 80,76±40,19 66,67±51,64 80,49±38,91 Rataan P 93,18±21,37 82,73±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28 Rataan PxSP 93,18±21,37 82,73±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28 Alami 94,60±15,74 85,05±31,76 89,15±21,08 97,37±11,47 100,0±0,00 93,23±16,01A IB 91,75±27,00 80,40±41,18 77,85±41,99 82,48±38,82 75,64±44,59 81,64±38,55B Rataan PxFP 93,18±21,37 82,74±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28 1x 94,00±16,58 77,91±41,81 76,63±42,98 89,47±30,20 92,31±18,77 86,06±30,07 2x 92,36±26,16 87,57±31,13 90,38±20,09 90,38±20,09 83,34±25,82 88,80±24,49 Rataan Umum 93,18±21,37 82,74±36,47 83,50±31,53 89,93±25,15 87,82±22,29 87,43±27,28

Keterangan : Huruf yang berbeda pada kolom yang sama menunjukkan hasil yang sangat berbeda nyata (P<0,01)

(42)

Paritas

Keadaan induk yang sudah beranak atau telah menghasilkan anak disebut paritas. Induk yang beranak pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima masing-masing disebut induk paritas 1, paritas 2, paritas 3, paritas 4 dan paritas 5. Umumnya induk yang dipelihara di usaha peternakan ini dapat mencapai paritas 5 atau beranak kelima, sehingga taraf perlakuan paritas yang digunakan dalam penelitian adalah sebanyak lima.

Berdasarkan hasil sidik ragam, bahwa paritas tidak mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan, bahwa laju kebuntingan pada paritas pertama, kedua, ketiga, keempat dan kelima, berturut-turut 93,18%; 82,73%; 83,50%; 89,93% dan 87,82%. Hasil ini memperlihatkan, bahwa laju kebuntingan pada paritas pertama lebih tinggi daripada paritas kedua dan yang lainnya. Hasil ini berbeda dengan pendapat Siagian (1999) yang menyatakan, bahwa babi dara memiliki laju kebuntingan 10-15% lebih rendah daripada babi induk. Hal ini mungkin disebabkan pejantan yang digunakan dalam mengawini betina pada paritas satu dan dua adalah berbeda, sehingga dengan menggunakan pejantan yang berbeda dapat menghasilkan laju kebuntingan yang berbeda pula. Faktor menurunnya kesuburan induk babi setelah beranak pertama dan uterus induk belum pulih kembali akibat proses kelahiran pertama juga dapat menyebabkan penurunan laju kebuntingan pada paritas kedua, sehingga waktu tersebut tidak tepat untuk melakukan pengawinan.

Sistem Pengawinan dan Paritas

(43)

paritas pertama, ketiga, keempat dan kelima. Hal ini mungkin disebabkan faktor menurunnya kesuburan induk babi setelah beranak pertama dan uterus induk belum pulih kembali akibat proses kelahiran pertama, sehingga waktu tersebut tidak tepat untuk melakukan pengawinan. Menurut Sihombing (1997), laju ovulasi meningkat terus hingga paritas ketujuh tapi pada umumnya induk babi diafkir pada paritas kelima dan keenam. Salah satu penyebab induk diafkir adalah karena daya reproduksi yang mulai menurun sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah.

Tabel 3 menunjukkan, bahwa pengawinan secara IB pada paritas pertama menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi (91,75%) dan mengalami penurunan pada paritas kedua (80,40%) sampai paritas ketiga (77,85%), tetapi mulai meningkat pada paritas keempat (82,48%), kemudian kembali menurun pada paritas kelima (75,64%). Hubungan sistem pengawinan (alami dan IB) dan paritas diperlihatkan pada Gambar 12.

Gambar 12. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan dan Paritas

(44)

Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa frekuensi pengawinan induk (satu dan dua kali) tiap kali berahi tidak mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan, bahwa frekuensi pengawinan sebanyak dua kali menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi (88,80%) dibandingkan dengan satu kali (86,06%) seperti tertera pada Tabel 3. Hal ini disebabkan kegagalan kebuntingan pada pengawinan pertama kemungkin dapat berhasil pada pengawinan yang kedua. Pengawinan sebanyak dua kali memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai keberhasilan kebuntingan pada saat pengawinan, sehingga akan memperoleh laju kebuntingan yang tinggi. Hasil ini didukung oleh pendapat Sihombing (1997) yang menyatakan, bahwa pengawinan pada ternak babi yang dilakukan sebanyak dua kali akan menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi, karena ovum yang tidak dibuahi pada pengawinan pertama kemungkinan besar akan terbuahi pada pengawinan yang kedua.

Sistem dan Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa tidak ada interaksi antara sistem pengawinan dan frekuensi pengawinan, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan, laju kebuntingan yang dihasilkan dengan pengawinan secara alami sebanyak dua kali (97,12%) lebih tinggi daripada satu kali (89,34%). Laju kebuntingan yang dihasilkan dengan pengawinan secara IB sebanyak satu dan dua kali masing-masing 82,79 dan 80,49%. Pengawinan secara IB sebanyak dua kali justru menghasilkan laju kebuntingan yang lebih rendah dibandingkan dengan satu kali. Hal ini disebabkan inseminasi pertama yang dilakukakan menghasilkan kegagalan kebuntingan karena inseminasi dilakukan tidak pada waktu yang tepat. Menurut McIntosh (2005), bahwa untuk meningkatkan keberhasilan inseminasi yang tinggi harus memperhatikan deteksi berahi dengan tepat dan waktu inseminasi dilakukan dengan tepat, menggunakan teknik yang benar, penyimpanan dan penanganan semen dengan benar.

Paritas dan Frekuensi Pengawinan

(45)

3 menunjukkan, bahwa pengawinan sebanyak satu kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebuntingan berturut-turut yaitu 94,0%; 77,91%; 76,63%; 89,47% dan 92,31% dengan rataan 86,06%. Pengawinan sebanyak dua kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebutingan berturut-turut 92,36%; 87,57%; 90,38%; 90,38% dan 83,34% dengan rataan 88,80%. Laju kebuntingan tertinggi terdapat pada pengawinan satu kali pada paritas pertama (94,0%) dan laju kebuntingan paling rendah terdapat pada pengawinan satu kali paritas ketiga (76,63%). Rendahnya laju kebuntingan tersebut disebabkan ovum gagal dibuahi sehingga banyak ternak yang tidak bunting dan tidak dilakukan pengawinan ulang. Apabila dibandingkan antara frekuensi pengawinan dengan setiap paritas, maka pengawinan sebanyak dua kali lebih menghasilkan laju kebuntingan yang cenderung tinggi pada setiap paritas daripada pengawinan sebanyak satu kali kecuali pada paritas satu dan lima. seperti diperlihatkan pada Gambar 13.

Gambar 13. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Frekuensi Pengawinan dan Paritas

Sistem Pengawinan, Paritas dan Frekuensi Pengawinan

Hasil sidik ragam menunjukkan, bahwa tidak ada interaksi antara sistem pengawinan, paritas dan frekuensi pengawinan, akan tetapi berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 3 menunjukkan, bahwa pengawinan secara alami dengan frekuensi pengawinan satu kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebuntingan yang cenderung naik turun walaupun pada akhirnya

(46)

meningkat sampai 100% pada paritas kelima, seperti tertera pada Gambar 14. Hasil ini menunjukkan, bahwa pada paritas kedua dan ketiga dengan pengawinan secara alami dengan frekuensi pengawinan satu kali memperoleh laju kebuntingan yang menurun dari paritas pertama. Penurunan laju kebuntingan pada paritas ini disebabkan kegagalan kebuntingan pada saat pengawinan pertama dan tidak dilakukan kawin ulang sehingga menghasilkan laju kebuntingan yang rendah. Pengawinan dua kali secara alami menghasilkan laju kebuntingan semakin meningkat dari paritas satu sampai paritas kelima berturut-turut 89,18%; 94,43%; 100%;100% dan 100%. Hasil ini menunjukkan, bahwa laju kebuntingan meningkat dengan pengawinan secara alami sebanyak dua kali, hal ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Sihombing (1997), bahwa laju kebuntingan ternak babi akan meningkat terus sampai paritas ketujuh.

Pengawinan secara IB sebanyak satu dan dua kali pada paritas satu, dua, tiga, empat dan lima menghasilkan laju kebuntingan yang cenderung turun naik (Tabel 3). Laju kebuntingan terendah terdapat pada pengawinan sebanyak dua kali pada paritas kelima (66,67%), seperti tertera pada Gambar 14.

0

Gambar 14. Grafik Laju Kebuntingan Ternak Babi Berdasarkan Sistem Pengawinan, Frekuensi Pengawinan dan Paritas

(47)

semen pejantan juga dapat mempengaruhi rendahnya laju kebuntingan pada paritas ketiga pengawinan secara IB sebanyak satu kali (75,0%), karena adanya kesalahan dalam penanganan semen dan kurangnya jumlah sperma motil yang didepositkan kedalam organ reproduksi betina. Menurut Walker (1972), jumlah sperma motil pada saat inseminasi adalah 2-10 milyar atau rata-rata 5 milyar, sehingga yang perlu diperhatikan adalah pada saat pengenceran dilakukan yaitu jumlah pengencer harus disesuaikan dengan jumlah sperma yang motil untuk mencapai laju kebuntingan yang tinggi. Penurunan laju kebuntingan kemungkinan juga disebabkan karena deteksi berahi yang salah, sehingga waktu penginseminasian tidak tepat dilakukan.

Periode yang efektif untuk menginseminasi ternak babi betina adalah sekitar 24 jam (24-36 jam) setelah awal berahi. Apabila pengawinan dilakukan sebanyak dua kali pada tiap kali berahi, inseminasi yang pertama harus dilakukan 12-16 jam setelah diketahui awal siap kawin (puncak berahi) dan diulangi lagi 12-14 jam kemudian. Inseminasi yang kedua harus dilakukan walaupun induk tidak memperlihatkan tanda siap kawin (Sihombing, 1997). Menurut Sterle dan Safranski (2005), untuk mendapatkan laju kebuntingan yang tinggi, deteksi berahi harus dilakukan secara hati-hati dan tanpa kegagalan karena hal yang paling penting dalam pengawinan adalah deteksi berahi. Deteksi berahi yang paling efektif dapat dilakukan sebanyak dua kali per hari. Lama berahi pada ternak babi berkisar antara satu sampai empat hari (Day, 1972). Informasi yang diperoleh di perternakan tersebut, bahwa deteksi berahi tidak dilakukan secara teratur dan tidak ada waktu khusus untuk mendeteksi berahi pada ternak babi betina. Pengawinan ternak babi dilakukan apabila memperlihatkan tanda-tanda berahi yaitu babi betina tersebut gelisah, tidak nafsu makan dan diam kalau ditekan bagian punggungnya.

Pejantan

(48)

Berdasarkan hasil penelitian (Tabel 4), bahwa pejantan yang digunakan dalam pengawinan secara alami yaitu TK 8, TK 6, TK 11, TK 9 dan TK 10 menghasilkan laju kebuntingan berturut-turut dari paling tinggi sampai paling rendah adalah 97,37%; 94,12%; 91,67%; 88,0% dan 87,88%. Laju kebuntingan ternak babi berdasarkan pejantan dengan sistem pengawinan secara alami diperlihatkan pada Tabel 4.

Tabel 4. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Pejantan Dengan Sistem Pengawinan Secara Alami

Menurut Sihombing (1997), pejantan harus diberikan perhatian yang serius karena pejantan mewakili setengah susunan genetik ternak dan oleh karenanya berpengaruh besar terhadap kualitas ternak. Pejantan harus teruji dalam hal performan, fisik, kesehatan dan manajemen pemeliharaannya memenuhi standar. Menurut Devendra dan Fuller (1979), sifat genetik dari babi pejantan separuhnya diwariskan pada keturunannya, sehingga pejantan harus diperhatikan dengan baik. Hasil pada Tabel 4 menunjukkan, bahwa TK 8, TK 6 dan TK 11 harus dipertahankan kualitasnya, karena menghasilkan laju kebuntingan yang tinggi, sehingga harus diperhatikan penggunaannya. Berdasarkan informasi yang diperoleh, bahwa pejantan yang digunakan di peternakan ini berumur kira-kira dua tahun, sedangkan frekuensi penggunaan pejantan hanya dua kali per minggu. Keadaan ini sangat bertentangan dengan pendapat yang dikemukakan oleh Siagian (1999), bahwa frekuensi penggunaan pejantan yang berumur >18 bulan yaitu 9-10 kali per minggu.

(49)

Berdasarkan Tabel 5, pejantan yang menghasilkan laju kebuntingan yang tertinggi dengan pengawinan secara IB adalah JKT IB (96,05%), kemudian TK 7 (88,23%), LSKH (81,25%), D3147 (74,60%) dan DP9003 (55,0%). Rataan laju kebuntingan ternak babi berdasarkan pejantan dengan sistem pengawinan secara IB diperlihatkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Laju Kebuntingan (%) Ternak Babi Berdasarkan Pejantan Dengan Sistem Pengawinan Secara Inseminasi Buatan

(50)

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sistem pengawinan (alami dan IB) di usaha peternakan babi PT. Adhi Farm sangat nyata mempengaruhi laju kebuntingan ternak babi. Laju kebuntingan dengan sistem pengawinan secara alami memberikan hasil yang lebih tinggi daripada pengawinan secara inseminasi buatan (IB).

Paritas tidak memberikan pengaruh nyata terhadap laju kebuntingan ternak babi. Induk babi sampai paritas kelima masih dapat dipertahankan karena memberikan hasil laju kebuntingan yang tidak jauh berbeda.

Frekuensi pengawinan tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap laju kebuntingan ternak babi, akan tetapi frekuensi pengawinan dua kali menghasilkan laju kebuntingan yang lebih tinggi dibandingkan dengan satu kali pengawinan.

Tidak terdapat interaksi antara sistem pengawinan (alami dan IB), paritas (1-5) dan frekuensi pengawinan (1 dan 2 kali) tiap kali babi betina berahi terhadap laju kebuntingan ternak babi.

Saran

(51)

UCAPAN TERIMAKASIH

Puji dan syukur Penulis panjatkan kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat dan karunia yang telah dilimpahkan pada Penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr.Ir Pollung H. Siagian, MS dan Dr.drh Ligaya I.T.A. Tumbelaka SpMP, MSc sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan dan nasehat dalam penyusunan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada dosen-dosen yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini yaitu Dr. Ir Cece Sumantri M.AgrSc yang bersedia menjadi penguji dalam seminar, Acep SPt yang bersedia membantu dalam pengolahan data, Ir. Salundik MSi dan Ir. Lucia Cyrilla ENSD., MSi yang bersedia menjadi penguji dalam ujian akhir. Terimakasih juga Penulis ucapkan kepada Ir. Sudjana Natasasmita yang menjadi pembimbing akademik.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada pimpinan PT. Adhi Farm, Solo yaitu bapak Hariady dan bapak Robby serta para karyawan-karyawannya yaitu Marianto, Harry, Cindi, Endang, Sri, Londo, Josep dan karyawan yang lain yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu, yang memberikan kesempatan kepada Penulis untuk melakukan penelitian dan atas kerjasama yang baik selama penelitian berlangsung.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada kedua orang tua tercinta dan keluarga yang banyak memberikan bantuan dan dukungan selama Penulis kuliah baik dalam bentuk material maupun spiritual.

Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada sahabat-sahabat yang terkasih yaitu Sri Ratih Puspita Timur, Maria Herawati, Dian Permata, Desyana, Harry Wijaya, Syarif, Pretty Sihombing dan Elsa C. Saragih. Terakhir Penulis mengucapkan terimakasih kepada teman-teman TPT 39 yang mendukung selama penyusunan skripsi.

Bogor, Maret 2006

(52)

DAFTAR PUSTAKA

Alexander, G., J. P. Signoret dan E. S. E. Hafez. 1980. Sexual, Maternal and Neonatal Behavior. Dalam: E. S. E. Hafez (editor). Reproduction in Farm Animal. Lea & Febiger. Philadelphia. Pp. 304-334.

Anderson, J. 1980. Pigs. Dalam E. S. E. Hafez, ed. Reproduction in Farm Animals. Lea & Febiger, Philadelphia.pp. 358-386.

Anderson, L. L., R. P. Ratchmacher dan R. M. Melampy. 1966. The uterus and unilateral regresion of corpora lutea in the pig. Am. J. Physiol. 210 : 611-614.

Baker, L. D dan C. Polge. 1976. Fertilization in swine and cattle. Can. J. Anim. Sci. 56 : 105-119.

Cordores, S., M. Melazquez, M. Prado dan R. Cedre. 1981. Effect of mating frequency on reproductive traits in Duroc boars. Anim. Breed. 49 : 27 (Abstr).

Day, B. N. 1972. Reproduction of Swine. Dalam: E. S. E. Hafez (editor). Reproduction in Farm Animal. Lea & Febiger. Philadelphia. Pp. 521-545.

Devendra, C dan M. F. Fuller.1979. Pig Production in The Tropics. Oxford Universitty Press.

Dziuk, P. J., C. Polge dan L. E. Rowson. 1964. Intrauterine migration and mixing of embryos in swine following egg transfer. J. Anim. Sci. 23 : 37-42.

Dziuk, P. J. 1970. Estimation of optimum time for insemination of gilts and ewes by double mating at certain times relative to ovulation. J. Reprod. Fert. 22: 277-282.

Dziuk, P. J. 1977. Reproduction in Pigs. Dalam: H. H. Cole / P. T. Cupps (editor). Reproduction in Domestic Animal. Academic press. New York, San Fransisco, London. Pp. 455-498.

Eusebio, J. A. 1980. Pig Production in the Tropics. Longman Group Ltd.

First, N.L. 1970. Factors affecting sperm survival and fertility. Dalam: Colloquium on Effect of Disease and Stress on Reproductive Efficiency in Swine, Iowa State Univ. Ames, Iowa.

Foote, R. H. 1980. Artificial Insemination. Dalam: E. S. E. Hafez (editor). Reproduction in Farm Animal. Lea & Febiger. Philadelphia. Pp. 521-545.

Gardner, J. A. A., A. C Dunkin dan L. C. Lloyd. 1990. Pig Production in Australia. Butterworths, Sydney.

Gardner, E. J. 1975. Principles of Genetics. John Wiley and Sons, Inc., New York, San Francisco, London.

Gambar

Gambar 1. Organ Reproduksi Betina (Sterle dan Safranski, 2005)
Gambar 3. Siklus Berahi pada Babi Betina (Sihombing, 1997)
Gambar 5. Cara Memutar Kateter (McIntosh, 2005)
Gambar 10. Pengawinan Secara Alami
+7

Referensi

Dokumen terkait

Data dalam penelitian ini yaitu berupa kalimat-kalimat yang menunjukkan nilai-nilai pendidikan karakter yang terdapat dalam buku teks pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan

bahwa berdasarkan ketentuan Pasal 10 ayat (2) Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pembentukan Peraturan Daerah, telah diamanatkan bahwa

DISERTASI PERADILAN PAJAK DALAM SISTEM ..... DISERTASI PERADILAN PAJAK DALAM

The use of taboo in Djenar’s Mereka Bilang Saya Monyet! is various. It can be classified into categories and degrees. Regarding to the domination use of

Dana pensiun adalah sekumpulan aset yang dikelola dan dijalankan oleh suatu lembaga untuk  menghasilkan suatu manfaat pensiun, yaitu suatu pembayaran berkala yang dibayarkan

)i samping endapan :ura berkembang sebagai endapan daratan, endapan laut, terdapat pula perkembangan endapan :ura dalam geosinklin! elama &amp;aman :ura dalam eosinklin

JURUSAN SAN KEPE KEPERAW RAWA AT TAN AN PURWOKERTO.

Defect /cacat yang terjadi pada tahapan produksi glasir putih pada periode Januari sampai dengan Desember 2017, terjadi pada proses glazing.. Rincian defect yang